Sambil tertegun, Wati menduga-duga sendiri. Mungkinkah itu nama mantan suami Rara sebelum menikah dengan Dedy? Bukankah Rara itu janda ketika melamar Dedy.Wati tak sempat berpikir jauh-jauh. Ia ingat harus segera mencari buku nikahnya, sebelum Dedy dan Rara kembali. Wati menyingkirkan map berisi sertifikat rumah, lalu melanjutkan membuka map ketiga."Nah, ini dia!" seru Wati senang.Ternyata betul dugaannya. Pada map ketiga tersimpan empat buah buku nikah. Cepat-cepat Wati mengecek buku-buku tersebut. Betul, dua diantara buku nikah itu merupakan miliknya dan Dedy. Wati mengambil kedua buku tersebut."Eh, apa ini?" Wati mengernyitkan dahi.Dua buah buku nikah lain menarik perhatian Wati. Wati melihat sekilas isinya dan mendapati foto Dedy dan Rara di dalam buku-buku itu. Jadi Dedy telah membuat buku nikah lain selain buku nikahnya dengan Wati."Ha
Wati melindungi kepalanya dengan tangan.“Sudah, sudah, Sayang!” lerai Dedy yang baru turun dari sepeda motornya.“Jangan sampai dia sakit, nanti kamu sendiri yang repot,” bujuk Dedy lagi.Padahal di dalam hati Dedy, dia memiliki maksud yang lain. Apabila Wati sakit, pasti tidak bisa melayaninya di kasur dengan maksimal.“Bandel betul dia, Mas! Sudah kubilang nggak boleh keluar rumah. Sekarang mau kemana lagi, dia. Mungkin kabur!” sembur Rara.“Ssst! Sudah, malu dilihat orang,” kata Dedy sambil melirik kiri dan kanan. Beberapa orang sudah mulai memerhatikan drama keluarga mereka.“Ayo kita pulang, Wati,” kata Dedy lembut. Lebih tepatnya, Dedy sengaja berlembut-lembut agar orang-orang yang mulai memerhatikan dan memandangnya tidak curiga.Dedy membantu Wati duduk dari posisi rebah
Selang setengah jam kenudian, Rara mulai merasakan efek obat yang dimasukkan Wati sebelumnya. Rara bangkit dari tidur, lalu mengeluh, “Aduh, peutku sakit sekali,” Rara meringis akibat lambungnya bergejolak. Rara lari ke kamar mandi. Baru saja selesai mengenakan celana lagi, perutnya sudah sakit lagi. Beberapa kali ia mengalami hal itu sampai Rara kelelahan sendiri. “Ada apa ini kok perutku begini,” keluh Rara bingung. “Mungkin kamu kebanyakan makan yang pedas,” celetuk Dedy. “Nggak! Makanku biasa saja,” tangkis Rara. “Lalu kenapa, dong?” tanya Dedy bingung. “Ya, makanya aku juga bingung,” sahut Rara kesal. Baru selesai bicara, Rara kembali merasa perutnya sakit. Ia kembali berlari ke kamar mandi. “Ya, ampun. Sampai capek aku bolak-balik ke kamar mandi,” gerutu Rara yang merasa lelah. “Astaga, hausnya,” ujar Rara lagi. Rara melangkah keluar kamar untuk mengambil air minum. Saat itulah ia melihat pintu kamar Wati yang terbuka lebar. Matanya melotot melihat kamar yang telah kos
Bu Nara menepuk dahi.“Ya, ampun, Wati. Kebangetan sekali memang si Dedy. Sudah nggak kasih makan, nggak kasih rumah, juga nggak kasih pakaian. Huh!” Bu Nara mengomel.“Ya sudah, kamu mandi dulu. Setelah ini ikut Ibu ke pasar. Kita beli baju baru buatmu. Biar murah asal baru dan pantas untuk dikenakan,” kata Bu Nara seraya mendorong Wati untuk segera memasuki kamar mandi.Usai mandi, Wati dan Bu Nara pergi ke pasar besar yang buka sampai sore hari. Bu Nara langsung mengajak Wati ke bagian toko pakaian jadi yang berada di pinggir pasar.“Pilih saja tiga baju yang kamu suka. Nanti, kamu bisa membeli baju baru yang bagus di toko khusus pakaian jadi. Sementara ini cukuplah tiga baju, ya,” ujar Bu Nara seraya mengajak Wati memasuki sebuah toko yang cukup besar.Lantaran jarang ke pasar untuk membeli baju, Wati kebingungan memilih pakaian yang
“Tidak, Pak. Jangan lakukan itu,” pinta Wati mengiba.“Kenapa? Apa kamu kasihan kepadanya? Kamu masih cinta kepadanya?” cecar Pak Sultan dengan suara yang semakin lama semakin tinggi karena emosi.“Iya, Wati. Kenapa kamu tidak mengizinkan? Ibu kira kamu mau menggugat cerai si Dedy,” timpal Bu Nara tak terima.Tiba-tiba Wati tersenyum, membuat bingung Pak Sultan dan Bu Sultan. Sementara Bu Nara melihat hal yang lain dari senyum Wati.“Atau kamu punya rencana sendiri untuk membalas Dedy dan Rara?” tanya Bu Nara curiga.“Iya, Bu. Aku punya rencana sendiri. Pembalasan yang akan membuat Dedy dan Rara lebih sakit daripada sekedar dihajar,” ujar Wati tenang.“Apa rencanamu?” tanya Bu Sultan ingin tahu.“Aku ingin membuat usaha Rara bangkrut, agar dia merasakan sakitnya
“Iya, Bu. Aku berencana membuka toko kelontong di pasar yang sama dengan Rara. Kalau perlu toko itu berhadapan dengan toko milik Rara. Toko itu menjual barang yang sama dengan barang yang Rara jual, bedanya harganya jauh lebih murah daripada barang di toko Rara,” Wati mengungkapkan rencananya.“Dengan cara itu, lama kelamaan toko Rara tidak laku dan tutup karena bangkrut. Cerdik,” puji Bu Sultan.“Bagus. Kamu pintar membuat strategi. Tak diragukan lagi kamu betul-betul anakku,” sahut Pak Sultan dengan senyum puas.“Agar berhasil, aku perlu bantuan Ayah dan Ibu untuk membeli kios di pasar dan mengisinya dengan barang-barang sembako seperti isi toko Rara,” kata Wati seraya menunduk.“Besok toko itu sudah akan kamu miliki. Apalagi yang kamu perlukan?” tanya Pak Sultan.“Saya perlu dua orang pegawai yang tepercaya untu
Rara mendengar omongan para pegawainya, tetapidia tidak peduli. Rara merasa mereka sangat membutuhkan pekerjaan di tokonya, hingga mau menerima gaji dan perlakuan apa saja dari majikan."Terserah kalian mau ngomong apa. Memangnya kalian bisa apa tanpa aku?" cibir Rara di dalam hati.Setelah jam makan siang, kesibukan toko di depan toko milik Rara sudah berkurang. Kios itu sudah berisikan barang-barang yang tertata rapi. Rara sempat melirik sekilas ke arah toko itu, lalu mencibir ke arah sepasang lelaki dan wanita yang ditebaknya sebagai suami istri.Rara kembali sibuk melayani pembeli, hingga tak lagi sempat memerhatikan toko di seberang sana. Ia baru tertarik untuk kembali melirik ketika mendengar salah satu calon pembelinya berseru cukup keras.“Lihat, itu ada toko kelontong baru. Harganya kok murah-murah betul. Kita coba ke sana, yuk,” ajak ibu-ibu kepada teman di sebelahnya.
Para pegawai toko Rara meriung di belakang toko. Mereka merumpi dengan berbisik-bisik. Sebetulnya Dedy dapat mendengar obrolan para pegawainya, tetapimemilih diam dan tak menghiraukan. Dedy asyik mengkhayalkan Wati, berbuat apa saja semaunya bersama Wati di dalam lamunan. Begitulah Dedy bila sedang ingin, otaknya hanya mau memikirkan hal-hal mesum.“Mas, kok betah sih kerja di sini?” tanya Siti pelan kepada Wawan yang baru saja selesai menata barang di toko.“Bukan betah, sudah lama aku mau pindah, tetapibelum ada pekerjaan yang lebih baik. Aku enggakmungkin menganggur. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jawab Wawan murung.“Kalau Mbak Sri, kok betah kerja di sini selama dua tahun?” bisik Siti kepada Sri, perempuan paling senior diantara para pegawai Rara.“Aku ini janda, Sit. Punya anak kecil dan ibuku sudah tua. Mereka perlu aku b
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas
Bu Sultan tertawa. “Kamu sudah cari dia di kamar mandi?”Shelia pun sadar, bahwa ibunya mengira dirinya dan Byzan masih berada di kamar hotel. Beberapa jam yang lalu, ia dan Byzan pergi diam-diam dari hotel untuk mengejutkan semua orng pada keesokan paginya. Shelia menarik napas panjang.“Kami sudah keluar hotel, Bu. Sekarang aku ada di pantai,” aku Shelia tegas.“Sudah keluar hotel? Sepagi ini?” Bu Sultan terdengar keheranan.“Iya, Bu. Kami ….” Shelia lalu menceritakan ide Byzan untuk kabur diam-diam ke vila di tepi pantai. Termasuk kemunculan Dedy yang tiba-tiba dari balik bagasi mobil dan hantamannya kepada Byzan hingga Byzan tersungkur.Selama Shelia bercerita, Bu Sultan tak henti-hentinya menyerukan rasa terkejut dan terperanjat. Penjabaran itu Shelia akhiri dengan tangis di ujung kisah.“Sekar
“Dia bilang apa?” tanya si lelaki kepada istrinya.“Entah, suaranya terlalu pelan,” balas sang istri.“Coba Mami dekati dan tanyakan lagi. Mungkin ada hal penting,” titah suaminya.Wanita berpiyama itu mendekatkan wajah ke arah Shelia yang berwajah pucat. Ia berbisik ke telinga Shelia.“Apa ada yang mau kamu beritahukan kepada kami?” ujarnya pelan.“Byzan, Byzan …,” desis Shelia lemah.Mendengar nama yang disebut Shelia, wanita itu terus mendesak.“Siapa dia? Orang yang menyakitimu?” lanjut wanita itu.Kepala Shelia menggeleng pelan. Mendadak ia teringat akan Dedy yang menghilang tepat di belakangnya, beberapa saat yang lalu. Rasa khawatir Shelia memuncak. Ia sangat takut Dedy kembali ke pantai dan menyakiti Byzan. Pikiran itu membuat Sheli
Shelia sangat syok, sehingga ia memandang ngeri ke arah Dedy tanpa berbuat apa-apa. Seolah-olah Shelia baru saja melihat orang mati yang bangkit dari kuburnya. Hantu. Dedy bagaikan hantu terseram di dalam pandangan mata Shelia.Dedy yang melihat Byzan terjatuh dan tak lagi bergerak, langsung mengalihkan perhatian ke arah Wati alias Shelia. Dalam satu gerakan cepat, Dedy bergerak mendekati Shelia dan mencengkeram pundak Shelia dengan kedua tangannya yang hitam.“Sekarang kamu tidak akan bisa lolos. Kamu akan jadi milikku, Cantik,” seringai Dedy dengan sorot mata mengerikan.Shelia gemetaran. Ia menatap Dedy dan melihat sorot mata tak biasa dari lelaki itu. Dedy tidak lagi mirip dengan Dedy yang dulu dikenalnya, bahkan bukan lagi Dedy ketika masih menjadi suami Rara.“Gila! Dia gila,” batin Shelia terkejut dan ketakutan.Dedy mendekatkan wajahnya ke wajah Sh