"Jangan taruh telormu di satu keranjang," kata Mas Suma ketika aku bertanya, kenapa bidang bisnisnya beragam dan tersebar di banyak kota."Ran, kami ini pebisnis. Dimana ada potensi dan peluangnya bisa kami perbesar, disitulah yang kami garap!" jelasnya. "Apa tidak membuang energi?" tanyaku masih tidak paham. "Ini lebih ekonomis dan menguntungkan, daripada kita membentuk potensi baru," tambahnya.Pantas saja, bidang bisnis disesuaikan dengan potensi daerah. Seperti di Jogja, kerajinan dan furniture dan di Bandung tekstil dan fashion. Entah di Jakarta dan ada juga di Kalimantan, kami belum bicarakan.Perjalanan bisnis ini, memberiku banyak pelajaran. Kalau sebelumnya sekedar teori, dan sekarang aku tahu prakteknya.Banyak pekerjaan rumah yang harus kami diskusi setiba di rumah nanti.*"Mas Suma, kita memakai baju casual ini?" tanyaku memastikan lagi.Baju yang disiapkan untuk kami, baju kaos berkerah dan celana jeans. Tidak seperti biasanya, yang harus memakai baju formal."Iya, in
Kalau di kampung, arisannya panci, paling keren arisan blender, di sini berlian. Perhiasan yang merujuk kelas si pemakai. Sebenarnya bukan hasil arisan yang membuat mereka berkumpul, tetapi relasi bisnis.Berdua kami sampai di lokasi. Villa asri di tengah kota yang panas. Orang sekaya apa yang punya villa ini, pasti sudah bisa terukur. Di tengah padatnya rumah, dia mempunyai villa bertaman rimbun dan kolam renang yang indah. Semua yang datang menggunakan kostum yang sudah ditetapkan. Kami seperti masuk di masa lain. Ada juga yang menggunakan hiasan rambut bulu-bulu. Unik, seperti pesta kostum.Baru masuk, kami sudah disambut dengan minuman segar dengan hiasan manis berpayung kecil."Selamat datang Nyonya Adijaya!" sambut semua yang kami temui. Nyonya Besar salah satu tetua yang terkenal di sini. Mereka menghormatinya, kalau ada kesalahan pasti akan berpengaruh dengan bisnis yang berhubungan dengan keluarga Adijaya.Nyonya Besar, terkenal dengan ketegasannya.Walaupun sudah berumur
"Doakan semua lancar, ya!" Pagi ini, Mas Suma berpakaian formal. Kemeja lengan panjang berjas dan rambutnya pun disisir rapi. Sekarang aku memasangkan dasinya. Hmm ... aroma ini menjadi canduku. Bau segarnya Mas Suma. Suamiku kelihatan sangat gagah dan berwibawa."Huust ...! Kalau mengagumi suami, kedip dong! Apa masih kurang, yang tadi malam?" godanya sambil meniup wajah ini."I-iya, suami siapa dulu," sahutku sambil mengusap lengan dan dada untuk merapikan jas yang dia kenakan. Pagi ini, Mas Suma dengan team akan meeting terakhir dengan para investor. Informasi dari Desi, acara ini sekalian dengan pengesahan. Jadi kemungkinan kami bisa pulang lebih awal. Aku sudah sangat kangen dengan Amelia. "Mas Suma, nanti siang, Mami mengajakku makan siang. Aku kawatir, disuruh pakai baju aneh-aneh kayak kemarin. Bagaimana, ya?" tanyaku mengingat kejadian yang berakhir dengan kemarahannya."Tidak apa-apa. Mami sudah aku ingatkan. Jangan kawatir!" ucapnya, kemudian menarik kedua tanganku da
"Mas Suma ... Mas. Kenapa!?" Tergopoh aku menghampirinya yang terlihat berbaring dengan tangan terkulai ke bawah ranjang. Wajahnya agak pucat dan pandangan mata sedikit redup."Ran, aku lemas," ucapnya lemah. Aku raba dahinya tidak panas. Tangan, kaki normal. Kenapa, ya? Atau?"Mas Suma, sudah makan?""Tadi makan sedikit. Tidak selera. Aku istirahat saja. Ran, kamu duduk sini," katanya menunjuk tempat kosong di dekat kepalanya. Dia memeluk pinggangku sambil tiduran. Sambil mengusap-usap kelapa Mas Suma, aku membuka resep-resep di ponsel. Zaman sekarang sangat mudah, ya. Dulu, kalau mau masak enak harus tanya sana sini. Itupun belum pasti dapat. Sekarang, tinggal klik pilih yang di rasa cocok, dapat dah."Aku mau makan itu," teriak Mas Suma langsung merebut ponselku. Dia menunjuk satu gambar makanan di mangkok, Soto Betawi. Ternyata, tanpa aku sadari dia mengintip apa yang aku lakukan. "Aku mau ini, yuk, sekarang!" teriaknya langsung berdiri. Mas Suma yang beberapa waktu yang
"Rani, ikut aku!" Tanganku langsung ditariknya untuk masuk ke mobil. Udin, sopir kantor disuruhnya turun dan digantikan olehnya."Mas Suma, kita mau kemana?" tanyaku heran. Tadi, aku mengantarnya ke depan untuk pergi ke kantor. Sekarang, tiba-tiba pindah haluan mengajakku pergi. Dia sekarang suka berubah-ubah.Tanpa memperdulikan pertanyaanku, Mas Suma mengendarai mobil ke arah kantornya. Namun, mobil sudah berhenti sebelum sampai kantor. Mas Suma turun dan membukakan pintu untukku."Ran, turun. Kita sudah sampai. Pegang tanganku selalu, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan anakku," ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.Dia selalu protektif terhadapku. Apalagi dr. Maria, dokter kandunganku, mewanti-wanti untuk hati-hati mengingat usiaku yang tidak muda lagi. Untungnya, tekanan darahku tidak tinggi. Jadi menurunkan resiko.Kami tiba di sebuah proyek pembangunan gedung yang masih ditutup seng tinggi di sekelilingnya. Sekitar lima blok dari kantor Mas Suma. Tidak terlihat o
Kabar kehamilanku dua bulan yang lalu, menambah kebahagiaan dikeluarga kami. "Adeknya Kak Amel yang di dalam. Nanti tidurnya sama kakak, ya. Jangan sama Mama. Kalau sama Mama, Papi suka marah," bisik Amelia sambil melirik Mas Suma yang duduk di sebelahnya. Seringkali dia mengajak bicara perutku yang belum begitu besar, ini. Bahagia rasanya, dia menerima kehadiran calon adik dariku.Hampir tiap hari, Amelia tidur di kamar kami. Walaupun, berakhir Mas Suma menggendongnya kembali ke kamar Amelia.Kondisi Mas Suma juga sudah stabil. Tidak ada rasa lemas ataupun mual lagi. Aneh saja, sih. Istri yang hamil, tetapi suami yang nyidam. Hanya, kadang-kadang mendadak dia ingin makan sesuatu yang harus ada saat itu juga. Kalau sudah seperti itu, Pak Maman dan Pak Satpam dibuat kalang kabut. Itu saja yang masih merepotkan sampai sekarang."Ma, Pi, aku turun dulu, ya! Amel ada PR!" kata Amel sambil turun dari ranjang. Kemudian dia berlari keluar."Akhirnya ... !" teriak Mas Suma melihat anakny
Sudah beberapa minggu ini, kami makan di luar. Ada saja permintaan Mas Suma dengan apa yang ingin dimakan. Yang membuatnya sebal, sudah sampai tujuan, eh ganti keinginannya. Akhirnya muter-muter lagi, mencari apa yang dia mau. "Nak ..., kamu kok nyiksa, Papi, ya?" kataku serambi mengelus perutku yang sudah mulai sedikit membesar. "Untung yang nyidam aku, Ran. Kalau kamu bagaimana? Sedangkan aku belum tentu ada di dekatmu. Demi kamu dan anak kita, aku rela disiksa seperti ini," ucapnya sambil mengelus punggungku. Kami makan siang di rumah makan Betawi. Mas Suma ingin makan Asinan Jakarta, itu saja yang dia makan, tidak mau yang lain. Padahal, nasi uduk dan ayam gorengnya enak sekali. Dan, soto Betawinya, uuff, endul! Padahal, kedua makanan ini sudah aku pesan untuk memancingnya supaya mau makan nasi.Tapi gagal! Dia malah menghabiskan Asinan Jakarta dua porsi! "Tapi, perutku ini, Ran. Sama-sama ikutan membesar. Itu yang aku tidak suka! Bisa tidak Hot Dady lagi, dong!" ucapnya k
"Mama, Kak Wisnu! Say, hai" teriak Amelia sambil mengarahkan ponsel kepadaku. Dia video call dengan Wisnu, anakku. "Hai .... !" ucapku, dan langsung ponsel ditariknya kembali.Selalu begitu, mereka selalu ada saja yang diomongin. Seperti sekarang, Amelia antusias cerita kalau dia baru saja memasak. Dia pamer dengan hasilnya.Mereka, sudah seperti saudara. Kadang-kadang bercanda, terus mengejek, akhirnya marahan. Tapi, besuknya akur lagi."Halo Honey, sudah matang, ya? Aku lapar," kata Mas Suma menghampiri kami."Wisnu?" tanyanya berbisik, menunjuk ke arah Amelia. Aku mengangguk mengiyakan. Mas Suma langsung menghampiri Amelia dan menyapa Wisnu."Hai, Wisnu. Sudah makan, kamu? Kapan kamu ke sini lagi? Om tidak ada temen main catur!" kata Mas Wisnu, langsung sabotase ponsel dari tangan Amelia. Yang merasa terganggu langsung merengut."Wisnu sudah makan, Om. Tadi di kantin bawah. Sekarang masih banyak-banyaknya tugas kampus, Om. Kalau ada kesempatan, pasti Wisnu ke sana!" "Setiap mingg