“Kenapa memangnya Ayah?” Silvana tiba-tiba membalas perkataan ayahnya sendiri, gadis itu terlihat gusar. Ini mungkin terbilang ekspresi baru yang Leon dapati dari si gadis yang selalu menampakan raut muka yang selalu optimis dan kerap menggodanya. “Kami bahagia saat bersama. Dia bahagia saat bersamaku, begitupun aku,” tambahnya lagi mencoba memberikan penjelasan dan pengertian kepada sang ayah.“Silvana kau bahkan masih dua puluh tahun! Dan dia adalah dosen yang harusnya mendidikmu, bukan malah berani mengencanimu!” Sang kepala keluarga nampak murka, Leon bertaruh pria itu bahkan hampir mencabut seluruh rambutnya karena terlalu kesal memberikan pengertian terhadap putrinya yang bebal. Bisa dilihat dari ekspresi dan nada suaranya yang naik beberapa oktaf dan penuh dengan emosional. Ketika segalanya nyaris meledak dan menjadi sebuah kekacauan, untung saja sang istri cepat mengintervensi. Pertengkaran antara ayah dan anak di depan Leon nyaris terjadi sebetulnya tetapi wanita itu bisa den
Leon tentu tahu jawabannya secara pasti.“Bu,” panggil Leon, kepalanya tertunduk sedikit. “Pak, saya mencintai putri kalian berdua. Saya tahu dan secara sadar mengetahui bahwa hal ini memang tidak benar sejak semula. Saya sangat mengerti alasan kemarahan serta keenggananmu terhadap saya. Namun, begitulah faktanya. Saya telah mencintai putrimu. Itu terjadi dengan cara yang tidak terduga dan sangat cepat, bahkan saya sendiri tidak percaya telah jatuh hati padanya. Sejujurnya saya tidak pernah memikirkan putrimu sebagai pilihan dalam hidup saya. Tidak sama sekali. Tapi setelah semua yang terjadi diantara kami, saya tidak bisa membayangkan hidup saya tanpa Silvana.”Leon berusaha sebisa mungkin untuk melatih kedua matanya agar dapat terlihat gagah dihadapan sang kepala keluarga yang masih pula menyimpan kebencian besar terhadapnya. Dia harus menghadapi, dan harus tahu bagaimana reaksi pria itu terhadap perkataannya yang tulus.“Maafkan saya, saya setuju dengan anda tentang segalanya. Mema
“Jiyya! Jiyya!” Mendengar namanya di panggil keras-keras dari luar pintu, Jiyya kontan tersentak. Di cobanya untuk bangkit dari ranjang meskipun kepalanya masih sedikit pusing dan perlu sedikit pembiasaan dengan cahaya terlebih dahulu. Tapi dia tidak bisa membiarkan waktu berlalu ketika mendengar gedoran di pintu terdengar begitu kencang seolah orang di luar sangat terdesak dan ingin cepat-cepat bertemu muka dengannya. Demi Tuhan! Ini masih pagi buta, apa yang diinginkan oleh Dean? Batinnya dengan sedikit mendecak sebal sambil menyeret kedua kakinya menuju ke pintu depan. Dia bahkan tidak sempat melirik ke arah Joan yang tertidur di ranjangnya. Sayang sekali memang wajah yang pertama kali dia lihat justru adalah Dean pagi ini. “Jiyya! aku tahu kau di dalam. Karena semua lampu masih menyala dan kamu tidak pernah membiarkan lampu menyala bila kau tidak ada di rumah. Karena kau sangat pelit soal tagihan listrik. Cepat keluar sekarang juga!” gedoran kurang ajar sekali lagi membuat emos
Mendengar Jiyya membentaknya dengan marah sambil menuntut, Dean menatap sahabat masa kecilnya dengan tatapan tak percaya. “Kau sudah kehilangan kewarasanmu hah?! Dia itu dosen kita Jiyya!” Dean kemudian balas berteriak padanya. Tampaknya bocah itu sangat marah, bingung dan juga kesal kepadanya. Itu adalah sebuah komplikasi perasaan yang sulit untuk di definisikan oleh dirinya sendiri apalagi oleh Jiyya. Apalagi Dean bahkan tidak terlihat sama sekali menyesal terhadap apa yang baru saja dia lakukan terhadap Joan. Pemuda itu menatap dosen muda mereka dengan pandangan yang sulit di artikan. Dia mungkin khawatir Joan akan membalas serangan itu. “Hubungan ini tidak benar Jiyya, ini tidak akan berhasil. Kalian telah melanggar batas.” Joan pada akhirnya bangkit dari posisinya yang terpuruk di lantai. Dia tampak sedikit meringis ketika menyeka hidungnya yang berdarah akibat pukulan dari Dean. Jiyya yang melihat luka tersebut hanya bisa terhenyak dan menahan air matanya. Dia tahu betul bahwa
