Leon sudah sangat terkejut mendengar pernyataan yang luar biasa frontal dari Silvana. Namun pria itu mulai mengembalikan ekspresi wajahnya ke posisi semula. Seharusnya dia bisa lebih siap menghadapi Silvana, karena gadis itu memang selalu terang-terangan mengungkapkan perasaannya. “Itu pun kalau kau memang sanggup mencintaku.” Leon tidak menyangka bahwa dirinya malah mengatakan sesuatu bernada menantang pada Silvana. Mendengar dia berkata demikian, gadis itu menyunggingkan senyuman manisnya. “Sangat mudah buatku, kalau tidak sanggup aku tidak mungkin masih mengejarmu seperti ini, Sir. Hanya saja aku tidak suka melanggar apa yang sudah aku janjikan padamu. Ingat yang pernah aku bilang waktu itu?” Leon tentu tidak akan pernah melupakan apa saja yang pernah terjadi diantara mereka berdua, sebelum maupun sesudahnya. Tiba-tiba hal itu menjadi sebuah kenangan yang sulit untuk pudar seiring berjalannya waktu. Dan bila dia mengingat apa yang Silvana katakan sebelum mereka akhirnya tidur ber
Leon kini melupakan urusannya untuk mengganti kopi baru untuk Silvana. Pria itu tiba-tiba saja sudah bergerak untuk menyerangnya, melepas kerinduan yang dia tahan sejak lama. Silvana membuatnya tidak tahan. “Silvana.” Leon menyebut namanya. Leon menggunakan ibu jarinya untuk membelai salah satu tulang pipi mahasiswi cantiknya itu dengan penuh perasaan. Mereka berdua saling menatap. Kata-kata yang tak terucapkan membakar mereka dalam sebuah kebutuhan untuk menuntaskan birahi sebagai dua insan yang kehausan. Sekali lagi pria itu menekan bibirnya pada bibir Silvana untuk mengungkapkan banyak hal yang akhir-akhir ini benar-benar mengganggu dirinya. Silvana sendiri menyambutnya dengan penuh gairah yang sama. Entahlah ini seperti mereka berdua memang pada dasarnya sudah saling merindukan. Pria itu menciumnya dengan sangat putus asa, apalagi ketika Silvana merasakan lidah pria itu mencoba untuk menjelajahi mulutnya dengan terlalu bersemangat. Sementara tangannya mulai bergerak untuk membe
“Good—” Silvana berhenti sesaat untuk menempelkannya pada bibir Sir Leon “—morning—” Disusul dengan satu kecupan lagi. “—Sir Leon”Sir Leon terlihat menerbitkan senyumannya setelah mendapatkan tiga kecupan ringan dibibirnya. Dia sedikit mengangkat tubuhnya sehingga kepala Silvana bisa berada dalam dadanya sementara tangan pria bergerak mengelus kepalanya. “Good morning, Princess,” sambut Leon pula dengan suara rendah yang bagi Silvana seksi luar biasaSilvana hanya bisa sedikit meringis mendengar sebutan itu. Dia juga menangkap adanya binar-binar indah pada kedua kelopak mata berwarna coklat yang kini menjadi warna favorit gadis itu.Sejenak, Silvana mengangkat tangannya untuk sekadar membelai pipi sang dosen tampan dengan cara yang lembut. Pria itu menerimanya dengan hangat, wajahnya terlihat rileks ketika tangan Silvana mendarat disana. Pria itu tanpa diduga juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Silvana. Sir Leon mengelus pipinya pula. “Jadi, kita secara otomatis
Silvana kini hanya bisa melebarkan kedua matanya, senyum lebar yang sejak tadi dia tahan kini mulai terlukis secara sempurna pada air mukanya. Ini adalah pematik kebahagiaan setelah sekian lama. Seluruh wajahnya langsung memerah, dan dia menjerit kecil. Silvana gemas dengan situasi mereka yang bagai sepasang anak kecil yang baru mengenal cinta. Tanpa tedeng aling-aling, gadis itu segera melingkarkan kedua tangannya pada leher pria yang lebih tua darinya itu. Memeluk pria itu rapat-rapat untuk menyalurkan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan. Sir Leon hanya tertawa saat mendapatkan pelukan yang penuh kejutan dari Silvana. Namun pria itu kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang gadis itu. “Jadi, hitungan yang kemarin itu kencan kan?” Silvana berujar secara spontan sekali lagi. Suaranya agak teredam bahu pria itu. Sir Leon hanya tersenyum sebelum menanggapi, Silvana memang tipe gadis yang seperti ini. Terkadang kerap kali membuat dia harus terkejut akan pertanyaan super ra
Silvana mengangkat sebelah alisnya, menyadari betul bahwa kini si dosen tampan sedang mencoba untuk menggodanya balik. Maka kemudian gadis itu mendekatkan wajahnya, nyaris bibirnya menyentuh bibir Sir Leon. “Akan aku ingat.” Ucapnya dengan nada bicara yang sensual. Sebelum terjadi hal lain, cepat-cepat Silvana menarik diri. Lalu terkikik geli ketika melihat adanya kekecewaan besar dalam ekspresi pria itu. “Sekarang,” mata Silvana kemudian turun ke bibir pria itu dan beralih kembali pada kedua netra coklat menggodanya. “Please, buatkan aku sarapan.” Kemudian Silvana terkekeh geli melihat raut muka kecewa yang pria itu buat, lantaran ucapan Silvana yang barangkali tidak sesuai dengan ekspektasinya. Meski kecewa, namun pria itu segera beringsut dari tempatnya. “Oke, Princess,” serunya setengah meledek. “Keinginanmu adalah perintah bagiku.” Sir Leon kemudian melirik kearah celananya yang masih digunakan oleh Silvana. Tanpa banyak bicara pria itu tiba-tiba saja menarik turun celana yang
Silvana merasa bahwa dia baru saja dianugerahi sebuah kesempurnaan dalam hidup. Silvana juga merasa bahwa dirinya telah memetik bintang. Sir Leon jelas adalah seorang pria yang jauh lebih dari apa yang pernah dia impikan, dan ternyata di memiliki sisi manis yang begitu menggemaskan. Seringai licik langsung terbit dan melintas di wajah si gadis barbie. Tubuh yang seksi, miliknya yang besar, bokongnya yang imut, usia yang lebih tua, selera humor yang senada. Semua dari Sir Leon bisa mendapatkan predikat terindah yang bisa Silvana sematkan. Gadis itu bahkan sudah bisa dikatakan sebagai seorang pemenang yang mengantongi penghargaan diseluruh alam semesta. Dia bersenandung seiring langkah yang dia tapaki. Namun setelah beberapa menit bercengkrama dengan udara luar, kulitnya terasa kebas karena udara dingin. Dia bahkan menggosokan telapak tangannya beberapa kali. Oke, seharusnya dia menerima tawaran Sir Leon yang menyarankannya menggunakan mantel. Pria itu pasti sudah memperkirakan sesuat
Leon begitu heran lantaran bel pintu rumahnya dibunyikan secara berulang-ulang saat dia sedang berpakaian. Siapa gerangan yang melakukan hal menjengkelkan begitu diluar sana?Tetapi begitu dia membuka pintu rasa heran dan kesalnya berubah menjadi suatu keterkejutan sebab dia melihat Silvana sedang berdiri diluar sana. Menundukan kepala seraya membawa sebuah kantong ditangan, dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Sudah jelas kantong itu tidak bersamanya sebelum ini.Untung saja pria itu bisa menahan senyumannya sebelum benar-benar terbit diwajah. Bahkan tanpa harus menunggu kata untuk keluar dari bibirnya, si barbie cantik langsung melenggang masuk kedalam rumah seolah kediaman Leon adalah miliknya pula. Leon tentu bingung ada apa dengan gadisnya, sebab beberapa saat yang lalu dia keluar dari sini dengan raut wajah ceria. Bahkan kebingungan si pria meningkat menuju kewaspadaan. Leon kemudian bergerak menutup pintu rumahnya sebelum menyusuh si cantik masuk. Dia masih berada ditengah r
“Aku merasa senang saat orangtuamu bilang kau mengundangku untuk datang kemari. Sejujurnya aku sudah menunggumu sejak lama. Bahkan penantianku ini seakan telah terjadi berabad-abad lamanya.” Joan hanya bisa tersenyum maklum mendapati kehadiran seorang wanita yang telah dia kenal menyambutnya didepan pintu apartment miliknya dengan binar-binar penuh harap. Dia tidak mengira bahwa orangtuanya bahkan sampai hati berdusta agar Joan mau setidaknya menghabiskan malamnya lagi bersama perempuan ini. Wanita ini memang adalah putri dari kenalan orangtuanya, jadi sudah dipastikan dia memiliki banyak cara untuk mendapatkan Joan, meskipun Joan sendiri bahkan tidak punya intensi yang lebih terhadapnya. Dia hanya mencoba menjadi pria yang sopan. Tapi barangkali wanita itu malah memaknainya sebagai bentuk ketertarikan. Orangtuanya tahu bahwa dia memang bukan tipikal pria yang menjalin hubungan dengan satu orang wanita dalam jangka waktu yang panjang. Karena itulah untuk memperbaiki citra buruknya
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba