Mansion utama keluarga Hermanto terbangun di atas tanah yang luasnya hampir mencapai satu hektare. Setiap sudutnya menegaskan kemewahan dan kekayaan pemiliknya. Fasilitasnya pun tak kalah lengkap. Berjejer 20 kamar, ruang tamu mewah bertema Eropa klasik, ruang keluarga yang mampu menampung hingga 50 orang lebih, dan banyak lagi ruangan-ruangan berkapasitas besar.Jangan lupakan fasilitas gym, jogging track, kolam renang, taman, rumah kaca, garasi mobil dan kendaraan lainnya, mini studio foto, home teater, gudang wine berusia lebih dari 20 tahun, air terjun buatan di halaman belakang, serta masih banyak lagi.Tentunya paviliun sendiri di sayap kanan mansion khusus para pembantu, tukang kebun, dan pegawai lainnya.Namun di balik semua kemawahan ada satu ruangan yang paling dihindari oleh semua penghuni mansion dan anak-cucu Hermanto.Ruang pribadi Hermanto.Hanya ada dua kemungkinan alasan seseorang dipanggil ke ruangan tersebut yakni 20 persen akan mendapatkan hadih, dan sisanya akan
“Mau aku bantu dapatkan Dirga?”Sheryl menoleh, mencari suara bariton yang tiba-tiba menghampirinya. Tadinya dokter ber-IQ 140 itu enggan menggubris pria yang mendekatinya. Namun mendengar nama Dirga disebut, ia tertarik untuk sekedar mendengarnya.Pagi itu, Sheryl sedang menunggu supirnya. Ia baru saja lari pagi di tempat biasanya Dirga lari pagi. Sayangnya sudah lebih dari tiga putaran ia lari, pria yang ditunggu tak juga datang. Sheryl menyerah dan meminta supirnya segera menjemputnya.Saat sedang menunggu di pinggir jalan sembari menggulir layar ponselnya, pria yang ia tahu merupakan sepupu Dirga mengatakan hal yang menarik atensinya.Mereka tidak perlu saling mengenalkan diri. Karena meski tak berteman, mereka pernah beberapa kali bertemu saat bermain bersama Dirga. Atau saat ada acara keluarga Hermanto.“Maaf, saya tidak tertarik.”Tentu saja Sheryl tak langsung percaya. Terlebih lagi pada sepupu Dirga satu ini yang terkenal paling ‘gila’. Selain itu Ia juga harus menjaga image-
Di kamar yang sengaja masih dibuat temaram. Dirga sebenarnya sudah terbangun sejak sejam yang lalu. Tapi ia masih betah memandang gadis mungil yang semalam menjadi gulingnya. Meski sudah lewat jam 7, Wina masih betah merem.Iya Wina.Saat terbangun Dirga sampai berpikir itu mimpi. Seingatnya, kemarin yang membereskan kekacauan adalah Wita. Bahkan sebelum ia benar-benar terlelap, ia masih mendengar Wita berbicara melalui telepon.Begitu bangun Dirga memastikan bahwa yang ada didekapannya benar-benar Wina. Wajahnya yang bersih tanpa riasan dan pakaiannya yang khas ala bocil. Tentu itu bukan Wita.Ketika terbangun, Dirga cukup bingung dengan diri sendiri. Biasanya ketika sakit, ia hanya bisa terlelap saat ditemani bundanya. Namun sejak ia gagal sidang, rasanya ia belum berani mengunjungi orangtuanya. Dirga masih malu. Saat bertemu di mansion utamapun mereka hanya sedikit mengobrol.Namun dengan Wina, ia bisa tidur saat sakit. Bahkan tidur nyenyak.Dirga meraba dahinya lalu tersenyum. Bag
Hingga beberapa saat, Wina dan Dirga masih saling pandang. Tak sadar, diam-diam keduanya saling mengagumi. Wina melihat dengan seksama wajah tampan majikannya. Sementara Dirga masih setia memperhatikan bibir tipis Wina.Tiba-tiba Wina memejamkan matanya, Dirgapun refleks mendekatkan wajahnya. Namun sebelum ekspektasi Dirga terwujudkan ....HATCHUI!Wina bersin dengan brutalnya. Tepat di wajah Dirga, hingga seluruh wajah dokter tampan itu basah.Dirga sampai memejamkan matanya menahan malu dan kesal.“WINAAA!” Teriaknya tak kalah kencang dari suara bersin gadis mungil di depannya.Sedangkan pelakunya sudah kelabakan, panik atas ulahnya sendiri. Ia berniat membersihkan wajah majikannya yang basah karena bersinnya. Namun belum sempat menyentuh, Dirga buru-buru menahan. Dicengkeramnya pergelangan tangan mungil itu.“Tangan. Kamu. Kotor!” ucap Dirga penuh penekanan di setiap katanya.Raut wajah dokter berahang tegas itu sudah sangat tidak bersahabat. Wina hanya bisa tersenyum kecut karena
Tidak mungkin seseorang pergi berperang tanpa adanya strategi dan senjata. Begitu pula dengan Aldo yang tidak mungkin menumbangkan Dirga tanpa persiapan. Oleh karena itu, ia harus meminta saran dari yang lebih expert. Dan satu-satunya orang yang paling bisa dipercaya adalah papanya.Selama ini aldo memang terkenal sebagai anak yang nakal dan masa bodoh dengan keadaan sekitarnya. Namun tanpa banyak orang tahu, di balik sikapnya yang hanya tahu main-main, Aldo adalah pengamat yang cerdik. Baik pengamat dalam hal bisnis maupun kehidupan pribadi setiap anggota keluarga besar Hermanto.Termasuk kehidupan papanya."Papa kira, Aldo tidak tahu siapa dalang di balik hancurnya keluarga Rizal?" cecarnya kala papanya masih menolak untuk membantunya.Kemudian tanpa diminta, pria berwajah oriental itu menceritakan apa saja yang ia ketahui tentang perbuatan papanya di masa lalu. Sehingga mau tidak mau papanya bersedia bergabung dalam agenda untuk menyingkirkan Dirga, sang cucu emas."Bagaimana denga
Siang itu sesuai perjanjian, Sheryl menemui sepupu Dirga untuk membahas rencananya. Namun untuk menjaga privasi keduanya, Aldo minta bertemu di perusahaannya saja.Sheryl sudah sangat putus asa. Pasalnya orangtuanya tak main-main dengan rencananya. Kedua belah pihak, minus Sheryl, sepakat meneruskan perjanjian yang sudah mereka agendakan sejak anak gadisnya baru menginjak dunia perkuliahan.Sebenarnya orangtuanya pernah membicarakan hal tersebut pada Sheryl. Namun Sheryl 10 tahun yang lalu meminta untuk membahasnya lagi ketika ia sudah menjadi dokter spesialis. Orangtuanya setuju. Sheryl juga minta perjodohan harus otomatis dibatalkan jika sebelum waktu yang ditentukan ia sudah menemukan pasangannya sendiri.Apesnya, selama itu pula Sheryl belum berhasil memperkenalkan Dirga sebagai calon suami. Memang banyak laki-laki yang mendekatinya. Beberapa senior yang sudah mapan bahkan sudah mengajaknya serius.Namun dokter kandungan berparas cantik itu menolak semua pria yang datang. Ia masih
Dirga keluar dari ruang rapat bersama para direksi dengan wajah masamnya. Ia menghela napasnya kala melihat berkas yang ada di kamarnya. Tidak menyangka dengan hukuman yang diberikan kakeknya. Ternyata ini alasan ia harus mengikuti rapat para direksi?Dirga mendapat tugas mencari sekaligus survey lokasi yang akan dijadikan tempat Bakti Sosial tahunan rumah sakit milik keluarga Hermanto. Padahal ia harus mematangkan kembali persiapan sidang tesisnya pada gelombang berikutnya.Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. "Mau saya temani survey?" Tawar Dokter Fahmi, salah satu seniornya yang tadi juga mengikuti rapat.Dirga menggeleng pelan dengan tetap memperlihatkan senyumnya. "Gak usah, dok. Terimakasih. Ini sudah jadi tugas saya," tolak pria berkulit tan itu dengan halus. Bisa panjang urusannya jika ketahuan kakeknya. Melalui pesan teks, kakeknya sudah mewanti-wanti untuk mengurus semuanya sendiri. Tanpa bantuan rekan dokter lainnya.***Karena pertemuannya dengan Aldo, Dirga jadi lupa tuj
Sebelum kedatangan Wina di caffenya, Rizal sudah sangat muram. Bagaimana tidak, mini party yang sudah ia siapkan terpaksa dibatalkan. Pasalnya Sheryl lebih memilih merayakan pesta ulang tahun sederhana di rumahnya saja.Sebenarnya Rizal tahu bahwa itu hanyalah alibinya saja. Ia sangat tahu jika yang dimaksud sederhana oleh Sheryl adalah pesta yang cukup dihadiri keluarga dan Dirga saja.Raut wajah Rizal semakin masam saat melihat Wina yang tiba-tiba menerobos masuk ruang kerjanya. Tidak biasanya Wina datang pagi ke caffe.Masih dengan napas terengah-engah, Wina mulai bercerita. "Tahu gak, kak. Om Dirga marah banget sama aku gara-gara aku gak sengaja bersin kena mukanya. Tadikan ceritany-" Wina menghentikan ocehannya ketika sadar atasannya itu tidak menanggapi ceritanya. Biasa kalau ia cerita lucu, atasan sekaligus partner-nya itu akan menimpali atau paling tidak akan ikut tertawa."Ada apa sih, kak? Pagi-pagi udah sepet aja mukanya?" Wina mendekat. Ia memperhatikan wajah pria bermata
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu