Di ruangan lain, Abian masuk dengan wajah datarnya, membuat kedua wanita yang tengah asik mengobrol pun seketika menoleh saat melihat Abian datang.
"Lho, Mas. Kamu kesini?""Hmm, iya sayang." Abian duduk di samping wanitanya, lalu merangkulnya dengan mesra, tanpa malu-malu dia mengecup pipi kanan Flora."Kangen, sayang.""Mas.." Panggil Flora sambil mengingatkan kalau disini bukan hanya ada mereka berdua di ruangan ini."Biarin aja, anggap gak ada.""Astaga, kamu sampai segitunya sama kakak sendiri, Abi.""Hahaha, maaf." Abian cengengesan, tapi tidak melepaskan rangkulan tangannya dari tengkuk Flora. Wanita itu juga diam saja, percuma juga dia meronta karena itu hanya akan membuang tenaganya saja. Abian pasti akan melakukannya lagi dan lagi."Sayang, tadi siapa yang datang?""Ibu tiri." Jawab Flora ketus sambil mengambil cangkir berisi teh dan meminumnya dengan perlahan."Kamu apain dia?"<"Pintar sekali wanita itu memutar balikan fakta, padahal sebenarnya dia yang datang dan membuat Flora kehilangan kesabaran." Abian tersenyum sinis."Pa, bukan maksud saya ingin ikut campur, tapi sebaiknya nasihati istri anda agar tidak mengganggu ketenangan Flora. Oke, selama ini dia diam mungkin karena masih menaruh hormat padanya sebagai istri anda. Tapi anda lihat sendiri kan sekarang? Bahkan semut kecil pun bisa menggigit jika merasa terinjak-injak.""Masalahnya, Maya itu bukan tipe wanita yang mendengarkan nasihat. Dia akan bicara sebelum saya selesai bicara." Ucap Adijaya sambil menghela nafasnya kasar. Beberapa bulan ini, hubungannya dengan sang istri renggang karena Maya yang mulai terlihat sifat aslinya."Memangnya dari mana sih Anda mendapatkan wanita seperti itu?""Dulu, saya pikir karena Maya dan Flora dekat. Jadi Maya bisa dengan mudah memahami Flora karena usia mereka juga tidak terlalu jauh berbeda, tapi ternyata perkiraan saya sala
Di balik tembok, ada Santi yang tersenyum melihat kehangatan yang di bangun keduanya. Akhirnya, keduanya bisa saling memaafkan dan berdamai dengan keadaan. Dirinya sadar kalau hubungan anak dan ibu itu takkan pernah lekang oleh waktu, orang tua bisa saja salah, apalagi anak. Tapi jika keduanya bisa menerima dan memaafkan kesalahan masing-masing, maka kehidupan mereka akan terasa tenang."Flora, harusnya kau disini dan melihat semuanya. Lihatlah, Ibu dan Abian kini berdamai dan saling memaafkan. Aahh, andai saja Mbak Winda ada disini." Gumamnya lirih sambil menundukkan kepalanya, hatinya terasa sakit jika mengingat tentang Winda. Wanita itu meninggalkan banyak kenangan, meskipun lebih banyak kenangan buruknya tapi tetap saja kehadirannya sangat di rindukan."Mbak Santi, ngapain disana? Nguping yaa?" Goda Abian yang membuat Santi mencebik, dia pun berjalan mendekat ke arah dua orang itu dan menyelip di tengah-tengah mereka."Karena kita keluarga, jadi harus
"Apa aku bisa, Mbak?" Tanya Abian pada Santi. Dia menanti dengan harap-harap cemas saat ini. Di sebuah taman yang sudah dia persiapkan jauh-jauh hari. Tamannya di hias sedemikian rupa dengan dekorasi bunga-bunga dan lilin yang membentuk bentuk love."Tentu, kamu harus bisa. Kamu sudah sejauh ini, tidak ada langkah untuk mundur sekarang, kamu sudah di tepian jurang, Abi." Ucap Santi. Di belakang wanita itu, ada Ranti yang menatap penuh haru ke arah putranya yang terlihat gagah dengan menggunakan setelan jas hitam, rambutnya di tata sedemikian rupa agar terlihat jauh lebih tampan.Abian menghela nafasnya beberapa kali, jantungnya berdegup dengan kencang. Dia tak sabar menunggu wanitanya datang, saat ini Flora tengah berada di dalam perjalanan bersama Kalandra.Disini, bukan hanya ada keluarga Abian, tapi semua karyawan yang bekerja di toko kue Flora juga hadir untuk menyaksikan moment berharga Flora dan Abian.Di tempat lain, Flora menatap heran ke
"Flora, will you marry me?" Pertanyaan keramat keluar dari mulut Abian, membuat air mata Flora menetes seketika. Emosional, dia merasakannya saat ini. Sekarang, dia tahu kenapa para wanita yang di lamar dengan hebatnya oleh pria mereka selalu menangis, kini dia tahu apa alasannya."Yang, pegel..""Yes, i Will.." jawab Flora yang membuat Abian segera berdiri dan memeluk wanitanya. Keduanya berpelukan dengan haru, Flora menangis di pelukan Abian dan pria itu tersenyum lebar karena ternyata kegugupannya itu tidak mempengaruhi apapun, meskipun ada banyak kata-kata romantis yang dia lupakan karena gugup berlebihan tadi."Terimakasih, terimakasih sudah menerima pria biasa ini, sayang." Bisik Abian di telinga Flora, membuat wanita itu mengeratkan pelukannya di tubuh Abian."Tidak, harusnya aku yang berterimakasih karena kamu mau menerima semua kekuranganku, Mas.""Kamu tidak memiliki kekurangan, sayang. Sebagai pria yang mencintaimu dengan luar
"Laper, Mas." Rengek Flora. Meskipun tubuhnya telah di gempur habis-habisan, tetap saja rasa lapar di perutnya belum hilang."Sebentar, Mas hangatin dulu omelette nya, sayang." Abian memakai kembali boxernya lalu pergi dari kamar untuk mengambilkan makanan.Tak memerlukan waktu yang lama, Abian kembali dengan sepiring omelette yang sudah dia hangatkan agar tidak terlalu amis. Dia menyuapi wanitanya dengan perlahan. Sesekali dia meringis ketika melihat keadaan wanitanya yang mengenaskan. Bahkan bibirnya bengkak karena tak sengaja Abian menggigitnya cukup kuat karena terlalu bernafsu."Maaf, sayang..""Tidak apa-apa, kita sama-sama menikmatinya, Mas." Jawab Flora sambil tersenyum kecil."Kamu cantik sekali, sayang." Puji Abian sambil membelai wajah cantik Flora."Aku masih laper, Mas.""Maaf, sayang. Ini Mas udah kupasin buah." Abian menyuapi wanitanya dengan buah-buahan yang sudah di kupas dan potong-potong agar memudahka
"Lihat doang, sayang. Masih bengkak atau enggak, kalau sakit ya Mas gak bakalan tega juga.""Omong doang gitu, semalam juga aku udah minta udahan karena sakit, tapi kamu gak denger!" Kesalnya sambil memalingkan wajahnya."Hehe, aku lagi nafsu banget itu, sayang.""Nyebelin!""Maaf, sayangku.""Pokoknya aku kesel sama kamu!" Ucap Flora dengan kedua tangan yang bersedekap di dada, menandakan kalau dia benar-benar tengah kesal saat ini."Gemesnya.." Abian terkekeh, tangannya terus bergerak-gerak di kaki Flora, dia tengah memanjakan wanitanya dengan cara memijatnya agar tubuhnya rileks."Sshhh..""Kenapa cantikku?""Perih, Mas.""Aduh, ayo kita periksa ke dokter aja. Kalo dokternya nanya, nanti Mas jawab di gigit komodo.""Bukan komodo tapi buaya!" Kesalnya sambil mendelik, membuat Abian terkekeh pelan."Iya deh, aku buayanya.""Ngaku juga akhirnya.""Buaya ini g
"Flora..""Hallo, Mas. Apa kabar?" Tanya Flora. Dia memaksakan senyumnya saat pria yang begitu menyakiti hatinya itu telah duduk di hadapannya.Fisiknya jauh berubah, kepalanya plontos, tubuhnya kurus dengan wajah yang tidak terawat sama sekali, lingkaran hitam di bawah matanya juga terlihat dengan jelas."Aku tidak baik-baik saja, Flo.""Tapi ini adalah hukuman atas semua perbuatan yang telah kamu lakukan, Mas. Kamu pasti sudah tahu bukan? Setiap perbuatan, pasti ada balasannya." Jawab Flora."Aku minta maaf, Flo.""Rasanya sulit, Mas. Mulutku bisa mengatakan kalau aku memaafkan, tapi tidak dengan hatiku. Sakit, rasanya sangat sakit.""Aku tahu, rasa sakit yang aku berikan pasti meninggalkan bekas.""Kamu tidak pernah memberiku banyak hal, selain rasa sakit." Lirih Flora tanpa menatap Arifin. Dia sudah tahu kalau bertemu pria itu pasti akan membuka kembali luka lama, tapi dia tidak ingin menyimpan dendam apapun
Beberapa minggu telah berlalu, hari ini adalah hari yang paling di tunggu-tunggu oleh Flora dan Abian. Hari ini adalah hari yang akan menjadi hari bersejarah untuk keduanya, perjuangan mereka akan berakhir saat ini.Di sebuah ruangan, Flora tengah duduk dengan gelisah. Beberapa kali dia menghembuskan nafasnya dengan kasar, lalu kembali mematut diri di cermin memperhatikan penampilannya yang sudah sempurna.Kebaya putih gading menempel sempurna di tubuhnya yang ramping. Beberapa bulan lalu, Flora diet cukup ketat untuk menurunkan berat badannya menjadi lebih ideal agar terlihat sempurna di hari bahagianya."Wah, kamu cantik sekali, Flo." Ucap Santi yang baru masuk untuk melihat penampilan Flora, calon adik iparnya. Wanita itu juga terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna pink pastel yang di padukan dengan kain songket sebagai roknya. Rambutnya di sanggul rapih, membuat penampilannya terlihat dewasa sesuai usianya saat ini."Mbak..""K
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.