"Siapa?" tanya Landon dengan tatapan dalam."Pak Jason. Dia terus berada di bawah sedari tadi," jelas Zion."Aku mengerti. Aku akan cari waktu untuk ngobrol sama dia."Setelah menutup telepon, Landon berjalan ke arah jendela dan melihat ke bawah. Di bawah sinar lampu jalan, seorang pria dengan postur tubuh tegap bersandar pada mobil sambil merokok. Hampir pada saat bersamaan, pria itu mengangkat kepalanya dan melihat ke arah jendela.Tanpa ragu, Landon langsung menarik tirai untuk menutup pandangan dari luar.Janice yang melihatnya jadi penasaran. "Ada apa?"Landon menatapnya sejenak, lalu tersenyum santai. "Lebih aman begini.""Baiklah.""Karena pelakunya belum tertangkap, malam ini aku tidur di sofa saja. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, aku bisa langsung tahu," ujar Landon sambil berjalan kembali ke sofa dan duduk di sana.Janice awalnya ingin menolak, tapi mengingat orang itu belum benar-benar tertangkap, dia tidak bisa menemukan alasan untuk menolaknya. "Terima kasih.""Jangan
Setelah meminum obatnya, Jason menarik lepas dasinya dan melemparkannya ke samping. "Kamu pulang saja."Norman tidak langsung menjawab. Ini adalah pertama kalinya dia melihat Jason dalam kondisi seburuk ini. Bukan hanya fisiknya yang lelah, tetapi juga aura keseluruhan dirinya. Dia merasa tidak tenang.Setelah keluar dari kamar, Norman akhirnya memutuskan untuk bermalam di sofa. Saat duduk, pandangannya sekilas menyapu sofa itu. Sebenarnya, dia juga sulit memercayai bahwa Janice adalah wanita yang sembarangan.Apakah mungkin ada kesalahpahaman?Memikirkan hal itu, Norman mengeluarkan ponselnya dan membuka WhatsApp.Dengan sangat enggan, dia menemukan kontak Zion. Foto profil pria itu tidak lain adalah foto pamer otot yang tak berfaedah.[ Norman: Di mana kamu? ][ Zion: Transfer dulu 1 juta baru kukasih tahu. ][ Norman: Byebye. ][ Zion: Jangan gitu dong. Kamu masih belum lunas biaya pengobatan setelah terakhir kamu hajar aku. Dokter Edrick bilang lukaku lumayan parah, tahu? ][ Norma
Melihat orang di depannya, senyuman Janice langsung menghilang. Seketika, dia tampak sedikit canggung.Rachel berdiri di samping mobil sambil menggandeng tangan Jason, lalu tersenyum dan berkata, "Janice, sudah lama aku nggak melihatmu tersenyum sebahagia ini. Ya, 'kan? Jason?"Dia menarik lengan baju Jason. Jason menyapu pandangannya ke arah Janice dan Landon dengan dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Senyuman di wajah Rachel sedikit menegang, bibirnya terkatup rapat. Suasana langsung menjadi sedikit canggung.Melihat itu, Janice segera mengalihkan topik pembicaraan, "Kenapa kalian kemari?"Rachel menjelaskan, "Tadi pagi aku melihat berita kalau ada penguntit di sekitar sini, aku khawatir padamu. Jadi, aku minta Jason menemaniku melihat keadaanmu. Kami malah bertemu Zion di bawah, dia bilang kalian berdua sudah keluar sejak pagi."Seketika, yang terdengar hanya suara angin yang berembus."Rachel!" Landon mengernyit dan memotong perkataannya, ekspresinya terlihat semakin dingin
Kalau bukan karena Janice memegang kunci di tangannya, dia mungkin akan mengira dirinya salah rumah.Beberapa saat kemudian, Rachel akhirnya melihatnya. "Janice, maaf, aku nggak membuatmu kaget, 'kan?""Nggak. Kalian duduk saja, aku akan menuangkan teh untuk kalian." Janice meletakkan kunci dan menunduk untuk mengambil bahan makanan di dekat pintu masuk.Landon langsung maju dan mengambil kantong belanja dari tangannya. "Biar aku bantu."Janice tidak menolak, lalu mereka pun masuk ke dapur bersama.Di sofa, Rachel menatap punggung mereka, lalu tersenyum ke arah Jason. "Ini pertama kalinya kakakku begitu serius mengejar wanita."Jason menatapnya, ekspresinya tetap dingin. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung berdiri dan berjalan ke dapur.Rachel menggigit bibir dan mencoba menarik ujung bajunya, tetapi tidak berhasil menahannya. Dia hanya bisa diam dan melihat ke arah dapur.Di dapur, Janice menatap ketel air, pikirannya sedikit melayang. Landon meliriknya dan bertanya, "Cangkirnya ada d
Jason menyalakan pemantik api, merasakan panasnya nyala api di ujung jari. Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut pria lain terasa cukup ironis. Dia terkekeh-kekeh, ekspresinya tetap dingin dan suram.Landon tidak memedulikannya dan melanjutkan, "Keluarga Karim punya kekuasaan yang kompleks. Meskipun kamu sudah mengendalikan sebagian besar, kekuasaan yang tersisa masih ada di tangan Pak Anwar.""Kalau kamu ingin menguasai seluruh Keluarga Karim, sepertinya kamu masih butuh waktu. Tapi, yang jelas, Pak Anwar hanya butuh satu langkah untuk mengendalikanmu."Yaitu, Janice.Begitu ucapan itu dilontarkan, nyala api pada pemantik di tangan Jason padam. Badan pemantik api yang panas menempel di telapak tangannya, terasa seperti tusukan jarum.Menyangkut urusan Keluarga Karim, Landon tidak banyak bicara lagi. Dia hanya menepuk bahu Jason ringan."Selain itu, aku juga melakukannya demi adikku. Aku nggak ingin dia melakukan kesalahan. Karena saat itu terjadi, utangmu padanya nggak akan sesede
Rachel menggenggam pergelangan tangan Janice, tidak terlalu erat, tetapi tetap memberikan tekanan.Janice mengangkat kepala, menatap mata penuh harapan milik Rachel. Saat itu juga, dia mengerti makna di balik kata-kata Rachel."Iya." Janice mengangguk, menyembunyikan jejak ejekan dan ironi di matanya.Sebenarnya, kekhawatiran Rachel tidak berdasar. Semua orang tahu betapa baiknya Jason padanya. Namun, semua ini karena Rachel terlalu mencintai Jason.Mendengar jawaban itu, Rachel mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya kepada Janice. Dia tersenyum. "Janice, terima kasih."Janice memegang kotak itu dengan canggung, tidak tahu harus berbuat apa.Kebetulan, Jason dan Landon yang sedang berada di ruang makan menyadari kedua wanita itu tak kunjung keluar dari dapur. Jadi, mereka menghampiri untuk melihat."Ada apa?" Jason mengernyit menatap Janice.Rachel segera berdiri dan menarik lengan Jason. "Ini bukan salah Janice. Mungkin aku berdiri terlalu lama. Tasku jatuh
Wanita mana pun yang mendengar ucapan Landon pasti akan merasa terharu. Namun, Janice tidak ingin terpengaruh begitu saja.Dia tersenyum dan menggeleng pelan. "Pak Landon, kamu nggak perlu seperti ini. Dengan segala yang kamu miliki, kamu pasti bisa menemukan seseorang yang lebih cocok.""Bukankah seharusnya aku yang menentukan cocok atau nggak?" tanya Landon dengan serius.Sambil menatap matanya, Janice seketika kehilangan kata-kata."Sudahlah, aku nggak akan memaksamu. Hari ini pasti melelahkan sekali, istirahatlah yang baik." Landon menunjuk salah satu dokumen di tangannya. "Universitas ini cukup bagus."Janice menunduk melihatnya dan tertawa. "Aku tahu Keluarga Luthan memiliki cabang bisnis di negara ini.""Kamu lihat itu? Ternyata kamu cukup mengenalku." Landon tidak pernah menutupi niatnya.Kejujuran seperti ini adalah sesuatu yang belum pernah Janice rasakan sebelumnya. Sejak kecil, karena tidak memiliki ayah, banyak orang berspekulasi bahwa dia adalah anak haram. Namun, dia tid
Janice menunduk. Kedua tangannya gemetar hingga terpaksa mencengkeram gagang pintu erat-erat, begitu kuat hingga terasa sakit di persendiannya.Dengan linglung, dia kembali ke sofa. Entah sudah berapa lama dia duduk di sana, tiba-tiba bel pintu kembali berbunyi.Janice langsung berdiri, hampir membuka pintu tanpa berpikir. Namun, saat tangannya terangkat, dia ragu sejenak, lalu menurunkannya kembali.Bel berbunyi semakin cepat dan mendesak, hingga akhirnya orang di luar langsung membuka pintu dan masuk.Janice membuka mulut, terdiam ketika melihat siapa yang masuk. "Kak Naura?""Kenapa kamu nggak jawab? Aku sampai kira terjadi sesuatu padamu," ucap Naura dengan cemas."Aku baik-baik saja.""Kalau memang baik-baik saja, kenapa ada begitu banyak obat tergantung di pintu?" Naura lantas menyerahkan kantong obat kepada Janice.Janice merasakan kantong itu cukup berat. Saat menunduk melihat isinya, semua obat di dalamnya adalah salep luka bakar. Dia tahu pasti ini dari Jason.Naura melongok
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe