Tidak mungkin seseorang pergi berperang tanpa adanya strategi dan senjata. Begitu pula dengan Aldo yang tidak mungkin menumbangkan Dirga tanpa persiapan. Oleh karena itu, ia harus meminta saran dari yang lebih expert. Dan satu-satunya orang yang paling bisa dipercaya adalah papanya.Selama ini aldo memang terkenal sebagai anak yang nakal dan masa bodoh dengan keadaan sekitarnya. Namun tanpa banyak orang tahu, di balik sikapnya yang hanya tahu main-main, Aldo adalah pengamat yang cerdik. Baik pengamat dalam hal bisnis maupun kehidupan pribadi setiap anggota keluarga besar Hermanto.Termasuk kehidupan papanya."Papa kira, Aldo tidak tahu siapa dalang di balik hancurnya keluarga Rizal?" cecarnya kala papanya masih menolak untuk membantunya.Kemudian tanpa diminta, pria berwajah oriental itu menceritakan apa saja yang ia ketahui tentang perbuatan papanya di masa lalu. Sehingga mau tidak mau papanya bersedia bergabung dalam agenda untuk menyingkirkan Dirga, sang cucu emas."Bagaimana denga
Siang itu sesuai perjanjian, Sheryl menemui sepupu Dirga untuk membahas rencananya. Namun untuk menjaga privasi keduanya, Aldo minta bertemu di perusahaannya saja.Sheryl sudah sangat putus asa. Pasalnya orangtuanya tak main-main dengan rencananya. Kedua belah pihak, minus Sheryl, sepakat meneruskan perjanjian yang sudah mereka agendakan sejak anak gadisnya baru menginjak dunia perkuliahan.Sebenarnya orangtuanya pernah membicarakan hal tersebut pada Sheryl. Namun Sheryl 10 tahun yang lalu meminta untuk membahasnya lagi ketika ia sudah menjadi dokter spesialis. Orangtuanya setuju. Sheryl juga minta perjodohan harus otomatis dibatalkan jika sebelum waktu yang ditentukan ia sudah menemukan pasangannya sendiri.Apesnya, selama itu pula Sheryl belum berhasil memperkenalkan Dirga sebagai calon suami. Memang banyak laki-laki yang mendekatinya. Beberapa senior yang sudah mapan bahkan sudah mengajaknya serius.Namun dokter kandungan berparas cantik itu menolak semua pria yang datang. Ia masih
Dirga keluar dari ruang rapat bersama para direksi dengan wajah masamnya. Ia menghela napasnya kala melihat berkas yang ada di kamarnya. Tidak menyangka dengan hukuman yang diberikan kakeknya. Ternyata ini alasan ia harus mengikuti rapat para direksi?Dirga mendapat tugas mencari sekaligus survey lokasi yang akan dijadikan tempat Bakti Sosial tahunan rumah sakit milik keluarga Hermanto. Padahal ia harus mematangkan kembali persiapan sidang tesisnya pada gelombang berikutnya.Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. "Mau saya temani survey?" Tawar Dokter Fahmi, salah satu seniornya yang tadi juga mengikuti rapat.Dirga menggeleng pelan dengan tetap memperlihatkan senyumnya. "Gak usah, dok. Terimakasih. Ini sudah jadi tugas saya," tolak pria berkulit tan itu dengan halus. Bisa panjang urusannya jika ketahuan kakeknya. Melalui pesan teks, kakeknya sudah mewanti-wanti untuk mengurus semuanya sendiri. Tanpa bantuan rekan dokter lainnya.***Karena pertemuannya dengan Aldo, Dirga jadi lupa tuj
Sebelum kedatangan Wina di caffenya, Rizal sudah sangat muram. Bagaimana tidak, mini party yang sudah ia siapkan terpaksa dibatalkan. Pasalnya Sheryl lebih memilih merayakan pesta ulang tahun sederhana di rumahnya saja.Sebenarnya Rizal tahu bahwa itu hanyalah alibinya saja. Ia sangat tahu jika yang dimaksud sederhana oleh Sheryl adalah pesta yang cukup dihadiri keluarga dan Dirga saja.Raut wajah Rizal semakin masam saat melihat Wina yang tiba-tiba menerobos masuk ruang kerjanya. Tidak biasanya Wina datang pagi ke caffe.Masih dengan napas terengah-engah, Wina mulai bercerita. "Tahu gak, kak. Om Dirga marah banget sama aku gara-gara aku gak sengaja bersin kena mukanya. Tadikan ceritany-" Wina menghentikan ocehannya ketika sadar atasannya itu tidak menanggapi ceritanya. Biasa kalau ia cerita lucu, atasan sekaligus partner-nya itu akan menimpali atau paling tidak akan ikut tertawa."Ada apa sih, kak? Pagi-pagi udah sepet aja mukanya?" Wina mendekat. Ia memperhatikan wajah pria bermata
Prok prok prok!Putra sulung keluarga Hermanto itu memberikan tepuk dengan ceria kala putra kebanggaannya, Aldo, masuk ke ruang kerjanya. Pria paruh baya itu bangkit dari kursi kerjanya untuk menyambut Aldo.Tak hanya papanya yang nampak bahagia, Aldo juga datang dengan senyum merekah di wajahnya. Bagaimana tidak, tadi pagi ia dihubungi kakeknya meski sekedar memujinya. Pria yang lahir dari mama yang berdarah China itu berhasil mendapatkan investor pengganti. Jumlah investasinya memang tidak sebesar investor sebelumnya. Tapi cukuplah untuk meng-cover semuanya.Siapa lagi investornya kalau bukan keluarga Sheryl. Wah, ia tidak menduga sebelumnya jika keluarga dokter cantik itu memiliki kekayaan yang cukup menggiurkan. Dan yang membuatnya semakin puas karena sekutunya itu benar-benar menepati janjinya."Tidak salah papa mempercayakan perusahaan sama kamu, son. I'm proud of you!" Puji papanya dengan menepuk pundak Aldo bangga."Jadi siapa investor darurat kita?""Papa tahu keluarga dokter
Dirga menatap hampa pada barang-barang yang tertata rapi di bagasi mobilnya. Kemarin setelah dari pasar tradisional, ia langsung menyeret Wina ke swalayan. belajaannya untuk hari ini ternyata banyak juga. Keberadaan Wina cukup membantu dirinya yang tidak terbiasa belanja sendiri.Saat ini ia masih ada di basement apartement. Menunggu Wina yang katanya sebentar lagi sampai. Ya, Dirga memutuskan membawa Wina untuk survey ke desa yang akan dijadikan lokasi Baksos rumah sakit. Pikirnya karena Wina bukan bagian dari rumah sakit atau keluarga Hermanto, tak masalah jika ia membawanya.Sekedar untuk teman jalan, pikirnya.Ia menutup pintu bagasinya setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Dirga mendesah pelan. Menyandarkan tubuh jangkungnya pada kap belakang mobil. Hatinya gamang. Tiba-tiba tidak yakin dengan diri sendiri.Bukan karena hukuman yang diberikan sang kakek. Tapi karena perkataan Sheryl yang sukses membuatnya overthinking.***FlashbackBerkali-kali Dirga memeriksa pon
Apapun yang ia rasakan, apapun yang sedang terjadi, Dirga tetap harus berangkat, meski hatinya tengah berkecamuk. Ia juga tak mungkin membatalkan janjinya dengan Wina. Sekuat hati ia berusaha bersikap biasa saja. Namun perkataan Sheryl seolah sudah mensugesti pikirannya untuk mencurigai Wina. Sehingga suasana dalam kendaraan roda empat itu justru menjadi kaku.Wina yang menyadari perubahan mood majikannya juga ikut diam. Ia pikir, tuannya ini marah karena ia datang terlambat. Meski ia tidak suka dengan suasana kaku ini, tapi itu lebih baik daripada majikannya semakin marah.Karena terlalu sunyi, perlahan mata Wina menolak untuk tetap terjaga. Hingga beberapa menit kemudian, gadis mungil itu sudah pergi ke dunia mimpi. Nyenyak sekali.Sementara itu, Dirga yang terbiasa dengan celotehan Wina merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Berkali-kali ia melirik Wina melalui ekor matanya. Merasa aneh saja asistennya yang berisik itu betah diam dalam waktu yang lama.Ternyata setelah ditoleh, Wi
Dirga berlari semakin kencang. Rasa curiganya pada Wina seakan sirna. Tidak dipungkiri, ia sangat mengkhawatirkan Wina. Penyelasan karena membiarkan Wina pergi mencari bantuan semakin besar kala preman-preman itu semakin mendekat.Wina berhenti tepat di depannya. Tanpa aba-aba Dirga langsung memeluknya erat. Lalu memeriksa keadaannya dengan memutar-putarkan tubuh Wina."Are you OK?" Tanyanya panik."Jadi ini mobilnya?" suara salah satu dari preman tersebut mengalihkan atensi Dirga dari Wina. Merasa dirinya terancam, Dirga langsung menyembunyikan tubuh Wina di belakangnya."Maaf, ada apa ya?" Dirga masih berusaha sopan menanggapi para preman. Tangannya semakin erat menggenggam jemari kecil Wina."Om," bisik Wina dari belakangnya. Diga menoleh. Berbeda dengannya yang panik, wajah Wina justru terlihat santai saja.Salah satu preman dengan badan paling besar itu mendekat, "kamu beneran punya bayarannya kan?"Ah, apakah ini yang namanya dibegal? batin Dirga.Wina melepaskan tangan Dirga da
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu