Belle terdiam ia tak tahu harus bagaimana, air mata turun begitu saja melewati pipinya. Belle masih memandang Dahlia dengan senyuman.Ia berpikir Dahlia sedang mabuk dan emosinya tinggi.Semua yang diucapkannya hanyalah omong kosong belaka, Dahlia hanya sedang berhalusinasi.“Waktu itu, Elvan?” Belle masih dalam senyumannya meskipun sesuatu seakan menyakiti hatinya.Sangat dalam, dengan luka yang besar meskipun tak berbekas.Dahlia mendekatkan wajahnya ke wajah Belle, “Puas sekarang?”Dahlia diambang kesalahpahaman, pengaruh Khaira menghancurkannya dan rasa putus asa mengelilinginya.“Dahlia!”“Aku tidak mau mendengar apapun, kau sangat egois!” Dahlia menyela.Tutur katanya menyakiti Belle, padahal ia yang selalu menghiburnya.Sangat menyakitkan ketika sebuah umpatan keluar dari mulut seseorang yang selalu menenangkan.“Hanya karna cinta, kau seperti ini? Apa saat permainan tadi bukan mulutmu yang mengatakannya?” Belle masih ingat bagaimana ekspresi harunya saat Dahlia menjawab perta
Khaira meletakkan kembali foto itu, ia beralih mengambil vas bunga di dekat ranjang. Memegangnya erat, dan kemudian melemparnya ke arah kaca yang seketika hancur, serpihannya memenuhi meja rias.Suara pecahan yang menarik perhatian beberapa orang. Mereka berdiri di depan kamar Khaira, tak berani mengetuk untuk sekedar menanyakan apa yang terjadi.“Akh! Sialan!” teriak Khaira membuat semua bergegas menjauh, tak ingin menjadi pusat amarahnya.Khaira sedang berada dalam fase yang sangat rapuh.Hakikatnya, gadis yang dimabuk cinta.Para pelayan yang mendengar segera memanggil orang tua Khaira. Membuka paksa kamar itu, mereka mendapati Khaira tersungkur dengan pecahan kaca di tangannya.Darah mengalir dari tangannya, gaun putih indah itu tergores darah.Orang tuanya langsung menghampiri dan memeluk Khaira. “Ada apa, Nak? Kenapa melakukan ini? Kami selalu menuruti keinginanmu bukan?” tanya Ibunya.Tragis, putrinya terluka sedangkan ia tak tahu akibatnya.“Pelayan, ambil obat!” perintah A
Setelah sampai di rumah Belle langsung membersihkan diri dan menjawab semua pertanyaan Ayahnya. Tentang liburannya, yang membawa petaka hebat. “Mungkin aku harus mengunjunginya,” Belle bersiap untuk datang ke rumah Dahlia. Ia pikir dengan begitu, Dahlia akan mau mendengarkan penjelasannya.Sebelum sampai Belle mampir untuk membeli camilan, untuk Dahlia.Namun, ia melihat Dahlia sedang berada di restoran seberang jalan bersama seorang yang tak asing baginya, itu Elvan!“Kenapa Elvan tidak memberitahuku?” Belle berusaha menghilangkan pikiran buruk.Akan tetapi, mengingat bahwa Dahlia menyukai Elvan membuatnya semakin buruk.Belle berjalan ke seberang jalan, menenteng kantong camilan di tangannya.Saat akan berjalan masuk, ia bisa melihat dengan jelas, itu kekasihnya! Yang sedang disuapi oleh Dahlia.Belle berlari meninggalkan restoran, dengan air mata yang berlinang.Ia butuh kejelasan, apa ini? Bagaimana jika yang ada di pikirannya menjadi kenyataan? Belle berpikir sejenak, mungkin d
Seluruh gedung seakan hanya tersisa mereka berdua, lengkap dengan suara burung gagak yang samar terdengar.“Ayo temui Ayah, Ibu pasti sudah sangat merindukan Ayah kan?”Belle heran mengapa Ibunya membawa ke tempat seperti ini.Melainkan tidak pulang ke rumah atau sekedar menemui Eleird.Namun, belaian tangan Ibunya yang lembut membuatnya merasa nyaman, Belle menutup matanya. Berjalan ke depan hingga ia menabrak sesuatu, sedikit merasa sakit sembari menduga-duga apa yang baru saja ditabraknya hingga menimbulkan nyeri.Belle membuka mata perlahan, mulai menatap ke bawah, tepat pada jenazah wanita yang tadi dilihatnya.“Tidak, aku tidak mungkin ada di sini.”Bekas di lehernya, semakin jelas, penuh dengan darah.Mata Belle terfokus pada luka itu! Ia tak bisa beralih atau mengendalikan tubuhnya!Belle memalingkan wajahnya, berharap ini tidak benar, ”Ibu, Ibu di mana?“ Dengan suara yang tenang dan berusaha baik-baik saja.Poros matanya mengelilingi sekeliling yang penuh dengan jenazah.He
Dahlia menyodorkan sesendok kepada Elvan, tepat saat matanya melirik Belle yang berada di luar.Tepat, aku mengambilnya! Dahlia pikir itu sudah cukup membuat Belle merasa bahwa Elvan menghianatinya.“Hentikan, aku tidak punya waktu! Cepat katakan, jika tidak aku akan pergi!” bentak Elvan.Menolak suapan Dahlia, karna ia masih menjaga hatinya untuk Belle.Menurut Elvan, sikap Dahlia sangat tak pantas mengingat dia adalah sahabat Belle.Namun, ia tak tahu jika semua ini merupakan jebakan.“Apa yang kau suka dari dia? Aku lebih punya segalanya dibanding dia!” tegurnya.Dahlia menunjukkan sosok aslinya yang baru, sontak Elvan menatapnya bingung.“Lalu, kenapa jika kau punya segalanya? Hanya dia yang bisa mengerti perasaanku, dan kau menjadi penjilat kekasih sahabatmu sendiri?” cecar Elvan.Beranjak pergi meninggalkan Dahlia, meskipun tangannya digenggam oleh Dahlia yang tak membiarkannya pergi, bahkan pada saat beberapa sorot mata memandang mereka. Ia malah menangis agar Elvan mau duduk
Kehancurkan keluarganya, tertulis di sana dengan sangat jelas. Bahkan kematian Ibunya lengkap dengan Ayahnya yang menikah lagi juga ada. Belle segera menghampiri seseorang yang seharusnya bertanggung jawab tentang semua ini.Satu-satunya orang yang jadi telinganya disaat dunia sedang mengacuhkannya. Pundak untuk bersendernya ketika sedang hancur. “Dahlia!” panggil Belle, “apa kau yang membuat ini?”Masih menahan amarahnya yang sejujurnya sudah memuncak. Ingin menampar Dahlia yang berani mengganggu privasinya.“Memangnya siapa lagi yang tahu?” jawab Dahlia.Menunjuk kepada Belle yang sudah menangis di depannya.Dengan tatapan sinisnya, ia memojokkan Belle.“Kau tahu itu, lalu apa ini? Kenapa kau mengumbar privasiku? Kau menginginkan Elvan, tapi tidak dengan membawa keluargaku!” bentak Belle tak terima dan muak dengan Dahlia kali ini. Bahkan Belle melempar brosur itu di hadapan Dahlia, menunjukkan kekecewaannya.Sayangnya, Dahlia sudah berbeda. “Ingat satu hal, aku tidak akan berhen
Sekarang ia hanya perlu menunggu masalah apa lagi yang akan datang menimpanya. Membuatnya terpuruk dan menangis.Dunia begitu kejam, bahkan untuk seorang gadis yang menginginkan kebahagiaan sederhana.Belle kembali ke rumah sakit, setidaknya ia bisa berguna di sana. Meskipun raut wajah kesal Ibu tirinya terpampang jelas. Belle masih tak melupakan segalanya, semuanya masih nyata di depan matanya.“Sebaiknya kau pulang, aku di sini menjaga Reval.” ucap Ibu tirinya.Tak berselang lama setelah Belle duduk di sebelahnya. Gadis itu hanya ingin akrab dengannya, mereka tak pernah punya waktu bahkan untuk duduk berdua seperti ini.“Baik, jika Ibu butuh apa-apa. Aku akan datang,” Belle mematuhi perintah Ibu tirinya.Sendirian di rumah lebih baik daripada berada dalam sebuah gedung penuh dengan teriakan kesakitan.Belle melewati ruang jenazah, terakhir kali ia mendapatkan momen yang menyeramkan. Sejenak, ia menatapnya sendu. Berharap saat itu Ibunya benar-benar berada di depannya.“Ibu ... apa
Eleird ingin duduk berdua mendengarkan keluh kesah Belle, menanyakan hal-hal kecil yang mungkin akan ia kenang selamanya. Eleird baru saja menyelesaikan pekerjaannya, saat ia akan pulang sebuah mobil menabraknya dengan kencang.Kejadian itu terjadi dalam kurun waktu yang cepat, Eleird tak bisa menghindarinya.“Kita akan bertemu,” Eleird menatap langit dihalangi oleh kaca mobil yang pecah.Seakan bisa melihat sesuatu di sana, hati menginginkan untuk bertemu cintanya.Livia bahagia setelah dokter memberitahu bahwa operasi Reval berjalan dengan lancar dan sekarang hanya butuh waktu untuk sadar dan menjalani pemulihan.Ia tak sabar memberitahukannya kepada Eleird, terus mengiriminya pesan meskipun tak ada jawaban.“Aku harap dia segera membalasnya,” batinnya.Memandang foto pernikahannya dengan Eleird. Livia masih ingat, Eleird tak pernah mencintainya. Akan tetapi, ia akan tetap berusaha untuk tetap ada di sisi Eleird.Mungkin ia akan sedikit mengubah sikapnya kepada Belle, memperbaiki d
Dentingan ponsel menarik atensi Albara untuk mengulurkan tangannya, tatapan matanya berubah menjadi dingin kala membaca pesan yang dikirimkan kepadanya. Tanpa mengatakan apapun, ia membuang puntung rokok dan segera menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.“Ada apa dengannya?” tanya Belle kala Albara keluar dari kamarnya. Gadis itu masih duduk di depan meja riasnya menatap pintu yang tak ditutup. Albara yang sampai di kamarnya buru-buru membuka laptop dan memeriksa sesuatu, raut wajahnya kian memburuk kala membaca email dari seseorang.“Sial! Dia membatalkan kerja sama hanya karna satu anggotanya ditangkap polisi.” geramnya memijat dahinya dengan gusar. “Kau juga harus menanggung kerugiannya!” pekiknya menuliskan pesan kepada sekretarisnya untuk segera menyiapkan tiket keluar negeri. Sementara itu, ia pergi mandi dan bersiap-siap untuk sarapan bersama Belle sesaat setelah pelayan memberitahunya bahwa Belle sudah menunggu di meja makan. Gadis itu fokus dengan ponselnya sampai-sampai t
Setelah sampai di rumah, ia tak mencari Albara karna tahu pria itu sudah berangkat bekerja. Bahkan tanpa sarapan, Belle duduk sendirian di meja makan menatap beberapa hidangan yang sudah disiapkan. “Kenapa pelayan menyajikan banyak makanan saat mereka tahu tuan tidak makan?” gumam Belle memakan perlahan. Belle menghabiskan waktunya seharian di rumah melakukan aktivitas yang dapat membuatnya sibuk. Namun, saat malam menjelang Albara tak kunjung pulang ataupun mengabari. “Biasanya sore tuan sudah pulang,” lirihnya.Berada di balkon terus memandang gerbang yang tertutup. Selang beberapa saat, Belle bergegas ke kamarnya berganti pakaian dan mengambil tas untuk menemui Albara di perusahaan tanpa memberitahunya. “Pak, apa masih lama?” tanya Belle tak sabar. “Sebentar lagi sampai, nona. Jalanan sedikit macet,” balas supir. Saat sampai, Belle masuk sendirian sementara supir menunggu di parkiran. Gadis itu merasa canggung kala memasuki tempat besar yang berisi orang-orang dengan penam
Belle merasa bahagia ketika menjalani prosesi wisuda, namun juga merasakan kekecewaan kala teringat Dahlia yang sudah tiada. Suasana itu membuat Belle merasa kesepian dan dirundung kesedihan. “Andai saja ... kau masih ada di sini,” lirihnya. Melirik buket bunga yang sedang dipegangnya. Kemudian, sorot matanya tiba-tiba tertuju pada Albara yang duduk di bangku wali murid dengan memegang ponselnya memotret Belle. Senyuman di wajah gadis itu kian merona menghadap Albara. Setelah acara selesai, Albara membawa Belle untuk pulang lebih awal. Namun, keduanya tak langsung sampai di rumah, melainkan datang ke sebuah gedung yang sengaja dipesan Albara.“Bagaimanapun juga, kita harus merayakannya.” gumam Albara mengulurkan tangannya. Berjalan masuk bersama Belle dan memasuki sebuah ruangan yang gelap. Langkah kaki Belle terhenti, matanya menatap tajam ke arah suasana sunyi penuh dengan warna hitam di hadapannya. Hatinya bergejolak kala Albara menariknya untuk masuk ke sana dan duduk di
Siang harinya, Albara bersiap untuk memulai pelatihan bersama timnya. Tak lupa membawa beberapa peralatan yang mereka butuhkan. Namun, dari keseluruhan yang ikut pelatihan Albara terus mengacuhkan Anna. Bahkan ucapan gadis itu tak diresponnya dan membuat Anna sangat marah.“Hanya aku, saat aku mengajak berbicara tuan mengabaikanku. Ada apa ini? Apa tuan menyalahkanku?” lirihnya gusar.Bibirnya membulat sempurna dengan mata yang melirik tajam, namun Anna tetap berusaha menarik atensi Albara. “Perhatikan baik-baik, setelah itu kalian lakukan sendiri,” titah Albara. Selang beberapa jam, ia meninggalkan lokasi hendak memeriksa keadaan Belle. Namun, saat ia sampai di sana matanya malah mendapati Anna berdiri di dekat ranjang Belle yang sudah ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah pelatihan masih berlangsung?” tanya Albara berjalan mendekat.“Aku pergi ke toilet, dan aku pikir akan mengunjunginya.” dalih Anna mundur beberapa langkah dari Belle. Albara menatap mata Belle da
Belle memegangi cangkir yang berisi teh hangat, menyeruputnya perlahan-lahan sembari membiarkan Albara memakaikan selimut di tubuhnya.“Hey, tuan kenapa mereka seperti itu?” tanya Belle kala matanya menangkap adegan kekerasan yang tak jauh dari posisinya.“Itu sudah biasa, tidak akan ada masalah jadi jangan dihiraukan.” balas Albara duduk di dekat Belle.Mengalihkan pandangannya dari kedua pria yang hendak berkelahi. Beberapa jam kemudian, Belle tertidur lelap menyender kepada Albara. Pria itu masih berbincang dengan asistennya dengan menahan tubuh Belle agar tak jatuh.Lalu, membawanya menuju kamar. Sebelum merebahkan Belle di ranjang, Albara melepaskan sepatu dan jaket yang ada pada Belle. Kemudian, mengambil pakaian di lemari dan menuju kamar mandi.“Berpacaran dengan gadis yang belum genap 19 tahun, apa bisa disebut menyukainya?” tanya Albara sembari memejamkan mata membiarkan air mengalir dari rambut menuju pangkal kakinya.Sejenak, mendongakkan kepala agar wajahnya terguyur a
“Berdiri, kalian sudah cukup istirahat!” titahnya kemudian.Belle berusaha menopang tubuhnya yang terus goyah dan berbaris bersama yang lain. “Lakukan kuda-kuda ... hey, kau bukan seperti itu!”Pengawas itu menghampiri Belle yang salah melakukan kuda-kuda, kemudian memukul kakinya dengan tongkat untuk membenarkan. Institut memulai dengan beberapa gerakan dasar belah diri yang kemudian diikuti oleh semua orang. Pengawas berjalan di sekeliling mereka dan memukul siapapun yang tak melakukan gerakan dengan baik. “Aku hanya salah sedikit, kenapa sampai seperti itu?” ringis Belle menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya setelah mendapatkan pukulan tongkat beberapa kali. Selang beberapa saat, Albara yang sudah selesai dengan kegiatannya menghampiri Belle yang sedang berlatih. Gadis itu mengerutkan kedua alisnya dengan bibir yang membulat kala Albara sampai.“Tuan, tahap pertama sudah hampir selesai.” ungkap pengawas menunduk saat berada di sebelah Albara.Pria itu mengepulkan asap rokok y
Kegelapan memenuhi satu ruangan di rumah megah yang penuh dengan cahaya lampu. Disaat itu, Albara tengah membawa piring dan gelas menuju ke sana. Menaiki satu-persatu anak tangga dengan perlahan. “Belle, kenapa tidak turun untuk makan?” tanya Albara kala membuka pintu kamar Belle.Gadis itu terbaring lemas di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya, Albara menyalakan lampu agar ruangan itu tak sunyi dan gelap.“Hey, bangun.” titah Albara menurunkan selimut dan menatap wajah Belle.“Aku tidak lapar, aku sangat mengantuk.” jawab Belle menepis tangan Albara yang memegangi selimut.Albara beralih duduk di sebelahnya dengan kaki yang mulai dinaikkan di ranjang. Satu tangan menepuk-nepuk kepala Belle yang tertutup selimut, sementara tangan lain memegangi ponsel.“Kenapa kau sangat keras kepala? Hanya karna masalah kecil selalu tidak makan,” ejek Albara.“Ini bukan masalah kecil, dampaknya sangat besar!” tegas Belle bangun dan memandang Albara yang tepat berada di sebelahnya. Wajah
Langkah kaki terlihat semakin memasuki area sekolah, suasana hening di pagi hari sedikit menenangkannya.Belle memegang tasnya erat-erat sembari menundukkan kepala dan berjalan menuju kelasnya.Lorong-lorong itu menjadi saksi kejadian tragis yang dialami Dahlia, namun Belle berusaha untuk tak melihatnya.“Aku salah, aku terlalu berharap bahwa semua ini hanya ilusi. Dan kemudian, aku kembali jatuh pada kenyataan yang pahit,” ujarnya.Berdiri di depan kelas memandangi bangku-bangku yang masih kosong.Matanya tertuju pada bangku tempat Dahlia duduk bersamanya, kakinya membeku di sana tak ingin masuk ke dalam kelas.Akan tetapi, Belle berusaha menghadapinya dan tak menghiraukan perasaannya yang terluka.Selang beberapa saat, kelas mulai di datangi oleh beberapa murid yang terkejut kala melihat Belle duduk di tempat Dahlia.Sekilas mereka mengira bahwa itu Dahlia. “Benarkan? Dia memang orang ternaif yang pernah aku temui.” ucap Khaira berjalan masuk ke dalam kelas bersama Angel.Maniknya
Dahlia kembali ke dalam kelasnya dengan mata yang sembab, sorakan saat ia masuk membuat mentalnya semakin jatuh.Orang-orang itu sama sekali tak memikirkan perasaannya. “Aku tidak tahan lagi,” gumamnya.Telinganya memaksa untuk tuli agar tak mendengarkan cemoohan yang semakin lama membuatnya muak. Setibanya di rumah, Dahlia langsung pergi menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Pikirannya sudah bulat, Dahlia menuliskan beberapa surat yang kemudian diletakkan di dalam laci.“Maaf ... maaf, aku tidak sekuat itu untuk menahan semua ini.” ucapnya meletakkan pulpen dan berjalan ke kamar mandi. Perlahan-lahan, Dahlia masuk ke dalam bathtub yang sudah penuh dengan air. Merebahkan tubuhnya seiring dengan kran air yang terus mengalir, Dahlia menikmati saat-saat terakhirnya.“Sangat me-ne-nang-kan-” Dahlia mulai kehilangan kesadarannya diiringi rasa sesak yang terus menekan jantungnya, namun hal itu nyatanya tak membuat Dahlia mengurungkan niatannya.*** Albara yang baru saja menyuapi B