Leon mendesah ketika dia berjalan di sepanjang jalanan kampus. Setelah insiden yang terjadi di kediaman Silvana sekarang berarti sudah terhitung berapa banyak pihak yang tahu soal hubungannya dengan gadis itu. Terlepas dari Silvana dan juga Kelly. Pria itu masih sangat terguncang atas interaksi yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Tentu saja dia harus menyadari konsekuensi atas pilihannya yang ingin bermain-main dengan mahasiswinya sendiri, cepat atau lambat ketika dia memutuskan menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih tentu saja dia harus mengumumkannya secara resmi kepada beberapa pihak yang perlu tahu soal itu kan? tapi setelah dia menjalaninya sendiri sejujurnya itu bukan jenis pengalaman yang menyenangkan. Leon mengambil bungkus rokoknya dari saku dan mengeluarkan sebatang. Selanjutnya dia mulai menyalakan pematik dan menghisap benda itu untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Langkah lainnya setelah ini adalah dia dan Silvana harus memberi tahu Jarvis. Tapi melihat dari gel
“Apakah aku benar-benar sudah tidak waras ya?”“Tidak juga.” Sebenarnya, Joan sendiri bahkan tidak yakin apakah dia memberikan jawaban yang benar. Terlebih setelah mereka berdua saling menatap satu sama lain selama beberapa saat tepat setelah Leon bertanya begitu. Hal ini terjadi setelah mereka pergi ke sebuah bar terdekat yang tidak jauh dari kediaman Leon. Setelah keduanya sempat mencoba untuk saling menutupi diri dari kebenaran. Padahal beberapa saat yang lalu Joan sempat mencoba berkilah untuk tidak berkunjung ke sana, tapi dia gagal menghindar lantaran Leon bersikeras. Pria berjanggut tipis tersebut bilang bahwa dia membutuhkan teman untuk membicarakan perihal hubungannya terlarangnya dengan sang mahasiswi (Silvana) dan juga ingin tahu bagaimana Joan bisa dekat dengan Jiyya. Pria itu cukup memiliki antisipasi yang tinggi lantaran enggan membicarakan soal itu di muka umum, padahal menurut pengakuannya sendiri orangtua Silvana sudah tahu tentang hubungan mereka. Sekarang, di tem
Sehari setelah pembicaraannya dengan Joan, Leon kini menghabiskan sisa hari liburnya dengan hanya berbaring di tempat tidur sambil berbantalkan lengan di kepala. Pria itu penuh dengan seluruh asumsi mengenai beberapa pertimbangan di kepala atas segala situasinya. Dia memiliki Silvana, dan hubungan mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Mereka sudah saling memiliki, dan saling mencintai. Semua itu adalah sebuah kebenaran yang tidak akan bisa di sembunyikan selamanya. Tidak peduli apa kata orang, Leon bahkan telah tiba pada titik dimana dia memutuskan untuk tetap bersama dengan Silvana. Meski sebelumnya Joan bilang padanya tentang Ms. Donna yang sempat melihat hubungan dosen muda itu dengan sahabat kekasihnya dan memang betul tidak ada selentingan apapun di kampus. Tetap saja aneh baginya mendengar dengan begitu jantannya Joan memberitahukan perihal hubungannya dengan Jiyya begitu saja. Terlepas dari logikanya terhadap pemikiran satu ini, Leon hanya bisa mengerang karena tidak me
Silvana menjauhkan tangannya dari celana pria itu, memberinya sebuah isyarat menggoda kepada Leon. Dia sengaja menaruh tanganya ke pundak pria itu dan mendekati telinga pria itu untuk sekadar berbisik. “Tidak sepanjang waktu aku begitu,” balasnya dengan nada suara yang terdengar begitu nakal. Leon menggelengkan kepalanya ketika gadis itu menjauh darinya, dia memajukan wajahnya kea rah Silvana. Menyentuh dagunya dengan ibu jari dan jari telunjuknya, menahannya pada posisi yang tepat untuk kemudian memberikan gadis itu sebuah ciuman yang begitu mendalam. Silvana menghilangkan seluruh kewaspadaannya dan menyerahkan diri seutuhnya kepada pria itu. Pria itu menjaga agar bibirnya tetap menempel pada bibir Silvana bahkan saat pria itu meminta izin akses lebih, gadis itu langsung memberikannya secara cuma-cuma. Mereka kemudian saling terjerat. Leon bahkan nyaris menggigil saat dia membawa tangannya yang lain ke punggung si gadis sebelum meraih pinggul Silvana yang sekal. Silvana sempat menc
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba