Arya bisa melihat tatapan Janice menjadi suram. Dia segera berjanji, "Aku akan membantumu mencari ahli terbaik. Kalau perlu, aku akan minta Jason mencarikan spesialis dari luar negeri ....""Jangan beri tahu dia." Janice memotong ucapan Arya. Dia menunduk dan berkata, "Kamu sendiri sudah melihat kondisi Rachel. Aku nggak ingin terlibat lebih jauh. Aku nggak sanggup menanggung nyawanya.""Semalam, aku sudah membantu sesuai permintaanmu. Jangan dibahas lagi. Aku akan bekerja sama dengan pengobatanmu.""Sebenarnya tadi aku bisa keluar secepat itu karena ....""Obati lukaku dulu." Wajah Janice tampak pucat pasi. Dia menahan air mata kepedihannya, lalu memalingkan wajah.Arya menghela napas, mengangguk, dan mulai membalut luka Janice. Setelah selesai, Janice bertumpu pada meja untuk berdiri."Rachel ada di kamar mana? Aku ingin menemuinya dan menjelaskan semuanya.""Aku akan menemanimu. Kebetulan ada laporan yang harus kuberikan padanya." Arya mengambil beberapa lembar kertas dari meja.Ket
Janice turun dengan linglung. Saat duduk di taman, dia menyadari bahwa kolam yang sebelumnya kering kini telah terisi penuh kembali. Rumput di sekitarnya tampak lebih hijau, seolah-olah segalanya dipenuhi kehidupan.Hanya dirinya yang terasa seperti makhluk asing yang tidak cocok dengan dunia ini. Wajahnya pucat pasi, dia terjebak dalam musim dingin yang membekukan.Janice ingin meluapkan emosinya, tetapi dia bahkan tidak tahu harus menyalahkan siapa. Padahal, dia yang terluka, dia yang tersakiti.Namun, dia sepertinya menjadi satu-satunya pendosa di dunia ini, sedangkan yang lainnya adalah manusia paling baik yang hanya khilaf.Dengan putus asa, Janice mengepalkan tangannya erat-erat, seolah-olah hanya rasa sakit yang bisa membuatnya tetap tenang.Tiba-tiba, sebuah sosok tinggi menghampirinya. Seseorang meraih tangannya. "Janice."Suara Landon terdengar sedikit terengah-engah, menandakan bahwa dia datang dengan terburu-buru.Janice tersadar, lalu memaksakan senyuman. "Ada apa?"Landon
Di bangsal, begitu Jason masuk, Rachel langsung menampilkan senyuman.Dengan susah payah, dia menopang tubuhnya. "Sudah selesai bicara dengan Dokter Arya? Aku sudah bilang aku baik-baik saja, tapi kamu tetap saja mengkhawatirkanku."Jason tidak menjawab. Dia berhenti di ujung ranjang dan menatap Rachel dengan tatapan datar.Rachel merasakan sesuatu. Tatapannya menjadi tajam dan tangannya tanpa sadar mencengkeram selimut erat-erat."Ada apa? Kamu khawatir aku akan menyalahkan Janice? Tenang saja, aku nggak berpikir macam-macam. Lagian, dia pacar kakakku." Rachel buru-buru menyatakan sikapnya, tetapi terlihat terlalu tergesa-gesa.Setelah mengatakan itu, dia baru menyadari bahwa dirinya berbicara terlalu banyak. Dia menggigit bibirnya, wajahnya yang pucat kini terlihat agak merah dan aneh.Jason bertumpu pada pagar tempat tidur, menatap Rachel dengan tatapan sedingin es, seolah-olah bisa menembus segalanya. "Rachel, kamu nggak seharusnya melakukan ini.""Apa?" Bibir Rachel bergetar."Oba
Zion meminta Janice untuk menahan Arya, lalu dirinya buru-buru pergi membeli ikan.Kebetulan, Janice memang hendak menemui Rachel, jadi dia pun setuju. Beberapa hal memang lebih baik dijelaskan sendiri.Saat tiba di depan kamar rumah sakit, Keluarga Karim dan Keluarga Luthan sudah pergi. Hanya Arya dan Landon yang masih berdiskusi tentang kondisi Rachel.Melihat kedatangannya, Arya tiba-tiba terdiam. Janice merasa aneh. Dia baru saja hendak bertanya, tetapi Landon langsung mengalihkan pembicaraan. "Zion nggak ikut denganmu?""Dia ...." Janice berjinjit mendekatkan diri ke telinga Landon dan berbisik, "Begini ...."Landon langsung merasa canggung dan secara refleks melirik Arya.Arya yang melihat hal itu langsung merasakan firasat buruk. "Apa yang kalian bicarakan?""Nggak ada!"Janice segera bersembunyi di belakang Landon. Dari sudut pandang orang lain, ini terlihat seperti tindakan penuh kepercayaan dan keintiman di antara pasangan.Arya dan Landon sama-sama tertegun. Tepat pada saat
Di perjalanan, Landon melihat Janice sedang membaca informasi pendaftaran kuliah. Sekilas, dia melirik nama sekolah itu. Itu adalah sekolah yang dia pilihkan untuk Janice."Janice, kamu nggak perlu ...."Janice langsung menyela, "Jangan menebak-nebak. Meskipun universitas yang direkomendasikan oleh Jason itu bagus, jurusan itu bukan untuk orang biasa. Biayanya terlalu mahal, bahkan yang mendapatkan beasiswa pun sudah ditentukan dari pihak universitas."Tak bisa dipungkiri, universitas itu memang punya reputasi bagus dan telah melahirkan banyak desainer legendaris.Namun, setelah Janice mencari daftar nama mahasiswa dari tahun-tahun sebelumnya, ada satu kesamaan yang mencolok. Mereka adalah putra atau putri dari seseorang yang berpengaruh.Beasiswa yang terlihat begitu menggiurkan itu, nyatanya hanya untuk mempercantik resume para anak orang kaya. Jumlah uang itu bahkan mungkin tidak cukup untuk membeli satu tas mereka.Janice tahu diri. Dia tidak bisa dibandingkan dengan mereka. Segala
Karena masalah antara Arya dan Zion, atmosfer ambigu dalam mobil langsung menghilang.Meskipun Landon mengulang kembali momen tadi, pikiran Janice sekarang penuh dengan ikan mas.Untungnya, Landon adalah pria yang pengertian. Dia tersenyum dan mencairkan suasana canggung. "Sudah merasa lebih baik?""Mm." Janice bahkan merasa lucu dengan situasi ini.Setibanya di apartemen, Landon menerima telepon pekerjaan, jadi dia tidak mengantar Janice ke atas.Di perjalanan pulang, Zion melirik Landon melalui kaca spion. "Pak, panggilan dari Arya tadi jelas sengaja. Kalau benar ingin mempermasalahkan, seharusnya dia meneleponku. Aku yakin ini pasti ulah Pak Jason. Kenapa kamu nggak menjelaskan ke Bu Janice?"Landon tetap tenang. "Kamu pikir Janice nggak tahu? Kadang, menganggap sesuatu sebagai lelucon dan tertawa saja sudah cukup untuk melepaskan diri dari masalah.""Oh .... Eh, maksudnya aku ini leluconnya?" Zion tampak kesal.Landon hanya melirik sekilas, menyuruhnya berpikir sendiri. Zion langsu
Janice merasa sesak di dadanya, tetapi dia tidak bisa memikirkan solusi yang lebih baik. Jason mengetuk pintu dengan sangat keras, orang di lantai bawah pasti bisa mendengarnya. Sebelumnya, Jason bahkan melapor ke polisi bahwa terdengar suara tembakan di sini, dia benar-benar tidak ingin didatangi polisi lagi.Sebelum Jancie berbicara, Jason yang sudah mengetahui apa yang sedang dipikirkan Janice pun membantu Janice masuk ke dalam. "Ayo masuk."Janice hanya bisa mengikuti Jason masuk ke ruang tamu.Jason segera mengambil kotak obat dari lemari di bawah TV. Begitu dia duduk, Janice langsung bergeser ke samping. Dia mencari obatnya sambil berkata dengan nada muram, "Lebih baik kamu tinggalkan saja tanganmu di sini. Kamu boleh pergi berkeliling sebentar baru kembali lagi."Mendengar sindiran itu, Janice terpaksa bergeser kembali dan mengulurkan tangannya.Setelah membuka perban dan melihat lukanya, ekspresi Jason menjadi dingin. "Kenapa lukanya bisa robek seperti ini?"Janice bingung kare
Di rumah Keluarga Karim, Anwar sedang menikmati makan malamnya. Saat menyadari kedatangan seseorang, dia tetap menikmati makan malamnya dan ekspresinya terlihat makin tegas.Sejak perdebatan terakhir di rumah sakit, Anwar tidak pernah makan bersama Jason lagi. Oleh karena itu, dia yakin Jason datang untuk berdamai dengannya. Bagaimanapun juga, dia sudah memimpin Keluarga Karim selama puluhan tahun, sedangkan Jason baru beberapa tahun saja. Dia pun mengangkat kepala dan melirik kepala pelayan.Melihat itu, kepala pelayan itu segera menyiapkan satu set alat makan untuk Jason sebagai tanda ini adalah kesempatan dari Anwar.Jason dan Anwar pun duduk di ujung yang berlawanan di meja makan yang begitu luas.Anwar bertanya dengan nada santai, "Rachel baik-baik saja, 'kan?"Jason menjawab dengan dingin, "Baik-baik saja.""Aku sudah menyuruh orang mencari ahli gizi. Hari pernikahan kalian sudah dekat, harus segera merawat kesehatannya," kata Anwar.Anwar terdengar sangat peduli dan mementingkan
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe