Wadungsarpa mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. Semula Wadungsarpa bisa tertawa-tawa karena telah merasa bisa mengelabui Daruna dan Panggas. Namun kini dia mesti lebih hati-hati ketika bertarung melawan mereka.
‘Mereka ternyata para pendekar hebat yang punya ilmu silat tinggi,’ kata Wadungsarpa di dalam hati. ‘Mereka bisa menyerang secara serentak, sehingga aku kesulitan menandinginya. Aku bisa kalah kalau terus bertarung melawan mereka.’
Daruna dan Panggas kembali menyerang Wadungsarpa dengan jurus-jurus baru. Wadungsarpa kembali mengimbangi serangan kedua lawannya dengan jurus-jurus tangan kosong.
Pada suatu kesempatan, Panggas hendak memukul wajah lawan dengan gerakan cepat. Wadungsarpa menangkis pukulan Panggas. Namun pada saat bersamaan Wadungsarpa tidak menyadari bahwa Daruna menendang dada hingga Wadungsarpa terjerembab mencium tanah.
Selama beberapa saat Wadungsarpa kehilangan kendali dirinya. Keadaa
Keris Kuwungtunjem yang berada dalam genggaman Wadungsarpa merupakan senjata sakti yang sangat mematikan. Keris sakti itu bisa mematahkan senjata lain, sehingga tidak ada gunanya Daruna dan Panggas menggunakan senjata untuk menangkis.Daruna dan Panggas menyadari bahwa keris di tangan Wadungsarpa bukan sembarang keris. Keris sakti itu mempunyai kehebatan tingkat tinggi. Ada kekuatan yang memancar kuat dari keris. Kekuatan itu tentunya juga disertai ketajaman yang tak terungkapkan. Saking tajam dan kuatnya, golok dan pedang yang tersabet Keris Kuwungtunjem, langsung patah.‘Tidak mungkin menangkis keris di tangan Wadungsarpa dengan senjata biasa,’ kata Daruna di dalam hati. ‘Tadi sudah berusaha menangkis keris Wadungsarpa dengan menggunakan golok dan pedang, tapi patah. Kalau aku menggunakan senjata serupa, juga akan sia-sia.’Ketika ada bahaya mengancam jiwa, Daruna melempar tubuhnya ke semak belukar. Darun
“Kalau dua prajurit dari Pulungpitu itu, aku pasti bisa mengalahkan,” gumam Wadungsarpa. “Tapi kalau pendekar yang disebut bernama Suro Joyo ini, aku kesulitan untuk menandinginya. Suro Joyo jelas punya keunggulan sebagai seorang pendekar muda. Dia bisa menggunakan batu sekepalan tangan untuk menggagalkan niatku untuk membunuh salah satu prajurit Pulungpitu.” Wadungsarpa masih bisa merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang digunakan Suro Joyo untuk melemparkan batu untuk menghantam Keris Kuwungtunjem. Tangan Wadungsarpa yang digunakan untuk menggenggam gagang keris terasa bergetar kuat. Jari-jari tangan kanan Wadungsarpa terasa kesemutan. ‘Meninggalkan pertarungan sebelum diketahui kalah atau menang, merupakan perbuatan pengecut,’ kata hati Wadungsarpa. ‘Itu perbuatan yang selama ini kuhindari. Jangan sampai aku melakukan perbuatan nista semacam itu. Tapi kali ini aku harus bisa mengukur kemampuan diri. Aku tidak mungkin melawan Suro Joyo
Ayumanis benar-benar telah terpikat ketampanan Janurwasis. Gadis cantik itu serasa di mabuk asmara. Serba salah tingkah dan serba bingung mau bersikap.‘Kenapa aku bisa seperti ini?’ tanya Ayumanis pada diri sendiri. ’Apakah aku telah jatuh cinta pada Janurwasis? Rasanya tidak mungkin aku jatuh cinta pada seorang pemuda dalam waktu secepat ini. Aku tidak mungkin mencintai seorang pemuda yang belum kuketahui latar belakangnya.’Ayumanis bisa saja dalam hati berkata seperti itu. Akal sehatnya menyatakan bahwa dirinya tidak mungkin jatuh hati pada seorang pemuda dalam waktu singkat. Padahal Ayumanis tidak tahu apa-apa tentang pemuda yang membuatnya jatuh cinta. Namun paras tampan, tutur kata halus, senyum menawan dari Janurwasis membuyarkan akal warasnya.Ketika Janur berdiri di sampingnya. Membimbing tangannya untuk berdiri, Ayumanis menurut saja. Ketika Janur secara lembut menciumnya, Ayumanis menurut saja.
Namun gerak tangan Wandagni untuk menolak cengkeraman jari-jari tangan Raden Tumon agak terlambat. Jari-jari Raden Tumon mencengkeram kuat pakaian depan Wandagni yang menutupi bagian dada. Dengat sekali tarik, terdengar suara kain robek.Pakaian Wandagni bagian depan robek. Wandagni terperanjat atas perlakuan Raden Tumon yang bejat. Sebagian bukit kembarnya terlihat!Wajah Wandagni memerah. Merah malu dan merah marah. Wajah Wandagni mewara merah karena rasa malu yang tak tertahankan. Gadis itu sangat malu karena sebagian tubuh yang selama ini ditutup rapat, terkuak. Bagian tubuh yang termasuk pribadi dan ditutupi, bisa terlihat. Wandagni buru-buru menutupi dengan menangkupkan kain yang robek cukup lebar.Wajah merah Wandagni yang semula malu, berubah. Berubah menunjukkan rasa marah. Wajah cantik itu kini memerah karena rasa marah yang tidak bisa dikendalikan lagi. Kemarahan Wandagni membunncah, minta untuk dilampiaskan kepada laki-laki di dep
Suro Joyo mengamati wajah cantik Sunita. Sunita sosok gadis cantik dan ramah. Sunita wanita cantik dan pintar melayani para tamu. ‘Kelak laki-laki yang menjadi suami Sunita akan merasa bahagia,’ kata Suro Joyo dalam hati. ‘Gadis secantik Sunita tentunya sudah punya kekasih. Atau mungkin malah sudah punya calon suami.” ”Hanya semalam, Suro?” Sunita balik bertanya. Suro Joyo masih melanjutkan lamunannya. ‘Siapa ya calonsuami Sunita? Dia seorang punggawa kerajaan, saudagar, ataukah orang biasa yang sehari-hari menjadi petani?’ “Maaf..., menginapnya satu malam ya?” Sunita mengulangi pertanyaannya. Suro Joyo gelagapan. Pertanyaan dari Sunita untuk kedua kalinya belum bisa dipahami pendekar yang perilakunya kadang-kadang aneh itu. “Eh..., tadi tanya apa?” “Tentang barapa malam menginap di sini. Satu malam kan?” ”Iya..., benar. Berapa?” Sunita siap menjawab pertanyaan Suro Joyo. Namun Sunita kedahuluan orang lain. ”Tak usah dibayar... !” kata Ayumanis tiba-tiba. Dia telah berada di
Bawera memandangi Ayumanis dari ujung rambut sampai telapak kaki. Pandangan matanya penuh selidik. ‘O..., ini yang namanya Ayumanis,’ Bawera membatin. ‘Benar-benar manis dia. Menurutku, bukan hanya manis wajahnya, tapi malah cantik. Bahkan sangat cantik. Andaikan tidak urusan tentang kematian Temon, aku sebenarnya berminat menjadikan Ayumanis sebagai istri mudaku.’”Ayumanis...,” kata Bawera, “langsung saja, aku ingin tahu, siapa yang telah membunuh anakku?”Nada suara Bawera meninggi, menandakan kemarahan yang memuncak. Sedangkan empat anak buahnya telah mencabut pedang yang berkilat-kilat tajam. Pedang-pedang di tangan mereka seolah-olah sedang haus darah dan minta dicarikan tumbal!Kehadiran anak buah Bawera membuat suasana menjadi tidak tenang. Tidak nyaman. Siapa pun yang berhadapan dengan Bawera seolah-olah merasa ditekan, diancam keselamatan jiwanya.Bawera memang
“Kira-kira Gabrul dan Kepyur apa bisa berhasil membujuk Ayumanis?” tanya Sumbung. “Aku harap mereka berhasil membujuk Ayumanis agar mau menyerahkan Penginapan Melati Jingga kepada kita.”Gubegan memandang ke kejauhan sambil berkata, “Jangan terlalu berharap, Kang, nanti malah kecewa.”“Kecewa bagaimana?”“Kecewa ya kecewa. Kecewa kok bagaimana?”“Maksudku, aku kecewa tentang apa?”“Kang Sumbung jangan terlalu berharap pada mereka berdua. Kalau mereka ternyata gagal meminta Ayumanis untuk menyerahkan Penginapan Melati Jingga pada kita, maka Kakang Sumbung bisa kecewa. Bahkan mungkin malah sangat kecewa. Pada akhirnya Kang Sumbung bisa marah-marah tidak karuan.”Sumbung tidak langsung menanggapi perkataan Gubegan yang kalau dicermati, ada benarnya juga. Dia menyadari bahwa kalau sampai terjadi pertarungan, Gabrul dan Kepyur tentu tidak akan bisa m
Sumbung memerintahkan anak buahnya dengan tujuan untuk mempermalukan pendekar wanita itu. Dia anggap pendekar wanitu bersikap sombong dan sok jagoan. Dalam perhitungan pendekar yang wajahnya disembunyikan itu hanya pendekar biasa yang bisa ditangani dengan mudah. ‘Pukulannya lambat, sehingga bisa kuhindari,’ Sumbung berkata dalam hatinya. ‘Dari situ bisa ditebak, dia pendekar biasa, sehingga pasti bisa ditundukkan dalam beberapa kejapan mata. Dia pendekar yang sombong, sehingga perlu diberi pelajaran. Kalau tidak diberi pelajaran, nanti malah semakin tidak tahu sopan santun.’ Mendengar ‘sayembara’ dari Sumbung, semua anak buah gerombolan perampok itu segera menyerbu si pendekar wanita. Mereka beramai-ramai ingin menangkap pendekar wanita itu. Mereka secara bersamaan ingin membuka kain yang menutup wajahnya. “Hayo, Nona Manis, bukalah kainmu supaya bisa terlihat wajah cantikmu!” kata seorang perampok berbadan tinggi besar sambil berusaha mendekat dan mengambil kain penutup wajah pend
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik