Darahku berdesir panas, apa mungkin kakakku dan suamiku ....Aku menggelengkan kepala menepis pikiran burukku. Daripada hanya menerka-nerka, lebih baik aku membuktikannya sendiri. Brakk!Aku membuka pintu kamar dengan sedikit kasar, hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Seseorang di dalamnya terlonjak karena kaget."Apa kamu tidak bisa membuka pintu dengan pelan? Bikin orang kaget aja." Kak Nada yang tengah berbaring di atas kasur langsung bangun dengan menatapku tidak suka.Hanya ada Kak Nada di kamar ini. Bukannya tadi kata Azzam, Mas Rama ada bersama Kak Nada? Kok sekarang tidak ada?"Cari apa?" tanyanya lagi yang melihatku hanya celingukan tanpa berkata."Emmm, Mas Rama mana?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Nada malah tergelak sembari turun dari tempat tidur."Kamu ngelindur? Ngapain nanya suamimu ke aku. Ya, mana aku tahu." Kak Nada berdiri dengan bersidekap dada."Kata Azzam, dia melihat Mas Rama bersama Kakak, makanya aku nanya sama Kakak.""Anak kecil kamu percaya
"Bibi! Lancang kamu!"Sejurus kemudian aku langsung masuk dan mengambil bayiku dari gendongan wanita itu. Sungguh, aku benar-benar marah saat ini. Beraninya dia melanggar pesan yang sudah aku katakan sebelumnya."Maaf, Nyonya. Tadi Dedek-nya nangis, saya gak tega melihatnya," ujarnya dengan menunduk."Harusnya kamu panggil saya, bukan malah menggendongnya tanpa ijinku. Kalau dia jatuh gimana? Mau tanggung jawab kamu?!" Aku berteriak di depan wanita itu. Demi Tuhan, aku bukan jijik, melainkan takut jika dia akan merebut putraku. Aku tidak ingin dia mendekati anakku seperti dia mendekati suamiku."Ada apa, Mel?" Mama dan Mas Rama masuk ke dalam kamar. Mungkin karena mendengar suaraku yang berteriak kepada Bi Mina."Ini, lho Ma. Dia menggendong Raka, padahal sudah aku kasih tahu dia, jangan menggendong bayiku. Tapi dia lancang, masuk ke kamarku dan menggendong anakku."Mama Tuti melihat Bi Mina dengan sangat tajam. Seperti aku, Mama pun tidak suka dengan kelancangan Bi Mina."Sudahlah,
"Aku ....""Kamu membuatku tidak betah di rumah, Mel."Belum aku menyelesaikan ucapanku, Mas Rama sudah terlebih dahulu berucap dengan kata-kata yang membuat hatiku perih.Bukan aku yang membuat dia tidak betah, tapi dia sendiri yang sudah menghadirkan duri dalam istana idamanku.Aku mendelikkan mata seraya berjalan meninggalkan dia bersama Bi Mina. Aku tidak peduli dia mau berbuat apa pun dengan pembantu itu. Perkataan Mas Rama pada orang di sebrang telepon tadi, sudah membuktikan jika suami yang aku agungkan itu memanglah bukan lelaki yang setia. Mungkin di luar sana sudah banyak wanita yang dikencaninya. Bergonta-ganti pasangan saat aku tidak bisa memberikan kepuasan untuknya. Namun, yang menjadi pertanyaanku adalah, kenapa harus ada Bi Mina, jika dia bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik di luar rumah?Atau .... Bi Mina, bukanlah wanita simpanan Mas Rama?Apa ada hubungan lain antara mereka?Otakku dipaksa bekerja keras membongkar satu persatu masalah dalam rumah tanggaku.
"Nangislah dia, apalagi bisanya kalau bukan hanya menangis.""....""Ya, terus saja kamu berbuat kasar sama dia, supaya dia gak betah, dan memilih pergi dari sini. Dengan begitu, kita tidak perlu lagi berbohong untuk menutupi tentang dia kepada Melodi."Aku masih diam di ambang pintu kamarku, mendengarkan Mama Tuti yang sedang berbicara lewat sambungan telepon. Dia tidak menyadari keberadaanku, karena Mama tengah duduk di dekat ranjang Raka dengan membelakangi pintu. "Ingat Ram, Mama yang selalu ada untukmu dari dulu. Mama yang mengobati lukamu, dan Mama juga yang sudah berjuang untuk masa depanmu. Mama tidak akan suka, jika kamu kembali pada dia," pungkas Mama lalu mematikan sambungan telepon.Aku masuk setelah Mama menyelesaikan percakapannya dengan Mas Rama. Bersikap biasa seolah aku tidak mendengarkan apa-apa. "Mel, kamu, kok masuk gak ketuk pintu dulu.""Mengetuk pintu ke kamar sendiri. Haruskah?" tanyaku.Wajah Mama sedikit memucat, dia menyadari apa yang dia ucapkan tidak se
"Pakeeeet!"Aku yang saat ini tengah bersantai menonton tv, merasa terusik dengan teriakan seorang kurir dari depan rumah. "Mel, kamu belanja online?" tanya Mas Rama. Hari ini adalah hari minggu, dia tidak bekerja seperti hari-hari biasanya.Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Mas Rama, dan lebih memilih mangambil ponsel mengangkat panggilan yang masuk."Lo, mau bikin gue jadi patung di sini? Buruan, lo keluar, gue udah bawa yang lo, inginkan!" Segera aku menutup sambungan telepon, melirik pada Mas Rama yang menunggu jawaban dariku."Biar aku aja yang ambil paketnya."Mas Rama berdiri hendak keluar menemui kurir yang ternyata temanku."Jangan!" "Kenapa?" tanyanya dengan menatapku heran."Kamu pegang Raka aja, aku pegel. Biar aku yang menemui kurir itu." Aku memberikan bayi dalam gendonganku kepada Mas Rama. Ia hendak menolak, tapi tidak bisa berkutik saat Raka sudah berada dalam gendongannya.Dengan cepat aku berjalan ke luar menemui seseorang yang berdiri di luar pagar rumahk
"Ekhem!"Mas Rama datang dan menghentikan ucapan Bi Mina. "Sayang, kita jalan-jalan ke luar, yuk. Sudah lama rasanya kita tidak pergi berdua. Kamu juga pasti sumpek di rumah terus. Iya, kan?"Aku mengernyitkan kening, heran dengan sikap Mas Rama yang sering berubah-ubah. Sedikit baik, sedikit jutek. Kadang cuek, kadang romantis."Ayo, Sayang," ajaknya lagi dengan nada yang lebih lembut."Aku lagi mau makan buah, Mas. Lagipula, kalau aku pergi, siapa yang jaga Raka. Gimana kalau dia minta ASI?" kataku dengan terus memotong buah apel."Nanti lagi makan buahnya. Aku kangen banget, lho jalan-jalan sama kamu. Dan Raka, bisa dititip sama Mama, sebentar." Semakin aku menolak, Mas Rama malah semakin membujukku.Kini tangannya sudah berpindah ke tanganku. Menggenggam pergelangan tangan dengan sedikit menariknya."Yaudah, deh iya. Aku ganti baju dulu." Aku bangkit dari dudukku. Memasukkan potongan buah apel yang belum sempat aku makan ke dalam kulkas. Saat masuk ke kamarku, ternyata sudah ada
"Eh, Mama udah pulang?" tanyaku, sedangkan tanganku sibuk menggeser foto-foto Mas Rama agar berjatuhan ke tanah."Sudah, makanya sekarang Mama ada di sini. Kamu ngapain dengan pembantu itu? Terus, siapa yang tadi kamu bilang durhaka?" Pertanyaan demi pertanyaan Mama berikan padaku.Setelah memastikan tidak ada satu lembar foto yang tersisa, aku bangkit dan menghampiri Mama. Menggandeng tangan Mama Tuti untuk masuk, meninggalkan Bu Mina.Ya, setelah aku tahu jika wanita yang kusebut pembantu itu adalah ibu kandung Mas Rama, aku memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan Ibu."Itu, tadi Bi Mina menceritakan tentang sinetron yang dia tonton sebelum tidur. Katanya, ceritanya tentang anak yang durhaka kepada ibunya gitu, Ma." Aku menjelaskan dengan kebohongan."Halah, si Mina kamu percaya, Mel. Palingan juga dia ngada-ngada, mencari perhatianmu agar dekat denganmu," tutur Mama tidak suka.Aku tidak lagi menjawab. Hanya berjalan beriringan menemui suamiku. Di sofa, suamiku tengah duduk
Langkah demi langkah, aku menuruni tangga untuk sampai di lantai bawah. Senyum manis aku ukir sebagai sambutan untuk wanita yang kini berdiri dengan memegangi tas besarnya.Tatapan heran diperlihatkan suamiku kepadaku saat aku sudah berada di antara mereka."Mel, jadi benar kamu yang menghubungi yayasan untuk meminta dikirim baby sitter?" tanya Mas Rama lagi."Iya, Mas." Aku melangkah semakin mendekati wanita itu."Kamar kamu bersebelahan dengan kamar saya di lantai atas. Kamu boleh masuk ke sana sekarang. Nanti saya akan menemuimu," ujarku sambil mengedipkan mata.Wanita itu mengangguk patuh. Dengan sangat sopan, ia pamit dan naik ke lantai dua rumahku."Mel, kamu ini apa-apaan, sih. Kamu sudah tidak patuh sama aku? Kamu mau tetap kerja, iya?" cecar Mas Rama membuat telingaku berdengung.Tidak lama kemudian keluarlah Mama Tuti dan Kak Nada dari kamar mereka. Menghampiriku yang sedang diintrogasi oleh Mas Rama.Dengan masih sangat santai, aku menjatuhkan bokongku pada sofa. "Ada apa,
POV RamaTeruntuk Rama, putraku.Anakku, disaat kamu tengah membaca goresan pena ini, mungkin Ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tidak banyak yang ingin Ibu sampaikan padamu, selain kata maaf yang tak sempat terucap dari bibir ini.Maafkan ibumu ini, yang melewatkan masa-masa kecilmu. Maafkan ibumu ini, yang tidak memiliki waktu untukmu di masa dulu.Rama ... jika nanti kamu keluar dari lapas, pulanglah ke Cianjur. Ibu menyimpan sesuatu untukmu. Namun, jangan pernah kamu beritahu Tuti. Datanglah sendiri dan cari sendiri apa yang Ibu tuliskan di sini.Nak, pulanglah ke rumah kita di Cianjur. Di belakang rumah, tepatnya di bawah pohon nangka, Ibu mengubur sesuatu untukmu. Dan kunci yang ada dalam kotak itu, itu kunci untuk membuka kotak yang Ibu kubur di sana.Ingat, Rama. Datanglah seorang diri. Jangan datang bersama Tuti. Dari wanita yang telah melahirkanmu.Rumina*Kupandangi surat terakhir dari Ibu dan kotak yang telah berhasil aku keluarkan dari dalam tanah.Enam tahun sudah
Sesuai dengan keinginan Kak Arga dan Mama Melani, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di rumah Kak Arga.Awalnya, aku keberatan dan ingin tetap tinggal di rumahku sendiri. Namun, aku teringat pada Mama Melani. Jika aku dan Kak Arga tinggal di rumahku, maka Mama Melani akan tinggal seorang diri di sini. Dan hanya akan ditemani asisten rumah tangga saja.Hari ini rencananya aku akan pergi ke rumah Mama, untuk memberitahukan kepindahanku yang tidak direncanakan dari awal. "Sudah siap?" tanya Kak Arga."Hmm." Aku menjawab hanya dengan gumaman."Jangan cemberut kalau menjawab pertanyaan dari suami. Nanti kualat.""Gak akan," kataku seraya berjalan mendahuluinya.Saat akan keluar, tiba-tiba langkahku terhenti saat tali tas milikku di tarik dari belakang. Aku memutar bola mata dengan malas. Ini pasti kerjaan Kak Arga. Dia pasti tidak terima dengan jawabanku yang cuek padanya."Lepas, Kak. Gak usah jail," kataku dengan menarik-narik tasku. Tapi sayangnya masih dipegang Kak Arga.Dari belak
"Sah.""Sah."Dua orang saksi berucap bersamaan. Rasanya aku sedang melayang tinggi hingga sulit untukku kembali menginjakkan kaki di bumi. Aku tidak menyangka, jika kedatanganku ke rumah sakit, bukan hanya untuk menjenguk orang sakit, melainkan untuk menjadi seorang pengantin.Pengantin? Ah, pengantin terpaksa.Segurat senyum terukir dari bibir pria yang tengah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Matanya melihatku dan anaknya bergantian. Dengan tangan yang bergetar, ia memcoba meraih tanganku yang berada di sampingnya."Te, teri ma, ka sih, Mel." Meski terputus-putus, aku masih mendengar dan paham dengan kata yang Om Tio ucapkan. Om Tio berterima kasih padaku, karena aku telah bersedia menikah dengan putra semata wayangnya. Siapa lagi kalau bukan, Kak Arga.Ya, sekarang aku menjadi istri dari seorang Arga Winata. Anak dari Satrio Winata.Entah mimpi apa aku malam tadi, hingga aku bisa menikah hari ini di rumah sakit. ***"Mama! di mana Raka, Ma?" Setelah sampai di rum
"Sudah, Mel, jangan nangis terus. Biarkan Bu Mina tenang dalam tidur panjangnya." Mama mengusap bahuku yang bergetar.Saat aku masuk ke ruang rawat Bu Mina tadi, dokter menyatakan kalau Bu Mina sudah meninggal dunia.Dari sana, aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Hingga saat ini, kepergian Bu Mina masih seperti mimpi bagiku.Seandainya saja aku tidak keluar dari kamar Bu Mina, mungkin aku bisa menemani ia sampai akhir napasnya. Ada penyesalan besar yang tidak bisa aku ungkapan. Tentang pemintaan terakhir Ibu, yang tidak bisa terwujudkan. "Sudah beres, Dam?" tanya Mama pada putra sulungnya."Sudah, Mah. Sebentar lagi, kita akan membawa Bu Mina pulang." Mas Adam berkata seraya mengusap kepalaku.Saat Ibu dinyatakan meninggal, aku memang langsung menghubungi keluargaku. Tidak ada lagi yang dapat membantu Bu Mina di sini, selain keluargaku. Ibu tidak punya saudara atau kerabat di sini. Adapun Mama Tuti, tapi mana mungkin dia peduli pada Ibu."Ayo, Mel." Mama menggandeng tanganku
"Ibu haus?" Bu Mina yang terbaring lemah di atas tempat tidur mengangguk.Aku mengambilkan air minum dan membantunya untuk minum.Sudah satu minggu Bu Mina berada di rumah sakit. Setiap hari aku datang untuk menemani dan merawat wanita yang tubuhnya semakin ringkih ini. Mata sayunya semakin sendu. Tidak lagi nampak wajah ceria darinya. Senyum pun sudah tidak bisa kulihat lagi dari bibirnya."Mel, Ibu ingin bertemu Rama."Aku tertegun mendengar suara lemah Bu Mina yang ingin bertemu anaknya."Ibu, sembuh dulu, ya. Nanti kita jenguk Mas Rama," kataku.Bu Mina menggelengkan kepala. "Ibu takut tidak ada umur, jika harus menunggu sembuh, Mel. Bisakah sekarang, Ibu ke sana? Ibu sangat merindukan Rama, Mel." Jangankan untuk keluar dari rumah sakit, untuk makan pun Bu Mina sudah kesulitan. Hanya ada satu cara untuk mempertemukan Bu Mina dan Mas Rama. Yaitu dengan meminta ijin kepolisian untuk membawa Mas Rama ke sini. "Tidak bisa, Bu. Keadaan Ibu belum stabil. Akan Melodi usahakan, agar
"Bibirnya, Mel."Sesuai dengan arahan Kak Nada, aku memoles bibir pria yang tengah terlelap itu dengan lipstik warna merah menyala milik Mama."Sekarang pake ini." Aku mengacungkan eyeshadow dan kemudian mengaplikasikannya ke wajah orang yang sama.Sesuka hatiku, aku memoles wajah Kak Arga dengan tidak beraturan dan sangat menyeramkan.Biarkan saja. Siapa suruh dia mengejekku anak ingusan. "Sudah, Mel. Nanti dia bangun," ucap Kak Nada berbisik."Kagak akan bangun, Kak. Dia, kalau tidur suka kagak sadar," ucapku pasti."Ya iyalah, namanya tidur, memang gak sadar. Gimana, sih kamu?""Eh, iya, ya? Hihihi ...." Aku tertawa cekikikan dengan tangan yang terus bermain dengan alat make up yang sengaja aku ambil dari kamar Mama.Rasa kesalku pada orang ini akan terbayarkan dengan aku mengerjainya.Masa, cuma gara-gara aku minta dia jadi pacar aku, dia sampai mengataiku ingusan. Padahal ... ya, memang kadang ingusan. Tapi kadang-kadang."Beres!" ujarku senang."Astaga, Melodi. Apa yang kamu la
"Ya Allah, Rama ...."Bu Mina begitu sedih saat aku menceritakan bahwa Mas Rama putranya telah ditangkap polisi. Tubuh Bu Mina merosot. Pundak yang tadinya tegak, kini ia sandarkan ke sofa dengan wajah muramnya. Aku tahu perasaan Bu Mina. Ia pasti terpukul dan amat sedih mendengar anaknya dipenjara. Meskipun bibirnya berkata benci, tapi hati tidak bisa membohongi, jika kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak akan lekang dan pupus hingga akhir hayatnya.Sudah seminggu Mas Rama mendekam di dalam jeruji besi. Tapi, aku baru mengatakan kepada Bu Mina sekarang. Dari kemarin, aku sudah ingin mengatakannya, tapi tidak tega, apalagi Bu Mina sedang dalam keadaan tidak sehat waktu itu."Maafkan, Mel, Bu. Ini mungkin membuat Ibu sangat sedih, tapi ....""Tidak, Mel. Tindakanmu sudah benar. Biarkan Rama mendapatkan balasan dari perbuatan jahatnya padamu. Ibu, tidak apa-apa." Bu Mina memaksakan tersenyum meski terlihat dipaksakan.Aku menghembuskan napas kasar. Melihat wajah Bu Mina seper
PEMBANTU BARUKU TERNYATA .... 24Mencintai orang yang salah akan berakhir dengan banyak masalah. Dan saat ini, aku tengah berada di posisi itu. Penyesalanku telah mengenal Mas Rama dan menjadikan dia pendamping hidup, adalah kesalahan terbesarku. Jika bisa, aku ingin memutar waktu ke masa di mana dia menyatakan perasaannya dulu. Akan aku tolak dia untuk jadi bagian hidupku. Namun, sayangnya semua hanya ada dalam angan. Semuanya sudah terlambat. Kini yang harus aku lakukan berjalan untuk keluar dari masalah yang Mas Rama buat.Setelah berpikir dengan kepala dingin, aku bisa menyimpulkan jika transaksi jual beli yang dilakukan Mas Rama dengan sepasang suami istri yang baru aku ketahui bernama Bu Dewi dan suaminya Pak Dery itu, ilegal. Tidak sah di mata hukum.Kenapa?Karena transaksi jual beli antara mereka tidak dilakukan di depan notaris. Dari Pak Dery, juga aku tahu jika ternyata Mas Rama baru mendapatkan sebagian uang yang mereka sepakati. Dan katanya, mereka akan membayar sisanya
Tebakanku meleset. Tadinya aku mengira yang datang adalah Kak Nada dan Mas Rama, tetapi ternyata bukan. Sepasang suami istri itu terlihat sudah berumur. Perkiraan, usianya sebaya dengan kedua orang tuaku."Maaf, Ibu dan Bapak ada perlu apa?" tanyaku setelah aku duduk bersama mereka.Bukannya langsung menjawab, mereka malah mengernyitkan dahi seraya saling bertatapan satu sama lain."Justru, kami yang harusnya bertanya kepada kamu. Kenapa kamu masih ada di rumah ini?"Kini aku yang bingung dengan pertanyaan wanita paruh baya itu."Maksudnya Ibu, apa, ya? Ini memang rumah saya, dan sudah seharusnya saya berada di sini," kataku masih setenang mungkin."Jadi benar yang dikatakan suaminya, Pah." Wanita itu berkata dengan melihat pada suaminya itu.Aku semakin bingung dan tidak mengerti dengan situasi ini. "Ada apa sebenarnya, Pak, Bu? Coba dijelaskan apa maksud kedatangan Bapak dan Ibu datang ke rumah saya dan apa maksud perkataan Ibu, barusan?" tanyaku."Jadi begini, rumah ini sudah kami