Share

Candra dan Aditya

Penulis: Ken Matahari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-02 20:07:04

Sebuah perahu sopek dengan ujung runcing melaju perlahan menyisir pantai timur Swarnadwipa yang tenang. Layar perahu berwarna putih masih terlihat tergulung ditiangnya. Cuaca masih begitu tenang. Belum ada ada yang berhembus. Dua orang pemuda yang menaikinya, dengan tenang mengayuh dayung sambil bersiul gembira.

"Pagi yang indah!" seru salah seorang dari mereka sambil menyiram air pada temannya.

"Sial kau Sarpa!" ujar pemuda yang disiram dengan jengkel. Ia lalu meletakkan dayung ditangannya dan balik menyiram temannya. Keduanya terus bermain air laut, bak bocah yang baru saja mendapatkan mainan baru.

Dua orang pemuda itu ternyata Sarpa dan Kacung.

Sarpa dengan gesit menghindari siraman air dari Kacung. Keduanya lantas tergelak bersama. Seolah telah bebas dari suatu beban besar.

"Kacung...! Hahaha...namamu kacung bukan? Seorang senapati muda Kedatuan Melayu yang harus rela berperan jadi 'kacung'! Pesuruh orang licik macam Rajaputra Aruna hahaha...!"

"Aih kau Sarpa...! Hahaha...sampai h
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Suara Perempuan Pembawa Berahi

    Pagi beranjak siang. Embun-embun mulai luruh satu persatu dari pucuk dedaun dan beranjak mengering. Suara binatang malam telah berganti suara burung Pipit yang terbang ringan dari dahan ke dahan perdu semak. Semua terjadi dibawah cahaya matahari yang pelan tapi pasti terus meninggi.Di pagi itu, suasana di Delta Kematian dan sekitarnya sangat mencekam. Keindahan pagi telah dirampas oleh pemandangan mengerikan. Di sana-sini terlihat mayat-mayat berserakan. Ratusan mayat prajurit Sriwijaya dan pemberontak terlihat mengambang di permukaan air Sungai Komering yang tenang. Banyak juga yang menyangkut di akar-akar pohon rengas atau pohon lain. Sebagian sudah hanyut terbawa oleh arus Sungai Komering.Suasana jadi makin mencekam, saat berekor-ekor buaya muncul pergi menyeret mayat-mayat untuk sarapan pagi. Silih berganti, di tengah air Sungai Komering yang telah berubah warna jadi coklat kemerahan karena darah.Di kejauhan, di salah satu cabang pohon loa besar, Rajaputra Aruna berdiri dengan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-03
  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Batanghari

    Siang yang terik. Sinar matahari bebas mencengkeram permukaan bumi. Cahayanya keperakan menimpa permukaan air laut yang warnanya mulai kecoklatan. Hujan di hulu sebuah muara sungai membawa berton-ton lumpur. Kerja alam membuat air di mulut muara sebuah sungai seperti dibatasi antara warna coklat dan biru. Itulah muara sungai Batanghari [1]. Sungai yang mengalirkan sejarah para raja-raja dari masa lampau hingga ke masa mendatang."Demi Sang Hyang Adi Budha! Batanghari Aditya! Hahaha...Maaaak! Baaaak! Aku pulaaaang...!"Ahaaai...kita hampir sampai Candra! Uuuh...alangkah rindunya aku dengan kampung halaman!"Candra dan Aditya bukan main girang telah sampai ke tempat yang akan mengantarkan mereka pulang ke kampung halaman. Bertahun-tahun mereka harus manahan rindu yang menggelegak.Sambil mengarahkan perahu layar agar tak tertabrak pokok-pokok kayu yang hanyut, Aditya juga Candra tak henti berucap syukur pada Sang Hyang Adi Buddha karena perjalanan mereka lancar dan tak menemui rintangan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-04
  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Setan Menghasut Manusia

    Beberapa saat lamanya, suasana di Delta Kematian tenang dan sunyi. Sesekali hanya terdengar suara monyet, tupai, dan binatang lain. Mereka berlarian kesana kemari berburu makanan. Bagi mereka, seolah tak pernah terjadi pertempuran besar di Delta Kematian.Keheningan yang ditingkahi suara-suara alam itu dimanfaatkan Sadnya untuk mencari tahu asal suara perempuan yang memanggilnya tadi. Matanya menatap tajam ke tiap penjuru Delta Kematian. Berulang kali ia lakukan. Berulang kali juga ia tak menemukan yang dicari."Aneh," desis Sadnya penasaran. Disebelahnya, Rampog memperhatikan dengan heran perilaku Sadnya. Rampog kemudian memberanikan diri bertanya pada Sadnya."Pendekar, kulihat kau dari tadi gelisah. Kulihat juga matamu kesana kemari mencari sesuatu. Ada apakah gerangan?"Sadnya tak bereaksi. Ia terus melemparkan pandangan ke tempat jauh. Sesekali matanya membentur ke tempat Rajaputra Aruna berada."Pendekar! Kau dengar suaraku?" tanya Rampog kembali."Eh...iya Rampog. Kau bilang ap

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-04
  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Mencari Jejak

    Hari belum terlalu siang ketika Aditya dan Candra sampai di rumah Senapati Utama Kartikeya. Keduanya memutuskan untuk tidak langsung datang ke rumah senapati utama Kedatuan Melayu tersebut. Aditya serta Candra memilih mengintai dari jauh terlebih dahulu.Dari sebuah kedai tuak kecil di seberang rumah Kartikeya, keduanya mengintai. Pemiliknya adalah seorang lelaki paruh baya. Dari tempat mereka, bisa dilihat dengan jelas rumah besar milik Senapati Utama Kartikeya. Tampak jelas rumah itu seluruhnya terbuat dari kayu. Konstruksinya sengaja dibuat tinggi. Orang-orang lokal biasanya menyebutnya rumah panggung. Konstruksi tinggi dipilih supaya rumah panggung milik Kartikeya tersebut bisa beradaptasi dengan banjir Batanghari yang sewaktu-waktu bisa terjadi.Suasana kedai tuak yang masih sepi, memberikan keleluasaan pada Aditya dan Candra untuk memperhatikan keadaan rumah Kartikeya dengan teliti. Rumah besar berhalaman lebar tersebut tampak hening. Hanya tampak seorang tukang kebun yang beker

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-05
  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Antu Banyu

    "Pendekar!" teriak Rampog sambil sigap menarik tangan Sadnya kuat. Keduanya lantas terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Mau tak mau tubuh Sadnya menimpa Rampog.Keduanya lekas bangun dan duduk bersisian."Pendekar, ada apa denganmu?"Sadnya yang belum sepenuhnya sadar, merespon panggilan Rampog seperti orang linglung. Ia menoleh ke arah Rampog sebentar. Lalu terhenyak. Kesadarannya kembali.Keringat dingin mengalir di tengkuk Sandya. Andai saja Rampog tak segera menariknya, ia tentu sudah tercebur ke dalam air sungai Komering. Ia juga tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. Bisa saja puluhan buaya telah melumat tubuhnya.Sambil perlahan duduk bersila di lantai perahu, Sadnya mulai menenangkan diri. Beberapa saat lalu, kesadaran dirinya tak mampu ia kendalikan. Justru suara perempuan muda misterius yang berasal dari Rajaputra Aruna yang berhasil menguasai batinnya.Kelemahan Sadnya menjadi terkuak. Keringnya perasaan Sadnya menyebabkan hati Sadnya labil dan memp

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-14
  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Tara

    Rombongan regu prajurit Sriwijaya telah sampai di muka kedai tuak Pak Cik. Mereka terdiri atas lima orang prajurit. Kelimanya berhenti persis di depan pintu masuk kedai. Menariknya, salah satu dari kelimanya adalah seorang perempuan. Jika dilihat dari tanda kepangkatan, ia bahkan memiliki pangkat tertinggi di antara keempat prajurit lainnya.Candra, Aditya, dan Pak Cik dengan malas langsung berdiri begitu kelima prajurit Sriwijaya tersebut turun dari kuda dan menuju pintu kedai. Dalam situasi dominasi militer Sriwijaya sekarang, tetap duduk sambil menenggak tuak akan dianggap sebagai sikap tak sopan. Bahkan bisa dianggap sebagai sikap melawan.Gadis muda berusia dua puluh tahunan itu lalu berjalan mendahului keempat rekannya. Dengan langkah tegap ia berjalan paling depan."Tara," desis Pak Cik nyaris tak terdengar. Aditya yang berdiri paling dekat dengan Pak Cik cepat mengarahkan pandangannya pada lelaki paruh baya tersebut."Siapa dia Pak Cik?" tanya Aditya."Aku tak bisa jelaskan se

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-15
  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Fatamorgana

    Pilinan helai rambut Antu Banyu membumbung tinggi, lalu menukik cepat ke arah Sadnya. Juntaiannya mirip tentakel atau tangan-tangan gurita yang digunakan untuk memburu mangsa. Bedanya, jika tentakel gurita berjumlah delapan buah, sedangkan tentakel rambut Antu Banyu jumlahnya jauh lebih banyak.Dalam hitungan detik, puluhan tentakel rambut Antu Banyu berhasil mengurung Sadnya dari semua penjuru. Saking rapatnya, hampir tak ada celah bagi Sadnya untuk mengelak. Apalagi meloloskan diri.Sebelum benar-benar menerkam tubuh Sadnya, puluhan tentakel rambut Antu Banyu tersebut berhenti sejenak. Dalam jarak kira-kira dua depa, puluhan tentakel itu bergerak dinamis seperti menunggu komando.Sadnya yang baru kali ini menghadapi ilmu setan menghasut manusia dibuat keheranan. "Ilmu setan macam apa pula ini? Semua berubah dengan cepat. Tadi gadis muda dengan suara merdu. Kini, muncul iblis neraka dengan rambut mengerikan!"Baru saja Sadnya berujar dalam hati, tiba-tiba suasana kembali berganti. Se

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Kedatuan Maritim Dunia

    "Mukha Upang? Aku baru mendengar namanya Puan. Sebesar apakah bandar yang Puan maksud?" tanya Aditya. Disebelahnya Candra berusaha menahan tawa melihat tingkah pura-pura bodoh Aditya.Dengan bangga dan sombong Tara menjawab pertanyaan Aditya. Ia sama sekali tak paham jika dirinya sedang menghadapi seorang telik sandi pandai yang berlagak lugu. "Ahhh...kuceritakan panjang lebar juga kau belum tentu paham.""Maaf Puan, bukan bermaksud tak sopan, tapi aku ingin sekali mendengar cerita tentang Mukha Upang.""Baiklah kalau kau ingin mengetahuinya," ujar Tara sambil membenahi rambut bagian depan dan menyeka keringat diwajahnya. "Kami, bangsa Sriwijaya, ditakdirkan menjadi bangsa besar di tanah Swarnadwipa ini. Datu kami, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah titisan Sang Hyang Adi Buddha. Maka kalian tak perlu heran ketika kami dengan gampang mampu menaklukkan Melayu. Bukan hanya Melayu, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa juga menghendaki kekuasaan Sriwijaya membentang dari Palas Pasemah, Pul

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-18

Bab terbaru

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Momentum

    "Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Siapa Penyusup Itu?

    Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Pertemuan Lubuk Ruso dan Melayu

    Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Tugas Awang

    Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Rencana Menjebak Tara

    "Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Hasutan Ishra

    Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Aku Cinta Padamu Vidya

    Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Jalan Panjang Kebangsaan Melayu

    Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm

  • Pendekar Golok Melasa Kepappang    Rasa Kebangsaan

    Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!

DMCA.com Protection Status