Silvana menjauhkan tangannya dari celana pria itu, memberinya sebuah isyarat menggoda kepada Leon. Dia sengaja menaruh tanganya ke pundak pria itu dan mendekati telinga pria itu untuk sekadar berbisik. “Tidak sepanjang waktu aku begitu,” balasnya dengan nada suara yang terdengar begitu nakal. Leon menggelengkan kepalanya ketika gadis itu menjauh darinya, dia memajukan wajahnya kea rah Silvana. Menyentuh dagunya dengan ibu jari dan jari telunjuknya, menahannya pada posisi yang tepat untuk kemudian memberikan gadis itu sebuah ciuman yang begitu mendalam. Silvana menghilangkan seluruh kewaspadaannya dan menyerahkan diri seutuhnya kepada pria itu. Pria itu menjaga agar bibirnya tetap menempel pada bibir Silvana bahkan saat pria itu meminta izin akses lebih, gadis itu langsung memberikannya secara cuma-cuma. Mereka kemudian saling terjerat. Leon bahkan nyaris menggigil saat dia membawa tangannya yang lain ke punggung si gadis sebelum meraih pinggul Silvana yang sekal. Silvana sempat menc
Pertanyaan Silvana sejenak terdengar agak memancing, apalagi dengan ekspresinya yang terlihat seperti memang ingin tahu betul bagaimana Leon bereaksi atas itu. Akhirnya Leon hanya memilih mengangkat salah satu tangannya yang bebas untuk sekadar mengacak rambut pirang panjang kekasihnya dengan sayang. “Ya,” balasnya jujur. “Tapi aku tidak pernah menyesal, maksudku rasanya kita melakukan hal yang benar dan aku bahagia dengan situasi kita.” Silvana hanya tertawa kecil, barangkali dia puas dengan jawaban yang Leon lontarkan. “Tapi terasa salah di waktu yang sama?” Leon mengangkat alis. Apa kekasihnya seorang cenayang sekarang? “Dan kau menganggapnya sebagai sebuah lelucon sekarang.” Silvana mencondongkan tubuhnya ke arah Leon hanya untuk sekadar membubuhkan kecupan di pipi pria itu. “Maaf, tapi aku hanya tidak pernah berniat untuk melepaskanmu. Tidak peduli apa kata orang nanti.” Leon menjauhkan tangannya yang semula berstagnasi pada helaian rambut halus sang gadis, dia kini lebih ter
“Sial. Aku tidak bisa tahan bila masuk moment menggairahkan ini denganmu. Aku sangat bernafsu untuk mendorong benda ini ke dalam lubang sempitmu lagi dan menidurimu sebanyak mungkin, princess,” ujar Leon dengan suara yang dalam dan rendah.Dia meraih pergelangan kaki Silvana memaksanya terbuka selebar mungkin. Silvana sebetulnya memiliki keinginan yang kuat untuk memprotes ketika gadis itu merasakan adanya rasa merinding luar biasa yang menjalar ke punggungku, tetapi aku menahan diri dan menunggu apa yang akan Leon lakukan selanjutnya seperti ini adalah kali pertama mereka. Pria itu memposisikan dirinya untuk duduk diantara kedua kaki SIlvana yang terbuka dan mengarahkan miliknya ke dalam diri gadis itu, ujung tumpulnya menggoda lubang sensitif si gadis yang kontan membuatnya menarik napas sebagai bentuk antisipasi. Leon mencondongkan tubuhnya ke arah Silvana dan secara tiba-tiba saja mengunci bibirnya ke dalam sebuah ciuman panas ketika pria itu mendorong pinggulnya ke depan, menyeli
Tidak pernah sepanjang hidupnya, Leon berterima kasih sekali terhadap seluruh ocehan konyol yang di lontarkan oleh Ronald dipertemuan rutinan mereka. Namun kali ini dia justru berkali-kali lipat mensyukuri kehadiran si pria alis tebal dengan kepala botaknya yang ikonik tersebut. Sebab berkat dia setidaknya suasana jadi jauh lebih semarak dan Ronald juga tipe orang yang tidak terlalu peka sehingga dia tampaknya tidak menyadari apa yang terjadi di meja mereka. Leon bahkan tidak pernah mau bertaruh seberapa banyak kecanggungan yang akan dia terima dalam situasi ini bila tanpa kehadiran pria itu di meja yang tengah dia duduki. Seolah tersiksa dan teramat putus asa berada dalam satu meja bersama mereka. Walaupun sejujurnya ini adalah pertemuan rutin dan Leon tidak pernah keberatan menghadirinya meskipun terbilang acara dadakan. Padahal pertemuan seperti ini adalah hal yang rutin terjadi, dan bukan sesuatu yang istimewa dan normal-normal saja bagi para orang dewasa untuk berkeliaran di mal
Belum sempat Leon menjawab, tiba-tiba Ronald tertawa seolah dia mengejek situasi yang ada di meja. “Ya, kau benar Kelly. Kita semua yang ada di meja ini jatuh cinta pada murid kita sendiri,” ujarnya seraya menyeringai lebar. “Begitulah seharusnya kita bertindak sebagai seorang guru yang bertugas mendidik penerus generasi bangsa. Ya, dengan mengencani murid kita sendiri. Ini lelucon yang bagus, aku hanya tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu, Joan. Maksudku—”“Ya, aku mencintai Silvana,” potong Leon cepat membuat Ronald langsung terdiam menelan bulat-bulat komentar yang hendak dia lontarkan untuk Joan. Tatapannya langsung beralih dari Joan menuju ke arahnya. “Ini serius?” cicitnya kemudian. Dia sepertinya cukup shock mendapati dua rekan sejawatnya di kampus dulu mengencani murid sendiri. “Ya, begitulah. Ini bisa di bilang sebuah kebetulan yang menyenangkan,” balas Joan, dia melemparkan senyum lemah ke arah Leon. Dia sepertinya tidak mengira bahwa Leon akan membuat pengakuan serupa
Joan pulang dari acara bersama kawan-kawannya pada pukul sepuluh malam. Dia menutup pintu di belakang dengan santai sambil sesekali bersenandung kecil. Tetapi kemudian tubuhnya langsung membeku seketika begitu mendapati sosok Jiyya yang sudah duduk di sofa ruang tengahnya. Gadis itu tampak sedang mengemut ice cream di mulut sementara kedua matanya fokus memindai sebuah buku di pangkuan dengan cepat. Jika saja yang sekarang sedang duduk di sofa itu perempuan lain, sudah bisa di pastikan Joan akan berpura-pura tiada siapa pun yang ada di sana, menutup pintu kembali dan lebih memilih tidur di mana saja dari pada di rumah. Namun, karena yang sekarang berada di hadapannya adalah Jiyya, pria itu justru merasa bahagia dan tenang, sesuatu yang hangat merayap ke dalam hatinya. Ini seperti sesuatu yang langka. Dia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa Jiyya aka nada di kedimannya tanpa harus diminta terlebih dahulu.Joan bergerak kecil dan mengendap-endap. Pria itu bertingkah seperti anak kec
Terjadi di hari berikutnya, dimana pagi yang indah Joan dapatkan. Jiyya sepertinya sudah tidak lagi berada dalam masa menstruasi. Pria itu dengan mudah mengetahui fakta itu karena dia mendapati rambut Jiyya yang basah dan dia telah begitu segar di pagi hari. Tidak hanya itu, cara si gadis membangunkannya sangat menarik dan cukup untuk mematik libidonya ketika tanpa rangsangan pun dia memiliki morning wood yang cukup akut.“Selamat pagi, Jiyya,” sapa Joan, menatap gadis itu dengan alis terangkat dan juga sebuah senyuman kecil. Jiyya tidak menjawab, malah gadis itu membungkuk untuk bisa memberinya sebuah ciuman di bibir sebagai bentuk morning kiss, mungkin? Rambut Jiyya yang basah sebagian jatuh ke pipi sang dosen muda. Gadis itu cukup agresif, padahal dia jelas baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk. Handuk kelewat sempit yang sekarang dengan secara perlaahan terbentng ketika dia membungkuk untuk memberinya ciuman yang jauh lebih dalam. “Hmm,” gumam si gadis da
Joan menangkap isyarat dari Jiyya dengan patuh. Pria itu melakukan apa yang di perintahkan kepadanya, menggerakan tubuhnya untuk berada cukup dekat pada sisi tempat tidur. Begitu Joan telah merelaksasi tubuh dan pikirannya tanpa di duga justru Jiyya kembali memberinya sebuah kejutan. Bagian bawah Joan kembali di belai bahkan belum siap dengan apapun, dia telah mengulumnya. Memasukan seluruhnya ke dalam mulut. Kontan Joan menggeram, apalagi ketika lidah si gadis menggelitiknya dengan penuh minat. Panas di mulutnya menghangatkan, sensasinya terlalu sempurna apalagi saat lidah Jiyya begerak-gerak liar di sekitar batangnya. Membuat pria itu terombang-ambing dalam sebuah kegilaan yang memabukan. Terlepas dari dirinya sendiri, pria itu tanpa sadar mencengkram kepala si gadis sedikit, menahannya sesaat di tempat yang sama ketika dia mulai bergerak mengeluar masukan dirinya dari mulut si gadis. Mengagumi pemandangan saliva mengkilat yang menyelimuti bagian dari dirinya di bawah sana. Jiyya
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba