Pagi hari ini, Lita seperti orang kebakaran jenggot lari ke sana ke sini di dalam kamarnya mengejar waktu. Bahkan, saat memakai celana bahan berwarna hitam ia lakukan sambil berlari kecil untuk memilih kemeja yang akan ia pakai.
Pasalnya, hari ini ia berencana akan melamar pekerjaan di perusahaan milik Adrian, Dinata Grup, yang menjadi awal rencananya.
Semalam, ia tidur sangat larut setelah menemukan kecocokan wajah Adrian dengan pria yang ada di foto Putri kemarin.
“Itu berarti, dia sudah beberapa kali ada di dekatku,” ujar Lita terus memikirkan hingga pukul tiga dini hari. Alhasil, dia bangun kesiangan pagi ini.
Begitu merasa dirinya sudah rapi, Lita langsung keluar dari apartemennya menuju parkiran, kemudian melajukan mobilnya menuju tempat tujuan.
“Aduh! Bagaimana ini? Mana ada pelamar melamar kerja jam sepuluh pagi, tanpa diperintah pula. Ah ... semoga saja semua berjalan lancar. Demi Bang Danu. Semangat!” Lita menyemangati diri.
Begitu tiba di depan kantor Adrian, Lita bingung harus bagaimana karena ini pertama kalinya ia melamar pekerjaan.
Sebenarnya, jika bukan karena balas dendam, mungkin Lita tidak berniat untuk segera mencari pekerjaan. Walaupun sebatang kara, hidup Lita tetap terjamin dengan uang yang terus mengalir dari ATM Danu hingga saat ini. Bahkan, terkadang dalam satu bulan ada beberapa kali transfer yang masuk dengan jumlah yang berkali-kali lipat. Sedangkan Lita bukan tipe wanita yang boros.
Sebenarnya Lita pernah penyelidik dari mana uang tersebut berasal. Tetapi, semua seperti buntu. Ia hanya mengetahui Danu.S sebagai nama pengirim, selebihnya dia tidak mengetahui apa pun.“
"Bukankah jika orang melamar kerja harus bertanya pada security?” tanya Lita pada diri sendiri, karena ia bingung harus apa. “Ya sudah, aku ke pos security saja.” Lita langsung melangkahkan kaki menuju pos security.
“Permisi, Pak. Apa di kantor ini ada lowongan pekerjaan?” tanya Lita ramah.
"Maaf, Nona. Untuk saat ini kami sedang tidak membuka lowongan pekerjaan,” jawab pria berkumis tebal itu dengan ramah.
Senyum Lita sedikit memudar. Tetapi ia tak akan menyerah begitu saja. “Eee ... coba Bapak cek dulu, mungkin saja sekarang sudah ada,” bujuk Lita.
“Tidak ada, Nona. Kalaupun perusahaan ini sedang membuka lowongan pekerjaan, pasti melalui situs resmi bukan melalui security seperti saya,” jawab pak security dengan nada lembut. Namun, penuh penekanan, seolah-olah ia menunjukkan kejengkelannya.
“Atau begini saja, Bapak pertemukan saya dengan pemilik perusahaan ini, biar saya yang bicara dan menunjukkan keunggulan saya langsung.”
“Maaf, Nona. Di sini tidak bisa seperti itu.”
“Pak, Bapak belum mencobanya kenapa sudah bilang tidak bisa.” Lita masih berusaha membujuk, walaupun si Bapak security sudah menunjukkan terang-terangan wajah jengkelnya.
“Tapi, memang itu peraturan di sini, Nona. Lagi pula Pak Adrian tidak pernah mewawancara langsung calon pegawai yang akan bekerja di sini. Semua calon pegawai akan melakukan tes melalui bagian HRD.”
“Ya sudah, kalau begitu, Bapak antarkan saya menemui tim HRD,” usul Lita.
“Sudah saya bilang, saat ini sedang tidak ada lowongan. Jadi percuma saja jika Nona datang menemui tim HRD.”
“Pak! Bapak, ‘kan, belum mencobanya, kenapa selalu bilang tidak bisa,” rengek Lita. Tidak peduli jika sang Bapak security jengkel dengan tingkah Lita. Yang penting ia harus bisa bekerja di perusahaan Adrian.
“Maaf, Nona. Silakan anda pergi dari sini.” Bapak security mengulurkan tangannya ke arah jalan keluar kantor.
“Tapi, Pak! Saya butuh pekerjaan. Saya baru saja lulus kuliah dan saya hanya sebatang kara. Apa Bapak tidak kasihan melihat saya? Bukankah perusahaan ini baru saja melakukan kerja sama dengan perusahaan luar negeri, pasti perusahaan ini akan membutuhkan pegawai lebih banyak lagi.” Lita memasang wajah sendunya.
“Mohon maaf, Nona. Itu bukan kapasitas saya untuk menentukan calon pegawai di sini. Mungkin Anda bisa datang lain kali.” Bapak security mulai mendorong Lita.
“Tapi, Pak! Saya butuh pekerjaan sekarang,” elak Lita berusaha menahan dorongan Bapak security. walaupun pada akhirnya ia kalah dan pergi meninggalkan pos security.
“Huuuh ... sombong sekali dia. Jika Bang Danu tahu kau mendorongku, kau pasti akan babak belur dibuatnya,” gerutu Lita sambil menuju area depan gedung. Bukan untuk pulang, karena mobilnya masih terparkir rapi di parkiran gedung, tapi untuk berpikir bagai mana cara ia bisa bekerja di perusahaan milik Adrian ini.
Sedangkan di dalam ruangan ber-AC, seorang pria tengah tersenyum menyaksikan rekaman CCTV yang mengarah ke pos security. “Gadis pintar. Kau sudah datang sebelum aku pancing,” ucapnya.
Setelah melihat kepergian dari gadis yang ia pantau sejak tadi, Adrian langsung menghubungi seseorang.
“Sekarang waktunya kau mendatangi dia.” Perintah Adrian lalu menutup sambungan teleponnya.
Setelah salah satu anak buahnya yang selalu mengikuti Lita memberi tahu bahwa, Lita Pergi menuju kantornya, Adrian langsung memantau semua bagian kantornya melalui CCTV. Bahkan, sejak mobil Lita tiba di pekarangan kantornya, Adrian sudah stand by di depan layar komputernya.
*****Saat sedang asyik menggerutu sambil duduk di pinggir trotoar, tiba-tiba seorang wanita yang terbilang masih muda dengan blazer dan celana panjang serba hitam yang membuatnya lebih terlihat seperti pengawal dari pada pegawai kantor. Wanita itu berdiri di sampingnya sambil berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.Senyum Lita kembali mengembang begitu ia melihat ID CARD yang mengantung di leher wanita itu.
“Pagi, Mbak Fara,” sapa Lita sok akrab setelah membaca nama yang tertera di ID CARD, padahal dirinya bukanlah tipe orang yang seperti itu. Namun, demi sebuah tujuan ia rela merubah diri.
"Siang, juga,” balas wanita bernama Fara, sekaligus menyindir waktu yang Lita tadi sebutkan, karena sekarang waktu menunjukkan pukul sebelas lebih tiga puluh menit.
Lita hanya tersenyum sedikit malu. “Maaf.”
“Tidak apa-apa. Ada apa?”
“Mbak, apakah Mbak salah satu pegawai kantor ini?” tanya Lita sambil menunggu ke arah gedung yang menjulang tinggi.
“Iya, saya adalah kepala HRD di kantor ini. Ada apa?”
Senyum yang sudah mengembang makin merekah dengan mata yang berbinar penuh harap. “Mbak, apa Mbak bisa bantu saya? Saya sangat butuh pekerjaan. Saya baru saja lulus kuliah dan saya juga hanya sebatang kara di dunia ini. Kasihanilah saya, Mbak. Saya butuh pekerjaan agar bisa bertahan hidup.” Cecar Lita sedikit berbohong agar wanita itu menaruh rasa iba.
Fara hanya tersenyum mendengar bujukan Lita. “Ya sudah. Mari ikuti saya.”
Tentunya dengan penuh semangat, Lita menuruti perintah Fara. Ketika melewati pos security, Lita melihat Bapak security yang tadi menolaknya. Ia menjulurkan lidahnya meledek.
“Kenapa gadis itu mengikuti bodyguard Pak Adrian?” gumam si Bapak security.
Lita terus mengikuti langkah Fara masuk ke dalam gedung dan menaiki Lift hingga ia sampai di sebuah ruangan dengan pintu yang berdiri kokoh.
Tok ... tok ... tok ....
“Masuk!” jawab seseorang yang ada di dalam ruangan.
Fara langsung membuka pintu begitu mendapatkan izin. “Siang, Pak,” sapanya.
Lita yang baru pertama kali bertemu dengan pimpinan sebuah perusahaan, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia pun ikut menyapa sambil membungkukkan badan.
“Siang, Pak,” sapanya. “Siang pembunuh.” Lanjutnya membatin.
“Pak, Nona-?” Fara berpura-pura bingung untuk menyebutkan nama majikannya, walaupun sebenarnya dia sudah tahu. Tetapi, demi menutupi penyamaran yang diperintahkan bosnya ia harus berpura-pura.
“Lita!” Lita segera menyebutkan namanya.
“Nona Lita ingin melamar pekerjaan di sini.” Ucap Fara.
“Kau boleh keluar,” perintah Adrian pada Fara.
Setelah Fara keluar meninggalkan Lita, Adrian segera beranjak dari duduknya dan menyandarkan bokongnya di sisi meja bagian depan, ia melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya terus menatap Lita tanpa mengatakan apa pun.
Lita yang sejak tadi menunduk dan sesekali melirik Adrian, merasa risih dengan tatapan Adrian. “Siang, pak,” sapa Lita kaku walaupun tadi ia sudah menyapa.
“Siang,” jawab Adrian singkat.
“Be—begini, Pak, saya sedang membutuhkan pekerjaan, saya baru saja lulus kuliah jurusan manajemen bisnis. Saya lulus dengan nilai yang cukup tinggi. Saya juga termasuk mahasiswa yang berprestasi di kampus. Jika Bapak menerima saya di perusahaan ini, saya akan menjadi pegawai yang kompeten dan profesional. Saya bersedia di tempakan di bagian mana pun,” ucap Lita menyebutkan semua keunggulan dirinya.
“Kalau begitu, kamu akan saya tempatkan di bagian OB.”
Lita langsung membelalakkan matanya. Yang benar saja, sia-sia Bang Danu menyekolahkannya sampai ke perguruan tinggi jika hanya untuk menjadi OB.
“Tapi, Pak! Bapak bisa menempatkan saya di bagian lain, sesuai dengan pendidikan saya.”
“Apa menurutmu pekerjaan sebagai OB hanya untuk orang-orang tidak berpendidikan?”
"Bukan begitu maksud saya, Pak!”
“Lalu?”
"Maksud saya, Bapak bisa menempatkan saya sebagai pegawai biasa, di divisi-divisi yang ada di perusahaan ini, sesuai dengan keahlian dan pendidikan saya.”
“keahlian? Apa kamu punya pengalaman kerja sebelumnya?”
“Belum, Pak!” jawab Lita sedikit lemah.
“Lalu, keahlian apa yang kamu maksud. Bukankan pekerjaan sebagai OB sering kamu lakukan di rumah, tentu kamu sudah ahli dalam urusan bersih-bersih.”
“Tapi, Pak! Tujuan saya melamar di sini bukan sebagai OB. Saya ke sini ingin melamar sebagai pegawai atau staf apa pun di sini.”
“Kalau begitu, silahkan kau cari perusahaan Lain.” Adrian langsung menegakkan tubuhnya untuk duduk kembali.
Lita langsung memberanikan diri menghampiri Adrian dan menahan pergerakannya.
“Pak, tolong terima saya. Saya hanya sebatang kara di dunia ini. Saya harus bekerja agar bisa bertahan hidup. Saya akan melakukan apa pun asal Bapak mau menerima saya bekerja di sini.” Lagi-lagi Lita mengeluarkan jurus merendahnya agar Adrian bisa merasa iba. Tidak peduli dengan berapa pun dan kepada siapa pun ia harus merendahkan diri, yang penting tujuannya tercapai.
“Apa pun?” tanya Adrian memicingkan mata.
Sebenarnya Adrian sedikit menahan tawanya saat Lita bilang membutuhkan uang untuk bertahan hidup, tapi ia tahan karena tidak ingin Lita tahu jika ia mengetahui seluk beluk kehidupan Lita.
“Iya, Pak! apa pun. Asal jangan menjadi OB. Bapak juga pernah menolong saya beberapa bulan lalu, saat tas saya dijambret orang, mungkin Bapak mau menolong saya lagi sekarang.” Lita memasang wajah memelas.
Adrian hanya terkekeh dengan permohonan Lita. “Kalau begitu taruh tasmu di sofa, lalu berdiri dengan tegak di sini,” perintah Adrian menunjuk lantai yang sangat dekat dengan dirinya jika Lita berdiri.
Walaupun merasa sedikit aneh dengan perintah Adrian, Lita tetap menuruti perintah calon bosnya.
“Baik, Pak!” Lita segera menaruh tasnya kemudian berdiri di depan Adrian, sesuai dengan perintahnya tadi.
“Ingat! Jangan melawan ataupun menolak dengan apa yang akan saya lakukan. Jika kamu melakukannya, saya akan langsung mengusirmu.”
“Ba—baik, Pak!” balas Lita sedikit khawatir.
“Sekarang, pejamkan matamu!” Lita langsung memejamkan matanya segera.
Tak mau membuang waktu, Adrian langsung melakukan niatnya. Ia menarik tengkuk Lita dan melumat bibir yang sudah dua tahun ia nantikan.
Lita yang terkejut dengan perbuatan Adrian, hanya bisa membelalakkan matanya, ingin melawan, tapi ia kembali teringat dengan tujuannya membalas dendam.
“Demi Bang Danu,” batin Lita, ia pun membalas lumatan Adrian, bahkan kedua tangannya memeluk pinggang Adrian dengan erat. Sesaat ia terbuai dengan permainan Adrian. Wangi maskulin dari tubuh Adrian membuatnya hanyut.
Merasa tidak ada perlawanan, Adrian pun membalas pelukan Lita. Bahkan, yang awalnya hanya ingin mencium bibir Lita, Adrian malah turun menuju leher jenjang Lita tanpa perlawanan, membuat ia menikmati aksinya.
Adrian menjelajahi semua bagian wajah dan leher Lita, bahkan ia memutar posisi dan mendorong Lita ke meja kerjanya, hingga tangan Lita yang sedang memeluknya terlepas ke belakang untuk menopang tubuh mereka berdua.
Berbanding terbalik dengan Adrian yang sedang menikmati cumbuannya, Lita yang awalnya ikut menikmati, kini ia malah ingin cepat-cepat Adrian mengakhirinya. Jangankan mendesah, memejamkan mata tanda menikmati pun tidak Lita lakukan. Ia hanya bisa mengeluarkan air mata dari ekor matanya. Ia merasa jadi wanita rendahan demi sebuah dendam.
“Demi Bang Danu.” Hanya kalimat itu yang bisa menguatkan hatinya.
Lita memberanikan diri menolak, saat tangan Adrian ingin membuka kancing kemejanya. Dengan satu tangannya Ia menghentikan tangan Adrian. “Jangan, Pak! Saya sudah bersuami!”
Adrian langsung menghentikan cumbuannya dan menyandarkan keningnya di bahu Lita.
“Maafkan saya. Saya terbawa suasana,” sesal Adrian.
Lita langsung menggeser tubuhnya untuk menjauh dari Adrian. Meninggalkannya dengan wajah yang tertunduk lesu dengan kedua tangan menopang tubuhnya.
“Bagaimana, Pak, apa saya diterima bekerja di sini?” tanya Lita setelah mengambil tasnya dan kembali menghadap Adrian.
“Bagaimana, Pak! Apa saya diterima bekerja di sini?” tanya Lita setelah mengambil tasnya dan kembali menghadap Adrian.Adrian langsung membalikkan badan mendengar pertanyaan Lita. Saat ia melihat mata Lita yang memerah, membuat Adrian makin merasa bersalah. “Oh, tidak! Aku sudah membuatnya sedih," batinnya.“Ya, kamu diterima bekerja di sini!” jawab Adrian masih tetap menjaga kewibawaannya, walaupun ia ingin meminta maaf lagi.“Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya per—““Sebagai sekretaris saya." Adrian memotong ucapan Lita.Lita langsung mengerutkan keningnya keheranan. “Tapi, Pak, saya hanya ingin menjadi staf biasa saja. Saya juga belum punya pengalaman sebagai sekretaris."“Saya sedang membutuhkan sekretaris,” bohongnya.“Tapi, Pak!” Lita tetap berusaha menolak.Mendengar Lita terus menolak, Adrian langsung menghampiri Lita dan berdiri
“Menikahlah dengan Lita.”“Apa?!” Pekik Adrian, lalu mengajak Danu masuk ke mobilnya untuk melanjutkan pembicaraan.“Nikahi dia! Aku sudah menerima sembilan puluh milyar sebagai bayaranku untuk membunuhmu. Aku juga sudah menggunakan uang itu untuk tabungan Lita dimasa depan, tapi sekarang aku tidak melakukan perintahnya, tentu Koko tidak akan melepasku, dan aku tidak punya pilihan.”“Apa! Harga nyawaku hanya sembilan puluh milyar?i pelit sekali! Seluruh hartanya pun tidak akan cukup untuk membeli nyawaku. Keterlaluan sekali si Tua bangka itu!” geram Adrian.“Aku tidak tahu bahwa orang yang harus aku bunuh adalah dirimu. Jika aku tahu, tentu aku akan menolaknya. Hati kecilku sebenarnya menolak untuk menjadi pembunuh.”“Lalu, kenapa Kakak masih saja bekerja padanya? Kak, aku ingin memiliki saudara, hiduplah bersamaku. Aku akan menempatkan Kakak di posisi tertinggi di perusa
“Aku juga tidak tahu.” Adrian menjawab sambi menggidikkan bahu. “Apa aku sudah boleh ‘berduaan’ dengan istriku, sekarang?”“Jangan! Dia sedang tidur, nanti dia akan merasa aneh jika ‘melakukannya' sekarang. Aku juga belum mengatakan jika ia akan kunikahkan. Aku takut membutuhkan waktu lama untuk membujuknya. Itu sebabnya aku membuatnya tertidur.”“Tentu tidak, Kak. Aku hanya ingin melihat istriku. Lagi pula aku bangun pagi hari ini, dan aku mulai mengantuk sekarang. Aku ingin tidur di sampingnya.”“Ya sudah. Ingat! Jangan macam-macam!” Ancam Danu.Adrian langsung menyeringai sebelum meninggalkan Danu.“Hai, Istriku,” sapa Adrian sambil melepaskan bantal guling dipelukan Lita secara perlahan.“Hmm ... kau tidak terlalu jelek rupanya. Aku tentu tidak terlalu kesulitan untuk mencintaimu.”Adrian langsung mengambil posisi tidu
“Eeee ....”Tok ... tok ... tok ....Terdengar suara seseorang mengetuk pintu, dan itu membuat Lita bernafas lega.“Masuk!” teriak Adrian.Seorang OG langsung membuka pintu setelah mendapat izin dari Adrian.“Permisi, Pak,” sapa si OG sambil membawa nampan berisi satu cangkir minuman hangat yang terlihat dari kepulan asap di atas cangkirnya.“Taruh di sini saja,” perintah Adrian menunjuk meja di depan sofa dengan dagunya.“Baik, Pak,” ucap si OG patuh kemudian ia langsung keluar dari ruangan Adrian.“Minumlah!” perintah Adrian.Lita agak bingung dengan perintah Adrian. “Saya, Pak?”“Iya, siapa lagi? Cuma ada kita berdua di ruangan ini.”Sebenarnya sejak OG itu menaruh cangkirnya yang berisi cokelat panas di meja, mata Lita sudah berbinar ingin menghabiskannya, tapi Lita tidak mungkin meminumnya tanpa perintah, dan
“Apa! Mantan kekasih?” pekik Adrian. “Ya! Aku adalah mantan kekasihnya.” “Lalu, untuk apa kau mengawasi apartemennya?” “Aku tidak mengawasinya. Aku hanya ingin berkunjung, tapi Ita tidak pernah keluar, sampai akhirnya anak buah bodohmu menangkapku,” keluh si Pria. “Untuk apa kau berkunjung ke apartemennya?” “Aku masih mencintainya dan sepertinya Ita juga masih mencintaiku,” bangga si Pria. “Percaya diri sekali kau." “Tentu!” “Apa yang membuatmu percaya diri?” “Karena dulu, saat aku memutuskan hubungan dengannya, Ita menangis dan memohon kepadaku." Adrian mengepalkan tangannya, geram mendengar si Pria bercerita seakan-akan Lita sangat mencintainya. "Lalu kenapa kalian putus?” “Aku tidak suka selalu diawasi kakaknya semenjak aku membuatnya demam,” jawab si Pria. “Demam?” tanya Adrian penasaran. “Apa kau bisa suruh anak buahmu melepas ikatanku dulu? Aku sudah sangat tidak nyaman,” pi
“Ceraikan istrimu!” perintah si Penodong.Adrian diam sejenak, lalu tiba-tiba melempar botol minuman yang ia pegang ke arah belakang tanpa berbalik, agar bisa mengalihkan perhatian si Penodong.Beberapa detik merasa pistol tak lagi menempel di punggungnya, Adrian langsung membalikkan badan kemudian mencengkeram kerah si Penodong.“Kau?!” Adrian langsung melepas cengkeraman tangannya saat melihat Levin tersenyum. “Sedang apa kau di sini?”“Aku sedang berjaga-jaga, Tuan. Maaf mengagetkanmu. Aku hanya ingin mengerjaimu,” ucap Levin sambil menahan senyum.Adrian hanya mendengus mendengar alasan Levin. “Apa berjaga-jaga harus masuk ke dalam?”“Maaf, Tuan, saya terpaksa melakukannya karena sore tadi seorang wanita masuk ke kamar Nyonya melalui balkon unit sebelah.”“Wanita?!”“Sekarang wanita itu ada di sebelah kamar Nyonya. Saya mengikatnya di
Adrian benar-benar menulikan telinganya dari semua permohonan dan tangisan Lita. Bibirnya terus menelusuri leher dan wajah Lita, bahkan Adrian membuat beberapa tanda di leher dan dada Lita, seolah ingin menunjukkan kepemilikannya pada tubuh Lita.Lita yang sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan, hanya bisa pasrah saat Adrian meremas bagian sensitifnya. “Maafkan aku, Suamiku,” batin Lita.Saat Adrian akan mengangkat handuk yang sudah tidak melilit lagi di tubuh istrinya, Adrian mendengar perkataan Lita, meskipun puluhan permohonannya ia abaikan sejak tadi.“Bang Danu, tolong aku ...," lirih Lita pelan, tapi Adrian bisa mendengarnya dengan jelas.“Kak Danu,” batin Adrian. Seketika ia langsung menghentikan semua pergerakan di tubuh Lita.“Lita, maaf ... maafkan aku. Jangan membenciku setelah ini.” Adrian memeluk tubuh Lita.Adrian mengeratkan pelukannya pada tubuh Lita yang terus bergetar. Ia tidak p
Sejak tadi, Lita terus memikirkan ungkapan perasaan Adrian, meskipun di depan Adrian ia terlihat tidak peduli, tapi di otaknya terus teringat perkataan Adrian. Lita bukan memikirkan cara membalas perasaan Adrian, tapi ia sedang memikirkan caranya membalas dendam pada Adrian. “Aku tidak bisa mengganggu perusahaannya, karena itu akan menyusahkan banyak orang. Apa aku harus ‘bermain’ dengan perasaannya? Pura-pura mencintai, lalu setelah itu aku meninggalkannya sampai dia jadi gila. Ah ... tidak, tidak, kalau dia gila tidak akan ada yang memimpin perusahaan ini. Lalu perusahaan bangkrut, itu sama saja akan menyusahkan banyak orang. Lagi pula aku tidak mau melibatkan perasaan dalam dendamku ini.” “Atau aku mensabotase mobilnya saja, dan membuat dia kecelakaan lalu meninggal? Tetapi jika dia meninggal, perusahaan juga tidak akan ada yang memimpin dan bangkrut. Ah ... tidak, itu juga akan menyusahkan banyak orang. Lagi pula, terlalu seram jika harus bermain nyawa. Itu tidak
“Koko, jika aku boleh tahu, apa yang membuatmu ingin menyakiti, bahkan membunuh orang terdekat Adrian? Selama aku menjadi anak buahmu, aku tidak pernah melihat Adrian mengganggumu, tapi kenapa kau sangat ingin menyakiti Adrian? Bukankah Adrian itu anak dari Nyonya besar?” Bara mengungkapkan rasa penasaran yang bertahun-tahun ia pendam. Bahkan sahabatnya tewas karena misi ini.Mendengar pertanyaan Bara, Lukman menyunggingkan sudut bibirnya. Ia kembali teringat awal mula kebenciannya pada Adrian.“Karena dulu Lian merebut apa yang aku punya,” jawab Lukman.Bara semakin bingung dengan jawaban Lukman. Ia tahu Lian adalah ayah Adrian, tapi kenapa Adrian yang selalu ia incar.“Lian? Bukankah itu ayah dari Adrian? Tapi kenapa Koko dendam pada Adrian?” Bara mengungkapkan kebingungannya.“Karena Adrian yang menyebabkan istriku meninggal!”jawaban Lukman semakin membuat Bara bingung. “Bukankah istri Lukman ada
Mimi langsung menunjukkan wajah heran. “Apa maksudmu dengan kau? Bukankah kau yang menyuruh aku datang?”“Aku?!” tanya Adrian tidak percaya sekaligus bingung.“Iya, kau! Kau menyuruhku datang jam sembilan malam dengan menggunakan gaun berwarna merah!” Mimi segera mengambil ponsel di dalam tasnya untuk menunjukkan bukti bahwa ia tidak berbohong. “Ini! Aku belum menghapus pesan yang kau kirimkan sore tadi!”Adrian langsung mengambil ponsel Mimi untuk membuktikan kebenaran dari ucapan Mimi.Adrian: Aku merindukanmu! Datanglah ke Restoran My Food jam sembilan malam. Kenakan gaun berwarna merah maroon dan rias dirimu secantik mungkin. Aku ingin kita mengulang masa-masa Indah kita dulu. Adrian menghela nafas kesal saat membaca pesan yang ia yakin dari Lita karena ponselnya saat ini sedang dipegang oleh Lita.“Kau mempermainkanku! Baru siang tadi aku memohon agar kau mau meneri
“Maaf Rado, aku membutuhkan bantuanmu, tapi aku juga terpaksa mempertemukan tunanganmu dengan manta kekasihnya,” ucap Lita setelah mengirim pesan pada Rado.Setelah itu Lita langsung bergegas membersihkan diri, dan memakai pakaian serba hitam serta menggunakan hoodie milik Danu.“Bang, hoodie ini adalah hoodie yang sering abang pakai saat Abang akan Bertemu teman-teman Abang di luar jam kerja. Semoga Rex mengenali hoodie ini,” ucap Lita saat bercermin, lalu ke luar dari kamar dan menuju mobilnya.Lita: Bawa Rex ke klub malam, sekarang! Lita mengirimkan pesan pada Rado terlebih dahulu sebelum tancap gas.Sejak tadi Lita dan Rado sudah berbalas pesan. Ia menyuruh Rado membawa Rex ke sebuah klub agar bisa melakukan pembalasan dendam pertamanya.Lita pergi pukul delapan malam dari apartemen. Ia datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan dengan Rado. Lita ingin melihat Rex dari kejauhan sebelum ia menda
Saat Adrian ingin menghampiri Yani, tiba-tiba Dokter Pratama menahan bahunya. “Tunggu! Aku tahu seberapa besar pengaruh Adrian Dinata. Masalah yang kuhadapi saat ini tentu bukan hal yang berat jika kau mau membantuku sedikit saja,” pinta Pratama.“Baiklah, aku akan membantumu. HANYA SEDIKIT SAJA!” Adrian sengaja menekan ucapan terakhirnya agar Pratama mengingat.Adrian langsung mengeluarkan ponselnya di saku jeans-nya. “Levin, batasi semua pergerakan anak buah Indra yang berhubungan dengan RSJ tempat Bu Yani dirawat!” Adrian langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Levin.“Aku sudah membantumu, selebihnya kau atasi sendiri masalahmu!” ucap Adrian.Pratama membungkuk hormat sebagai tanda terima kasih, lalu pergi bersama beberapa perawat.“Apa aku terlihat tampan?” tanya Adrian pada Lita yang terus menatapnya tanpa berkedip.Lita mengangguk antusias sambil tersenyum. &l
“Dengan?!” tanya Adrian heran.Lita langsung berjinjit untuk mencium Adrian. Melumat bibirnya dengan penuh kelembutan, berharap apa yang dia lakukan saat ini bisa sedikit membuat Adrian rileks. Lita tak peduli jika ketiga bodyguard Adrian masih ada di dekat mereka. Yang ia ingin saat ini hanya menghilangkan kecemasan Adrian.Adrian kembali mengeratkan pelukannya yang sempat mengendur. Ia menikmati permainan bibir Lita yang menurutnya makin pintar. Bahkan, saat Adrian ingin menyudahi permainan mereka, Lita menahan tengkuknya dan terus melumat bibir Adrian dengan rakus.Selain ingin membuat Adrian rileks, Lita juga sudah tidak bisa menahan pesona Adrian yang menurutnya makin tampan di tiap jamnya.Saling terbuai permainan masing-masing, membuat keduanya lupa bahwa saat ini masih siang hari dan mereka sedang ada di tanah lapang, sehingga keintiman mereka dapat dilihat oleh sepasang mata yang belum terlalu jauh pergi, melalui kaca spion.&l
Seandainya aku bisa mengikuti kata hatiku tanpa beban karena dendam di hatiku, tentu aku akan menyambutmu dengan senyuman kebahagiaan, bukan dengan tangisan seperti ini," lirih batin Lita. "Aku sedih karena aku tergoda ulat bulu sepertimu!” ucap Lita asal, karena tidak mungkin mengatakan kegalauan hatinya.Adrian terkekeh mendengar jawaban Lita. Alih-alih marah, Adrian justru mengeratkan pelukannya dan bertanya, “Apa aku boleh mencium pipimu?”Lita mengangguk dalam dekapan Adrian memberi izin. Dan Adrian terus menyerang Lita dengan ciumannya di seluruh wajah Lita hingga Lita kegelian dan tertawa.“Jangan ganti senyum manismu dengan tangisan, itu akan membuat wajahmu semakin jelek,” ledek Adrian sambil mengusap jejak air mata di pipi Lita.Adrian langsung mengajak Lita ke meja makan untuk sarapan. Saat Adrian akan menyendok nasi ke piring Lita, Lita mencegahnya, “Pak, kata kakakku tidak baik j
“Apa? Membunuhku? Siapa yang ingin membunuhku?” pikir Lita saat mendengar pembicaraan Adrian dan Zein. “Itu sebabnya sekarang aku tinggal di apartemen Lita, Kak. Aku akan mengawasinya 24 jam. Aku juga sudah memperketat penjagaan di sekitar apartemen. Kakak tidak perlu khawatir!” “Memperketat penjagaan? Apa maksudnya? Ada apa sebenarnya?” pikir Lita makin bingung Karena terlalu serius berpikir, Lita tidak menyadari bahwa Adrian sedang berdiri tepat di hadapannya setelah selesai menelepon Zein. Lita baru tersadar saat Adrian menjentikkan jari di depan wajahnya. “Apa yang kau lamunkan?” “Tidak, aku tidak mendengar apa pun pembicaraanmu di telepon. Aku hanya ingin mengantar makananmu! Ka-kau belum makan sejak tadi siang. A-aku akan menaruhnya di sini!” Lita ketakutan melihat tatapan mata Adrian yang biasa saja, hingga membuatnya gugup. “Apa Lita mendengar pembicaraanku tadi? Sepertinya dia tahu ada yang ingin membunuhnya! Aku tidak boleh m
“Perselingkuhan?” “Ya, perselingkuhan!” “Apa sekarang kau sedang menganggap aku sebagai suamimu, hingga mengatakan aku berselingkuh?” “E ... ee ....” Lita terlihat kebingungan karena terjebak dengan perkataannya sendiri. “Baiklah, kalau begitu aku akan menunjukkan bagaimana cara seorang suami membujuk istrinya yang sedang marah!” Adrian membuka tiga kancing kaos berkerahnya. “A—apa yang kau lakukan? I—ini tempat umum! A—aku akan berteriak jika kau macam-macam!” panik Lita saat Adrian mulai mengikis jarak antara mereka. “Aku sedang berusaha membujuk istriku dengan tindakan, karena aku sudah tidak tahu bagaimana membujuk istriku dengan kata-kata!” Adrian langsung menggendong Lita ala bridal style di depan umum, hingga membuat puluhan pasang mata dari pengunjung restoran dan ruko yang ada di sekitar menatap mereka. “Pak, turunkan aku! Ini tempat umum. Bagaimana kalau dilihat orang?!” protes Lita. “Orang-orang sudah mel
"Mimi?!" pekik Lita dan Adrian bersamaan lagi. “Kalian kenal dengan tunanganku?” tanya Rado. “Tidak!” jawab Adrian. “Iya!" Lagi-lagi Lita dan Adrian menjawab secara bersamaan. Tetapi, kali ini dengan kata berbeda. Setelah menyadari jawaban mereka berbeda, Lita dan Adrian saling tatap. “Kau mengenalnya, Pak!” koreksi Lita berbisik “Tidak! aku tidak pernah bertemu dengannya!” Adrian menampik ucapan Lita dengan tegas “Apa?!” Lita menunjukkan wajah heran. “Hai ... maaf aku datang terlam—“ ucapan Mimi berhenti saat menyadari dua orang yang ada di depan tunangannya. “Sayang, perkenalkan ini Pak Adrian dan sekretarisnya, Nona Lita. Pak Adrian ini adalah investor yang aku bilang pagi tadi." “Ha—hai, Mimi.” Mimi mengulurkan tangannya gugup “Adrian.” “Lita.” Adrian tak melirik Mimi sedikit pun. Sedangkan Lita menunjukkan senyum canggungnya saat menjabat tangan Mimi. “Baru kali ini aku menja