"Jadi, sekarang lo, sendiri, dong?" "Ya, begitulah. Meskipun belum resmi, tapi memang ... udah gak punya suami."Diandra menarik napas dalam, ia menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa.Ia terkejut mengetahui jika aku sudah bercerai dengan Mas Rama. Kedatangan Diandra ke rumahku, ialah untuk menjemput Citra. Perjanjian kerjaku dengan Citra, yaitu sampai semua kebohongan Mas Rama terbongkar. Karena itu sudah terjadi, maka tidak ada alasan untuk Citra berada di sini. Lagipula, Citra masih duduk di bangku kuliah, dia harus kembali menyelesaikan pendidikannya."Gue gak nyangka, nasib pernikahan lo, akan semenyedihkan ini, Mel. Ah ... harusnya lo, gak usah minta gue, buat mata-matain laki, lo. Jadinya gini, 'kan?" ujar Diandra merasa tidak enak."Justru aku tuh, berterima kasih sama kamu, Di. Aku gak tahu, deh akan sampai kapan Mas Rama membohongiku kalau aku tidak mencari tahunya sendiri. Mungkin seumur hidupnya, kali."Diandra terkekeh pelan, tangannya meraih gelas berisikan jus alp
Selama perjalanan aku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sedang terjadi di rumah Mama.Didalam hati aku pun terus berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada Mama. Akan sangat menyedihkan jika Kak Nada sampai berbuat jahat kepada Mama. Apalagi sampai melukainya.Lima belas menit perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah Mama. Benar saja, ada mobil Kak Nada yang terparkir di halaman rumah Mama.Prang!Suara barang yang sengaja di lempar menyambut kedatanganku."Ma, Mama keluar, Ma! Uang yang aku minta sangatlah sedikit bagi Mama, kenapa tidak mau memberikannya, sih, Ma?!" Pemandangan pertama yang aku lihat saat masuk rumah Mama, ada Kak Nada yang tengah menjatuh-jatuhkan guci hias sembari meracau memanggil-manggil Mama.Aku masuk setelah sebelumnya menyuruh Bu Mina tetap di dalam mobil bersama Raka. Aku takut Kak Nada kalap dan malah menyakiti bayiku."Kak, apa yang Kakak, lakukan?"Kak Nada membalikan badan, seringai mengejek dia perlihatkan padaku."Oh, adikku telah datang. Eh,
Tebakanku meleset. Tadinya aku mengira yang datang adalah Kak Nada dan Mas Rama, tetapi ternyata bukan. Sepasang suami istri itu terlihat sudah berumur. Perkiraan, usianya sebaya dengan kedua orang tuaku."Maaf, Ibu dan Bapak ada perlu apa?" tanyaku setelah aku duduk bersama mereka.Bukannya langsung menjawab, mereka malah mengernyitkan dahi seraya saling bertatapan satu sama lain."Justru, kami yang harusnya bertanya kepada kamu. Kenapa kamu masih ada di rumah ini?"Kini aku yang bingung dengan pertanyaan wanita paruh baya itu."Maksudnya Ibu, apa, ya? Ini memang rumah saya, dan sudah seharusnya saya berada di sini," kataku masih setenang mungkin."Jadi benar yang dikatakan suaminya, Pah." Wanita itu berkata dengan melihat pada suaminya itu.Aku semakin bingung dan tidak mengerti dengan situasi ini. "Ada apa sebenarnya, Pak, Bu? Coba dijelaskan apa maksud kedatangan Bapak dan Ibu datang ke rumah saya dan apa maksud perkataan Ibu, barusan?" tanyaku."Jadi begini, rumah ini sudah kami
PEMBANTU BARUKU TERNYATA .... 24Mencintai orang yang salah akan berakhir dengan banyak masalah. Dan saat ini, aku tengah berada di posisi itu. Penyesalanku telah mengenal Mas Rama dan menjadikan dia pendamping hidup, adalah kesalahan terbesarku. Jika bisa, aku ingin memutar waktu ke masa di mana dia menyatakan perasaannya dulu. Akan aku tolak dia untuk jadi bagian hidupku. Namun, sayangnya semua hanya ada dalam angan. Semuanya sudah terlambat. Kini yang harus aku lakukan berjalan untuk keluar dari masalah yang Mas Rama buat.Setelah berpikir dengan kepala dingin, aku bisa menyimpulkan jika transaksi jual beli yang dilakukan Mas Rama dengan sepasang suami istri yang baru aku ketahui bernama Bu Dewi dan suaminya Pak Dery itu, ilegal. Tidak sah di mata hukum.Kenapa?Karena transaksi jual beli antara mereka tidak dilakukan di depan notaris. Dari Pak Dery, juga aku tahu jika ternyata Mas Rama baru mendapatkan sebagian uang yang mereka sepakati. Dan katanya, mereka akan membayar sisanya
"Ya Allah, Rama ...."Bu Mina begitu sedih saat aku menceritakan bahwa Mas Rama putranya telah ditangkap polisi. Tubuh Bu Mina merosot. Pundak yang tadinya tegak, kini ia sandarkan ke sofa dengan wajah muramnya. Aku tahu perasaan Bu Mina. Ia pasti terpukul dan amat sedih mendengar anaknya dipenjara. Meskipun bibirnya berkata benci, tapi hati tidak bisa membohongi, jika kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak akan lekang dan pupus hingga akhir hayatnya.Sudah seminggu Mas Rama mendekam di dalam jeruji besi. Tapi, aku baru mengatakan kepada Bu Mina sekarang. Dari kemarin, aku sudah ingin mengatakannya, tapi tidak tega, apalagi Bu Mina sedang dalam keadaan tidak sehat waktu itu."Maafkan, Mel, Bu. Ini mungkin membuat Ibu sangat sedih, tapi ....""Tidak, Mel. Tindakanmu sudah benar. Biarkan Rama mendapatkan balasan dari perbuatan jahatnya padamu. Ibu, tidak apa-apa." Bu Mina memaksakan tersenyum meski terlihat dipaksakan.Aku menghembuskan napas kasar. Melihat wajah Bu Mina seper
"Bibirnya, Mel."Sesuai dengan arahan Kak Nada, aku memoles bibir pria yang tengah terlelap itu dengan lipstik warna merah menyala milik Mama."Sekarang pake ini." Aku mengacungkan eyeshadow dan kemudian mengaplikasikannya ke wajah orang yang sama.Sesuka hatiku, aku memoles wajah Kak Arga dengan tidak beraturan dan sangat menyeramkan.Biarkan saja. Siapa suruh dia mengejekku anak ingusan. "Sudah, Mel. Nanti dia bangun," ucap Kak Nada berbisik."Kagak akan bangun, Kak. Dia, kalau tidur suka kagak sadar," ucapku pasti."Ya iyalah, namanya tidur, memang gak sadar. Gimana, sih kamu?""Eh, iya, ya? Hihihi ...." Aku tertawa cekikikan dengan tangan yang terus bermain dengan alat make up yang sengaja aku ambil dari kamar Mama.Rasa kesalku pada orang ini akan terbayarkan dengan aku mengerjainya.Masa, cuma gara-gara aku minta dia jadi pacar aku, dia sampai mengataiku ingusan. Padahal ... ya, memang kadang ingusan. Tapi kadang-kadang."Beres!" ujarku senang."Astaga, Melodi. Apa yang kamu la
"Ibu haus?" Bu Mina yang terbaring lemah di atas tempat tidur mengangguk.Aku mengambilkan air minum dan membantunya untuk minum.Sudah satu minggu Bu Mina berada di rumah sakit. Setiap hari aku datang untuk menemani dan merawat wanita yang tubuhnya semakin ringkih ini. Mata sayunya semakin sendu. Tidak lagi nampak wajah ceria darinya. Senyum pun sudah tidak bisa kulihat lagi dari bibirnya."Mel, Ibu ingin bertemu Rama."Aku tertegun mendengar suara lemah Bu Mina yang ingin bertemu anaknya."Ibu, sembuh dulu, ya. Nanti kita jenguk Mas Rama," kataku.Bu Mina menggelengkan kepala. "Ibu takut tidak ada umur, jika harus menunggu sembuh, Mel. Bisakah sekarang, Ibu ke sana? Ibu sangat merindukan Rama, Mel." Jangankan untuk keluar dari rumah sakit, untuk makan pun Bu Mina sudah kesulitan. Hanya ada satu cara untuk mempertemukan Bu Mina dan Mas Rama. Yaitu dengan meminta ijin kepolisian untuk membawa Mas Rama ke sini. "Tidak bisa, Bu. Keadaan Ibu belum stabil. Akan Melodi usahakan, agar
"Sudah, Mel, jangan nangis terus. Biarkan Bu Mina tenang dalam tidur panjangnya." Mama mengusap bahuku yang bergetar.Saat aku masuk ke ruang rawat Bu Mina tadi, dokter menyatakan kalau Bu Mina sudah meninggal dunia.Dari sana, aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Hingga saat ini, kepergian Bu Mina masih seperti mimpi bagiku.Seandainya saja aku tidak keluar dari kamar Bu Mina, mungkin aku bisa menemani ia sampai akhir napasnya. Ada penyesalan besar yang tidak bisa aku ungkapan. Tentang pemintaan terakhir Ibu, yang tidak bisa terwujudkan. "Sudah beres, Dam?" tanya Mama pada putra sulungnya."Sudah, Mah. Sebentar lagi, kita akan membawa Bu Mina pulang." Mas Adam berkata seraya mengusap kepalaku.Saat Ibu dinyatakan meninggal, aku memang langsung menghubungi keluargaku. Tidak ada lagi yang dapat membantu Bu Mina di sini, selain keluargaku. Ibu tidak punya saudara atau kerabat di sini. Adapun Mama Tuti, tapi mana mungkin dia peduli pada Ibu."Ayo, Mel." Mama menggandeng tanganku
POV RamaTeruntuk Rama, putraku.Anakku, disaat kamu tengah membaca goresan pena ini, mungkin Ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tidak banyak yang ingin Ibu sampaikan padamu, selain kata maaf yang tak sempat terucap dari bibir ini.Maafkan ibumu ini, yang melewatkan masa-masa kecilmu. Maafkan ibumu ini, yang tidak memiliki waktu untukmu di masa dulu.Rama ... jika nanti kamu keluar dari lapas, pulanglah ke Cianjur. Ibu menyimpan sesuatu untukmu. Namun, jangan pernah kamu beritahu Tuti. Datanglah sendiri dan cari sendiri apa yang Ibu tuliskan di sini.Nak, pulanglah ke rumah kita di Cianjur. Di belakang rumah, tepatnya di bawah pohon nangka, Ibu mengubur sesuatu untukmu. Dan kunci yang ada dalam kotak itu, itu kunci untuk membuka kotak yang Ibu kubur di sana.Ingat, Rama. Datanglah seorang diri. Jangan datang bersama Tuti. Dari wanita yang telah melahirkanmu.Rumina*Kupandangi surat terakhir dari Ibu dan kotak yang telah berhasil aku keluarkan dari dalam tanah.Enam tahun sudah
Sesuai dengan keinginan Kak Arga dan Mama Melani, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di rumah Kak Arga.Awalnya, aku keberatan dan ingin tetap tinggal di rumahku sendiri. Namun, aku teringat pada Mama Melani. Jika aku dan Kak Arga tinggal di rumahku, maka Mama Melani akan tinggal seorang diri di sini. Dan hanya akan ditemani asisten rumah tangga saja.Hari ini rencananya aku akan pergi ke rumah Mama, untuk memberitahukan kepindahanku yang tidak direncanakan dari awal. "Sudah siap?" tanya Kak Arga."Hmm." Aku menjawab hanya dengan gumaman."Jangan cemberut kalau menjawab pertanyaan dari suami. Nanti kualat.""Gak akan," kataku seraya berjalan mendahuluinya.Saat akan keluar, tiba-tiba langkahku terhenti saat tali tas milikku di tarik dari belakang. Aku memutar bola mata dengan malas. Ini pasti kerjaan Kak Arga. Dia pasti tidak terima dengan jawabanku yang cuek padanya."Lepas, Kak. Gak usah jail," kataku dengan menarik-narik tasku. Tapi sayangnya masih dipegang Kak Arga.Dari belak
"Sah.""Sah."Dua orang saksi berucap bersamaan. Rasanya aku sedang melayang tinggi hingga sulit untukku kembali menginjakkan kaki di bumi. Aku tidak menyangka, jika kedatanganku ke rumah sakit, bukan hanya untuk menjenguk orang sakit, melainkan untuk menjadi seorang pengantin.Pengantin? Ah, pengantin terpaksa.Segurat senyum terukir dari bibir pria yang tengah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Matanya melihatku dan anaknya bergantian. Dengan tangan yang bergetar, ia memcoba meraih tanganku yang berada di sampingnya."Te, teri ma, ka sih, Mel." Meski terputus-putus, aku masih mendengar dan paham dengan kata yang Om Tio ucapkan. Om Tio berterima kasih padaku, karena aku telah bersedia menikah dengan putra semata wayangnya. Siapa lagi kalau bukan, Kak Arga.Ya, sekarang aku menjadi istri dari seorang Arga Winata. Anak dari Satrio Winata.Entah mimpi apa aku malam tadi, hingga aku bisa menikah hari ini di rumah sakit. ***"Mama! di mana Raka, Ma?" Setelah sampai di rum
"Sudah, Mel, jangan nangis terus. Biarkan Bu Mina tenang dalam tidur panjangnya." Mama mengusap bahuku yang bergetar.Saat aku masuk ke ruang rawat Bu Mina tadi, dokter menyatakan kalau Bu Mina sudah meninggal dunia.Dari sana, aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Hingga saat ini, kepergian Bu Mina masih seperti mimpi bagiku.Seandainya saja aku tidak keluar dari kamar Bu Mina, mungkin aku bisa menemani ia sampai akhir napasnya. Ada penyesalan besar yang tidak bisa aku ungkapan. Tentang pemintaan terakhir Ibu, yang tidak bisa terwujudkan. "Sudah beres, Dam?" tanya Mama pada putra sulungnya."Sudah, Mah. Sebentar lagi, kita akan membawa Bu Mina pulang." Mas Adam berkata seraya mengusap kepalaku.Saat Ibu dinyatakan meninggal, aku memang langsung menghubungi keluargaku. Tidak ada lagi yang dapat membantu Bu Mina di sini, selain keluargaku. Ibu tidak punya saudara atau kerabat di sini. Adapun Mama Tuti, tapi mana mungkin dia peduli pada Ibu."Ayo, Mel." Mama menggandeng tanganku
"Ibu haus?" Bu Mina yang terbaring lemah di atas tempat tidur mengangguk.Aku mengambilkan air minum dan membantunya untuk minum.Sudah satu minggu Bu Mina berada di rumah sakit. Setiap hari aku datang untuk menemani dan merawat wanita yang tubuhnya semakin ringkih ini. Mata sayunya semakin sendu. Tidak lagi nampak wajah ceria darinya. Senyum pun sudah tidak bisa kulihat lagi dari bibirnya."Mel, Ibu ingin bertemu Rama."Aku tertegun mendengar suara lemah Bu Mina yang ingin bertemu anaknya."Ibu, sembuh dulu, ya. Nanti kita jenguk Mas Rama," kataku.Bu Mina menggelengkan kepala. "Ibu takut tidak ada umur, jika harus menunggu sembuh, Mel. Bisakah sekarang, Ibu ke sana? Ibu sangat merindukan Rama, Mel." Jangankan untuk keluar dari rumah sakit, untuk makan pun Bu Mina sudah kesulitan. Hanya ada satu cara untuk mempertemukan Bu Mina dan Mas Rama. Yaitu dengan meminta ijin kepolisian untuk membawa Mas Rama ke sini. "Tidak bisa, Bu. Keadaan Ibu belum stabil. Akan Melodi usahakan, agar
"Bibirnya, Mel."Sesuai dengan arahan Kak Nada, aku memoles bibir pria yang tengah terlelap itu dengan lipstik warna merah menyala milik Mama."Sekarang pake ini." Aku mengacungkan eyeshadow dan kemudian mengaplikasikannya ke wajah orang yang sama.Sesuka hatiku, aku memoles wajah Kak Arga dengan tidak beraturan dan sangat menyeramkan.Biarkan saja. Siapa suruh dia mengejekku anak ingusan. "Sudah, Mel. Nanti dia bangun," ucap Kak Nada berbisik."Kagak akan bangun, Kak. Dia, kalau tidur suka kagak sadar," ucapku pasti."Ya iyalah, namanya tidur, memang gak sadar. Gimana, sih kamu?""Eh, iya, ya? Hihihi ...." Aku tertawa cekikikan dengan tangan yang terus bermain dengan alat make up yang sengaja aku ambil dari kamar Mama.Rasa kesalku pada orang ini akan terbayarkan dengan aku mengerjainya.Masa, cuma gara-gara aku minta dia jadi pacar aku, dia sampai mengataiku ingusan. Padahal ... ya, memang kadang ingusan. Tapi kadang-kadang."Beres!" ujarku senang."Astaga, Melodi. Apa yang kamu la
"Ya Allah, Rama ...."Bu Mina begitu sedih saat aku menceritakan bahwa Mas Rama putranya telah ditangkap polisi. Tubuh Bu Mina merosot. Pundak yang tadinya tegak, kini ia sandarkan ke sofa dengan wajah muramnya. Aku tahu perasaan Bu Mina. Ia pasti terpukul dan amat sedih mendengar anaknya dipenjara. Meskipun bibirnya berkata benci, tapi hati tidak bisa membohongi, jika kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tidak akan lekang dan pupus hingga akhir hayatnya.Sudah seminggu Mas Rama mendekam di dalam jeruji besi. Tapi, aku baru mengatakan kepada Bu Mina sekarang. Dari kemarin, aku sudah ingin mengatakannya, tapi tidak tega, apalagi Bu Mina sedang dalam keadaan tidak sehat waktu itu."Maafkan, Mel, Bu. Ini mungkin membuat Ibu sangat sedih, tapi ....""Tidak, Mel. Tindakanmu sudah benar. Biarkan Rama mendapatkan balasan dari perbuatan jahatnya padamu. Ibu, tidak apa-apa." Bu Mina memaksakan tersenyum meski terlihat dipaksakan.Aku menghembuskan napas kasar. Melihat wajah Bu Mina seper
PEMBANTU BARUKU TERNYATA .... 24Mencintai orang yang salah akan berakhir dengan banyak masalah. Dan saat ini, aku tengah berada di posisi itu. Penyesalanku telah mengenal Mas Rama dan menjadikan dia pendamping hidup, adalah kesalahan terbesarku. Jika bisa, aku ingin memutar waktu ke masa di mana dia menyatakan perasaannya dulu. Akan aku tolak dia untuk jadi bagian hidupku. Namun, sayangnya semua hanya ada dalam angan. Semuanya sudah terlambat. Kini yang harus aku lakukan berjalan untuk keluar dari masalah yang Mas Rama buat.Setelah berpikir dengan kepala dingin, aku bisa menyimpulkan jika transaksi jual beli yang dilakukan Mas Rama dengan sepasang suami istri yang baru aku ketahui bernama Bu Dewi dan suaminya Pak Dery itu, ilegal. Tidak sah di mata hukum.Kenapa?Karena transaksi jual beli antara mereka tidak dilakukan di depan notaris. Dari Pak Dery, juga aku tahu jika ternyata Mas Rama baru mendapatkan sebagian uang yang mereka sepakati. Dan katanya, mereka akan membayar sisanya
Tebakanku meleset. Tadinya aku mengira yang datang adalah Kak Nada dan Mas Rama, tetapi ternyata bukan. Sepasang suami istri itu terlihat sudah berumur. Perkiraan, usianya sebaya dengan kedua orang tuaku."Maaf, Ibu dan Bapak ada perlu apa?" tanyaku setelah aku duduk bersama mereka.Bukannya langsung menjawab, mereka malah mengernyitkan dahi seraya saling bertatapan satu sama lain."Justru, kami yang harusnya bertanya kepada kamu. Kenapa kamu masih ada di rumah ini?"Kini aku yang bingung dengan pertanyaan wanita paruh baya itu."Maksudnya Ibu, apa, ya? Ini memang rumah saya, dan sudah seharusnya saya berada di sini," kataku masih setenang mungkin."Jadi benar yang dikatakan suaminya, Pah." Wanita itu berkata dengan melihat pada suaminya itu.Aku semakin bingung dan tidak mengerti dengan situasi ini. "Ada apa sebenarnya, Pak, Bu? Coba dijelaskan apa maksud kedatangan Bapak dan Ibu datang ke rumah saya dan apa maksud perkataan Ibu, barusan?" tanyaku."Jadi begini, rumah ini sudah kami