“Semoga cara ini bisa menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka,” kata Lakseta lirih, lebih tertuju pada diri sendiri. “Jangan sampai satu di antara mereka celaka karena bertarung secara sia-sia. Tidak ada gunanya bertarung disebabkan persoalan yang tidak jelas.”Dhuar!Dhuaaar...!Terdengar dua kali ledakan yang sangat keras. Ledakan itu mememakkan telinga orang yang dekat dengan sumber ledakan. Suro Joyo dan Kowara yang paling pekak telinga karena bunyi ledakan yang di luar dugaan.Seiring suara ledakan, terlihat asap gelap memenuhi pantai. Kegelapan asap makin memburamkan pandangan karena pasir pantai juga beterbangan di udara. Pasir pantai yang membumbung tinggi ke segala penjuru itu membuat mata Kowara kemasukan beberapa butir pasir. Secara naluri, Kowara menceburkan diri ke laut untuk merendam matanya.Dengan cara alami, butir-butir pasir yang masuk ke dalam dua kelopak, keluar dari mata. Kowara bisa membuka mata setelah merendam kedua mata dalam air laut. Pelan-pelan dia m
“Baiklah, kami siap melaksanakan tugas ini,” kata Nurweni dengan nada tegas. “Apa Lasih Manari akan kamu barkan hidup?”“Iya,” jawab Kowara. “Sayang sekali kalau gadis secantik dia dibunuh. Tugas utama kalian membunuh Ponggewiso. Kalian dua orang hebat, pasti tidak ada masalah untuk melaksanakan tugas ini.”“Kelihatannya kamu naksir Lasih Manari ya?” goda Rupini. “Kamu tidak menyesal kalau sudah tahu siapa dia sebenarnya?”Kowara tersenyum. Senyum kecut. Senyum getir. “Memangnya kamu tahu siapa dia sebenarnya?”“Sedikit tahu. Tapi yang sedikit ini mungkin lebih banyak dari yang kamu tahu.”“Ah, masa? Apa kamu pernah bersahabat dengan Lasih Manari?”“Bersahabat? Tidak! Kalau sekedar berteman…, iya. Kami –aku dan Nurweni— pernah berteman cukup akrab dengan Lasih Manari.”Kowara memandangi Rupini dan Nurweni dengan pandangan sungguh-sungguh. Dia seperti ingin tahu isi hati Sepasang Naga dari Utara.“Kalian pernah berteman dengan Lasih Manari, tetapi kalian siap membunuh Lasih Manari kala
Tiba-tiba Kowara berhenti. Dia mendekati Nurweni dan Rupini. Kelakuan Kowara menunjukkan bahwa dirinya ada keperluan yang sangat penting.”Ingat, tugas kalian hanya membunuh Ponggewiso dan anak buahnya!” Kowara mengulangi perintahnya. ”Kalian tidak perlu menyentuh, mendekati, atau sampai bertarung melawan Lasih Manari!”Nurweni dan Rupini telah menduga Kowara akan berkata seperti itu. Sejak masih di penginapan, tak henti-hentinya mengungkapkan dua hal, bunuh Ponggewiso dan jangan bunuh Lasih Manari.“Iya, jangan khawatir!” sahut Nurweni bersungguh-sungguh. “Aku dan Rupini bisa membedakan antara Ponggewiso dengan Lasih Manari. Begitu ketemu Ponggewiso, maka kami akan langsung membunuhnya. Sebaliknya, kalau ketemu Lasih Manari, kami tidak akan membunuhnya.”“Terima kasih atas kesungguhan kalian melaksanakan tugas ini,” Kowara menanggapi dua pendekar wanita itu. “Semoga tujuan kita tercapai dengan mudah tanpa ada halangan yang berarti.””Sama-sama, Kowara. Yang jelas, kami tak suka menca
“Kakang Kowara, tolong aku!” teriak adik Kowara puluhan tahun silam. “Tolong aku, Kakang Kowara!”Waktu itu Kowara tidak berdaya untuk menolong sang adik. Jangankan menolong adiknya, menjaga keselamatan jiwa sendiri saja, belum tentu bisa. Untuk menyelamatkan diri dari keganasan Ponggewiso dan gerombolannya saja, belum tentu bisa.Suara jeritan adik Kowara selalu terngiang sepanjang hidup Kowara. Suara teriakan minta tolong itu tak mudah hilang dari ingatan. Setiap kali teringat peristiwa itu, ada perasaan bersalah pada diri Kowara. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menolong adik perempuannya.Kowara waktu itu selamat karena dirinya berhasil meraih balok kayu kapal yang dibakar anak buah Ponggewiso. Selama berhari-hari Kowara terapung di lautan luas yang seolah-olah tak bertepi. Sampai suatu hari ada seorang nelayan menyelamatkan Kowara. Kowara dipulangkan kembali ke rumahnya.Pada sisi lain adik Kowara mengalami nasib tragis di Pulau Sapit Yuyu. Dia diperkosa dan akhirnya dibunuh
”Kali ini kamu tidak akan bisa menangkis seranganku,” gumam Ponggewiso saat tubuhnya melesat di udara dengan kaki kanan siap menghantam lawan. Banyak lawan kubuat mampus dengan serangan ini.“Rupanya Ponggewiso menggunakan jurus mautnya untuk menyerangku. Kowara membatin. Ponggewiso mengira akan mudah membunuhku dengan jurus gombal semacam itu. Aku sudah tahu jurus tendangan andalan Ponggewiso. Aku bisa dengan mudah mematahkan dan balas menyerang balik. Bahkan aku bisa saja mematahkan kedua kakinya dengan sekali gebrakan.Sesaat Kowara menangkis dengan tangan kiri untuk menangkis kaki kanan lawan. Kowara ingin menggunakan tangan kanan untuk memukul lawan, tetapi gerakannya kalah cepat yang dilakukan lawan. Ketika kaki ditangkis, Ponggowiso bersalto ke bumi. Lalu dengan satu hentakan, kedua tangannya secara beruntun berhasil menghantam dada lawan.Tubuh Kowara tersorong ke belakang beberapa tombak. Saat tubuhnya melayang, tiba-
Pada dasarnya Ponggewiso masih suka pada Lasih Manari. Ponggewiso masih cinta Lasih Manari. Tidak mudah bagi Ponggewiso untuk melepaskan Lasih Manari dari tangannya. Dirinya masih mencintai Lasih Manari. Kowara berani melarikan Lasih Manari, berarti dia telah merendahkan diriku. Setelah aku menghabisi dua cecurut busuk ini, akan kucari Kowara. Aku akan memburunya sampai di ujung dunia sekalipun. Dengan cara pun, akan kuburu Kowara untuk kubantai! Nurweni dan Rupini saling pandang. Mereka baru saja memperhatikan Ponggewiso yang terlihat geram setelah melihat kapal yang digunakan Kowara utkmelarikan Lasih Manari makin jauh. Bahkan kini sudah nyaris tak terlihat lagi. “Dia menyesal rupanya,” kata Nurweni kepada Rupini. “Dia menyesal karena tidak bisa menahan Kowara yang kini telah melarikan Lasih Manari.” “Kurasa bukan hanya menyesal,” Rupini menanggapi. “Dia juga kesal. Kesal karena gadis yang dicinta dibawa kabur Kowara, huahahahaha…!” Nurweni dan Rupini tertawa-tawa. Ponggewiso te
“Nurweni, hati-hati..., dia tidak bisa dianggap enteng,” bisik Rupini. “Bajak laut ini ternyata memiliki tenaga dalam yang kuat melebihi yang kita miliki.” “Benar,” sahut Nurweni lirih. “Aku sudah merasakan kekuatan tenaga dalamnya sejak pertama kali beradu senjata tadi. Dia benar-benar memiliki tenaga dalam andalan yang bisa digunakan untuk menghabisi lawan.” Nurweni dan Rupini pasang kuda-kuda untuk menghadapi lawan. Mereka bersiap-siap menyerang lawan untuk menuntaskan tugas dari Kowara. Bayaran tinggi dari Kowara tidak akan disia-siakan sepasang pembunuh itu. Mereka berdua tidak ingin mengecewakan Kowara. Dengan cara apa pun, kalau perlu menggunakan cara-cara licik akan dilakukan, asalkan bisa menang. Cara-cara yang paling kotor pun akan ditempuh demi memenuhi tugas dari Kowara. Ponggewiso menggunakan dua tangan untuk menggenggam gagang pedang saktinya. Dia bergerak cepat untuk merangsak lawan. Dirinya ingin secepatnya menghabisi dua pendekar peremp
Rupini mengakui kalau Ponggewiso ternyata berotak cemerlang. Lepas dari sifat jahatnya, Ponggewiso memiliki pemikiran yang cerdas, sehingga bisa bertindak tepat sesuai keadaan. Jurus apa pun yang digunakan Rupini dan Nurweni, bisa ditandingi Ponggewiso. Cara apa pun yang digunakan Sepasang Naga dari Utara, bisa dihadapi Ponggewiso dengan baik.Ternyata pintar juga si bajak laut ini. Kata Nurweni di dalam hati. Dia selalu bisa menandingi jurus pedang dari kami. Kalau otaknya tidak pintar, pasti sudah mati sejak tadi. Hm..., semakin tidak gampang mengalahkan Ponggewiso. Ponggewiso makin tahu pola serangan kami. Suatu saat dia bisa balik menyerang, sehingga membahayakan kami berdua.Baik Nurweni maupun Rupini merasa makin sulit untuk mengalahkan Ponggewiso. Jurus apa pun yang telah mereka gunakan, bisa dihindari Ponggewiso. Berbagai jurus andalan Sepasang Naga dari Utara telah dipatahkan Ponggewiso. Memang Ponggewiso tidak bisa melakukan serangan balik y
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik