“Ini dulunya rumah siapa?” tanya Keksi Anjani sambil duduk di sudut ruang.
“Entah ya, aku tidak tahu. Hanya saja, kalau dalam perjalanan dan kemalaman, jauh dari penginapan, aku kadang tidur di sini,” Sanggariwut memberi penjelasan. Penjelasan sebatas yang dia ketahui.
“Sebenarnya ini rumah mewah, tapi kelihatannya sudah lama ditinggalkan pemiliknya.”
“Iya, benar. Ini dulunya memang rumah yang mewah. Aku pernah lihat rumah ini pada saat masih bagus.”
“O…, jadi kamu pernah tahu keadaan rumah ini saat masih bagus?”
Hari menjelang malam, mereka masih asyik berbicara.
Sanggariwut berdiri menuju ke kamar lain. Dia mengambil kasur kumal. Kasur kusam itu digelar di lantai. Keduanya kembali duduk di lantai dengan beralaskan kasur itu.
”Tunggu di sini, aku akan cari ketela dari kebun penduduk dan kayu bakar!” kata Sanggariwut. Dia sege
”Perasaanku akhir-akhir ini jadi gelisah, kang,” Nyi Lasih mengeluarkan uneg-unegnya. Dia mengungkapkan persoalan yang selama ini masih terpendam di dalam sanubari. Belum ada kesempatan untuk diungkapkan kepada suami.”Mengapa resah? Bukankah desa kita aman-aman saja?” tanya Miguna sedikit heran. Tak biasanya istrinya bersikap begitu. Nyi Lasih biasanya selalu tenang menghadapi situasi apa pun.”Tentunya Kakang sudah tahu keadaan Pulungpitu sekarang ini. Di desa-desa yang berada di wilayah Pulungpitu terjadi banyak kejadian yang meresahkan. Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, dan bentuk-bentuk kejahatan yang merusak serta menghancurkan apa saja, terjadi hampir setiap hari di desa-desa yang berbeda. Belum lama ini lurah Desa Putuk dibunuh oleh gerombolan manusia yang entah datangnya dari mana. Kemarin Desa Kinangkaning yang bersebelahan denghan desa kita terjadi perampokan di hampir seluruh wilayah desa. Dan pada saat ber
Miguna tersenyum. Wajahnya menampakkan ketenangan orang yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan. Kenyataan seperti ini sudah diperhitungkan. Semalam dirinya sengaja tetap berada di atas pohon untuk beristirahat.Dia sudah memperhitungkan tentang para pengejarnya yang menunggu di bawah pohon sampai hari terang. Ketika dirinya turun dari pohon, lalu Taskara dan anak buahnya muncul, Miguna tidak merasa kaget.Sebagai bekas prajurit kerajaan, Miguna hafal seluk-beluk peperangan, termasuk mengintai lawan yang bersembunyi. Untuk mengintai lawan yang bersembunyi, dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi.Rupanya Taskara, Bendo, dan Resak sangat sabar menunggu di bawah pohon. Walau mereka tidak tahu di mana tepatnya keberadaan Miguna, tetapi tetap sabar. Dia sabar menunggu di sekitar tempat Miguna ‘menghilang’. Barulah pagi hartinya mereka melihat gerakan Miguna turun dari pohon yang tinggi dan sangat rindang.&l
“Huahahahaha…, kamu akan modar kena pedangku, Tua Bangka!” Bendo berkata disertai hati gembira. “Jadi orang tua jangan macam-macam pada anak muda! Jadi orang tua sebaiknya ikut saja apa kata kami yang muda-muda ini. Kalau kami ikut Ki Luar Wadungsarpa, kamu mestinya ikut juga. Bukan berlagak seperti pahlawan kesiangan dengan membela Raja Sandimaya yang sewenang-wenang pada rakyatnya.”Miguna hanya diam mendengar ejekan Bendo. Dia menahan rasa sakit akibat luka senjata lawan. Daripada menanggapi ejekan Bendo, lebih baik mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi.Sekarang Miguna terdesak. Dia ternyata tidak sanggup menandingi ketiga pengeroyoknya. Tiga orang antek Wadungsarpa itu benar-benar memiliki tenaga luar biasa karena masih muda usia. Taskara, satu di antara tiga orang ituSelama ini Miguna yakin bahwa semua masalah ada solusinya. Namun, kali ini Miguna serasa menemui jalan buntu. Dalam situasi saat ini, Miguna dia
Suro Joyo tersenyum mendapat pertanyaan dari Miguna. Sebenarnya Suro Joyo sudah bosan mendapatkan pertanyaan yang itu-itu terus. Namun dirinya tidak mungkin tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Miguna.”Sebenarnya aku tidak ingin menjadi raja karena merasa tidak mampui mengemban kewajiban sebagai seorang raja,” jawab Suro Joyo. “Daripada nanti menyengsarakan rakyat, lebih aku tetap sebagai rakyat jelata. Biar orang lain yang benar-benar mampu, yang jadi raja, bukan diriku.””Eh..., maaf Kisanak Suro, aku kok jadi bingung. Kisanak Suro mengatakan, tidak ingin jadi raja, maksudnya bagaimana ini? Aku yang sudah tua ini benar-benar tidak paham.”Kembali Suro Joyo tersenyum. Dia perhatikan wajah Miguna yang polos, lugu, tidak mengada-ada, dan tampil apa adanya. Suro Joyo yakin, orang seperti Miguna ini tidak bisa bersandiwara, berpura-pura, atau pun melakukan sesuatu yang berkebalika
Suro Joyo bersikap seolah-olah tidak tahu-menahu kehadiran orang-orang yang mencurigakan ini. Dia terkesan lebih mementingkan urusan makan dan minum. Dilihat dari sikapnya, seolah-olah Suro Joyo hanya mementingkan makan daripada urusan lain yang mungkin lebih penting.“Lauknya apa, Tuan?” tanya pelayan yang ditilik dari wajah cantiknya, masih gadis. Dia memanggil para tamu kedai dengan panggilan ‘Tuan’.”Lauknya telur saja!” kata Suro. ”Jangan lupa, sayur lodehnya!””Ya, Tuan...,” sahut si gadis sambil menunduk hormat. “Ada lagi yang dipesan, Tuan?”“Ada.”“Apa, Tuan?”“Katakan pada juraganmu bahwa tadi ada yang mengatakan padamu bahwa kamu cantik.”“Siapa yang mengatakan itu , Tuan?”“Aku.”“Ah, Tuan bisa saja….”Gadis itu memerah wajahnya. Lalu minta diri untuk se
Empat anak buah Matag memang punya semangat tinggi. Namun ilmu kelahi mereka tidak tinggi. Ilmu menggunakan senjata pedang juga biasa-biasa saja. Serangan serentak mereka tidak berarti apa-apa pada Suro Joyo. Suro Joyo mampu berkelit dengan mudah sambil sesekali memukul dada atau menendang mereka.“Hehehe…, hentikan serangan kalian sekarang juga!” ejek Suro Joyo sambil tertawa ringan. “Tak ada gunanya kalian menyerang kalau kemampuan kalian hanya sampai di situ. Kalian belum layak terjun ke medan perang. Sekarang kalian kembali ke tampat kalian masing-masing untuk berlatih perang! Kalian tidak usah ikut-ikutan menjadi anak buah Wadungsarpa yang sudah jelas-jelas terhadap Raja Sandimaya.”Anak buah Matag tidak peduli pada peringatan dari Suro Joyo. Mereka mengira Suro Joyo sedang mengejek mereka. Suro Joyo yang benar-benar menyayangkan empat orang itu dikira merendahkan kemampuan mereka sebagai petarung.
Dargusung dan anak buahnya kaget dengan kenekatan Misih. Gadis cantik itu tidak mau dirinya direndahkan martabatnya oleh para laki-laki bejad yang ada di depannya.Perempuan mana saja tidak mungkin senang diperlakukan dengan seenaknya oleh para laki-laki yang tidak punya adab. Tidak ada perempuanyg rela dirinya dianggap hanya sebagai pemuas nafsu bejad laki-laki tak bermoral.Misih meakukan perlawanan. Dia tak memperhitungkan keadaan. Gadis itu dikuasai emosi, sehingga lupa bahwa sekarang sedang berhadapan dengan siapa. Gadis lugu semacam Misih tidak tahu bahwa yang dia lawan sekarang bukan sekumpulan manusia, tetapi segerombolan serigala!”Gadis nakal! Jangan melawan... ! Lebih baik kamu menyerah saja! Kita dapat melakukannya dengan tenang,” bujuk Dargusung dengan nada agak pelan. “Kalau kamu menyerah dengan baik-baik, maka kami akan melakukannya dengan baik-baik juga. Kalau kamu tenang, kami juga akan tenang. Jangan memancing kemarahan kami d
Setelah melihat mayat dua gadis itu, emosi Suro Joyo meledak. Meledak-ledak. Ingin rasanya dia meledakkan seluruh tempat ini dan seisinya! Rasanya dia ingin menghancurkan semuanya demi memusnahkan para berandal yang menjadi anak buah Wadungsarpa.Siapa yang tidak marah kalau melihat ada kekejaman di depan mata. Suro Joyo dalam benaknya menyesal. Andai saja dia datang lebih awal, maka semua ini tidak akan terjadi. Namun Suro Joyo juga memupus diri. Suro Joyo yakin bahwa semua ini ada yang mengatur. Dirinya hanya manusia biasa yang tidak mungkin bisa tahu apa keinginan Tuhan atas dirinya.Sekarang, semasa dirinya masih sehat, masih segar bugar, ingin mengabdikan seluruh kemampuan dirinya untuk menolong sesama. Suro Joyo ingin menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan.Suro Joyo cepat mengejar, tapi Dargusung telah lenyap dari pandangan. Sebagai pendekar tua dia tahu bahwa lawannya bukan pendekar sembarangan. Dargusung pernah m
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik