“Siang, Wina yang pin—!”“Eh, Kenapa tuh muka?” Rizal tak melanjutkan sapaanya saat melihat raut wajah Wina yang sangat lesu, plus penampilan kacau.Rasa kesal Wina yang tadi baru melakoni sebagai Wita nampaknya masih tersisa. Jadi bukannya menjawab pertanyaan sang bos, ia justru semakin memperlihatkan wajah ngenesnya. Wajahnya sudah seperti anak kecil yang hendak menangis karena keinginannya tidak dituruti.Tidak tega Wina melanjutkan tangisnya, Rizal berinisiatif mengambilkan es krim di freezer yang ada di pojok ruangan kerjanya. Setelah tahu partner-nya itu penyuka es krim, Rizal jadi ikutan menyediakan berbagai macam varian es krim.Slurp slurp slurp!Seperti sudah kebal dingin, Wina memakan es krim sangat cepat seakan takut keburu meleleh. Berharap es krim rasa matcha di mulutnya mampu menyiram kekesalan di hati.Untung saja hari ini—atas izin bossnya a.k.a Rizal—Wina boleh mulai kerja sedikit terlambat. Ya, karena Rizal sudah tahu kalau Wina sedang melakukan tugasnya sebagai ART
Saya datang agak siangan. Ada keperluan kuliahBegitulah kira-kira pesan yang dikirimkan Wita untuk sang dokter sekaligus majikan. Tidak bohong memang, karena pagi ini ia ada urusan dengan administrasi dan bayar-membayar terkait kuliah serta skripsi.Oh, ya. Karena kemarin Dirga minta nomor telepon Wita, ia terpaksa harus punya nomor baru untuk penyamaran. Meski di ponsel yang sama.Berbekal uang bonus dari Rizal dan gaji part time yang ia minta lebih awal, Wina menyeret paksa Edo untuk menemaninya ke kampus. Sebagai imbalannya, Wina akan meneraktir sarapan yang enak.“Emm, maaf nih ya. Cuma aku penasaran aja,” Edo ragu melanjutkan. Takut menyinggung perasaan sahabatnya.“Tentang duit yang buat bayar?”Edo mengangguk. Karena yang ia tahu, kondisi ekonomi sahabatnya itu sedang di ambang krisis. Sekalipun ia sudah bekerja, tidak mungkin bisa langsung dapat uang dalam waktu singkat.“Aku minta gajinya 3 minggu lebih awal.” Jawabnya jujur, namun berhasil membuat Edo tertawa karena berpik
Setelah dirasa perutnya tenang, Dirga membasuh wajahnya di washtafle dapur. Tanpa peduli pada ART barunya yang mengkhawatirkannya, ia pergi begitu saja ke kamar dengan tubuh yang mendadak lemas. Langkahnya juga terasa berat.Dahulu ketika ia masih duduk di bangku SMP, ada sebuah tragedi yang membuatnya seperti saat ini. Waktu itu, Dirga sedang makan bakso di kantin sekolah. Seperti biasa, ia makan bersama teman sekelasnya, tak ketinggalan Rizal dan Sheryl.Bakso adalah makanan favoritnya kala itu. Selain enak, bakso merupakan menu praktis yang dimakan saat istirahat makan siang. Namun naasnya, entah darimana muncullah seekor cicak yang sedang berontak di tengah kuah bakso.Belum selesai masa traumanya, Dirga kembali diteror oleh segerombolan cicak. Saat mandi, handuk yang digunakan malah dibuat lintasan lari 3 ekor cicak. Hampir saja ia lari keluar kamar mandi dengan keadaan telanjang penuh.Sejak saat itu, ia sangat benci dan trauma. Bahkan efeknya seperti sekarang ini. Badannya lang
Kampret! Capeknya! Sialan tuh dokter!Kira-kira begitulah umpatan dan keluh kesah Wina sepanjang perjalanan dari apartemen Dirga menuju rumah sakit. Meski puas telah mengerjai balik si dokter tampan itu, tapi ia juga kapok. Lelah harus berganti peran sebagai Wina dan Wita dalam waktu bersamaan.Setelah Wita berganti Wina, Dirga malah meminta Wita untuk berbelanja bahan makanan. Kemudian ia meminta Wina membelikan makanan kesukaannya. Tak lama lagi ia menyuruh Wita membereskan kamarnya, serta mengusir ‘pocong’.Sejak saat itulah, Wina memutuskan untuk selalu membawa kostum double, dengan karakter Wina dan Wita. Eits, jangan lupa make-up tipis ala Wita.Ternyata melelahkan! Ia bahkan sampai meminta libur pada Rizal. Karena ia baru terbebas dari apartemen Dirga ketika Aldo akan datang. Tak ingin bertemu sepupu Dirga yang kurang ajar, Wina memilih kabur.Wajah lesunya tidak bisa disembunyikan lagi.Namun saat melintasi area loby, dari kejauhan ia melihat dokter Sheryl berjalan bersama rek
