Adalah hal yang sedikit lucu bagi seorang Jiyya. Dia mencoba menyibukan diri agar tidak berurusan dengan Sir Joan namun semesta malah mengirim pria itu untuk hadir di sekitarnya dalam ranah kebetulan. Padahal ada banyak tempat yang bisa mereka datangi, tapi pertemuannya dengan Sir Joan seolah telah direncanakan dan bahkan dengan lari saja tidak cukup bagi Jiyya untuk dapat menghindari. Sekali lagi pria itu menjebaknya lagi. Kali ini dengan satu problematika lainnya. Mengingatkan Jiyya pada Bestian. Menjeratnya dengan sebuah skinship tak wajar, namun cukup membantunya untuk melupakan sementara. Jiyya selalu rentan saat mendengar nama Bestian disebut. Terlebih oleh orang asing yang Jiyya saja tidak pernah bertemu muka dengannya sebelum ini. Aneh baginya mendengar orang lain berbicara buruk soal Bestian. Sekaligus bodoh baginya karena selalu bergerak tanpa sadar untuk membela seorang pria yang barangkali sudah tidak mau peduli pada dia lagi. Meski begitu fakta bahwa Bestian selalu ada di
Bagi Joan, kehidupan yang dia miliki sudah seperti sebuah pertunjukan komedi. Dia tidak tahu apa yang semestinya dia perlihatkan, entah harus tertawa atau biasa saja karena segala hal terasa jadi begitu monoton dan tidak lagi memiliki adanya gairah didalamnya. Segalanya sudah sangat alami. Joan juga sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang berjalan layaknya saat dia sedang menyelesaikan setiap potongan puzzle menjadi satu bentuk utuh. Kehidupannya tidak pernah terasa lengkap bahkan barang sehari. Namun setidaknya dia ingin menyelesaikan sesuatu. Menjaga sesuatu yang selalu dirasa sempurna, indah sekaligus mendebarkan, menyenangkan dan juga menyakitkan.Permulaan kisah ini tanpa perkenalan resmi dengan basa basi siapa namamu menjadi titik tertariknya garis asmara antara Joan dengan mahasiswi manisnya kini. Joan dulu mengidentifikasikan perasaannya pada Jiyya sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama, cukup aneh sebetulnya untuk menjadi metodi bagi seorang Joan menjatuhkan hati. Kare
“Saya tidak bisa bersama denganmu, Sir.” Gadis itu berucap di balik pelukan erat Joan. “Saya yakin masih mencintai orang yang sama untuk saat ini. Saya merasa bersalah setiap kali saya mengingat dia saat sedang bersamamu.” Katanya lagi. “Sejak awal, kita memang tidak memiliki ketertarikan. Barangkali hal ini juga berlaku untukmu. Sir Joan hanya kebetulan pernah menjamah tubuh saya sehingga kau merasa penasaran karena belum merenggut kehormatan saya. Ini bukan cinta. Yang saya tahu, saya juga tidak memiliki cinta untukmu pula.” Joan benar-benar kesal pada takdir. Mengapa harus seperti ini? Joan merasa dia sudah melakukan hal yang terbaik untuk menarik atensi gadis ini. Dia menjadi sosok yang selalu peduli padanya, menjadi pendengar setia ceritanya, menjadi pembimbing untuk membantunya meraih impian, menjadi sosok yang akan bersedia ada saat dibutuhkan ketika dia merasa kesepian. “Kamu selalu cantik dimata saya, Jiyya. Mungkin memang benar ada waktu dimana kita salah kaprah dan meng
Jiyya benar-benar tidak tahu apakah dia telah melakukan hal yang benar sekarang. Terakhir kali mereka memang saling bersentuhan satu sama lain, dan itu adalah sebuah pengalaman yang tidak bisa Jiyya lupakan hingga detik ini. Namun tampaknya situasi sekarang barangkali akan membawakan sebuah pengalaman yang semakin tidak dapat Jiyya hilangkan karena dia tanpa sadar dan dengan entengnya berkata ‘ya’ pada ajakan sang dosen muda. Alih-alih menolak seperti yang seharusnya.Jiyya sedikit berdebar, tetapi disaat yang bersamaan dia juga merasa takut. Di titik ini Jiyya hanya bisa memperhatikan dengan gugup ketika pria itu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Sebuah bungkus plastik kecil yang sepertinya Jiyya ketahui meskipun tidak pernah dia gunakan. Sebuah kondom. Apakah pria itu memang sudah mempersiapkannya dari awal? Apakah dia berpikir bahwa Jiyya akan mengiyakan sehingga memiliki persiapan di dompetnya? Pria benar-benar adalah sebuah entitas yang berbahaya, lebih tua, seumuran, atau ba
Jiyya menghela napas dalam-dalam dan kemudian menganggukan kepalanya. Dia memejamkan mata seraya menggigit bibir bawahnya.Sir Joan menekan bagian dirinya ke pintu masuk Jiyya, begerak dengan sepelan mungkin. Sejujurnya Jiyya sudah sangat basah dan pergerakannya jadi relative lebih mudah. Walau begitu, Jiyya merasa bahwa hal itu tidak menjadikan Sir Joan nyaman. Tubuhnya tersentak sedikit, alisnya berkerut spontan. Pria itu baru seperempat jalan barangkali, tapi Jiyya sudah tidak kuat dan malah merasakan kesakitan seakan tengah di robek di dalam sana.Jiyya kontan mengaduh.Hanya dalam kata itu segera Joan merasakan gelombang rasa bersalah melewatinya. Pria itu langsung tidak memaksakan diri dan hanya diam saja. Sejujurnya tidak terhitung berapa banyaknya para gadis yang menyerahkan kegadisannya kepada Joan. Tapi dalam situasi sekarang dia benar-benar tidak ingin menyakiti Jiyya sama sekali. Dia ingin memberikan pengalaman pertama yang luar biasa kepada gadis itu. Mungkin karena di pe
Jiyya betulan masih cukup kesulitan untuk percaya bahwa segalanya betulan terjadi diantara mereka. Fakta bahwa mereka sudah bercinta, dan pengalaman pertamanya dia habiskan dengan sang dosen membuat Jiyya tidak bisa berhenti mempertakanyan akal sehatnya. Sesekali pemikirannya terus mengujar apakah ini benar-benar realita ataukah hanya sekadar mimpi belaka? Sebab dia tidak hanya kehilangan keperawanannya, tapi juga kehilangan kepercayaan bahwa orang yang mengambilnya adalah sang dosen muda yang dia hormati, dan kagumi. Selain itu Jiyya juga mulai dapat mengklasifikasikan bahwa sosok Bestian sudah benar-benar tergeser dari dalam hatinya untuk saat ini. Dia tidak mengira bahwa dengan bercinta, sosok yang dia cinta bisa menghilang dalam sekejap begitu saja. Gadis itu menahan erangan ketika Joan menciumnya dengan sangat dalam, bergerak masuk dan keluar secara perlahan kali ini seolah dia begitu menikmati pengalamannya bersama Jiyya. Ketika merasa puas dengan bibir, pria itu kemudian meny
Jiyya hanya diam saja bak patung seraya menatap tubuh indah Joan dalam diam. Ketika kulit mereka berdua bersentuhan, Jiyya tidak bisa menampik bahwa tubuhnya langsung bergidik. Adegan ini seperti sebuah deja vu baginya. Ataukah mungkin saat ini mereka tengah mencoba untuk kembali menulis ulang sejarah? Situasinya mirip sekali, hingga Jiyya merasa akan ada hal mendebarkan yang akan terjadi sekali lagi di kamar mandi. Joan menurunkan nosel shower kemudian mengarahkannya pada paha Jiyya yang berdarah. Berkat tersiram air darah tersebut kemudian mulai meluruh ke bawah. Jiyya tetap diam ketika tangan Joan mulai aktif dengan lembut membelai bagian pahanya yang sekarang sudah bersih total. Pria itu benar-benar memandikan dirinya sekarang. Dia bahkan berjongkok di depan tubuhnya untuk membersihkan beberapa bagian yang tidak terlihat ketika pria itu dalam posisi berdiri. “Pindahkan kakimu sedikit ke samping, Jiyya.” Joan benar-benar setengah berbisik ketika memberi perintah. Tapi Jiyya meng
Ketika Joan terbangun, dia sampai membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengingat dimana dia berada. Kamar yang dia tempati sekarang jelas bukan miliknya. Kecuali jika tiba-tiba berubah menjadi lebih sederhana dari yang dia ingat. Sampai dia kemudian menyadari bahwa kakinya terjalin dengan kaki seseorang dan disitulah dia memahami apa yang sudah terjadi. Joan menoleh hanya untuk melihat Jiyya yang rupanya telah terjaga lebih dulu darinya. Kepala mereka berada di satu bantal yang sama dengan senyum lembut tersunggingi tepat diwajah Joan secara otomatis begitu mata mereka berdua saling bersitatap seperti ini. “Selamat pagi Jiyya,” sapa Joan. Jiyya balas tersenyum meski nyaris tidak terlihat saking tipisnya senyum yang gadis itu buat. Joan benar-benar merasakan letupan kebahagiaannya saat itu juga. “Halo,” balasnya. Ada keheningan yang singkat dimana mereka berdua hanya saling memandang satu sama lain. Joan mendekatkan wajahnya, sekadar untuk menelusuri hidung Jiyya yang begitu ramp
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,
Leon mencoba untuk menerapkan senyumannya kepada sang kekasih. Tapi sayangnya itu tidak cukup kuat untuk menghapus ekspresi cemberut Silvana. “Ugh.” Leon tanpa sadar melenguh, ketika Silvana menepis tangan Leon yang berusaha menggapainya. Akhirnya pria itu hanya sebatas bisa menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Maaf, bukan seperti itu. Aku hanya tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan umm… aku merasa tersinggung saat wanita lain menatapmu dengan cara yang kurang baik.” Silvana sedikit melunak mendengar penuturan Leon. Tapi bukan berarti wajah marahnya sirna seutuhnya. “Jadi kau tadi berusaha menutupiku dari mereka?”“Y-ya, aku hanya merasa bahwa kau tidak pantas mendapatkan pandangan seperti itu.” Silvana memutar matanya, tapi tak lama kemudian dia menghela napasnya dan senyuman manis terbit di wajahnya. “Biarkan mereka menatapku,” jawab Silvana sebelum bergerak mendekat dan kembali menggandeng tangan Leon seolah dia tidak pernah marah beberapa saat yang lal
Silvana memang selalu saja pandai menggodanya dengan senyum nakal yang selalu sukses mengirimkan getaran tertentu ke dalam tubuh sang dosen muda. Pria itu hanya bisa menutup matanya dan menarik napas ketika bibir itu telah mulai berada di sekitar sana. Dia mengerang sedikit, menurunkan tangannya hanya untuk sekadar membelai rambut sang kekasih ketika gadis itu mulai memanjakannya di bawah sana. Mulutnya seperti biasa selalu saja panas dan basah. Tapi bukan Silvana namanya bila dia hanya dapat memberikan sensasi demikian, sebab tak berselang lama jarinya mulai aktif merambah pangkalnya. Sementara gadis itu sibuk menjilatinya di bawah sana membuat Leon hanya bisa pasrah dan sedikit mundur. Begitu dia menggerakan pinggulnya, kecepatan Silvana justru malah kian meningkat. Dia tercekik sedikit karena ukuran sang dosen, tapi seolah tanpa hambatan dia malah terus bergerak jauh lebih agresif. Membawanya lebih kedalam sebelum melepaskannya dan memasukannya lagi. Pergerakan konstan namun liar
Silvana merasa lega sekaligus nyaman sekarang. Senyum bodoh terlihat di wajahnya ketika dia meringkuk lebih dekat lagi kepada sang dosen muda. Jika ada orang yang bertanya apa penyebabnya, maka Silvana akan bilang bahwa dia baru saja di berikan kesenangan yang luar biasa setelah di rusak oleh kekasihnya. Ya, mereka baru saja tertidur bersama setelah bermain gila dengan cara yang kasar namun hebat. Setelahnya rasa yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terasa di bagian pinggul dan lengannya. Dia mungkin akan menjadi perempuan muda jompo jika terus menerus digagahi Sir Leon. Oke, mungkin Silvana harus menarik kembali ucapannya yang berkata bahwa dia telah terbiasa dengan gaya permianan Leon yang terlalu gahar. Padahal itu bisa di bilang sebagai pelecehan, tapi karena nikmat bagaimana Silvana bisa marah kan? Mau bilang tersiksa tapi ya enak, mau bilang enak tapi ya ujungnya badannya malah terasa sakit dibeberapa bagian.Terlebih hal ini sebetulnya di picu oleh Leon sendiri. Pria itu tiba