"ini Daddy ku?" Gumam El menatap intens pada potret pria tampan dan bermata biru di ponsel Lucy.
"Iya itu Daddy mu. Jangan bilang-bilang mommy yah El!" Ujar Lucy meringis tak berdaya. "Iya bibi, tenang saja aku tak akan mengatakan pada mommy." Pria kecil itu masih memandang lekat pada potret pria yang tak lain adalah Allen. "Daddy Ku benar-benar tampan yah bibi. Lihat warna matanya sama dengan warna mataku, berbeda dari mommy dan bibi Lucy." Sorak El begitu gembira. Bibi Lucy hanya memandang El sendu, bisa merasakan kerinduan yang dipendam anak kecil yang sedang melototi ponselnya. "Bibi, kenapa di ponsel mommy tak ada foto Daddy ku?" Tanya Eldrich kritis. "Bibi tidak tahu, mungkin mommy mu tak tahu cara mencari foto Daddy mu. Kalau ingin lihat fotonya bilang sama bibi kalau mommy mu sedang tidak dirumah"Lucy, kita akan kembali ke Milan. Disana aku akan tampil bersama busana rancangan ku. Apa menurut mu itu tidak beresiko?" Tanya Sofia gusar. Jari-jari tangannya saling meremas satu sama lain. Tatapan Sofia sendu, seolah meminta Lucy untuk mengatakan tidak perlu pergi. "Aku tidak tahu yang akan terjadi nona. Tapi alangkah lebih baiknya untuk mencoba kalau itu untuk kebaikan nona." Sofia menghela nafasnya dalam, menatap ke arah putranya yang sedang sibuk menggambar. Sebuah bakat alami yang di turunkan Sofia pada anak kecil berparas tampan itu. "Apa menurut mu itu yang terbaik?" Gumam Sofia tanpa menatap Lucy. Lucy tertegun, sungguh dia pun tak paham apakah ini yang terbaik atau bukan. Kehidupan mereka terlalu rumit, sama seperti dirinya yang meninggalkan hatinya di mansion suram tuan Allen. Sofia jauh lebih parah, dia harus meninggalkan hatinya, cintanya, keberaniannya, kenangan buruk dan manisnya namun masih
Tiga hari kemudian. "Ayo El, gendong tasmu! Mommy dan bibi Lucy punya bawaan sendiri." "Oke mommy." "Hati-hati El, pasang sabuk pengamannya!" Tegur Lucy sembari memasang sabuk pengaman. Ketiganya sudah duduk didalam pesawat. Lucy duduk bersama El. Sedangkan Sofia duduk disamping Smith. Keduanya masih membahas tentang pekerjaan dan penampilannya nanti di kota Milan. Sengaja Sofia tidak membawa model dari Paris. Diacara sudah di sediakan model ternama. Sofia sejujurnya gelisah dan tak percaya diri. Seorang desainer baru sepertinya akan muncul di Milan fashion week musim panas bersanding dengan desainer ternama dari merek versace yang telah mendunia. Namun Smith terus meyakinkannya, itulah mengapa Smith terjun langsung membantu Sofia mengurus penampilannya disana. Total lima belas desain akan Sofia tampilkan diatas catwalk, beberapa di antaranya adalah desain untuk pria. "Apa kamu g
James membalikkan badannya, kembali melangkah masuk ke arah restoran hotel bintang lima, berjalan menuju ruangan VVIP, yang dimana sudah menanti seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai bernama Monica. Seorang model papan atas yang akan berjalan di atas catwalk menggunakan desain salah satu brand ternama dunia. "Maaf aku telat," sapa James dengan wajah kaku tanpa senyum. Wanita itu mengangkat kepalanya dari ponsel, menatap pria dihadapannya. "Hmm-- yah anda telat. Percayalah saat ini aku sangat ingin membatalkan janji temu kita andai aku tak profesional." Ujar wanita itu angkuh. Rambut panjang hitam legamnya terurai menambah kesan anggun ditubuhnya. "Yah, terserah anda. To tidak ada kerugian untuk pihak siapapun kan?" Ujar James datar sembari duduk dihadapan wanita itu. Wanita itu berdecak kesal, menatap James jengah. 'ckk... Tidak asistennya tidak tuanny
Pagi harinya, terdengar ketukan dipintu kamar Sofia, membuat wanita itu bangkit dengan malas ke arah pintu, Sofia lupa kalau mereka sedang dihotel sekarang. Dia fikir sedang di apartemen jadi El bisa masuk kapan saja. "Selamat pagi mommy. Umhhh mommy masih bau iler." Ujar balita kecil itu sembari menutup hidungnya. Sofia tertawa kecil mendengar ucapan sang putra begitupun dengan Lucy. Wanita itu kemudian membungkukkan badannya, mencium pipi El gemas. "Mommy nooo___. Mommy bau iler." Teriak El histeris namun tertawa. "Biar bau ilernya menempel sama El yah." Ujar Sofia kembali masuk kedalam ruangan diikuti oleh El. Balita itu segera masuk ke kamar mandi mencuci mukanya diikuti oleh Sofia. "Mom, apakah kita boleh jalan-jalan?" Tanya El berbinar. "Boleh tapi tidak lama, soalnya mommy akan ada glady resik mulai sore nanti hingga malam. El tidak apa-apa ka
"mereka siapa?" Tanya Allen terus menatap punggung dua orang wanita dan seorang balita yang melangkah melewati james. "Yang mana tuan?" Tanya James mengatur raut wajahnya sebingung mungkin. "Yang baru saja melewati mu." "Ohhh itu, entah. Anaknya menabrakku tadi. Ibu dan bibinya minta maaf." James merangkai alasan senatural mungkin, berharap tuannya yang berhidung tajam dan matanya yang bagai elang tidak menyadari siapa orang-orang tadi. James memandang tuannya intens, 'wajah yang begitu mirip. Bagaimana bisa mereka seolah diduplikat.' tanya James dalam hati. "Rasanya seperti mereka itu familiar. Dilihat dari cara berjalannya juga rambutnya." Gumam Allen penasaran. "Itu karena anda sangat merindukannya." Jawab James tersenyum kecut. "Merindukan siapa? Memangnya kamu tahu siapa yang aku maksud?" Pancing Allen. James menghembuskan nafasnya berat. Mengat
Allen berjalan dengan langkah angkuhnya memasuki gedung pergelaran acara Milan fashion week bersama James. Sejak kedatangannya semua kamera wartawan sudah menyoroti nya. Bagaimana tidak, seorang pengusaha paling sukses selama beberapa dekade, dan sejak acara itu tercetus , ini kali pertamanya seorang Allen Anthonio terlihat hadir. Semua orang bertanya-tanya, siapa kiranya yang mampu membuat pria itu hadir. Pria itu hanya mengangguk sekilas pada para petinggi yang dikenalnya, tak ada raut wajah ramah dan bersahabat. Pria tampan itu malam ini terlihat sangat bersinar, datang dengan setelan jas berwarna hitam. Rambut cokelat terangnya bak lentera menggantung. Mata birunya bagaikan tatapan elang. Seorang model cantik berlari menyongsongnya, membuat kamera wartawan semakin panas menyoroti mereka. Monica meraih lengan Allen dan menuntunnya ke arah kursi yang
Seketika bola mata bulat kecoklatan itu membelalak terkejut. Jantungnya berdetak kencang dan wajah Sofia sepucat mayat. "Sofia--. Kamu__ apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Allen bergetar. Tatapan matanya yang biasanya tajam kini menyenduh. "Tu-- tuan, anda__. Aku__" Sofia tergagap, bingung ingin mengatakan apa. Keringat dingin membasahi tubuhnya, bahkan tungkai kakinya rasanya menjadi jelly. Membuatnya tak mampu untuk berdiri tegak. Allen melangkah mendekati wanita itu, tatapan bingung para modelnya membuat mereka keluar dan meninggalkan Sofia sendiri. Wanita itu masih tertegun ditempatnya. Kini, pria itu sudah berdiri tepat dihadapan Sofia yang masih duduk dibangku depan meja rias. "Kau...Dari mana saja kau selama ini Sofia?" Tanya Allen dingin. Ingin sekali pria itu merangkul dan memeluk tubuh Sofia.
Eldrick berbaring dengan nyaman diranjang milik Sofia ditemani oleh Lucy, sang mommy sudah berangkat sejak pagi, membuat balita kecil itu bosan. Namun sesuai janjinya, Lucy tidak sedikitpun membawa El keluar dari kamar. Balita itu dengan malas mulai merangkak ke atas tempat tidur dan meminta Lucy menyalakan televisi. "Bibi Lucy, mommy bilang akan ada di televisi. Ayo kita menontonnya!" Rengek El. "Iya benar, sebaiknya kita menonton televisi." Lucy mengambil remot tv dan menyetel siarannya dengan acara pergelaran Fashion yang diikuti sang mommy. El sudah berbaring dengan nyaman, wanita itu meninggalkan balita tampan itu masuk ke dalam toilet. Mata El membola indah, terkejut saat televisi diatas sana menampilkan gambar seorang pria tampan berjas hitam, dengan rambut cokelat terangnya yang disisir rapi, juga mata biru itu. El hafal betul bentuk wajah itu walau tak pernah bertemu den
"istri anda--" "Istri saya kenapa, Nath?" Seru Allen tak sabar. "Baik-baik saja. Beruntung kandungannya juga dapat diselamatkan. Namun kondisi pasien saat ini masih sangat rentan." Ujar Natalya lembut. Wanita itu menatap Allen dengan sorot penuh kerinduan. Allen bukan tidak menyadari lirikan wanita itu, namun saat ini fokus Allen sedang pecah. Pria itu masih saja tegang. Menanti waktu dia bisa menemui sang istri. "Ehemmmp, jadi kapan saya bisa menemui istri saya?" Ujar Allen tak sabar. Melihat kekhawatiran Allen, wajah Natalya tampak kecewa. "Sekarang juga bisa, namun alangkah lebih baiknya saat pasien telah dipindahkan ke ruangan rawat. Kalau begitu saya permisi. Kalau ada apa-apa cari saya saja!" Ujar Natalya kemudian berlalu dari hadapan mereka semua. Allen berdiri mematung didepan pintu UGD. seolah menghitung menit dan detik yang berganti.
Mario bergegas mengangkat Sofia, mimik wajah pria itu panik tidak terkira. Sedangkan bodyguard bernama Max dengan cepat meringkus Alea yang masih berdiri dengan wajah melongo tak percaya. Tatapan wanita itu membelalak ngeri, melihat darah yang merembes dari sela paha Sofia. Alea sadar bahwa nasibnya kini telah ditentukan oleh Allen Anthonio. Mario berlari diikuti oleh Lucy yang menggendong El. Sedangkan Max kini telah menyeret Alea keluar dari pusat perbelanjaan. Semua orang yang menyaksikan mereka menjadi heboh. Namun tak ada yang menyangka bahwa wanita itu adalah istri pria paling kejam di kota mereka. Mario membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, hingga dia bahkan lupa bahwa ada El dan Lucy bersamanya. Lucy menopang kepala sang nona dan El disisi lainnya. "Lucy-- ini sakit sekali." Rintih Sofia lemah. Wajah wanita itu pucat pasi.
James mengetuk pintu ragu-ragu. Tadinya dia ingin menemui Allen lebih awal, namun melihat istri tuannya masuk dan tak kunjung keluar membuat James mengurungkan niatnya. Pria itu hanya bisa terus memantau dari jauh kapan kiranya Sofia keluar. Nyatanya, sejam telah berlalu namun tak ada tanda-tanda wanita itu meninggalkan ruangan suaminya. Sebagai pria yang telah merasakan indahnya pernikahan, tentu saja James mengerti apa yang terjadi didalam sana.James mengetuk pintu ruang kerja Allen. James berdiri didepan pintu, menunggu Allen membuka pintu, biasanya dia akan langsung masuk setelah mengetuk pintu, namun setelah dia melihat istri Tuannya masuk kesana. Itu artinya tempat itu telah menjadi ranah pribadi sekarang. Klekkk... "Masuk!" James mengangguk, mengikuti langkah pria itu, tampilannya tetap rapi seperti sedia kala. membuat James mengeryitkan keningnya bingung. '
Allen melepaskan pelukannya pada Sofia, pria itu menggulingkan tubuhnya hingga jatuh terlentang. Ditatapnya langit-langit kamar, seolah dia sedang merangkai kalimat diatas sana. Hening, tak ada satupun yang bersuara. Hanya helaian nafas keduanya yang bersahut-sahutan berat. Sofia memilih tidak peduli, wanita itu berusaha memejamkan matanya. Hingga dengkuran halus khas wanita hamil mulai terdengar dari bibirnya. Allen menoleh, menatap intens punggung sang istri. Punggung yang begitu dia sukai untuk bersandar dan memeluk Sofia dari belakang. Mendengar sang istri telah jatuh tertidur, pria itu kembali keluar dari kamar. Melangkah turun kelantai bawah dan berjalan ke arah taman belakang. Taman yang sama dimana dia mengacaukan ciuman pertama James dan lucy malam itu. Allen duduk dibangku taman, pria itu menghisap dalam cerutunya. Menguarkan asapnya bersama dengan kegelisahan yang ditanggungnya. Anda
Kediaman tuan Darren ~~~ Nyonya Rara memijat kepalanya yang terasa seperti ingin pecah, berita pernikahan Sofia membuat keluarga itu pusing tujuh keliling. Tuan Darren tak menyangka bahwa tuan Allen Anthonio pada akhirnya akan menikahi Sofia, keponakan perempuannya yang selama ini dia siksa. Ada rasa takut dan was-was yang kini menyelimuti hati pria tua serakah itu. Bagaimana tidak, dia menyerahkan surat-surat berharga kepemilikan properti miliknya pada Allen Anthonio. Dia fikir saat itu pria itu akan mengambil putrinya yang berharga untuk menjadi nyonya. Dia telah menawarkan Alea pada Allen Anthonio, dan sepertinya saat itu pria itu setuju-setuju saja. Lima tahun berlalu tanpa pernah pihak Allen Anthonio menemuinya. Dia fikir dia telah lolos begitu saja. Namun pernikahan Sofia dan Allen Anthonio sepertinya akan menjadi awal kehancuran mereka. "Daddy, bagaimana ini
"pasti sekarang James sedang melakukan malam pertama dengan Lucy." Gumam Allen menerawang. Pria itu duduk menyandar disamping Sofia. "Kenapa memikirkan rumah tangga orang lain?" Jawab Sofia kesal. "Tidak apa-apa, hanya iri saja. Sayang, kapan kita bisa melakukannya?" Rengek Allen seperti anak kecil. "Dokter bilang belum bisa kan?" "Iya," wajah pria itu tertekuk kesal, sudah beberapa malam dia menahan diri tidak menyentuh Sofia. Rasanya kepalanya sudah sangat sakit sekarang. "Besok kita kerumah sakit untuk periksa yah sayang." Ujar Sofia tenang. "Periksa? Wahhh itu ide yang sangat bagus. Aku tak sabar ingin melihat wajah anakku" jawab Allen begitu semangat. "Mana bisa? Belum kelihatan." Sergah Sofia makin kesal. Allen menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa sedih sekaligus menyesal. Lihatlah karena dirinya melewatkan momen ketika El masih didalam k
Lucy dan James akhirnya resmi menjadi pasangan suami istri. Pria kaku itu tak menyangka, bahwa dia akhirnya menikah dengan wanita yang dinantinya selama lima tahun. Setelah pesta pernikahan, Lucy dan James kembali ke hotel yang telah dipersiapkan untuk menginap. Hotel yang sama yang dipilih Allen dan Sofia setelah mereka menikah. Keduanya tampak begitu canggung, belum pernah berinteraksi sedekat ini selain malam dimana Pria itu mencuri ciuman pertama Lucy ditaman. "Emhh-- James, bisa tolong bantu menarik resleting gaunku?" Lucy bertanya ragu-ragu. "Iya, berbalik biar aku membukanya." Pria itu berjalan kearah sang istri, berdiri dibelakangnya. James menarik resleting gaun pengantin Lucy, tangan pria itu bergetar. Tubuhnya terasa begitu panas dingin menatap punggung mulus istri yang baru saja di nikahinya. Tak jauh berb
"iya Smith, aku sedang hamil." Jawab. Sofia lirih. Wanita itu tersenyum sendu menatap Smith. Pria baik yang Sofia anggap malaikat. Sofia bukan tak tahu tentang perasaan pria itu meski kata-kata cinta tak pernah terucap dari bibirnya. Hanya saja, sejak awal Sofia memang sudah memberi jarak. Padahal, Sofia tanpa Smith tidak akan menjadi seperti sekarang. Allen memperhatikan raut kecewa pria yang duduk dihadapannya. Entah mengapa ada rasa iba yang menyusup kedalam hati pria itu. Namun dengan cepat pria itu menepisnya. Baginya siapapun yang ingin memiliki wanitanya adalah lawan yang berani mati. Lama, Smith maupun Sofia dan Allen terdiam. Hanya celoteh El yang sesekali terdengar. Ketiganya larut dalam fikiran masing-masing.
Selesai makan, Allen dan Sofia duduk di ruang keluarga. Wanita itu dilarang kemanapun oleh Allen, membuat Sofia semakin menahan kekesalannya pada sang suami. Allen terus saja ingin menempel pada Sofia, begitu pun dengan El. Sayangnya Sofia sangat tak suka dekat-dekat dengan Allen. Wanita itu akan langsung mual dan kesal saat Allen duduk disampingnya. Mau tak mau pria itu duduk dengan jarak dua kursi dari sang istri. "Nona--" Lucy berdiri dihadapan Sofia, membuat wanita itu mendongak. "Lucy--, ada apa? Ayo duduk!" "Tidak perlu nona." Ujar Lucy segan. Sofia mengulurkan tangannya, menarik Lucy duduk disampingnya. "Ada apa?" "Ak--aku ingin mengatakan sesuatu," "Sesuatu apa?" Tanya Sofia penasaran.