Satu minggu sudah berlalu pasca tragedi sidang tesis. Dirga mau tak mau harus melanjutkan rutinitasnya seperti sediakala. Sibuk dengan tugasnya sebagai dokter residen, serta mematangkan kembali persiapan ujian tesisnya untuk gelombang berikutnya.Tak apa, tak bisa wisuda bersama Sheryl dan teman-temannya. Tak apa, tak mendapatkan reward dari kakeknya. Cukup ia tak mendapatkan tambahan hukuman saja sudah senang. Ia sudah mulai menerima apa yang terjadi kemarin. Sudah cukup juga ia sembunyi beberapa hari ini.Tadi pagi menjelang siang, dokter yang kembali menjalani masa residennya itu pergi ke kampus. Sekedar untuk meminta maaf pada dosen pembimbingnya dan menemui beberapa temannya yang masih wara-wiri di kampus.Sepulangnya, ia justru mendapatkan undangan reuni alumni sarjana kedokteran angkatannya. Moment tersebut akan ia manfaatkan untuk balas dendam pada seseorang. Seseorang yang tiba-tiba lewat di depannya.Wita? Iya Wita, karena saat itu Wina tidak sedang memakai baju ala anak SM
Seumur-umur, dari lahir hingga usianya lebih dari dua dekade, Wina tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya ke tempat yang banyak dikunjungi kaum hawa.Salon kecantikan.Kemarin setelah Dirga dengan seenak jidat menyuruhnya menemani pesta reuni alumni kedokteran angkatannya, Wina kelabakan sendiri. Lantas, iapun bercerita pada Rizal, dan berujung marah-marah. Ternyata alasan Dirga tak mengajak Sheryl di pesta tersebut karena Rizal sudah duluan mengajak Sheryl.Gila. Ini pestanya anak kedokteran, lho!Pertama, ia belum pernah menghadiri pesta.Kedua, dia tidak punya gaun bagus serta atribut pesta lainnya.Merasa sedikit bersalah, akhirnya Rizal berbelas kasih membawanya ke salon kecantikan plus menyiapkan gaun pesta. Jadi Wina tak perlu bingung lagi untuk tampil cantik seperti rekan-rekan alumninya.***Sementara itu, Dirga yang menunggu pasangan pestanya di loby apartemen tak berhenti tersenyum. Ia sedang membayangkan bagaimana lusuhnya penampilan Wita.Awalnya ia tidak berniat men
Wita pikir, kalimat perkenalan Dirga tadi hanyalah bercandaan untuk teman-temannya. Tapi ia salah. Dirga dan teman-temannya serius memperlakukannya seperti pesuruh.Kenyataan bahwa dia adalah asisten rumah tangganya memang benar. Wita juga tak berharap dikenalkan sebagai orang yang spesial. Ia sadar diri, kok. Namun dibawa ke pesta dengan status ‘pembantu’ rupanya sedikit mengusik hati dan harga diri Wita.Wita memang ART Dirga. Tapi hanya berlaku di apartemen dan hanya untuk Dirga. Tidak untuk teman-temannya yang bahkan baru pertama kali ia temui. Sekuat tenaga ia menahan amarah dan air matanya.Jika ia menangis, tak akan ada yang menyeka air matanya. Bahkan kedua tangannya saja sudah sibuk membawakan makanan dan minuman permintaan teman-teman Dirga. Lebih dari 5 kali ia bolak-balik dari stand makanan satu ke stand lainnya.Ia bahkan belum minum sedikitpun atau duduk barang semenit. Apalagi langkahnya yang terhambat karena sepatu tingginya. Sungguh menyusahkan.“Wita, ambilin dessert
Dirga memang menikmati pemandangan di depannya, dimana Wita terus mondar-mandir melaksanakan perintahnya dan teman-temannya. Meski ia yakin bahwa gadis mungil yang ia bawa sudah sangat kesal, namun ia sama sekali tak mengira Wita akan balas dendam secepat itu.Kesenangannya dihempaskan langsung oleh asistennya. Tak hanya marah, ia merasa sangat malu di hadapan teman-teman dan alumni lainnya. Khawatir tak bisa mengendalikan kegilaan Wita, Dirga segera menyeretnya keluar. Karena ia yakin 100 persen bahwa kejadian tadi pasti disengaja.Mencari tempat yang sepi, Dirga menyeret Wita ke teras samping ballroom.Dirga menghentakkan tangan Wita dengan kasar, “kamu gila?!”“Harusnya kamu tanya sama diri kamu sendiri. Kamu gak cuma gila, tapi kamu sudah gak punya hati nurani!” Jawab Wita sedikit berteriak. Tangan kirinya memegangi pergelengan tangan kanannya yang memerah akibat cengkeraman Dirga.“Kenapa, kamu malu jadi pembantu?”Wita menarik napas dalam-dalam, “buk—”“Oooh, atau kamu berharap
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu