Masuk ke dalam mobil, ibu beranak satu itu lekas mengenakan sabuk pengaman, menyalakan mesin kendaraan roda empatnya lalu menggerakkan mobil tersebut menjauhi parkiran minimarket.
Ada yang berkedut nyeri di sanubari saat ia melihat ekspresi kecewa Riana dari kaca spion. Alina tahu kalau anak-anak itu sebenarnya membutuhkan sosok seorang ibu yang perhatian, dan mungkin mereka menemukan kenyamanan ada di dalam dirinya.Sebab yang Alina tahu, Siti itu tempramental, suka memukuli anaknya walaupun mereka tidak bersalah.Kalau saja dia sudah resmi bercerai dengan Alex, mungkin Alina tidak akan segan-segan membawa anak-anak itu ke rumah. Tetapi keadaannya sekarang tidak memungkinkan untuk membawa kedua malaikat kecil tersebut pulang ke kediaman.Mengambil napas dalam-dalam, alina mencoba menepis rasa iba dalam dada sambil terus fokus mengemudi. Bukannya tega kepada anak kecil, tetapi dia hanya sedang ingin menghindari orang-orang yang telah melukai hatinSidang perdana telah selesai dilaksanakan, kini tinggal menunggu sidang selanjutnya digelar dan ikatan pernikahan keduanya sudah benar-benar berada di ujung perpisahan.Alin keluar dari dalam ruang persidangan bersama Umar, sementara Alex berjalan sendirian tanpa pendamping sama sekali."Terima kasih atas bantuannya, Mas Umar. Saya permisi dulu.Assalamualaikum," ucap Alina seraya melekuk senyum lalu berjalan menuju mobilnya dan segera masuk. Dari kejauhan Alex terus saja menatap sang istri, tidak rela rasanya jika harus kehilangan wanita yang selalu menghuni relung hatinya.Memang Alex bukan laki-laki setia. Dia sudah membagi hati juga raga, akan tetapi cinta yang ia rasa hanya untuk Alina saja. Menikahi Siti itu sebagai bentuk tanggungjawab juga karena desakan serta ancaman. Tidak ada niat sama sekali untuk mengkhianati.Meski dia juga tidak memungkiri adanya Siti semakin melengkapinya hidupnya, sebab perempuan itu begitu pandai memanja
Mengambil gawai dari dalam saku daster, Alina membuka blokiran nomer laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya sembari menatap wajah Maura yang tampak pucat sambil menahan sedih.Gegas perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu menekan ikon hijau, menghubungi Alex akan tetapi tidak kunjung ada jawaban. Mungkin karena sudah hampir tengah malam jadi pria itu sudah terlelap mengarungi samudera mimpi bersama anak-anaknya di rumah."Biar Mas datangi langsung ke rumahnya. Mungkin dia sudah tidur." Aldo berujar seraya menepuk pundak sang adik."Tapi tolong jangan buat keributan di sana, Al. Mama nggak mau kamu kembali memukuli Alex. Kali ini kita sedang membutuhkan dia," pesan Mama dan dijawab anggukan oleh anak lelakinya.Aldo lekas mengayunkan kaki keluar dari kamar rawat inap sang keponakan, dan segera berjalan menuju parkiran lalu melajukan kendaraan roda empatnya dengan kecepatan rata-rata menuju kediaman Alex.Sesampainya
"Bagaimana, Lin? Kamu masih mau kan, memberikan kesempatan kedua buat Mas?" Alex kembali bertanya.Alina menoleh sekilas, menatap netra laki-laki yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan suaminya itu sambil menghela napas panjang. Dia memang masih memiliki secuil rasa cinta dalam dada, akan tetapi jika untuk kembali hidup bersama, perempuan berambut coklat itu sepertinya sudah tidak lagi memikirkan ke arah itu, sebab rasa percayanya terhadap Alex sudah tidak ada."Lin, kamu mau kan kembali sama Mas?" Alex mengulangi pertanyaannya, meraih jari jemari Alina akan tetapi dengan cepat sang calon mantan istri menjauhkan tangannya."Maaf, Mas. Tidak bisa. Kita akan tetap bercerai apa pun yang terjadi!" Lugas Alina kemudian."Apa sudah ada laki-laki lain yang mengisi relung cinta kamu, Lin?""Ini bukan masalah ada atau tidaknya laki-laki lain dalam hati aku. Tetapi karena rasa kecewa luar biasa yang aku rasakan karena pengkhianatan yang kamu
"Rani mengalami perdarahan?" Alin mengerutkan keningnya."Iya. Dia hamil dan laki-laki yang menghamili dia tidak mau bertanggungjawab. Dia kabur dan malah menikah dengan perempuan lain di kampungnya.""Seperti dulu kamu ninggalin Siti saat hamil, Mas?" Alina membathin seraya menatap wajah Alex yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus dan tidak beraturan."Kamu boleh menertawakan aku sepuasnya, Lin," ucap Alex kemudian.Alin menyentak napas. "Aku tidak sejahat itu. Walaupun aku benci kepada Rani, tetapi aku tidak akan menertawakan dia saat sedang ditimpa musibah seperti ini. Aku juga perempuan. Aku bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Rani saat ini, Mas. Pasti dia sangat sedih dicampakkan begitu saja oleh orang yang disayangi. Semoga saja Allah memberikan Rani kekuatan untuk menghadapi semua masalah ini."Alex menunduk malu mendengar untaian kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya. Halus, tetapi begitu menusuk.Sebuah mercy
POV Alex.Aku segera mematikan mesin motor, kembali masuk ke rumah Alina lalu memanggil perempuan yang masih kucinta, meminta dia menjaga Riana dan Rachelya sebentar saja. Karena tidak mungkin aku membawa kedua anak itu ke rumah sakit, terlebih lagi mungkin keadaan ibunya tidak memungkinkan untuk dilihat anak di bawah umur."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" tanya Alin dengan mimik kurang suka. Mungkin tidak mau waktu bersama keluarganya terganggu gara-gara harus menjaga kedua anakku.Tetapi mau bagaimana lagi. Tidak ada siapa pun di kota ini yang bisa dimintai bantuan selain dia. Meski malu aku harus menebalkan muka."Aku mau ke rumah sakit, Lin. Tadi ada telepon dari pihak kepolisian dan katanya Siti menjadi korban penganiayaan," terangku."Inalillahi... Yasudah. Sebaiknya kamu jalan sekarang. Hati-hati di jalan!" Aku menatap netra berhias bulu lentik itu sesaat, mencoba melihat masih adakah cinta walau sedikit saja, dan
"Maaf. Saya Alex, suaminya Siti. Sekarang Siti sedang dirawat di rumah sakit." Aku berujar dengan lantang."Di rumah sakit? Pasti kamu yang menganiaya dia sampai harus dirawat ya?" cerocosnya kemudian."Jangan asal nuduh kalau nggak tahu duduk permasalahan. Nanti jatuhnya malah jadi fitnah. Sebaiknya sekarang kamu temui kakakmu itu di rumah sakit dan tanyakan sendiri sama polisi apa yang sebenarnya terjadi!" sungutku meradang, lalu segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak.Setelah itu mengirimkan alamat kepada perempuan itu lewat aplikasi berwarna hijau, supaya dia datang ke rumah sakit dan mengurus Siti.Aku tidak mau jika harus mengurus orang yang sudah mengkhianati aku, terlebih lagi sudah ada dua anak yang harus aku rawat di rumah.***Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya seorang perempuan berhijab satin datang dan langsung memaki-maki diriku, mengatai kalau aku suami yang kejam dan tidak berperasaan.
***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap pergi ke toko, memulai hari seperti biasanya dengan disibukkan segudang aktivitas di toko online yang kukelola. Kebetulan Maura masih berada di Bogor bersama opa omanya, jadi aku bisa berangkat lebih pagi dari biasanya.Sesampainya di depan toko, Mas Alex sudah menunggu bersama dua orang putrinya, menerbitkan senyum semringah saat melihat aku turun dari mobil."Assalamualaikum, Alina. Kamu apa kabar?" sapanya dengan ramah."Waalaikumussalam. Ada apa?""Aku ada panggilan kerja. Bisa nggak nitip anak-anak sebentar?""Maaf, Mas. Aku lagi sibuk. Kenapa anak-anak nggak kamu titipkan sama tetangga, atau kamu cari kerabat Siti untuk menjaga mereka. Aku memang sayang sama anak-anak ini, tetapi kamu jangan mempergunakan kesempatan itu untuk terus merecoki hidup aku. Kita ini sudah tidak ada hubungan apa-apa.""Aku nggak punya siapa-siapa yang bisa dimintai tolong, Lin.""Kamu
Menyalakan mesin kendaraan, pulang ke rumah Tiara untuk menjemput anak-anak di sana. Senyum ini terkembang lebar ketika sampai di kediaman perempuan itu dan melihat anak-anak sedang bercanda ria bersama tantenya.Andai saja Siti secantik Tiara, pasti tidak akan kutinggalkan dia juga tak akan merasa sedih seperti ini ketika pernikahanku dengan Alina telah kandas dan berakhir. Sebab di rumah masih ada perempuan cantik, tidak kalah memesona dari Alina.Tetapi Siti. Dia itu jauh banget dari kata cantik. Kulit gelap, tubuh gemuk serta lemak bergelambir di mana-mana.Hanya satu yang aku butuhkan dari dia yaitu tempat untuk menyalurkan hasrat biologis, karena hanya Siti yang mampu mengimbangi permainanku dan tidak pernah menolak jika aku menyuruhnya menggunakan gaya yang kuminta."Lho, Mas. Kamu kenapa berdiri terus di sini?" tegur Tiara dengan suara lembut nan mendayu-dayu. Tidak sesangar saat pertama kali kami bertemu di rumah sakit tempo har
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu