"Sebenarnya apa yang terjadi pada Qing Xiōng?" gumam Yāo Ming, alisnya berkerut dalam.Tatapannya terpaku pada arena, di mana pertempuran semakin memanas. Kilatan petir berkelebat liar dari pedang milik Jìng Zhenjun Wángyé, menerangi langit dengan cahaya menyilaukan. Di sisi lain, sinar kebiruan bergemuruh setiap kali Tiānyin memetik senar guqin-nya. Namun, serangan mereka hanya mampu menahan Qing Héng Zhì untuk sesaat.Di antara hiruk-pikuk itu, Lei melirik ke samping, menatap adiknya, Huànyǐng, yang berdiri terpaku."Huànyǐng, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya, suara tegasnya mengandung sedikit kekhawatiran.Huànyǐng, yang biasanya tidak pernah melewatkan kesempatan untuk ikut campur dalam kekacauan, kini hanya diam. Wajahnya tampak pucat. Lei mengulurkan tangan, menepuk bahu adiknya."Ugh, Lei! Dadaku sakit!" keluh Huànyǐng tiba-tiba.Tubuhnya membungkuk, ta
"Huànyǐng!" Lei berteriak memanggilnya.Di udara yang dingin, Huànyǐng menoleh cepat, rambut dan jubahnya berkibar diterpa angin. Dengan suara tegas, ia membalas, "Aku akan mencoba menghentikan Qing Xiōng, Lei!""Berhati-hatilah! Aku akan menjagamu dari sini!" Lei kembali berseru. Meskipun cemas, ia tetap percaya pada adiknya.Huànyǐng mengangguk, lalu melayangkan beberapa kertas mantra ke arah Qing Héng Zhì. Cahaya kehijauan berpendar dari jari-jarinya saat ia merapal segel. "Chénxī, blokir dia dengan irama guqinmu!" serunya pada Tiānyin.Tiānyin, yang melayang tenang di udara bersama guqin-nya, mengangguk tanpa sepatah kata. Jari-jarinya kembali menyentuh senar, menciptakan nada-nada yang bergetar lembut di angin malam. Namun, di balik kelembutan itu, terselip kekuatan besar yang menekan dan mengunci pergerakan Qing Héng Zhì."Wángyé, persiapkan petirmu!" Huànyǐng berteriak pada Jìng Zhenjun Wángyé, yang sedari tadi hanya mengamati.
Huànyǐng terbangun dengan perlahan, kelopak matanya terasa berat saat mencoba membuka mata. Cahaya keemasan yang menerobos jendela adalah hal pertama yang menyambutnya. Sinar itu lembut, namun tetap menyilaukan setelah sekian lama ia terlelap. Angin semilir berembus dari celah jendela, membawa hawa dingin yang menggigit. Namun, terasa menenangkan setelah sekian lama tubuhnya dirundung panas."Huànyǐng! Kau sudah bangun!" Suara yang familiar menyapanya dengan nada penuh kelegaan. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Gerakan kecil saja membuatnya meringis, dan sebelum ia sempat berusaha lebih jauh, seseorang dengan sigap membantunya bersandar pada bantal."Da Jiě," gumamnya lirih.Jian Xia tersenyum lega. Dengan lembut, ia merapikan posisi punggung Huànyǐng agar adiknya merasa lebih nyaman."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan suara lembut. Namun, matanya masih menyiratkan kekhawatiran yang belum sur
Huànyǐng duduk di tepi tempat tidurnya, menatap Yuè Tiānyin yang tak jauh darinya. Pemuda itu dengan tenang memetik senar guqin, menciptakan alunan melodi yang lembut. Cahaya matahari menyelinap melalui celah jendela, menerangi ruangan dengan sinar keemasan yang hangat. Udara di dalam kamar terasa sejuk, membawa keheningan yang menyelimuti keduanya.Baihe Cheng dan ketiga putrinya sengaja meninggalkan mereka berdua saja. Selain agar Tiānyin bisa bermain guqin tanpa gangguan, juga supaya mereka dapat berbincang-bincang lebih leluasa."Chénxī, apa yang terjadi padaku?" suara Huànyǐng terdengar pelan, nyaris tenggelam dalam denting senar guqin.Tiānyin tetap tenang, jemarinya tak berhenti menari di atas senar. "Sepertinya ada yang memprovokasi Heibing Hùfú untuk muncul," jawabnya datar, tanpa sedikit pun perubahan dalam nada suaranya.Huànyǐng mengerutkan kening, mencerna kata-kata itu. "Begitukah? Lalu bagaimana dengan Qing Xiōng?" tanyanya, masih d
Di ruang yang diterangi cahaya lentera lembut, Jìng Jūnlán Wángyé duduk dengan punggung tegang. Sorot matanya tajam. Namun, di balik ketenangan wajahnya, terselip kegelisahan yang sulit disembunyikan. Kedua saudara sepupunya, Qing Yǔjiā dan Qing Héng Zhì, berdiri di hadapannya, menundukkan kepala seolah keberadaan mereka sendiri terasa menyesakkan di bawah tatapan Putra Mahkota Kekaisaran Bìxiāo."Tángmèi, Tángdì! Apa ada yang ingin kalian sampaikan padaku?" Jìng Jūnlán bertanya. Suaranya lembut tetapi berisi tekanan yang tak terelakkan.Qing Yǔjiā menggigit bibir, menundukkan kepalanya semakin dalam. Bayangan dari insiden turnamen kemarin masih membayangi pikirannya, membuatnya tak sanggup menatap langsung saudara sepupunya yang berkedudukan tinggi itu."Xiōng Wáng, jangan terlalu keras. Tángdì baru saja pulih!" tegur sebuah suara yang baru saja memasuki ruangan.Jìng Zhenjun, Pangeran keempat Kekaisaran Bìxiāo, melangkah masuk dengan sikap san
Turnamen Bì Xiāo Guāng Huì berakhir dengan kekacauan, jauh dari apa yang diharapkan banyak pihak. Namun, bagi Huànyǐng dan kawan-kawannya, itu adalah akhir yang tetap membawa arti. Mereka telah membuktikan kemampuan mereka. Kini secara resmi dapat menerima misi bersama para kultivator senior lainnya. Dengan berakhirnya turnamen, masing-masing murid kembali ke sekte asal mereka untuk melanjutkan latihan seperti biasa, membawa pengalaman dan pelajaran berharga dari pertarungan yang telah mereka lalui. Saat ini di Bì Hǎi Wān, angin laut bertiup lembut, membawa aroma garam yang khas. Ombak bergulung tenang, memecah di bebatuan yang berjajar di sepanjang pantai. Langit membentang biru jernih, seolah ikut merayakan kepulangan mereka. "Aiyo! Senangnya bisa kembali ke sini!" seru Huànyǐng riang begitu menjejakkan kaki di pelataran. Belum sempat menikmati kebebasannya lebih lama, sebuah tangan be
Bì Fēng Jū, kediaman Puncak Zamrud, berdiri megah di puncak tertinggi kompleks Lán Tiān Gōng, Istana Langit Biru. Dikelilingi oleh lautan awan, bangunan ini seolah menggantung di langit, menawarkan ketenangan yang tak dapat dijangkau oleh sembarang orang. Hanya segelintir individu yang diizinkan melangkah di tempat ini, dan malam itu, salah satu dari mereka berdiri di hadapan Kaisar Jìng Yǔhàn.“Heibing Hùfú...” gumam sang kaisar pelan. Matanya menatap arak dalam cangkir giok kemala yang ia putar perlahan di tangannya. Cahaya lentera yang redup memantulkan kilauan hijau keemasan pada ukiran cangkir itu. “Jadi, artefak legendaris itu memang ada dan bukan sekadar mitos?” tanyanya. Suaranya terdengar ringan namun mengandung makna mendalam.Pemuda yang berdiri tegak di hadapannya tersenyum tipis. "Bìxià, itu benar adanya. Tak diragukan lagi, Heibing Hùfú dimiliki Jian Wu Gōngzǐ," sahutnya santai.Pemuda itu adalah Yīn Xuán. Seorang kultivator muda yang asal-us
Gemuruh air terjun menggema di udara, menciptakan kabut tipis yang menari di atas permukaan sungai. Di tengah derasnya aliran air, Yuè Tiānyin berdiri tegak, membiarkan percikan air membasahi jubah putihnya yang menjuntai. Matanya menatap langit biru yang bersih, tetapi pandangannya kosong. Sejak fajar tadi, dia tetap di sana, bergeming. Seakan-akan hanya raganya yang tertinggal di tempat ini, sementara jiwanya mengembara entah ke mana. "Heibing Hùfú," gumamnya lirih. Semenjak kembali dari Tiānyá Shān, pikirannya dipenuhi oleh artefak legendaris itu. Tak terhitung berapa malam yang ia habiskan dalam keheningan perpustakaan Zǐténg Jū, menelusuri naskah-naskah kuno yang dipenuhi debu dan tinta yang mulai pudar. Semua demi mencari jawaban tentang Heibing Hùfú, yang berada di dalam tubuh Jian Huànyǐng. Namun, pencariannya tak membuahkan hasil yang memuaskan. "Belum ada metode pemurnian yang benar-benar menjamin keberhasilannya," bisiknya pela
"Chén Gēge! Apa kita hanya menunggu salah satu di antara mereka kalah?" tanya Lei, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin dingin yang memeluk medan pertempuran.Di hadapan mereka, pertarungan antara Wù Yǒng Lóng, si naga kabut abadi, dan Hán Shuāng Jù Rén, Titan Es kolosal, berlangsung sengit. Setiap gerakan keduanya meninggalkan jejak kehancuran—kabut beracun yang menciptakan ilusi berbahaya, serta gelombang es yang seakan membekukan waktu. Beberapa kali mereka harus berpindah tempat, menghindari ancaman yang begitu dekat."Kau mau menunggu?" Mo Chén berbalik bertanya, dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Tatapan jenakanya meluncur ke arah Lei, penuh keingintahuan."Tunggu saja sampai besok pagi!" jawab Jian Wei sambil memukul kepala Lei dengan gemas.Jian Xia tertawa melihat kejenakaan kakak dan adiknya. "Bisa-bisanya kalian bercanda di situasi seperti ini?" keluhnya. Namun, sorot matanya tetap hangat, penuh kasih sayang kepada ked
Angin dingin menderu lewat celah-celah tebing, membawa serta butiran salju yang berputar liar seperti pasir perak di tengah badai. Medan Perburuan Roh kembali diselimuti ketegangan. Mo Chén berdiri tegak di atas batu tinggi, jubah hitamnya berkibar tertiup angin tajam, sementara matanya yang tajam mengawasi perubahan cuaca yang tak lazim.Apa yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Suara pekikan yang memekakkan telinga terdengar dari kejauhan—sebuah raungan yang membelah langit kelabu."Aiyo! Wù Yǒng Lóng!" teriak para kultivator yang masih terjebak di jalur utama medan berburu. Kabut putih pekat mulai menyelimuti tanah, menyusup ke setiap celah batu dan ranting yang tertutup es.Tanpa menunda waktu, Mo Chén mengangkat tangannya dan melepaskan sinyal cahaya ke langit. Asap keperakan membentuk pusaran kecil sebelum pecah menjadi semburat cahaya yang terlihat dari segala penjuru. Itu adalah isyarat—bukan hanya kepada para pemimpin sekte dan klan untuk mulai men
Kabut turun begitu tebal hingga nyaris menutupi seluruh lembah Shén Wu Gu. Awan kelabu menggantung berat di langit, dan udara mendadak terasa jauh lebih dingin. Hembusan angin membawa aroma tajam tanah basah bercampur dengan hawa es yang menggigit tulang."Apa ini?" Jìng Zhenjun Wángyé bergumam pelan, suaranya nyaris terseret oleh desir angin. Ia memandang sekeliling dengan dahi berkerut, matanya menyapu pemandangan yang tertelan kabut.Di sisi lain, Mo Chén, Jian Wei, dan Líng Zhì berdiri kaku, memandangi kabut pekat yang kini mulai menipis, perlahan mengurai seperti tirai sutra yang ditarik angin. Udara berubah drastis—lebih dingin dari biasanya."Salju?" Líng Zhì menatap ke langit yang mulai dihiasi bintik-bintik putih. Butiran salju turun perlahan, mendarat di bahu dan rambutnya, seolah waktu sendiri melambat menyambut datangnya sesuatu."Sialan!" Jian Wei mengumpat, mendadak waspada. Ia langsung me
Roh-roh yang berada dalam zona penahanan kini benar-benar terperangkap. Mereka menggeliat gelisah, terbungkus pusaran energi yang membatasi gerak. Suasana mulai terkendali, meski udara masih berat oleh sisa kekacauan yang sebelumnya meledak liar. Suhu di sekitar merosot drastis, membuat napas para kultivator tampak seperti uap tipis di udara yang mengkristal."Biarkan klan dan sekte kecil menangani roh-roh itu," kata Líng Zhì dengan tenang, suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin bersalju.Ia berdiri di sisi tebing es bersama Jian Wei dan Mo Chén, menatap ke bawah tanpa ekspresi. Kabut tebal yang menyelimuti lembah seakan menjadi tirai pembatas antara mereka dan dunia yang sedang berkecamuk.Mereka bertiga tampak seperti bayangan di atas sana—menyaksikan kekacauan yang baru saja reda, namun tak terlibat langsung. Sikap mereka tenang, bahkan nyaris santai. Sebuah pengingat bahwa bagi mereka, ini bukan soal menang atau kalah, tapi kes
Para penjaga Perburuan Roh yang berasal dari Klan Wu datang bersama para kultivator dari Klan Jìng dan Sekte Gerbang Sembilan Kuali."Bagaimana situasinya?" tanya pemimpin penjaga Perburuan Roh pada Jian Wei dan yang lainnya."Seperti yang kau lihat. Kacau!" sahut Jian Wei seraya menunjuk ke bawah dengan dagunya. Di bawah mereka, para kultivator dari berbagai sekte dan klan berusaha menangkap roh-roh yang terpanggil oleh teknik Wàn Líng Zhèn Míng."Tiānyù Jiànzhàn, apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan?" Kini Jìng Zhenjun Wángyé yang bertanya. Ia datang bersama Qing Yǔjiā dan Qing Héng Zhì. Wajahnya terlihat serius dan penuh tanda tanya.Jian Wei tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia justru menoleh menatap Mo Chén, yang berdiri sedikit lebih jauh. Pria berjubah hitam itu tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan situasi yang sedang berlangsung. Mo Chén masih tampak santai, meskipun keadaan sudah sangat genting. Dengan senyum leba
Di tengah kekacauan yang mengguncang Perburuan Roh, Jian Wei, Mo Chén, Héxié Zhìzūn, dan Ling Zhì berkumpul dalam keheningan yang tegang, merencanakan langkah selanjutnya. Angin kencang menyapu kabut tebal di Shen Wu Gu. Namun, tidak mengurangi hiruk-pikuk yang terjadi di medan tersebut. Suara gemerisik roh-roh yang mulai menguasai medan itu memecah kesunyian, menggema di setiap sudut.“Kita harus menghentikan kekacauan ini tanpa mengacaukan medan dan peraturan Perburuan Roh,” ucap Líng Zhì dengan nada serius. Wajahnya yang tenang tidak menggambarkan betapa dalamnya situasi yang tengah mereka hadapi.“Líng Ménzhǔ, ini cukup sulit,” sahut salah seorang dari klan kecil yang turut bersama mereka. Suaranya terdengar ragu, hampir seperti seorang anak yang berusaha memecahkan teka-teki rumit.“Memang benar, ini sulit!” sahut Mo Chén. Suara baritonnya yang dalam seolah berusaha memberi penekanan pada kata-katanya. Pria tampan berjubah hitam dan berambut putih itu
"Yuè Èr Gōngzǐ," bisik Jian Wei, suaranya tenggelam dalam gemuruh angin lembah, saat denting guqin yang melengking jernih semakin memenuhi pendengaran.Di tengah kabut, seorang pemuda berjubah putih, Yuè Tiānyin, melayang anggun di udara. Sinar matahari yang terang memantul pada guqin-nya, membuatnya berkilauan indah. Dengan gerakan halus, jemari Tiānyin menari di atas senar guqin, mengendalikan alunan melodi yang memancar dari alat musik itu. Setiap denting senar memancarkan aura magis, seakan mantra yang menyegel roh-roh liar yang mengamuk tak terkendali. "Chénxī!" seru Huànyǐng, matanya yang ungu berbinar-binar penuh kekaguman. "Lihatlah, Huànyǐng Xiōng! Yuè Èr Gōngzǐ memang tampan dan berbakat! Tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya!"Líng Qingyu, yang entah sejak kapan telah berada di sisi Huànyǐng, mengangguk setuju dengan tatapan kagum yang tak disembunyikan. Mereka berdua terpaku menatap Tiānyin yang dengan khidmat memainkan guqin-nya. Seme
Dentingan lonceng menggema samar di telinga Jian Wei. Suara itu bergema di antara riuh rendah pekikan panik, gemuruh langkah kaki, dan desir angin yang membawa hawa asing. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan sumber suara tersebut. "Da Gē! Lihat itu!" Tiba-tiba Jian Xuě berseru, mengalihkan perhatiannya. Jian Wei sontak mengangkat kepala. Langit yang tadinya terbuka kini dipenuhi pusaran energi berbentuk lingkaran. Partikel bercahaya keperakan berputar di udara, memancarkan kilauan ganjil. "Sial!" Jian Wei menggeram, kedua tangannya mengepal erat. Matanya berkilat, menatap adik-adiknya dan anggota sekte lainnya. "A Xuě, lindungi Huànyǐng! Jangan biarkan dia terpengaruh oleh roh-roh di sekitarnya!" "Baik, Da Gē!" Jian Xuě tak ragu sedikit pun. Ia segera berdiri di depan Huànyǐng dengan Xuě terhunus, siap menghadapi apa pun yang datang. "Lei, siapkan Líng Qì Wǎng! Jian Xia, terus pantau situa
"Target utama kita adalah roh yang sudah kita kunci tadi. Setelah itu kita bisa berburu roh lain di zona yang sudah terbuka," jelas Jian Wei sembari melompat ke depan gua yang tersembunyi di celah tebing es yang menjulang tinggi. Sinar matahari siang memantul di permukaan es, menciptakan kilauan tajam seperti pecahan kaca."A Xue, ayo kita gunakan Xiáng Líng Zhèn untuk menangkap Xuě Láng Wang!" serunya pada Jian Xuě."Baik, Da Gē!" Jian Xuě menyusul, melompat ringan ke depan gua."Gunakan energi es, kau bisa menggabungkannya dengan energi es milik Huànyǐng," saran Jian Wei.Jian Xuě mengangguk mantap, lalu mulai menggambar pola formasi lingkaran dengan elemen energi es di udara. Garis-garis bersinar biru keperakan muncul di udara, membentuk corak rumit yang berpendar lembut. Begitu formasi selesai, ia menyegelnya dan mengarahkannya ke dalam gua. Dari dalam terdengar geraman marah, berat dan bergema, mengguncang lapisan es di sekitar mereka.