“Sir Joan, kau pikir apa yang sedang kau lakukan?!” “Hm?” Tanpa rasa bersalah Joan memiringkan kepalanya untuk menatap wajah Jiyya yang sejak beberapa saat lalu mencoba berontak dan melarikan diri darinya. Saat ini Sir Joan dan Jiyya bertemu di jalanan kampus, mereka sesekali adu mulut sepanjang jalan. Herannya walaupun Jiyya telah melakukan banyak hal yang memungkinkan agar dia bisa lepas dari pria itu tetap saja semuanya sia-sia. Padahal dia berharap ada seseorang yang bisa menolongnya dari pria ini. Bukankah perbuatan Sir Joan ini bisa dilaporkan sebagai sebuah perbuatan yang tidak menyenangkan. Jiyya khawatir dia akan dibawa kesuatu tempat dan mereka berdua akan berada dalam posisi berbahaya lagi yang mana Jiyya tidak mau mengulangi kesalahan yang hampir merenggut prinsip hidupnya sebagai seorang wanita konservatif ditengah gempuran open minded.Namun berbeda dengan apa yang ada dipikiran Joan. Pria itu sebenarnya tidak merencanakan apapun di kepalanya. Dia tidak benar-benar tah
Joan memanfaatkan kesempatan yang sempit itu untuk bergerak. Dengan menggunakan sebelah tangannya, tiba-tiba saja Joan menautkan jemarinya pada jemari Jiyya dibelakang punggungnya. Sementara Jiyya tiba-tiba saja merasakan kulitnya terbakar. Pergerakan yang Sir Joan lakukan tentu sangat mengejutkannya, namun dia tidak bisa menolaknya lantaran itu akan jadi rumit bagi mereka bila dia berteriak sekarang. Jiyya merasa apa yang sedang terjadi diantara dia dan Sir Joan adalah hal yang sama sekali tidak pantas. Dia menggeser sedikit posisinya. Itu adalah sebuah gerakan halus sebagai upaya Jiyya menjauhi Joan. Namun pergerakan kecil tersebut nampak disadari dengan jelas oleh sang dosen tampan. “Keberadaanmu disini bersama mahasiswimu sedikit mengundang skandal—” Entah sengaja atau tidak, namun cara Maria mengucapkan kata itu dan memenggalnya disana seolah memiliki unsur rahasia erotis diantara mereka berdua. “—aku akan lebih percaya bahwa kau bersama mahasiswa lainnya. Dimana yang lainnya?”
Jiyya menghentakan kakinya dengan kasar di sepanjang jalan yang dia lewati. Mood-nya benar-benar telah dirusak. Gadis itu bahkan berusaha keras untuk menahan air mata yang hampir jatuh ke pipinya. Dia membenci Sir Joan. Terlebih Jiyya benci dirinya sendiri yang selalu terjebak dalam situasi yang membuatnya muak. Kenapa rasanya dia menjadi gadis yang bodoh? Dia selalu dengan mudahnya terjebak bersama Sir Joan. Dan kali ini gadis itu bahkan tidak bisa menahan emosinya sendiri ketika nama Bestian disebut-sebut oleh orang lain dengan cara seperti itu. Hati mungilnya serasa diremas, bahkan semakin lama semakin ditekan hingga nyerinya tidak tertahankan. Dengan kedua tangan yang terkepal, Jiyya sempat melemparkan tatapan penuh kebencian dari balik bahunya terhadap perempuan asing yang nampak cukup akrab dengan dosen-nya itu. Setelah dia berhasil pergi dari mereka, Jiyya mempercepat langkahnya lagi. Berusaha sekilat mungkin meninggalkan mereka berdua sejauh yang dia bisa. Tapi tetap saja, an
Joan mundur sedikit, dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan apapun dalam moment ini. Dia ingin Jiyya secara utuh. Dia ingin melihat ekspresi apa yang gadis itu buat ketika sedang bermain dibawah sana. Begitu melihat raut wajah kepayahan dan penuh kepasrahan dari Jiyya. Joan tidak bisa menahan dirinya untuk sekali lagi menangkup bibir Jiyya yang sesekali mendesis akibat ulahnya. Setidaknya dengan ini, suara Jiyya tidak akan bisa didengar. Walaupun memang sayang rasanya karena desahan Jiyya adalah suara favoritnya sejauh ini. Tapi Joan tidak mau berbaik hati membagi suara itu kepada siapapun. Lidah mereka terjalin dan melingkar satu sama lain. Meski telah mencoba menutupi suara Jiyya melalui ciuman itu, namun tetap saja Joan tidak mampu meredam erangan Jiyya dalam ciuman mereka. Gadis itu melepaskan pagutannya, dia meraih bahu Joan yang sedang bekerja dibawah sana. Kedua kaki gadis itu nampak sedikit kesulitan untuk menapak tanah. Joan juga mulai merasa bahwa tangannya sudah mulai
"Kenapa Sir Joan memperlakukan saya seperti ini?” Setelah merasa kesunyian lebih membuat atmosfer diantara mereka terasa canggung, Jiyya pada akhirnya angkat bicara. “Seperti apa?” “Ya, seperti menggendong saya, dan mengantar saya pulang.”“Anggap saja saya sedang berbaik hati pada mahasiswi cantik yang sedang patah hati.” “Saya tidak patah hati.” Jiyya mengujar, meski begitu ekspresinya tidak dapat terbaca bila seandainya Sir Joan bisa melihat bagaimana air mukanya sekarang. “Dan saya… saya minta maaf,” gumam Jiyya. Sir Joan tidak langsung berkomentar.“Untuk apa?” Akhirnya setelah Sir Joan mempertimbangkan banyak hal Jiyya mendengar suaranya sedikit lebih rendah dan lembut. Pria itu mungkin berpikir untuk tidak mengatakan sesuatu yang akan menyakitinya, atau menggunakan nada bicara yang akan menyinggungnya. Mulut Jiyya sedikit menganga sebelum dia menjawab ucapan Sir Joan untuknya. “Untuk sikap saya yang buruk beberapa saat yang lalu. Saya tahu bahwa saya sangat bodoh karena me
Adalah hal yang sedikit lucu bagi seorang Jiyya. Dia mencoba menyibukan diri agar tidak berurusan dengan Sir Joan namun semesta malah mengirim pria itu untuk hadir di sekitarnya dalam ranah kebetulan. Padahal ada banyak tempat yang bisa mereka datangi, tapi pertemuannya dengan Sir Joan seolah telah direncanakan dan bahkan dengan lari saja tidak cukup bagi Jiyya untuk dapat menghindari. Sekali lagi pria itu menjebaknya lagi. Kali ini dengan satu problematika lainnya. Mengingatkan Jiyya pada Bestian. Menjeratnya dengan sebuah skinship tak wajar, namun cukup membantunya untuk melupakan sementara. Jiyya selalu rentan saat mendengar nama Bestian disebut. Terlebih oleh orang asing yang Jiyya saja tidak pernah bertemu muka dengannya sebelum ini. Aneh baginya mendengar orang lain berbicara buruk soal Bestian. Sekaligus bodoh baginya karena selalu bergerak tanpa sadar untuk membela seorang pria yang barangkali sudah tidak mau peduli pada dia lagi. Meski begitu fakta bahwa Bestian selalu ada di
Bagi Joan, kehidupan yang dia miliki sudah seperti sebuah pertunjukan komedi. Dia tidak tahu apa yang semestinya dia perlihatkan, entah harus tertawa atau biasa saja karena segala hal terasa jadi begitu monoton dan tidak lagi memiliki adanya gairah didalamnya. Segalanya sudah sangat alami. Joan juga sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang berjalan layaknya saat dia sedang menyelesaikan setiap potongan puzzle menjadi satu bentuk utuh. Kehidupannya tidak pernah terasa lengkap bahkan barang sehari. Namun setidaknya dia ingin menyelesaikan sesuatu. Menjaga sesuatu yang selalu dirasa sempurna, indah sekaligus mendebarkan, menyenangkan dan juga menyakitkan.Permulaan kisah ini tanpa perkenalan resmi dengan basa basi siapa namamu menjadi titik tertariknya garis asmara antara Joan dengan mahasiswi manisnya kini. Joan dulu mengidentifikasikan perasaannya pada Jiyya sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama, cukup aneh sebetulnya untuk menjadi metodi bagi seorang Joan menjatuhkan hati. Kare
“Saya tidak bisa bersama denganmu, Sir.” Gadis itu berucap di balik pelukan erat Joan. “Saya yakin masih mencintai orang yang sama untuk saat ini. Saya merasa bersalah setiap kali saya mengingat dia saat sedang bersamamu.” Katanya lagi. “Sejak awal, kita memang tidak memiliki ketertarikan. Barangkali hal ini juga berlaku untukmu. Sir Joan hanya kebetulan pernah menjamah tubuh saya sehingga kau merasa penasaran karena belum merenggut kehormatan saya. Ini bukan cinta. Yang saya tahu, saya juga tidak memiliki cinta untukmu pula.” Joan benar-benar kesal pada takdir. Mengapa harus seperti ini? Joan merasa dia sudah melakukan hal yang terbaik untuk menarik atensi gadis ini. Dia menjadi sosok yang selalu peduli padanya, menjadi pendengar setia ceritanya, menjadi pembimbing untuk membantunya meraih impian, menjadi sosok yang akan bersedia ada saat dibutuhkan ketika dia merasa kesepian. “Kamu selalu cantik dimata saya, Jiyya. Mungkin memang benar ada waktu dimana kita salah kaprah dan meng
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba