POV DewiAku terima celaan orang sekitarku, bahkan orang seluruh dunia atas tindakanku yang mengabaikan bayi yang aku lahirkan. Namun, apakah mereka menerima atau sekadar mendengarkan alasanku?Hmm…bisa dipastikan tidak.Aku mengenal Kusuma hanya sekedar melihat sosoknya yang menawan dan cerita dari teman-teman yang berebut perhatian darinya. Pemuda berhasil dengan penampilan selalu rapi dengan tubuh tinggi dan garis wajah yang membuat para wanita enggan memalingkan pandangan.Siapa sih yang tidak kenal Kusuma? Pewaris perusahaan ternama yang bertangan dingin pada usia tergolong muda. Walaupun sikapnya yang kaku dan tidak ramah, tapi ini tidak menyurutkan jumlah penggemar.“Tidak apa-apa dia seperti itu. Cowok seperti Kusuma semakin cuek semakin cool. Pertanda dia tidak suka main perempuan sana-sini. Tidak seperti anak orang kaya lainnya, yang tebar pesona tapi otaknya kosong.”“Iya, betul. Toh, yang penting orangnya OK. Bisa dibanggakan pas arisan dan yang lebih penting duitnya, don
POV MaharaniKalau ada yang bilang pernikahan itu adalah sangkar, kalau aku menyebutnya sarang. Seperti sekarang ini, kami bersarang di ruang keluarga. Tepatnya berselonjoran di karpet depan televisi. Mas Suma, aku, Wisnu, Amelia, Denish dan Anind.Hari malas sedunia, itu yang tercetus dari mulut Amelia saat Mas Suma meminta dia mengambilkan bantal dan guling. Denish dan Anind yang berada ditengah-tengah, asyik bermain dan sesekali terkekeh karena digoda kakak-kakaknya.“Papi, katanya akan kasih tahu setelah makan. Ini kita sudah makan, dan Papi sudah mulai ngantuk. Trus, kapan?” Amelia menagih Mas Suma.“Siapa bilang Papi mengantuk?”“Trus untuk apa minta bantal?”“Menganggah leher, Mel. Papi kan sudah tua, jadi lehernya tidak sekuat kalian. Nih, kakinya juga pegel-pegel,” seru Mas Suma. Kemudian kakinya disodorkan ke Amelia.“Bilang saja minta dipijit! Awas kalau ketiduran.” Amelia melotot kesal ke Papinya, tapi tangannya tetap lincah memijit Mas Suma.Mas Suma tersenyum, dan melem
Aku menatap protes kepada Mas Suma. Tidak terima dengan keputusan yang sepihak ini. Bagaimana mungkin aku menemani Amelia yang bertemu ibu kandungnya. Ini sama saja ajang pembandingan ibu, antara aku, ibu sambung dan Dewi, ibu kandung.“Ini hanya untuk pertemuan pertama kali saja, Ran. Amelia selama ini kan tidak mengenal Dewi secara langsung. Tidak mungkin kan aku yang mengantar?” ucap Mas Suma mencoba memberi pengertian kepadaku.Secara logika memang benar, tapi dengan menunjukku sama saja membuat Dewi merasa tidak enak. Bisa saja dia merasa tidak dipercayai, karena aku ibu sambungnya mengikuti pertemuan mereka.“Tapi, Mas Suma. Aku tidak enak sama Dewi. Rasanya gimana gitu. Sama saja Mas Suma mengantar dan menunggui Wisnu yang bertemu dengan Mas Bram.”“Ya tidak apa-apa, lah. Kita kan bisa ngobrol dan mancing bersama. Iya kan, Wis?”“Betul, Pi!” seru Wisnu justru menyetujui Mas Suma.Huh dasar laki-laki. Mereka sih memang berpikir praktis. Tidak seperti perempuan yang menitik bera
POV Dewi“Mami.... Papi dan Mama mengundang Mami untuk berkunjung ke rumah. Mami ajak adik Andrew dan Om Patrick,” pinta Amelia saat kami video call. Sejenak aku terdiam, dan secepatnya menunjukkan senyuman. Aku tidak mau anakku ini mengetahui tanggapanku yang sebenarnya. Rencanaku untuk mendekati secara pribadi pada Amelia, harus berubah total dengan acara ini.“Baiklah. Mami carikan jadwal dulu, ya?”Seakan mendapat jawaban iya, Amelia langsung menunjukkan wajah kegirangan. Padahal, sebenarnya aku hanya meminta waktu untuk mencari jalan untuk berkelit.“Asyek! Jadwalnya minggu depan saja. Ada tanggal merah di pertengahan minggu. Kan semuanya libur.” Amel langsung menyodorkan tanggal dengan alasan. Mau tidak mau aku harus setuju.Hmm…. Anak ini tidak ada bedanya dengan Nyonya Besar dan Kusuma. Kalau ada maunya selalu memaksakan kehendak dengan semua alasan yang tidak bisa disangkal.Datang ke rumah Kusuma dan Maharani?Ini sama saja ajang pembandingan keluarga Kusama dan keluargaku.
POV MaharaniSemoga keputusan ini tidak salah.Ini berbeda saat kami mengundang keluarga Mas Bram ke rumah ini saat Wisnu ulang tahun. Aku bisa menjelaskan siapa dan bagaimana Mas mantan suamiku itu kepada Mas Suma. Dia memang bertindak salah dengan berselingkuh yang menyebabkan kami bercerai. Namun, aku bisa menjamin kalau dia tidak mungkin berbuat tidak baik apalagi menyangkut Wisnu anaknya.Sedangkan sekarang, Mas Suma tidak tahu sama sekali tentang Dewi, mantan istrinya. Aku tanya bagaimana sosok Dewi sebenarnya, hanya jawaban tidak tahu yang aku dengar dan gelengan kepala.Apalagi saat aku menunjukkan menu yang akan aku sajikan. Aku hanya ingin memastikan kalau Dewi tidak alergi dengan bahan makanan seperti seafood atau semacamnya.“Mana aku tahu dia tidak makan apa? Dulu semua kebutuhan kami diurus pelayan semua. Makanan, pakaian, dan semua kebutuhan pribadi.”“Tapi Mas Suma kan pernah makan bersama. Pasti memperhatikan dia, kan,” tanyaku mendesak dia supaya ingat bagaimana du
Ada yang bilang, kalau seseorang mengucapkan kata-kata tidak tepat tentangmu, jangan ambil hati. Namun, ambil batu terus lemparkan tepat ke wajahnya. Ungkapan sadis yang membuatku tertawa dan melupakan sakit hati ini. Namun ini ada benarnya. Bukan dalam arti sebenarnya, ya. Itu bisa dikenakan pasal tindak pidana. Artinya, dari pada kita memendam rasa sakit hati, lebih baik mengungkapkan kalau apa yang dikatakan itu tidak kamu sukai. Kadang kala, orang yang berucap itu tidak sadar kalau sudah menyakiti hati orang lain. Iya, kan? Ini yang akan aku praktekkan kalau bertemu Dewi nanti. *** Pertemuan tertinggal dua hari lagi. Mas Suma melarangku terlalu sibuk menyiapkan ini dan itu, terlebih memasak. “Lebih baik panggil orang catering atau restoran untuk menyiapkan makanan. Sekalian suruh kirim waiter atau waitress untuk menyiapkan segalanya,” pinta Mas Suma tadi malam. “Tapi, Mas. Kalau kita menyiapkan semua sendiri. Itu perwujudan kita menghargai mereka,” ucapku bersikukuh. Ini
“Bagiku persahabatan bukan sekadar bayangan, yang hadir saat ada sinar saja. Justru dalam keadaan gelap, kehadiran sahabat itu dibutuhkan. Aku ingin kamu mengingatku sebagai itu.”Prasetyo yang sekarang aku panggil Pak Tiok, yang mengajarkan aku pada ketulusan cinta sekaligus arti persahabatan.Cinta yang tertulis namaku, tidak disematkan pada wujud keegoisan dengan memaksa untuk memiliki. Dia bahkan mampu merubah dalam indahnya persahabatan.“Aku ingin selalu di sampingmu, apapun wujud hubungan kita. Dan, aku memilih untuk menjadi sahabatmu yang lega saat kamu bahagia.” Itu yang dia katakan saat aku masih memanggilkan dengan sebutan Mas TiokDengan izin Mas Suma, kami tetap menjalin persahabatan bahkan suamiku juga memposisikannya teman berkeluh kesah. Pembawaannya yang tulus, sejalan, dan berterus terang, menjadikan Pak Tiok orang kepercayaan Mas Suma.Sebagai sahabat, aku pun ingin berjalan dan sukses bersamanya. Oleh karena itu, walaupun dia membantu pekerjaanku, tapi aku tidak me
Laki-laki menyunggar rambutnya ke belakang. Cara duduknya menyiratkan kegelisahannya.Aku tidak pernah mendapati seorang Prasetyo bersikap seperti ini. Hilang, dia yang biasanya optimis dan bersemangat. Kedua kakinya yang panjang menopang kedua tangannya yang terkulai dengan kepala menunduk lunglai. Kepalanya dibebat dengan noda darah di bagian dahi.“Tiok, gimana cerita kok sampai begini?” Mas Suma yang mendahuluiku langsung menghampirinya. Seperti tanaman layu yang mendapatkan air, dia langsung mendongakkan wajah dengan mata penuh harap.Aku menepuk pungung suamiku, dan diapun duduk di sampingnya. Begitu juga aku yang0 mengekori Mas Suma.“Aku tidak membayangkan kalau mantan suaminya sebrutal dan senekad ini,” ucapnya mengawali rentetan peristiwa yang menimpa keduanya.Pertemuan yang direncanakan siang tadi gagal karena Kalila mengambil perceraian di pengacara. Karenanya, Pak Tiok menghampirinya sekaligus merencanakan makan malam. Ternyata, mantan suaminya menguntit sejak Kalila ber