Fokus Caca terhenti ketika pintu ruangannya yang terbuka diketuk pelan. Matanya menatap ke pintu. Bisa saja dia meninggal saat itu juga karena jantung berhenti berdetak lebih dari dua detik. Butuh lebih dari lima detik untuk memulihkan seluruh fungsi di tubuhnya.Caca tidak bisa mengendalikan bibirnya untuk mempersembahkan senyummannya yang paling manis pada Indra. Pipinya bersemu merah. Untuk menutupi malunya, Caca menundukkan kepalanya.Kupu-kupu itu lagi-lagi menggelitiki perutnya. Caca bahkan lupa apa yang dia pikirkan beberapa saat yang lalu.Dalam hati, Caca berkata, “Aku menginginkan Indra.”Hilang sudah apa yang Caca niatkan tadi. Hatinya melebihi logikanya. Hanya ada Indra di dunia Caca sekarang.Caca terhenyak, tak lagi menyandar pada mejanya. Caca berkata, “Masuk Ndra...”Sadar atas kesalahannya, Caca meralat ucapannya, kali ini dengan suara yang lebih keras, Caca berkata, “Silahkan masuk Pak Indra.”Indra tersipu, “Saya pikir, saya tidak akan bertemu Bu Syasmala.”“Saya se
Satu jam kemudian, Caca sudah ada di food court sebuah mall besar. Wajahnya masih cemberut menyesali keputusannya yang akhirnya menuruti kemauan Indra.Sepertinya, Indra menyadari hal itu, dia bertanya pada Caca, “Kamu kenapa?”Caca menyembunyikan wajahnya yang cemberut, berusaha menampilkan senyum di bibirnya, dan menjawab, “Tidak apa. Ada masalah di kampus, tapi bukan suatu masalah besar.”Indra mengangguk saja. Sepertinya Indra percaya saja apa yang diomongkan Caca.“Kamu mau makan apa?” tanya Indra yang masih berdiri.“Apa ya? Mie ayam sepertinya enak deh.”“Minumnya?”“Terserah.”“Tidak ada stand minuman di food court ini yang menjual minuman terserah. Kalau ada, aku yakin, stand itu menjadi stand paling ramai di sini.”Caca tergelak, “Es teh.”Indra bergesa pergi memesankan makanan Caca. Selama Indra pergi, Caca kembali cemberut. Caca membenci dirinya sendiri yang tidak tegas dalam mengambil keputusan dan juga dalam menjalankan keputusan yang sudah dibuatnya sendiri. Caca sadar,
Indra masih menatap mata Caca. Caca terbuai karenanya. Caca terbawa terbang oleh sekedar tatapan mata seorang lelaki. Baru kali ini Caca mengalami pengalaman seperti ini. Bahkan Satrio tak mampu membuatnya membumbung hanya karena tatapan mata. “Berarti Papamu adalah satu-satunya lelaki di rumah?” “Ya.” “Ada berapa orang di keluargamu?” “Papa dan Mama, aku, Ratu yang adik bungsuku tadi, dan Mbah atau nenekku. Maya, adikku sudah tinggal sama suaminya. Mungkin setelah ini Ratu juga akan pindah rumah, tinggal dengan suaminya.” Caca berhenti berkata di sana. Hatinya terlalu sakit jika Caca harus meneruskan ceritanya. Caca hanya berharap Indra tahu bahwa dia hampir dilangkahi menikah oleh kedua adiknya tanpa harus mengatakannya. Tapi sepertinya Indra tidak mengerti apa maksud Caca. Karena setelahnya Indra mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, “Kamu kuliah S3 dengan beasiswa? Kamu dulu ambil S3 dimana?” Caca menggeleng, “Aku mengambil S3 atas biaya sendiri. Maksudku Papaku yang memb
Mata Caca melotot melihat Hyundai Palisade itu nanar. Caca berkeringat di dalam mobil Indra. Kakinya tidak bisa diam. Kalau saja bisa, Caca ingin sekali tidak pulang. Dia tidak ingin masuk ke rumahnya. Badai besar sedang menunggunya di rumah.“Kamu sakit?” tanya Indra yang ternyata menyadari perubahan ekpresi dan gestur tubuh Caca.Caca sedikit terperanjat karena pertanyaan itu. Suara Indra membuatnya tersadar dari lamunan dan gejolak pikirannya.Caca menggeleng, “Tidak.”“Kamu kenapa berkeringat? AC-nya kurang kenceng?” tanya Indra dengan nada gugup dan panik. Tangan Indra meraba-raba outlet pendingin udara mobilnya.Caca menggeleng, “Tidak, aku tidak apa-apa.”Indra mengangguk dengan ragu-ragu. Jelas terpancar di wajah Indra rona keridakpercayaan.“Kamu bisa turunkan aku di depan mobil itu?” kata Caca menunjuk mobil Satrio. Caca tidak ingin orang rumah dan Satrio mengetahui dia berhubungan dengan Indra. Dengan turun di depan Hyundai itu, Caca harap pandangan dari rumah ke arah mobil
“Kamu nggak mikir perasaan dokter Satrio menunggu kamu dari tadi sehabis Maghrib sampai sekarang? Mau jadi istri model apa kamu nanti?”Kemarahan Caca semakin memuncak. Jari jemari kaki Caca bergerak-gerak di dalam sepatunya. Tangan kanannya menggaruki punggung tangan kirinya. Matanya sempat melirik pada Satrio. Satrio terlihat canggung di tempat duduknya.Lalu dengan sigap, Satrio berkata, “Mbah, mohon maaf, saya tidak keberatan. Dik Caca juga pasti sedang repot urusan di kampus.”Kata-kata Satrio tersebut rupanya ampuh untuk meredam kata-kata pedas yang akan keluar dari mulut Mbah.“Untung kamu akan menikah dengan suami seperti dokter Satrio yang sabar.” timpal Mbah.“Oh, hampir lupa. Saya ada sedikit oleh-oleh. Semoga berkenan di hati Adik.” Satrio mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam yang terbungkus pita warna merah muda. Kotak itu terlihat sangat mewah dan elegan.Hati Caca berbunga-bunga. Caca memang tidak pernah mengingkari bahwa hadiah-hadiah yang diberikan Satrio selal
Semalam, Caca pergi tidur tanpa bergangi baju dan mandi. Dia tertidur karena capek menangis. Pagi harinya, Caca turun dengan membawa optimisme yang membuncah. Harapannya hanya satu, menemui Papa. Hari minggu, Papa pasti ada di meja makan, mengobrol seperti hari-hari minggu yang sebelumnya.Caca yakin, Papa pasti bisa memberikan solusi atas masalahnya. Papa pasti bisa melihat situasi ini dari sudut pandang yang berbeda. Papa pasti bisa memberikan solusi dari kebijaksanaan dan luasnya hati Papa.Hatinya sedikit mencelos ketika hanya melihat Mama yang duduk di meja makan.“Papa mana Ma?” tanya Caca sembari setelah mengambil duduk di depan Mama.“Papamu ke Jakarta pagi-pagi subuh tadi. Besok katanya ada pertemuan dengan Departemen Perdagangan. Ada apa Sayang?”Caca menggeleng. Dia ragu.“Mbah mana Ma?”“Itu ada di belakang, lagi ngurusi anggrek-anggreknya sama Pak Jo dan Mas Tar. Kenapa?”“Aku boleh cerita tah Ma?”Mama yang sedang membaca entah apa di ponselnya, meletakkan ponsel tersebu
Satrio belum beranjak dari sajadahnya. Tangannya masih mengadah ke atas. Pikirannya fokus berdoa pada Allah. Bibirnya masih komat-kamit memanjatkan doa. Di tengah sepinya dini hari itu, dia benar-benar berusaha mendekatkan diri pada Sang Penguasa Alam. Dia beranjak dari sajadahnya ketika adzan subuh berkumandang lalu beranjak ke masjid.Hari itu adalah hari minggu. Meski begitu, dia ada kegiatan paginya, yaitu mendatangi majelis ilmu yang ada di daerah Sawojajar jam tujuh pagi. Ada ustadz dari Jember yang sedang melakukan safari dakwah. Dia tidak mau melewatkan kesempatan mengikuti majelis ilmu dari ustadz yang terkenal akan keilmuannya atas ilmu fiqih. Kebetulan, kali ini materi kajiannya adalah fiqih-fiqih dalam rumah tangga. Satrio merasa dirinya harus hadir dalam majelis ilmu itu. Sebentar lagi, dia akan menikah dan harus mempersiapkan dirinya.Jam enam, Satrio mengambil handuknya dan mandi sebelum berangkat ke majelis ilmu.Menikah, apakah dia benar-benar akan menikah dengan Caca
Kakeknya tertegun. Seraya meletakkan sekop kecil yang dipegang, Kakeknya berkata dengan nada sewot, “Kamu dari mana? Kesambet kamu?”Satrio tetap tidak merubah mimik wajahnya yang serius. Satrio paham kenapa Kakek menanyakan apakah dia kesambet. Kesambet mengacu pada kerasukan makhluk halus yang menyebabkan seseorang bertindak diluar kewajaran.“Kok iso kesambet?” balas Satrio datar.“Kamu datang-datang minta nikah hari ini, kamu pikir pernikahan tidak butuh persiapan?” Kakek menatap Satrio tajam.“Tidak bisa. Harinya sudah dihitung. Hari yang sudah ditetapkan itu adalah hari baik. Kita tidak bisa seenaknya memajukan atau memundurkan. Akibatnya bisa parah.” Pungkas Kakek lalu memungut sekop yang tergeletak di tanah.Satrio tidak tinggal diam. Dia tidak menyerah.“Kek, semua hari ‘kan hari baik. Mau lamaran kapanpun, menikah kapanpun, baik. Tidak ada hari yang buruk. Yang ada adalah hari terbaik diantara yang terbaik, yaitu hari jumat. Lagipula akibat apa yang akan terjadi? Aku sedang
“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter
Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu
“Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba
Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja