Indra duduk di depan meja laptopnya. Matanya memandangi layar laptopnya. Kursor yang berkedip seolah-olah menantangnya berkelahi. Hanya ada dua kata di layar laptop itu, yaitu bab tiga. Di samping laptopnya ada manuskrip bab satu yang yang ditulisi Bu Caca “Mohon temui saya.” Pikirannya buntu. Indra tidak bisa berpikir dengan jernih. Padahal, bahan-bahan untuk menulis bab tiga sudah tersedia di mejanya. Tetapi, Indra merasakan otaknya tidak mampu diajak bekerja. Dia memutuskan untuk tiduran saja. Indra mengatur nafasnya yang tadi tersengal-sengal. Dirinya tahu persis kenapa nafasnya memburu. Dia bimbang dan cemas menimbang salah satu pilihan. Apakah dia akan mengajak Bu Caca berkencan atau tidak? Indra memang tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama. Dan dia tidak pernah mengalaminya. Baginya, cinta adalah sesuatu yang kompleks, tumbuh dan berkembang seiring waktu. Jatuh cinta merupakan suatu proses yang rumit dan tidak bisa terjadi dalam sekejap mata. Indra pikir, ja
Entah kekuatan darimana, Indra berdiri dan menawarkan bantuan. Bu Caca memberikan beban di tangan kanannya. “Silahkan duduk.” kata Bu Caca singkat. Indra menuruti perkataan Bu Caca. Dengan perlahan, Indra mendekati kursi yang ditunjuk oleh Bu Caca. Duak… Suara keras terdengar dari bawah, berasal dari kakinya. Indra melompat kaget. Sesaat kemudian dia sadar. Kakinya mengkhianatinya terlebih dahulu. Saat dia berjalan mendekati kursi untuk duduk, kakinya beradu dengan kaki kursi dengan keras. Suara beradu yang keras antara sepatunya dan kaki kursi membuatnya melompat dan berhasil membuatnya tampak konyol. Sepersekian detik, Indra melirik pada Bu Caca. Bu Caca juga tak kalah kaget. “Kamu kenapa?” tanya Bu Caca dengan wajah kaget. “Bodoh.” kutuk Indra dalam hati. “Tidak apa-apa Bu. Sepertinya saya terlalu bersemangat hari ini. Jadi kaki kursi yang sudah ada di sini terlebih dahulu dan tidak bersalah saya tending.” kata Indra berkelakar. Indra mencoba mengusir ciutnya nyali dengan b
Caca tersenyum lebar. Giginya yang putih dan tertata rapi seperti biji mentimun nampak dengan jelas. Kepalanya sedikit mendongak memperlihatkan lehernya yang jenjang dan mulus. Dadanya terasa ringan. Nafasnya terasa enteng dan mudah.“Kamu, apa yang kamu tawarkan pada Pak Warek agar proposal itu disetujui?” tanya Jasmine yamng berada di depan Caca keheranan.“Ck… Gampang. Merayu Bapak Warek yang ganteng bukan suatu masalah besar bagi Mak Lampir penguasa Biro Urusan Luar Negeri.”“Apa kok? Kamu membuatku penasaran.” Jasmine semakin tidak sabar.“Aku bilang bahwa kalau proposal ini tidak disetujui, aku akan mengajukan proposal ini pada pihak swasta.”“Kamu?” mata Jasmine terbelalak. “Ndak mungkin. Kamu gila.” Jasmine setengah berteriak, dan langsung menutup mulutnya.Caca mengangguk bangga, “Ya. Aku setengah mengancam pada Pak Warek. Aku bisa saja mengajukan proposal ini pada pihak swasta tetapi dengan resiko kalau semua hasil dari pertukaran doktor ini akan menjadi milik pihak swasta.”
Kelas yang Caca ajar selesai pukul sembilan lewat tiga puluh tujuh. Dengan berbagai pertimbangan, dia tidak jadi makan dan langsung menuju kantornya. Caca tidak mau terlambat bertemu dengan Indra. Selain tidak mencerminkan dirinya terlambat, dia ingin segera bertemu dengan Indra.Saat Caca melihat wajah Indra yang pucat dan serius, Caca bertanya-tanya apakah Indra sedang sakit. Namun, pikirannya salah ketika dia mendengar saat Indra bertanya.“Apakah Bu Caca bersedia makan malam dengan saya?”Bagaikan petir menyambarnya di siang hari terik. Caca mendengar jelas perkataan Indra tersebut. Tetapi karena kaget dan tidak tahu respon seperti apa yang akan Caca berikan, dengan bodohnya dia berkilah bahwa dia tidak mendengar kata-kata Indra.Indra mengajaknya makan malam. Caca tahu pasti makan malam itu adalah cara Indra untuk mendekatinya. Dengan kata lain, Indra juga menaruh hati padanya.Maka terjawab sudah bagi Caca, Indra yang tampak pucat bukan karena sakit. Indra grogi untuk menyatakan
Mata Caca memandang kosong ke arah pintu kepada sosok yang baru saja keluar dari pintu tersebut. Mulut Caca masih menganga. Dengan lutut yang lemas dan goyah, dia sekuat tenaga berdiri dan berjalan menuju pintu. Ditutupnya pintu tersebut dari dalam. Dirinya berbalik arah menyender pada pintu. Lututnya yang lemas tidak mau diajak berjalan. Tubuhnya merosot duduk bersila bersandar pada pintunya.Badannya membungkuk meringkuk. Tangannya menutupi wajahnya. Tenggorokannya tercekat, seolah-olah menyempit, dan kering. Bahunya naik turun bersamaan dengan tangisannya yang tak bersuara. Air matanya menetes membasahi kedua telapak tangannya.“Bodoh… Bodoh… Bodoh…”Tangan kirinya memegangi dahinya. Tangan kanannya sibuk memukuli pahanya. Nafasnya tersengal-sengal tidak beraturan. Dia mengusap air mata dari pipinya. Hidungnya mulai berair. Dia ingin berdiri dan mengambil tisu, namun lututnya masih lemas tidak mau diajak berdiri.“Kenapa aku tolak ajakan Indra?”Tangan Caca mengelus-elus dadanya. D
Disaat itu, mata Caca melotot hampir lepas dari tempatnya. Matanya tepat melihat ke pintu ruangannya. Disana berdiri Indra yang tertegun mematung. Tangan Indra membeku berhenti beberapa sentimeter dari pintu yang hendak diketuknya.Caca juga mematung. Kedua telapak tangan Caca reflek menutupi seluruh wajahnya.Caca merasakan seolah-olah bumi berhenyi berputar dan waktu tidak berjalan. Inginnya, Caca sembunyi saja di bawah kolong meja atau kalau bisa langsung lari keluar dari ruangannya.“Eh, Pak Indra. Silahkan masuk Pak.” kata Jasmine yang memecah keheningan.“Kok disuruh masuk sih Mbak,” Protes Caca dalam hati atas keputusan Jasmine yang menyuruh Indra masuk.Setelah berusaha keras menyetel wajahnya agar terlihat normal, dengan perlahan Caca menurunkan telapak tangannya. Saat telapak tangan itu turun, matanya langsung tertuju pada Indra. Saat itu, Indra terlihat malu-malu dan wajahnya memerah.Caca sendiri tidak bisa membayangkan betapa merah wajahnya. Caca yakin Indra mendengar apa
Hari selasa adalah hari yang ditunggu-tunggu Caca. Hari ini adalah hari yang istimewa dimana dia mengajar kelasnya Indra. Hari ini akan menjadi lebih istimewa karena dia akan menjalankan rencananya mendekati Indra.Setelah menghabiskan sekitar lima belas menit untuk memilih pakaian. Bahkan Caca juga mengaplikasikan riasan wajah yang lebih daripada biasanya. Setelah merasa puas dengan riasan wajahnya dan bajunya, Caca segera turun.Tidak ada siapapun di meja makan. Akhirnya, Caca memutuskan untuk tidak sarapan meskipun perutnya perih minta ampun. Ditambah lagi, jantungnya yang berdebar-debar menunggu kelas nanti siang. Rasanya Caca mempunyai energi lebih meskipun tidak ada sarapan.Sesaat sebelum mengajar kelas Indra, keraguan menyisip pelan-pelan. Hati kecilnya menanyakan berbagai pertanyaan seperti, bagaimana kalau ternyata Indra sakit hati atas penolakan kemarin? Bagaimana kalau ternyata karena sakit hati itu, Indra tidak mau membantunya? Apa lebih baik tidak meminta bantuan dari In
“Se.. Sebenarnya, saya mau mengajak kamu bekerja sama.” ujar Caca dengan suara yang masih gelagapan.Dalam hati Caca mengumpat. Caca benci dirinya sendiri yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri.Indra menatapnya. Tatapan mata Indra seolah-olah menelanjanginya. Lutut Caca sudah menyerah tidak mampu menahan berat badannya sendiri.“Bekerja sama?” mata Indra menyipit, dahinya berkerut.“Ya. Sebelumnya, apakah kamu sudah menjalani seminar akademik atau proceeding sebagai salah satu syarat kelulusan?”“Belum Bu. Saya berencana untuk menerbitkan jurnal saya di jurnal internasional. Saya tidak berniat untuk ikut seminar atau proceeding karena butuh persiapan yang lama dan kemungkinan juga dilaksanakan di luar kota atau bahkan luar negeri. Lagipula waktu pelaksanaannya proceeding sudah ditentukan, tidak sepanjang tahun seperti publikasi jurnal. Jadi saya berpikir publikasi di jurnal saja lebih cepat daripada ikut proceding.”“Kebetulan sekali kalau begitu, saya mau menawarkan bagaimana jik
“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter
Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu
“Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba
Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja