Selang dua jam setengah, mereka semua berangkat ke pemakaman. Dahlia menatap peti Ibunya.
Air matanya terus mengalir di sela-sela proses pemakaman. Matanya memperhatikan dengan jelas tubuh Ibunya mulai di kubur di dalam tanah. Batu nisan itu menancap di atas makam Ibunya.Belle berjalan sendirian di koridor.Dahlia sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kelas.Belle duduk di bangku dekat tangga. Seakan sedang menunggu seseorang, ia melirik jam di tangannya.Menunggu memang berat.Belle memperhatikan langkah kaki yang berjalan mendekatinya, itu Elvan.Dengan senyuman di bibirnya, Belle berdiri menyambut Elvan.“Hai, lama tidak bertemu.” sapa Elvan.Ia duduk di sebelah Belle, memperhatikan wajah yang dirindukannya selama ini.“Hai, kau selalu menghilang dan sekarang tiba-tiba ingin bertemu?” tanya Belle.Saat sedang di kantin, satu teman Elvan memintanya untuk datang ke dekat tangga. Ia bersusah payah membuat Dahlia masuk terlebih dahulu ke dalam kelas.“Ayahku sakit, kami harus keluar kota untuk pengobatakan.” jawab Elvan.“Bagaimana kondisinya sekarang?”“Lumayan membaik, maaf aku tidak memberimu kabar.” ulas Elvan.“Tidak masalah, kesehatan keluargamu lebih penting.” sanggah Belle.Keluarga Elvan masih utuh, tak retak seperti keluarganya.“Kau juga penting,” Elvan menatap Belle, “mau pulang bersama nanti?”Belle menatap heran kepada Elvan, pria itu terlalu terang-terangan.“Mungkin sebagai permintaan maaf,” ujarnya.Elvan bisa melihat pipi Belle sangat merona, dan ia suka memandangnya dari dekat.Mereka saling menatap satu sama lain, kemudian sama-sama berpaling, membuang wajah.Detik-detik yang membahagiakan, dan akan selalu mereka kenang.Bel masuk tiba-tiba berbunyi, membuat keduanya kaget.Dari arah koridor, guru matematika, Pak Ridwan. Terlihat sedang berjalan ke arah mereka dengan tatapan kesal.Elvan langsung berdiri, berjalan menjauh dari Belle yang juga segera kembali ke kelasnya.Ia berpapasan dengan Pak Ridwan. Namun, Pak Ridwan hanya berjalan melewatinya.Belle berlari menuju kelasnya. Berharap guru belum masuk, dan memulai pelajaran.Belle sampai di kelas, ia langsung duduk di bangkunya.Membangunkan Dahlia yang masih tidur.Gadis lugu yang semula meletakkan kepalanya di meja langsung kaget setelah Belle duduk.Dahlia mengusap matanya, membangkitkan kesadarannya.Guru datang dan memulai pelajaran terakhir.Dahlia menopang dagunya, ingin kembali tidur.Bulan menyinari malam yang gelap.Seseorang duduk di depan meja rias, menatap wajahnya sendiri.Namun, perasaan kali ini berbeda dari sebelumnya.Wajah yang ia benci, wajah yang di anggap tak layak mendapatkan siapapun.Kini, wajah itu juga yang menjadi favorit seseorang.Belle mengambil tasnya dan bergegas turun.Pakaiannya sederhana, hanya dress selutut.Belle menghampiri Eleird yang berada di dapur.“Ayah,” panggil Belle, “apa aku boleh keluar sebentar?”Eleird menatap Putrinya, “Ke mana? Dengan siapa?”Eleird membalasnya dengan beberapa pertanyaan, anak gadisnya sudah besar jadi mungkin wajar jika memiliki seorang kekasih.“Kenapa diam? Bersama siapa?”Eleird masih menunggu jawaban dari Belle.“Teman sekolah,” dalih Belle.Ia tak mungkin mengungkapkan secara jelas jika akan pergi dengan Elvan.Seharusnya tadi sepulang sekolah, tapi Dahlia terus berada di dekat Belle.“Baiklah, jangan pulang malam-malam.” tutur Eleird.“Tentu,”“Bersenang-senanglah,”“Hati-hati di jalan,” lanjut Eleird.Belle tersenyum kepada Ayahnya.Pahlawan yang selalu mencemaskannya, suasana ini adalah yang paling Belle rindukan.Setelah berpamitan, Belle keluar dan berjalan sedikit jauh dari rumahnya.Sesuai kordinat yang sudah ia sepakati dengan Elvan. Belle terus memperhatikan jarum jam di tangannya.Hatinya berdebar sangat kencang, merasa gugup akan bertemu Elvan.Lampu sorot mobil semakin terang.Suaranya juga terdengar mendekat, itu Elvan.Dalam jalan yang sepi dan gelap, mobil berwarna putih yang dikendarai Elvan terlihat mencolok.“Mari,” ajak Elvan.Belle mengangguk, ia masuk ke mobil Elvan setelah menyambut pria yang membukakan pintu mobil untuknya.Belle mati rasa, perasaannya tak karuan saat ini.Di perjalanan, mereka berdua sama-sama membisu.Tak ada yang memulai obrolan.Elvan memperhatikan wajah Belle dengan seksama dari ujung matanya.“Kalau suatu saat, ada hal yang membuatmu terluka dan itu karnaku, apa kau tetap akan percaya kepadaku?”Belle memutar bola matanya mengarah pada Elvan.“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Tidak apa-apa, hanya terpikirkan sesaat. Kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya.”“Apa kau tahu? Aku sangat bahagia ... bersamamu dan kepercayaan yang selalu menguatkan kita. Selagi kau percaya denganku, aku percaya denganmu.” lirih Belle.Elvan tersenyum, menarik tangan Belle dan menggenggamnya. Mereka ingin pergi ke taman, tapi di sana sangat ramai.Belle menyarankan untuk berkeliling kota, menikmati malam yang indah ini. Mereka mampir ke Cafe La Etariano, Elvan turun untuk membeli minuman sedangkan Belle menunggu di dalam mobil.Dahlia menatap kosong pada gelas di depannya.Cafe dengan suasana sangat ramai. Namun, ia merasa sendiri.Mungkin, semua orang juga mau bersantai di malam yang sunyi ini.Gelas itu juga mulai berembun, Dahlia bahkan belum meminumnya.Perlahan, ia membenarkan posisi duduknya, perputaran bola matanya memandangi arah pintu masuk.Saat ia akan berpalin
Belle mematikan panggilan, ia bangkit dari sofa dan berniat ke kamar Reval. Belle melihat Ibu tirinya sangat khawatir. “Apa Ibu akan mengkhawatirkanku juga?” tanya hatinya.Ayahnya juga terlihat sangat mengkhawatirkan kondisi Reval. Ada darah di lantai, Belle semakin penasaran dengan apa yang terjadi kepada Reval.Pasalnya, bocah itu selalu riang penuh dengan kejahilan dipikirannya. Mereka bertiga terlihat seperti keluarga bahagia.Kasih sayang dari kedua orang tua, anak yang lugu dan tanpa trauma. Belle tersingkir, tak ada tempat untuknya di antara mereka.Belle membaringkan tubuhnya di ranjang, menyembunyikan wajahnya dalam lipatan bantal. Air matanya menetes, suara Ayahnya yang menenangkan Reval membuat hatinya tak nyaman.Ia takut jika Ayahnya tak lagi mendukungnya, atau bahkan yang paling parah, ia ditelantarkan. Belle tertidur, dengan air matanya masih mengalir.“Ibu, ayo lihat hujan!” teriak seorang anak kecil.Ibunya yang berada di dapur tersenyum, dan kemudian berjalan men
Reval menarik tangan Belle untuk menamparnya dan membuatnya kehilangan keseimbangan, kantong belanjaan di tangannya jatuh.Reval langsung menangis saat tangan Belle menyentuh pipinya, meskipun tak terasa sakit.Reval berpura-pura seakan Belle menamparnya dengan sengaja.Livia segera berlari menuju arah tangisan Reval. Mendapati Reval memegang pipinya dan tersungkur, Livia mendekatinya.“Reval! Apa yang terjadi, kenapa memegang pipi?” panik Livia segera membantu anaknya untuk berdiri.“K-kakak, kakak menamparku! Aku hanya ingin bermain!” isaknya.Reval menunjuk ke arah Belle dengan wajah memelas. Satu-satunya pelindungnya, Livia.Yang rela melakukan apa saja demi membuatnya bahagia.“Jangan berbohong! Dia menarik tanganku, aku tidak menamparnya.” jawab Belle.Livia bangkit dan balik menampar Belle, tamparan itu membuat Belle tersungkur. Sangat keras hingga suaranya masih menggema di telinga Belle.Eleird yang semula diam di sofa bergegas keluar setelah mendengar keributan.Ia mendapati
Semua orang membuat lingkaran.Angel memulai pertama dan mengopernya ke Khaira.Saat bunga sudah berjalan, musik berhenti. Buket bunga berhenti di pria yang memakai jas biru tepat di depan Angel. Khaira mengambil microphone, satu tangan ia lipat ke belakang. Pelayan segera memberikan microphone ke pria itu.“Truth or dare?” tanya Khaira.Pria dengan nama Sagio itu langsung menjawab, “Truth,”“Hal memalukan yang pernah terjadi?” Pria tampan itu bingung, pertanyaan Khaira sangat menjebaknya.“Jika tidak ingin melakukannya, kau bisa mencium lawan jenismu.” usul Khaira.Bersiap menunggu jawaban dari Sagio, tentu saja Khaira tahu segalanya.“Apa dia gila?” lirih Dahlia kepada Belle.Khaira terlalu mengatur jalannya permainan ini, dan semua harus berjalan sesuai keinginannya.“Apa yang kau pilih?” tanya Angel.“Aku mengompol saat hari pertama masuk sma, kau melihatnya waktu itu!” seru Sagio.Tak peduli dengan wajah yang mentertawakannya itu.Musik kembali dinyalakan dan bunga kembali berja
Saat hari mulai merosot menuju dini hari, Khaira mencari keberadaan Dahlia, hanya gadis itu yang tak ada di kerumuman.Khaira perlahan mengelilingi pulau, ia sedikit terkejut melihat Dahlia duduk sendirian dengan botol minuman di tangannya.Khaira menghampiri, “Apa yang kau lakukan di sini?”Merasa ada sesuatu yang baru dari Dahlia.Gadis itu sangat cepat berubah, memberikan kesan baru yang lekat baginya.Dahlia melirik, “Hegh, kenapa ... ingin menertawakanku? Silahkan, aku tidak peduli.”Dirinya sangat pasrah dengan yang terjadi, sangat menyakitkan.Khaira melipat tangannya, “Kenyataan yang pahit kan? Dan parahnya, kau tidak tahu.”Menyalakan api balas dendam di hati Dahlia, dengan sendirinya itu akan menjadi ujaran kebencian yang memanaskan suasana. Dahlia yang sudah tersulut emosi sedari tadi terus menengguk minumannya. Alkohol itu, turun melesat melewati kerongkongannya. Rasanya sangat panas.Namun, pikiran Dahlia menyukainya.Seakan tenang dengan rasa yang sangat asing baginya.
Belle terdiam ia tak tahu harus bagaimana, air mata turun begitu saja melewati pipinya. Belle masih memandang Dahlia dengan senyuman.Ia berpikir Dahlia sedang mabuk dan emosinya tinggi.Semua yang diucapkannya hanyalah omong kosong belaka, Dahlia hanya sedang berhalusinasi.“Waktu itu, Elvan?” Belle masih dalam senyumannya meskipun sesuatu seakan menyakiti hatinya.Sangat dalam, dengan luka yang besar meskipun tak berbekas.Dahlia mendekatkan wajahnya ke wajah Belle, “Puas sekarang?”Dahlia diambang kesalahpahaman, pengaruh Khaira menghancurkannya dan rasa putus asa mengelilinginya.“Dahlia!”“Aku tidak mau mendengar apapun, kau sangat egois!” Dahlia menyela.Tutur katanya menyakiti Belle, padahal ia yang selalu menghiburnya.Sangat menyakitkan ketika sebuah umpatan keluar dari mulut seseorang yang selalu menenangkan.“Hanya karna cinta, kau seperti ini? Apa saat permainan tadi bukan mulutmu yang mengatakannya?” Belle masih ingat bagaimana ekspresi harunya saat Dahlia menjawab perta
Khaira meletakkan kembali foto itu, ia beralih mengambil vas bunga di dekat ranjang. Memegangnya erat, dan kemudian melemparnya ke arah kaca yang seketika hancur, serpihannya memenuhi meja rias.Suara pecahan yang menarik perhatian beberapa orang. Mereka berdiri di depan kamar Khaira, tak berani mengetuk untuk sekedar menanyakan apa yang terjadi.“Akh! Sialan!” teriak Khaira membuat semua bergegas menjauh, tak ingin menjadi pusat amarahnya.Khaira sedang berada dalam fase yang sangat rapuh.Hakikatnya, gadis yang dimabuk cinta.Para pelayan yang mendengar segera memanggil orang tua Khaira. Membuka paksa kamar itu, mereka mendapati Khaira tersungkur dengan pecahan kaca di tangannya.Darah mengalir dari tangannya, gaun putih indah itu tergores darah.Orang tuanya langsung menghampiri dan memeluk Khaira. “Ada apa, Nak? Kenapa melakukan ini? Kami selalu menuruti keinginanmu bukan?” tanya Ibunya.Tragis, putrinya terluka sedangkan ia tak tahu akibatnya.“Pelayan, ambil obat!” perintah A
Setelah sampai di rumah Belle langsung membersihkan diri dan menjawab semua pertanyaan Ayahnya. Tentang liburannya, yang membawa petaka hebat. “Mungkin aku harus mengunjunginya,” Belle bersiap untuk datang ke rumah Dahlia. Ia pikir dengan begitu, Dahlia akan mau mendengarkan penjelasannya.Sebelum sampai Belle mampir untuk membeli camilan, untuk Dahlia.Namun, ia melihat Dahlia sedang berada di restoran seberang jalan bersama seorang yang tak asing baginya, itu Elvan!“Kenapa Elvan tidak memberitahuku?” Belle berusaha menghilangkan pikiran buruk.Akan tetapi, mengingat bahwa Dahlia menyukai Elvan membuatnya semakin buruk.Belle berjalan ke seberang jalan, menenteng kantong camilan di tangannya.Saat akan berjalan masuk, ia bisa melihat dengan jelas, itu kekasihnya! Yang sedang disuapi oleh Dahlia.Belle berlari meninggalkan restoran, dengan air mata yang berlinang.Ia butuh kejelasan, apa ini? Bagaimana jika yang ada di pikirannya menjadi kenyataan? Belle berpikir sejenak, mungkin d
Dentingan ponsel menarik atensi Albara untuk mengulurkan tangannya, tatapan matanya berubah menjadi dingin kala membaca pesan yang dikirimkan kepadanya. Tanpa mengatakan apapun, ia membuang puntung rokok dan segera menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.“Ada apa dengannya?” tanya Belle kala Albara keluar dari kamarnya. Gadis itu masih duduk di depan meja riasnya menatap pintu yang tak ditutup. Albara yang sampai di kamarnya buru-buru membuka laptop dan memeriksa sesuatu, raut wajahnya kian memburuk kala membaca email dari seseorang.“Sial! Dia membatalkan kerja sama hanya karna satu anggotanya ditangkap polisi.” geramnya memijat dahinya dengan gusar. “Kau juga harus menanggung kerugiannya!” pekiknya menuliskan pesan kepada sekretarisnya untuk segera menyiapkan tiket keluar negeri. Sementara itu, ia pergi mandi dan bersiap-siap untuk sarapan bersama Belle sesaat setelah pelayan memberitahunya bahwa Belle sudah menunggu di meja makan. Gadis itu fokus dengan ponselnya sampai-sampai t
Setelah sampai di rumah, ia tak mencari Albara karna tahu pria itu sudah berangkat bekerja. Bahkan tanpa sarapan, Belle duduk sendirian di meja makan menatap beberapa hidangan yang sudah disiapkan. “Kenapa pelayan menyajikan banyak makanan saat mereka tahu tuan tidak makan?” gumam Belle memakan perlahan. Belle menghabiskan waktunya seharian di rumah melakukan aktivitas yang dapat membuatnya sibuk. Namun, saat malam menjelang Albara tak kunjung pulang ataupun mengabari. “Biasanya sore tuan sudah pulang,” lirihnya.Berada di balkon terus memandang gerbang yang tertutup. Selang beberapa saat, Belle bergegas ke kamarnya berganti pakaian dan mengambil tas untuk menemui Albara di perusahaan tanpa memberitahunya. “Pak, apa masih lama?” tanya Belle tak sabar. “Sebentar lagi sampai, nona. Jalanan sedikit macet,” balas supir. Saat sampai, Belle masuk sendirian sementara supir menunggu di parkiran. Gadis itu merasa canggung kala memasuki tempat besar yang berisi orang-orang dengan penam
Belle merasa bahagia ketika menjalani prosesi wisuda, namun juga merasakan kekecewaan kala teringat Dahlia yang sudah tiada. Suasana itu membuat Belle merasa kesepian dan dirundung kesedihan. “Andai saja ... kau masih ada di sini,” lirihnya. Melirik buket bunga yang sedang dipegangnya. Kemudian, sorot matanya tiba-tiba tertuju pada Albara yang duduk di bangku wali murid dengan memegang ponselnya memotret Belle. Senyuman di wajah gadis itu kian merona menghadap Albara. Setelah acara selesai, Albara membawa Belle untuk pulang lebih awal. Namun, keduanya tak langsung sampai di rumah, melainkan datang ke sebuah gedung yang sengaja dipesan Albara.“Bagaimanapun juga, kita harus merayakannya.” gumam Albara mengulurkan tangannya. Berjalan masuk bersama Belle dan memasuki sebuah ruangan yang gelap. Langkah kaki Belle terhenti, matanya menatap tajam ke arah suasana sunyi penuh dengan warna hitam di hadapannya. Hatinya bergejolak kala Albara menariknya untuk masuk ke sana dan duduk di
Siang harinya, Albara bersiap untuk memulai pelatihan bersama timnya. Tak lupa membawa beberapa peralatan yang mereka butuhkan. Namun, dari keseluruhan yang ikut pelatihan Albara terus mengacuhkan Anna. Bahkan ucapan gadis itu tak diresponnya dan membuat Anna sangat marah.“Hanya aku, saat aku mengajak berbicara tuan mengabaikanku. Ada apa ini? Apa tuan menyalahkanku?” lirihnya gusar.Bibirnya membulat sempurna dengan mata yang melirik tajam, namun Anna tetap berusaha menarik atensi Albara. “Perhatikan baik-baik, setelah itu kalian lakukan sendiri,” titah Albara. Selang beberapa jam, ia meninggalkan lokasi hendak memeriksa keadaan Belle. Namun, saat ia sampai di sana matanya malah mendapati Anna berdiri di dekat ranjang Belle yang sudah ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah pelatihan masih berlangsung?” tanya Albara berjalan mendekat.“Aku pergi ke toilet, dan aku pikir akan mengunjunginya.” dalih Anna mundur beberapa langkah dari Belle. Albara menatap mata Belle da
Belle memegangi cangkir yang berisi teh hangat, menyeruputnya perlahan-lahan sembari membiarkan Albara memakaikan selimut di tubuhnya.“Hey, tuan kenapa mereka seperti itu?” tanya Belle kala matanya menangkap adegan kekerasan yang tak jauh dari posisinya.“Itu sudah biasa, tidak akan ada masalah jadi jangan dihiraukan.” balas Albara duduk di dekat Belle.Mengalihkan pandangannya dari kedua pria yang hendak berkelahi. Beberapa jam kemudian, Belle tertidur lelap menyender kepada Albara. Pria itu masih berbincang dengan asistennya dengan menahan tubuh Belle agar tak jatuh.Lalu, membawanya menuju kamar. Sebelum merebahkan Belle di ranjang, Albara melepaskan sepatu dan jaket yang ada pada Belle. Kemudian, mengambil pakaian di lemari dan menuju kamar mandi.“Berpacaran dengan gadis yang belum genap 19 tahun, apa bisa disebut menyukainya?” tanya Albara sembari memejamkan mata membiarkan air mengalir dari rambut menuju pangkal kakinya.Sejenak, mendongakkan kepala agar wajahnya terguyur a
“Berdiri, kalian sudah cukup istirahat!” titahnya kemudian.Belle berusaha menopang tubuhnya yang terus goyah dan berbaris bersama yang lain. “Lakukan kuda-kuda ... hey, kau bukan seperti itu!”Pengawas itu menghampiri Belle yang salah melakukan kuda-kuda, kemudian memukul kakinya dengan tongkat untuk membenarkan. Institut memulai dengan beberapa gerakan dasar belah diri yang kemudian diikuti oleh semua orang. Pengawas berjalan di sekeliling mereka dan memukul siapapun yang tak melakukan gerakan dengan baik. “Aku hanya salah sedikit, kenapa sampai seperti itu?” ringis Belle menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya setelah mendapatkan pukulan tongkat beberapa kali. Selang beberapa saat, Albara yang sudah selesai dengan kegiatannya menghampiri Belle yang sedang berlatih. Gadis itu mengerutkan kedua alisnya dengan bibir yang membulat kala Albara sampai.“Tuan, tahap pertama sudah hampir selesai.” ungkap pengawas menunduk saat berada di sebelah Albara.Pria itu mengepulkan asap rokok y
Kegelapan memenuhi satu ruangan di rumah megah yang penuh dengan cahaya lampu. Disaat itu, Albara tengah membawa piring dan gelas menuju ke sana. Menaiki satu-persatu anak tangga dengan perlahan. “Belle, kenapa tidak turun untuk makan?” tanya Albara kala membuka pintu kamar Belle.Gadis itu terbaring lemas di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya, Albara menyalakan lampu agar ruangan itu tak sunyi dan gelap.“Hey, bangun.” titah Albara menurunkan selimut dan menatap wajah Belle.“Aku tidak lapar, aku sangat mengantuk.” jawab Belle menepis tangan Albara yang memegangi selimut.Albara beralih duduk di sebelahnya dengan kaki yang mulai dinaikkan di ranjang. Satu tangan menepuk-nepuk kepala Belle yang tertutup selimut, sementara tangan lain memegangi ponsel.“Kenapa kau sangat keras kepala? Hanya karna masalah kecil selalu tidak makan,” ejek Albara.“Ini bukan masalah kecil, dampaknya sangat besar!” tegas Belle bangun dan memandang Albara yang tepat berada di sebelahnya. Wajah
Langkah kaki terlihat semakin memasuki area sekolah, suasana hening di pagi hari sedikit menenangkannya.Belle memegang tasnya erat-erat sembari menundukkan kepala dan berjalan menuju kelasnya.Lorong-lorong itu menjadi saksi kejadian tragis yang dialami Dahlia, namun Belle berusaha untuk tak melihatnya.“Aku salah, aku terlalu berharap bahwa semua ini hanya ilusi. Dan kemudian, aku kembali jatuh pada kenyataan yang pahit,” ujarnya.Berdiri di depan kelas memandangi bangku-bangku yang masih kosong.Matanya tertuju pada bangku tempat Dahlia duduk bersamanya, kakinya membeku di sana tak ingin masuk ke dalam kelas.Akan tetapi, Belle berusaha menghadapinya dan tak menghiraukan perasaannya yang terluka.Selang beberapa saat, kelas mulai di datangi oleh beberapa murid yang terkejut kala melihat Belle duduk di tempat Dahlia.Sekilas mereka mengira bahwa itu Dahlia. “Benarkan? Dia memang orang ternaif yang pernah aku temui.” ucap Khaira berjalan masuk ke dalam kelas bersama Angel.Maniknya
Dahlia kembali ke dalam kelasnya dengan mata yang sembab, sorakan saat ia masuk membuat mentalnya semakin jatuh.Orang-orang itu sama sekali tak memikirkan perasaannya. “Aku tidak tahan lagi,” gumamnya.Telinganya memaksa untuk tuli agar tak mendengarkan cemoohan yang semakin lama membuatnya muak. Setibanya di rumah, Dahlia langsung pergi menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Pikirannya sudah bulat, Dahlia menuliskan beberapa surat yang kemudian diletakkan di dalam laci.“Maaf ... maaf, aku tidak sekuat itu untuk menahan semua ini.” ucapnya meletakkan pulpen dan berjalan ke kamar mandi. Perlahan-lahan, Dahlia masuk ke dalam bathtub yang sudah penuh dengan air. Merebahkan tubuhnya seiring dengan kran air yang terus mengalir, Dahlia menikmati saat-saat terakhirnya.“Sangat me-ne-nang-kan-” Dahlia mulai kehilangan kesadarannya diiringi rasa sesak yang terus menekan jantungnya, namun hal itu nyatanya tak membuat Dahlia mengurungkan niatannya.*** Albara yang baru saja menyuapi B