Ya, mereka Mas Bram bersama wanita cantik di sampingnya. Pasti, dia adalah istrinya. Dadaku terasa berat. Bagaimanapun, mereka berdualah yang menghancurkan kebahagiaanku dulu. "Mas Suma!" teriakku memanggilnya lirih, seperti minta perlindungan. Digenggamnya tanganku dan diusap lembut seakan memberi kekuatan. Aku tidak menyangka akhirnya kami tertemu. Ada rasa sakit melihat kebersamaan mereka. Bukan karena cinta atau benci, tetapi teringat kenangan menyakitkan yang sudah aku kubur dalam-dalam."Rani, semoga kamu bahagia selalu, ya," kata Mas Bram terdengar serak."Pak Kusuma, tolong jaga Rani dan tolong bahagiakan dia," ucapnya setelah berpaling ke arah Tuan Kusuma. Mereka saling jabat tangan dan berpelukan. Sekilas ada air mata yang mengambang di mata Mas Bram. "Mbak Rani, saya Wulan. Selamat, ya dan Maafkan saya," ucap wanita yang bersama Mas Bram. Betul, dia Wulan istri Mas Bram. Dengan ragu dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku diam dan menatapnya sejenak kemudian menghela
Benar-benar kami terisolasi. Hanya pegawai hotel yang datang sekadar membersihkan dan menyiapkan makanan. Selain itu, tidak ada. Dengan dalih tidak mau mengganggu. Ibu, Widya, Wisnu dan keluargaku pun pamit pulang lewat video call, itupun dari ponsel Mas Suma. Ponselku masih dibawa Nyonya Besar. Tidak ada teman dan ponsel, hanya kami berdua, aku dan Mas Suma.Aku tidak bisa membedakan, aku ini istrinya atau tawanannya.Manisnya kebersamaan ini membuatnya tidak sedetikpun beranjak dariku. Hujanan kata cinta membanjiriku. Dia begitu manis dan tak terkendali. Tingkat kemanjaannya naik seribu persen. Menikah dengan pria berstatus duda, memang berbeda. Dia seperti anak panah yang melesat tidak terhentikan. Untungnya, statusku yang seorang janda, bisa mengimbangi apa kemauannya. Walaupun, tetap berakhir dengan tubuh remuk redam. Aku kangen dengan rutinitasku, terlebih memasak. Kegiatan ini membuatku merasa bebas, bisa mengekspresikan semua yang kita ingin. Ada kepuasan di situ."Ra
Bab 55. Aku Menjadi KitaMalam ini, terakhir kami di hotel ini. Akhirnya kami bisa makan di luar. Mas Suma membuat reservasi di restoran hotel ini juga, tetapi yang di roof top. Udara terasa segar, dengan pemandangan kota dari atas membuat suasana terasa indah. "Bagaimana? Senang?" tanyanya ketika kami baru tiba dan masih menikmati pemandangan sekitar."Terasa segar. Selama ini kita seperti terkungkung di kamar, akhirnya ....," ucapku lirih. Kuhirup udara dalam-dalam. Aku pejamkan mata, menikmati angin yang membelai kulitku. Terasa nyaman dan bebas."Kamu kan, tawananku. Tawanan cinta," bisiknya ditelingaku. Tersentak aku, ketika bibir ini diciumnya sekilas. "Jangan suka memejamkan mata seperti ini, membuatku tidak tahan," bisiknya lagi."Mas Suma! Ini tempat umum," protesku mencembik.Dia hanya tersenyum menang, ditariknya kursi untukku. Kami makan di meja bulat dengan duduk berhadapan. Dia kelihatan mempesona, dengan wajah segar yang selalu menyungging senyuman.Penerangan lilin
"Mama ...!"Suara Amelia memecah kesunyian rumah ini. Suara yang aku rindukan. Rumah langsung berasa hidup.Aku yang di lantai atas, segera keluar kamar. Suara langkah kaki berlari menaiki tangga seakan tidak sabar. Aku sangat merindukannya, rindu senyumnya, ketawanya, rengekannya, bahkan teriakkannya.Amelia, kamu sekarang adalah putriku. "Ameeel ... !" teriakku juga.Kami berlari saling menghampiri, seperti adegan di film India saja. Kami saling perpelukan dan aku hujani ciuman di pipinya yang gembul ini. "Mama ...," bisiknya lirih.Kepalanya dipendamkan di dadaku. "Akhirnya, Amel bisa panggil mama," tambahnya lirih.Kata-katanya membuat sesak dadaku menahan haru, lidahku kelu dan mataku mulai mengembun. Anak ini, sangat menginginkan kasih dari seorang ibu. Aku berjanji, akan sangat menyayanginya seperti anakku sendiri."Amel kangen!" katanya serak, ada isakan tertahan di sana. Wajahnya semakin disembunyikan di pelukanku."Sayang, Mama sudah di sini kenapa menangis? Sudah besar
Aku langsung terkejut dengan dengan ucapannya. Sontak, dudukku langsung tegak dan menghadap ke arahnya. "Mas!" Aku berteriak dengan mata membulat dan kedua alis berkerut berusaha mencari tahu yang terjadi. Apa aku melakukan kesalahan? Atau dia cemburu yang tidak beralasan seperti biasanya? Atau .... Banyak spekulasi berputar di kepalaku."Iya aku menyesal!" ucapnya lagi. "Aku menyesal, kenapa tidak dari dulu, kamu aku paksa menikah denganku!" katanya dengan tersenyum jahil dan menarikku kembali ke posisi semula.Iiihh.... Bikin kesal! Aku cubit pinggangnya untuk mengalihkan kekesalanku. Sudah mulai pintar dia menjahiliku. "Aw!" teriaknya mengaduh. "Benar kan, Rani! Kalau menikah denganmu enaknya seperti ini, kenapa harus buang waktu! Ha-ha-ha."Udara dingin ini membuatku semakin membenamkan di pelukannya untuk mencari kehangatan. Sembari mengingat lika-liku perjalanan kisah kami. Akhirnya, di titik inilah kami, menautkan hati untuk bersama selamanya. "Mama ...! Papi ...!" ter
"Rani, kamu istirahat saja! Simpan tenaga!"Mas Suma menarik tempat duduk di meja makan. Dia memperhatikanku yang sibuk mempersiapkan apa saja yang harus memasak. Bahan-bahan sudah dibersihkan Bik Inah seperti yang aku minta. "Bik Inah, saya akan pergi dengan bapak. Tolong bersihkan ayam setelah itu kasih perasan jeruk nipis. Kalau daging, ini dipotong tipis lebar, yang ini potong dadu. Kalau ikannya dibersihkan dan direndam jeruk nipis. Siang, kami sudah pulang," pesanku tadi pagi.Pagi tadi, kami ke kantor Mas Suma. Syukuran pernikahan kami sekaligus memperkenalkanku kepada semua staff di sana. Desi juga memperkenalkan rekan sekretarisnya yang nantinya akan menghandle urusanku sekaligus akan membantuku di gallery nantinya. Namanya, Lukito, anak muda sekitar umur dua puluh an. Kelihatan dia energik dan semangat."Rani, masaknya banyak sekali!" teriak Mas Suma dari meja makan. Dia heran melihat banyaknya bahan di meja dapur. Sekarang ruang kerja jarang dipakai, dia lebih sering ke
Bab 59. Menggadaikan Kebebasan Hari ini, hari terakhir di rumah sebelum berangkat besuk pagi. Aku mulai mempersiapkan apa yang akan dibawa hari besuk. "Ran, apa yang kamu lakukan?" tanyanya melihatku mengeluarkan baju untuk dibawa besuk."Packing, Mas. Untuk besuk!" kataku tanpa melihatnya. Bajuku, baju Mas Suma, alat mandi, make-up dan printilan lainnya."Honey, kita tidak usah bawa apa-apa. Bawa peralatan pribadi saja. Semua baju dan perniknya sudah disiapkan Claudia di hotel masing-masing," jelasnya sambil tersenyum.Akupun menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Maksudnya, kami disiapkan baju baru lagi oleh Claudia. Apa tidak pemborosan? "Sedikit demi sedikit, kamu harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan kami. Tepatnya, keharusan kami," ucapnya sambil menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. "Kita, dituntut bersikap dan berpenampilan number one. Image kita, wajib dijaga. Karena, kita adalah wajah perusahaan. Besuk, kita akan menjadi pusat perhatian banyak mata dan bah
"Tapi, sekarang kan, ada kamu. Nanti setelah acara kita jalan-jalan, ya?" katanya sambil menggenggam tanganku, seakan mengerti apa yang aku pikirkan. "Mas Suma, kalau di Jogja. Enak jalan-jalannya naik motor. Lebih romantis," kataku dengan sudah ada Malioboro, istana, tengkleng, gudeg, yang menari-nari di otakku."Sudah sampai. Ayok kita turun!" kata Mas Suma. Dia belum sempat menjawab permintaanku tadi.Masuk areal pabrik, kami sudah disambut ratusan karyawan dengan antusias. Hari ini, mereka diliburkan dan merayakan kedatangan kami. Acara langsung dimulai.Sambutan-sambutan dan memperkenalkanku sebagai istri Tuan Kusuma. Melihat mereka, tersirat harapan besar di wajah-wajahnya. Dibelakangnya ada keluarga yang harus mereka hidupi, makan, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Semua bergantung pada kelangsungan pabrik ini.Dan, muaranya di pundak Tuan Kusuma."Aku tidak sanggup melihat mereka, kalau tidak bisa menghidupi keluarganya. Waktu itu, sudah ada yang menawarkan membe
POV Nyonya Besar "Jeng Sastro, bajuku gimana? Ini kok kayaknya miring, ya? Aku kok tidak pede." Ibunya Rani itu menoleh dan tersenyum, kemudian menunjukkan jempol tangannya. "Sudah bagus." Huft! Ibu dan anak memang sama, selalu santai kalau masalah penampilan. Aku kan harus perfekto dalam segala hal. La kalau difoto wartawan, terus dicetak sejuta exsemplar terus bajuku miring, saksakan rambutku mencong, kan tidak asyik. Aku melambaikan tangan ke Anita, memberi kode untuk membawa cermin ke kecil ke arahku. Dia ini memang sekretarisku yang jempolan. Sigap di segala suasana. Dia mendekat, kemudian menghadap ke arahku dengan cermin diletakkan di perutnya. Ini triknya, supaya orang lain tidak melihat aku lagi cek penampilan. Sekarang itu banyak nitizen yang usil. Orang ngupil difoto, bibirnya lagi mencong dijepret, terus diviralkan dan itu justru membanggakan. Menggumbar aib orang. Zaman sekarang itu konsep pikiran orang kok melenceng jauh, ya. "Sudah cetar?" tanyaku memastikan yan
Acara sudah tiba. Memang sangaja kami mengambil waktu pagi hari. Selain ini menyegarkan, ini juga tidak mengganggu kedua balitaku. Denish dan Anind. Pagi-pagi team perias sudah sampai. Satu persatu kami dirias, terlebih aku dikhususkan. “Jangan berlebihan make-upnya. Saya ingin natural dan terlihat segar.” “Siap, Nyonya Rani.” Claudia sibuk sana-sini memastikan team yang dia bawa bekerja dengan benar. Dia juga menfokuskan kepada diriku. “Artisnya sekarang ya Bu Rani dan Tuan Kusuma. Jadi harus maksimal,” ucapnya sambil membenahi gaun yang aku pakai. Gaun yang aku gunakan terlihat elegan. Berwarna putih tulang dengan aksen rajutan woll yang menunjukkan kehangatan. Yang membuatku puas, dia menyelipkan permata berkilau di sela-sela rajutan. Ini yang membuat terlihat mewah. Aku mengenakan kerudung warna hitam, dengan aksen senada di bagaian belakang. Keseluruhan, aku sangat puas. Jangan ditanya Mas Suma penampilannya seperti apa, dia seperti pangeran yang baru keluar dari istana. Ku
Ingin aku mengabaikan apa isi kepalaku, tetapi bisikan-bisikan semakin riuh di kedua telinga ini. Kecurigaan mencuat begitu saja. Bisa saja mereka ada hubungan kembali. Cinta bersemi kembali dengan mantan. Cerita itu sering ada di sekitar kita. Semakin aku memusatkan pikiran untuk tidur, semakin nyaring tuduhan gila yang berjubal di kepala ini. Huft! Aku duduk tegak dan beranjak untuk minum air putih. Mungkin dengan ini, bisa membuatku tenang. Tapi, aku tetap gelisah. Daripada penasaran, lebih baik aku mengintip ada yang dilakukan Mas Suma di ruangan sebelah. Dengan berjingkat, aku keluar dari pintu belakang dan menuju ruang baca. Lamat-lamat terdengar suara Mas Suma. Sip! Dia load speaker. Suara teman dia bicara terdengar juga. Jadi aku bisa tahu apa yang dikatakan Dewi. Tunggu sebentar! Kenapa suaranya bukan perempuan? Tetapi terdengar seperti laki-laki. “Aku tidak mau tahu. Kamu harus melakukan itu untukku,” ucap Mas Suma. Kemudian terdengar suara lelaki satunya. “Tapi, Tu
Bab 615.Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Di depanku terhampar pilihan kain yang cantik-cantik. Dari pilihan bahan sampai pilihan warna. Mana yang aku pilih?“Ini untuk tahun ke berapa, Bu Rani?” tanya Claudia“Baru ke tujuh. Sebenarnya saya juga belum ingin merayakan. Tapi tahu kan, kalau Tuan Kusuma mempunyai niat?” Wanita cantik tersenyum sambil mengangguk. Dia pasti lebih mengerti bangaimana keluarga Adijaya sebenarnya. Termasuk Nyonya Besar.Pertanyaan Claudia memantik ide di kepalaku. Woll itu kan berwarna putih, jadi …. Sip!“Aku pilih warna putih. Nuansa putih yang dipadukan dengan bahan woll,” ucapku dengan mata menjelajah. Claudia bergerak sigap. Dia menyingkirkan semua selain berwarna putih. Ini membuatku mudah.Tangan Claudia mulai bergerak lincah menggambar apa yang aku inginkan. Bukan keinginan bentuknya, tetapi keinginanku pada pernikahan ini. Yang membuatku suka, dia merancang baju dengan filosofi di dalamnya. Semua ada artinya.“Keluarga besar menggunakan pilihan
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan