“Kata Om, aku kerja kalau pagi aja?” Sungut Wina ketika membersihkan remahan snack ringan yang berserakan di kamar Dirga. Catat, DI KAMAR!Padahal tadi pagi tempat itu sudah bersih dan rapi.“Nanti aku hitung lembur, deh,” tawar Dirga.“Beneran lho, ya? Eh, tapi Om gak bakalan pecat aku selama Mbok Sum libur, kan?” Ya, Wina khawatir saja, setelah tadi pagi menuduh majikannya sebagai pedofil ia akan dipecat.Dirga berjalan mendekati Wina yang tengah membereskan meja belajarnya, “Nah itu yang mau aku omongin dari kemarin.” Ia menyentil dahi Wina karena gemas, “Tapi malah tadi pagi lari ngiprit, dan nuduh aku pedo?!”Wajah Wina memerah, bukan karena sakit disentil, namun karena malu. “Lagian, Om dari kemarin katanya mau ngomong penting gagal terus. Eh, tadi pagi Om malah telanjang.”“Haha, namanya juga orang mandi, Cil. Pokoknya selama Mbok Sum libur, kamu harus gantiin ya.” Ucapnya setelah duduk di ranjang.“Kemarin itu,” lanjutnya. “Mbok Sum bilang kalau liburnya bakal diperpanjang la
RizalGagalkan.! Perintahnya.Tangan Wina mendadak tremor ketika akan melakukan apa yang diperintahkan otaknya. Ia melihat sekelilingnya, memastikan sang majikan masih di kamar dan tidak ada CCTV di ruangan tersebut.Sebelum layar ponsel Dirga kembali terkunci, Wina buru-buru membuka pesan tersebut. Dengan tangan gemetar, Wina segera menggagalkan janji tersebut.Sheryl, siapapun kamu, aku minta maaf ya. Ucap Wina dalam hati saat menghapus pesan dari Sheryl.Setelah selesai, gawai Dirga segera dikembalikan ke tempat semula. Tak lupa mengelapnya dengan kaos yang dipakai untuk menghilangkan sidik jarinya di layar.“Ini punya kamu, ‘kan?”Wina bernapas lega saat Dirga kembali ke ruang tamu tepat disaat aksinya selesai. Namun keterkejutannya datang lagi kala melihat dompetnya ada di tangan Dirga.Dirga menyerahkan kembali dompet mini itu kepada pemiliknya. Sedangkan Wina menerimanya dengan tangan yang sudah panas dingin.“O-om udah buka dompetnya?” Tanya Wina memastikan.Kini giliran Dirga
Cafe Last Day memang merupakan salah satu cafe yang lebih bersahabat untuk kantong menengah ke atas. Jadi tidak heran jika yang datang orang-orang sekelas Sheryl dan Dirga. Sheryl sendiri sangat menyukai cafe tersebut karena sangat nyaman untuk belajar.Di dalamnya juga terdapat perpustakaan besar yang berisi buku-buku dengan berbagai kategori. Suasananya sangat tenang. Sehingga Sheryl memilih mengajak Dirga mengerjakan persiapan sidang tesis mereka di cafe tersebut.“Makasih, Kak.” Ucap Sheryl lembut pada sang waitress. Tadinya, Sheryl belum ingin pesan apa-apa. Tapi karena sudah lumayan lama duduk di situ, akhirnya ia memesan susu coklat. Ya sebenarnya Sheryl memang tidak begitu suka dengan kopi apapun jenisnya, sih.Susu coklat di depannya sudah berkurang hingga setengah gelas. Namun laki-laki yang ditunggunya belum kunjung tiba. Beberapa pengunjung yang tadi datang bersamanya juga sudah meninggalkan mejanya.Jarum panjang dan pendek di jam tangannya sudah bertemu dua kali. Cafe La
Setelah kemarin menyusun rencana, di sinilah Wina. Berdiri di depan pintu apartemen Dirga sambil harap-harap cemas. Wina juga sudah mempersiapkan jawaban andai Dirga tahu bahwa dirinya yang sudah mengahapus pesan tersebut.“Om!” Panggil Wina sedikit keras. “Kok, sepi ya?” ucap Wina saat tidak ada sahutan dari si empunya tempat. Kemudian ia mengetuk pelan pintu kamar sang majikan.“Om, masih hidupkah orangnya?”Cklek!Begitu pintu dibuka, muncullah makhluk sebangsa dengan kaum adam dengan penampilan berantakan, mata ngantuk, dan wajah kusut. “Kirain abang-abang GoEat,” ujar Dirga seenaknya.“Mana ada, Om. Pengantar makanan nganterin sampe depan pintu kamar!” protes Wina.Tak tahan melihat wajah kusut sang dokter, Wina menyuruhnya untuk mandi dulu.Tak lama kemudian, makanan yang dipesan Dirga pun datang. Aroma lezat dari makanan tersebut langsung menguar memenuhi apartemen Dirga.“Wangi bangeeeet ... ""Ooom! Makanannya datang nih!” teriak Wina.Setelah mandi, Dirga memang terlihat le
Suasana kamar Dirga masih hening. Gadis berbadan mungil yang masih tergelung di bawah selimut juga membisu. Memikirkan jawaban apa yang tidak akan membangunkan kemarahan sang majikan.Sementara laki-laki yang masih mengenakan handuk itu tetap menatap sang asisten layaknya seorang tersangka. Tentu saja Wina langsung tertuduh karena dari kemarin hanya dia yang memegang ponselnya itu.“Jawab!”Wina langsung membasahi kerongkongannya dengan ludahnya yang mendadak hilang. “O-om, dari kemarin’kan data selulernya tidak diaktifin. Jadi mana aku tahu kalau ada panggilan atau pesan.”Masuk akal juga, sih, batin Dirga.“Terus chat yang hilang?” Tanya Dirga lagi, rasanya misteri kemana musnahnya pesan dari sang pujaan hati belum juga terpecahkan.Salah satu cara untuk membuat kita yang salah terlihat tidak bersalah adalah dengan memarahi balik sang korban sesungguhnya.Sebelum menjawab, Wina bangkit. Berdiri di atas ranjang, membuang selimutnya begitu saja. Lalu berkacak pinggang dengan mata mena
Pagi ini, terpaksa Dirga pergi olahraga sendiri karena asistennya masih belum mau diajak. Beberapa hari selalu ditemani Wina, membuat pagi ini terasa lebih sepi. Biasanya akan ada ocehan-ocehan tidak jelas dari makhluk mungil itu. Entah pertanyaan random, atau sekedar keluhan untuk memintanya berhenti lari.Dan...satu lagi. Ia akan aman dari gangguan wanita-wanita dan ibu-ibu genit yang ingin mendekatinya. “Mas Dokter, sendiri saja?” Sapa seorang wanita dengan pakaian olahraga sangat ketat, lengkap dengan topi yang depannya selebar Danau Toba.Nah, kan. Baru saja dibatin sudah datang satu pengganggu. Dia adalah Sinta. Seorang instruktur senam—kabar beredar dia adalah seorang single mom.Bukan. Dirga tidak mempermasalahkan profesi atau statusnya, tapi sifatnya.“Iya, Mbak. Saya permisi duluan, ya.” Pamit Dirga dengan sedikit mempercepat langkahnya. Tapi sayang wanita berbaju pink fanta itu malah ikut mempercepat larinya.“Dirga!” Panggil seseorang dengan sedikit berteriak.Saat menoleh
“See, aku emang gak pernah salah menilai tubuh cewek,” kata seorang laki-laki yang menangkap tubuh Wina. Suaranya begitu berat, dan saat mendongak Wina lebih terkejut lagi.Lidah Wina mendadak kaku. Laki-laki bermata sipit di depannya ini tidak seharusnya mengetahui identitas aslinya, atau samarannya akan hancur setelah ini.Pria berkemeja biru langit—yang masih setengah memeluk Wina—itu adalah Aldo.Aldo mengeluarkan smirk-nya. Auranya sangat berbeda jauh dari sosok Aldo yang pernah Wina temui di apartemen Dirga.“So, who really you are?”Buru-buru Wina melepaskan diri dari Aldo. Menghembuskan napas panjangnya. Menetralkan kembali raut wajahnya.“Maaf, salah orang.” Elak Wina dengan halus. Ia juga tersenyum sebelum meninggalkan Aldo. Ekpresi wajahnya sangat ramah dan tenang. Bertolak belakang dengan hatinya yang tengah berkecamuk.Namun baru beberapa langkah, terdengar tawa dari belakang. Di sana Aldo tengah tertawa mengejek. Wina berusaha mengabaikannya dengan melanjutkan langkahnya
Keesokan harinya, Wina datang ke apartemen sedikit siang karena harus ke rumah sakit terlebih dulu.Ia berjalan dengan langkah cepat menuju unit apartemen Dirga. Namun di belakangnya, Wina juga merasakan laki-laki berwajah oriental, Aldo, mengejarnya dan mempercepat langkahnya. Tepat di belakangnya.Begitu Wina membuka pintu apartemen, laki-laki yang sedari tadi mengikuti tanpa suara juga ikut masuk.“Ngapain ngikutin, sih?”Dengan pongahnya, Aldo duduk santai di sofa ruang tamu. Menumpukan punggungnya di senderan sofa dengan kaki disilang. “Ngawasin penjahat yang sedang cosplay jadi bocah,” sahut Aldo enteng.Wina menghela napasnya berat. Untung saja majikannya sedang tidak ada di apartemen. Ia berniat untuk tidak mempedulikan lelaki yang memancarkan aura permusuhan dan menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin.“Jadi tujuan kamu apa?” Tanya Aldo dengan nada ketus.Wina mendekati Aldo di sofa. “Gak ada urusannya sama kamu!”“Kalau sampai kamu bilang sama dokter Dirga,” lanjutnya. “A
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu