Tanpa berbelaskasihan sedikit pun, Janice langsung menusukkan pisaunya ke tubuh pria yang mendekat. Meskipun harus membunuh mereka semua, Janice sama sekali tidak takut.Norgia disebut sebagai negara paling bahagia. Bukan hanya karena tingkat kebahagiaan warganya, tetapi juga karena hukum di sini sangat memanjakan warganya. Mereka memiliki penjara bintang lima.Bagi Janice, membunuh beberapa sampah masyarakat lebih terasa seperti sebuah keuntungan.Dengan keberanian yang membara, Janice menusuk tiga orang sekaligus, membuat darah menggenang di lantai. Dua pria lainnya tampak ketakutan."Pergi!" teriak Janice sambil mengangkat pisaunya yang berlumuran darah.Segera, Yoshua datang bersama para pengawalnya. Ketika melihat ketiga pria yang mengerang kesakitan di lantai, wajahnya sontak dipenuhi amarah."Sepertinya kamu belum memahami situasimu. Sekarang, nggak ada seorang pun yang bisa menyelamatkanmu! Tangkap dia. Aku ingin dia menyaksikan semua dengan mata kepala sendiri!"Janice mencoba
"Memangnya impoten sepertimu sanggup?" Jason melemparkan pistol ke tengah-tengah mereka dengan ekspresi datar. "Demi menghormati ayahmu, aku memberimu satu kesempatan. Ambil itu."Yoshua menghapus darah di wajahnya. "Apa hakmu menyebut ayahku? Kamu yang membunuhnya! Kamu pikir aku nggak berani?""Siapa yang bilang? Ibumu? Wanita munafik dan egois.""Kamu nggak pantas bicara begitu tentang ibuku!"Begitu ucapan itu dilontarkan, Yoshua bergegas mengambil pistol yang ada di lantai.Namun, saat berikutnya, Jason melepaskan syal dari lehernya dan melilitkannya ke leher Yoshua. Kemudian, dia menarik hingga tubuh Yoshua terangkat dan terhempas keras ke lantai.Jason perlahan mempererat lilitan syal itu. Wajah Yoshua memerah, tetapi dia masih berusaha melawan. "Aku ... aku sudah menyentuhnya! Di tubuhnya ... ada bekasku, juga bekas pria lain ... hahaha ... uh ...."Mendengar tawa itu, Janice mendongak. Pemandangan di depannya tertangkap jelas. Dalam pikirannya, terdengar suara keras seperti ge
Setelah Yoshua diikat erat-erat, Janice baru yakin bahwa dirinya benar-benar aman.Saat ini, tubuhnya sudah penuh dengan keringat dingin dan lemas. Ketika terjatuh, sepasang tangan menangkapnya, lalu mengangkatnya dalam pelukan dan membawanya keluar dari ruangan.Pemandangan itu persis seperti di kehidupan sebelumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kali ini mereka berdua selamat.Janice selalu takut bahwa semuanya hanya mimpi. Dia mengangkat tangannya, menyentuh wajah pria itu. Kumisnya kasar."Kasar sekali.""Nanti aku cukur." Suara Jason terdengar lebih santai dari biasanya."Jason." Janice mengelus alis matanya, memanggilnya dengan lembut.Jason berhenti sejenak saat mendengar suaranya. "Ya."Mendengar respons itu, Janice akhirnya merasa tenang, lalu tenggelam dalam kegelapan.Tidur kali ini membuatnya merasa dunia seperti terbalik. Di dalam mimpi, ingatan yang selama ini terkunci akhirnya terbuka.Rasanya seperti seluruh dunia berubah. Meskipun di kehidupan kali ini dia berhasil men
Janice mengira dirinya sudah hampir menyesuaikan diri, tetapi tetap saja dia menangis tersedu-sedu. Dalam air matanya ada anaknya, kehidupan masa lalunya, dan segala miliknya ...."Huhuhu ... Paman.""Aku bukan pamanmu." Jason mengerutkan kening dan menegaskan."Paman.""Sudahlah." Jason mengusap pelipisnya. "Jangan sampai ingusan, nanti susah dicium.""Apa ...."Jason menekan diri ke arah Janice dan menciumnya. Janice tertegun sesaat. Secara refleks, dia hendak mengangkat tangannya, tetapi Jason menggenggamnya dengan erat. Jemari mereka yang bertaut bergetar ringan.Suasana tenang di dalam kamar mulai diwarnai dengan erangan-erangan halus. Napas yang semakin berat, gumaman lirih di antara bibir ....Janice ingin memberontak, tetapi dia benar-benar tidak punya tenaga. Yang bisa dia lakukan hanyalah menatap pria di depannya dengan mata terbelalak.Dalam sekejap, dia seolah-olah melihat cahaya yang mengalir di mata hitam Jason. Sekilas kelembutan yang nyaris tak terdeteksi melintas di da
Dalam perjalanan menuju ruang tamu, Janice dan Ivy melihat kepala pelayan tergesa-gesa membawa para tetua Keluarga Karim menuju aula leluhur."Bu, kenapa semua pergi ke aula leluhur?" tanya Janice dengan heran.Ivy melirik sekeliling dengan ekspresi tegang. "Gawat, pasti ada masalah besar."Merasa khawatir terhadap Zachary, dia segera menarik Janice menuju aula leluhur. Begitu masuk, mereka melihat kerumunan orang memenuhi ruangan. Semua berdiri dengan tertib di kedua sisi dan Janice buru-buru menarik Ivy ke sudut yang tidak mencolok.Saat mengangkat pandangannya ke depan, dia melihat para tetua yang sudah lama hengkang dari urusan keluarga kini dipanggil kembali.Di kursi utama, Jason dan Anwar duduk dengan tenang, ditemani asap dupa yang mengepul, menambah suasana serius dan penuh wibawa.Di tengah aula, Yoshua berlutut dengan gigi terkatup rapat, wajahnya dipenuhi amarah. Di sampingnya, Tracy tampak pucat pasi. Dia menangis dan berteriak tanpa menjaga martabatnya sebagai istri utama
Di dalam hatinya, Anwar adalah pria yang kolot dan sangat patriarkis. Kini, dia dipermalukan di depan banyak orang oleh putra yang selama ini paling patuh kepadanya. Dengan wajah merah padam karena marah, dia meraih cangkir teh dan membantingnya ke lantai.Prang!Pecahan cangkir berhamburan, membuat semua orang menahan napas, tak seorang pun berani bersuara."Kamu sudah berani melawan sekarang, ya?! Beraninya kamu bicara seperti itu padaku!"Namun, Zachary tidak menunjukkan sikap rendah hati seperti biasanya. Dia menatap ayahnya dengan tenang dan bertanya, "Ayah, Yoshua menjadi seperti ini, bukankah Ayah juga punya andil dalam kesalahan ini?"Napas Anwar memburu, giginya bergemeletuk menahan amarah.Yoshua yang sejak tadi menunduk, tampak terkejut saat mendengar perkataan itu. Dia langsung mengangkat kepalanya dan menatap Zachary. "Paman, apa maksudmu?"Zachary tersenyum getir. "Lebih baik biarkan orang lain yang jelaskan padamu."Setelah berkata demikian, fia mengalihkan pandangannya
Tracy terhempas ke lantai dingin setelah didorong oleh Jason.Selama ini, dia sangat tahu diri. Meskipun dia tidak memiliki banyak kekuasaan di Keluarga Karim, statusnya sebagai istri utama tetap memberinya banyak pendukung. Namun kini, dia terduduk di lantai dengan tatapan dingin dari semua orang di sekelilingnya.Bahkan suaminya sendiri berbalik dan melindungi wanita serta anak di sampingnya. Satu-satunya yang masih membelanya hanyalah Yoshua yang menatap Ferdy dengan kemarahan membara."Ayah! Apa yang dikatakan Ibu salah?! Kalau bukan karena dia menggoda Ayah, mana mungkin Ayah meninggalkan Ibu dan aku? Ayah adalah putra sulung Keluarga Karim, pewaris utama dengan masa depan yang gemilang!"Setelah memastikan istri dan anaknya baik-baik saja, Ferdy menatap Yoshua dengan ekspresi sedih dan penuh penyesalan. "Yoshua, sampai sekarang kamu masih percaya semua yang dikatakan ibumu itu benar?"Wajah Yoshua langsung menegang, seolah pikirannya goyah sejenak.Tracy buru-buru menarik lengan
Tracy menatap Yoshua sambil mengatupkan bibirnya dan menggenggam tangan Yoshua dengan erat."Yoshua! Mereka cuma ingin memisahkan kita! Jangan percaya kata mereka! Aku ini ibumu, mana mungkin aku akan mencelakakanmu?" Kata-katanya memang sedikit mengurangi keraguan di hati Yoshua.Namun, kalimat berikutnya dari Ferdy menghancurkan pertahanannya sepenuhnya, mengungkap kebenaran yang selama ini ditutupi Tracy."Aku juga pernah berpikir bahwa seorang ibu nggak akan menyakiti anaknya sendiri. Tapi ternyata, demi kakakmu yang nggak berguna itu, kamu bahkan rela mencelakakan putramu sendiri!""Omong kosong! Aku nggak melakukannya! Aku yang merawat Yoshua selama ini! Kamu nggak berhak menghakimiku!" Dia kemudian menarik tangan Yoshua, hendak membawanya pergi."Yoshua, kita nggak perlu tinggal di sini lagi. Ayo pergi!"Namun, saat mereka berbalik, Jason mengangkat tangannya untuk menghalangi jalan mereka."Yoshua, kamu telah membenciku selama bertahun-tahun. Apa kamu nggak mau tahu kebenaran d
Janice menggandeng pria bayaran itu masuk ke dalam ruang VIP. Baru saja duduk, pria itu sudah tidak sabar memesan sebotol anggur seharga sekitar 60 juta. Sepertinya dia memang bekerja sama dengan tempat ini. Jadi, semakin banyak minuman yang dipesan, semakin besar komisinya.Saat memesan anggur, dia sempat melirik Janice. Dia sedang menguji apakah Janice benar-benar punya uang atau tidak. Janice menatapnya dengan senyum menggoda. Matanya yang memicing dan senyumannya yang manis, cukup untuk membuat orang terpesona."Satu botol saja mana cukup? Atau kamu cuma mau menghabiskan sebotol anggur sama aku?" Kata-katanya memiliki makna tersirat yang cukup berani dan memalukan.Untungnya, pencahayaan dalam ruangan cukup redup sehingga menyamarkan sedikit rasa canggung dalam dirinya. Ini adalah trik yang dia pelajari dari Amanda.Menurut Amanda, cara tercepat untuk membuat pria masuk ke dalam perangkap adalah mengambil inisiatif lebih dulu. Dia harus mengatakan apa yang ingin dikatakan para pria
Arya menyadari ketidakpercayaan Janice dan segera membela Jason. "Janice, bagaimanapun juga, dia sudah banyak membantumu. Kalau dia benar-benar ingin sesuatu terjadi padamu, kenapa dia harus repot-repot mengambil risiko? Jangan langsung menghakiminya begitu saja."Mendengar ucapan itu, Janice sedikit mengernyit. Bulu matanya yang panjang bergetar halus dan di antara alisnya tersirat kesedihan serta ejekan terhadap dirinya sendiri.Janice mengatupkan bibir pucatnya, lalu tertawa pelan."Baiklah, kalau kamu percaya sama dia, pergilah dan beri tahu dia siapa yang sedang kucari. Tapi jangan katakan semuanya. Aku nggak yakin sama hubungan antara Thiago dan Elaine. Kalau aku bicara terlalu banyak, bisa-bisa Rachel malah salah paham dan mengira aku menuduh bibinya tanpa alasan.""Aku mengerti. Nah, begitu lebih baik. Jason pasti bisa menemukan orang itu tanpa kesulitan. Tunggu kabar dariku." Arya menghela napas lega dan segera pergi.Janice menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan tata
Saat tubuh Janice hampir jatuh menimpa pecahan kaca di lantai, seseorang menariknya tepat waktu. "Janice, kamu kenapa?"Itu Arya.Melihat seseorang yang dikenalnya, Janice langsung mencengkeram lengan bajunya erat-erat, seolah-olah Arya adalah satu-satunya penyelamatnya.Arya menyadari wajah Janice tampak pucat, lalu segera membantunya duduk dan membuka pintu agar udara segar masuk. Setelah memastikan dia dalam posisi yang aman, Arya mengerahkan keterampilannya sebagai dokter dan memeriksa kondisi Janice.Tak lama kemudian, dia mengernyit dan menggerutu, "Sebelumnya sudah kuingatkan kamu kan, tubuhmu sangat lemah. Sekarang malah jadi memburuk! Kalau terus begini, aku tinggal tunggu pemakamanmu saja."Janice yang sudah merasa lebih baik langsung melotot padanya. Sementara dari sudut matanya, dia melihat Ivy hampir menangis karena panik.Arya terkekeh, "Aku cuma bercanda. Ini caraku untuk mengingatkanmu agar lebih menjaga kesehatan."Ivy mengusap air matanya dan bertanya, "Apa yang terja
"Ya."....Rumah Sakit Swasta.Janice membeli beberapa camilan yang disukai Ivy dan membawanya ke sana. Bekas luka di wajah Ivy sudah memudar cukup banyak, tetapi karena terus merasa ketakutan dan tidak bisa tidur nyenyak, dia tampak sangat lelah."Ibu, makan sedikit dulu. Masalah ini sudah ada perkembangan."Mendengar ucapan Janice, Ivy akhirnya memberikan sedikit respons. "Janice, kamu sudah nemu pria itu?""Belum, tapi sebentar lagi." Janice menyelipkan sendok ke tangan ibunya, lalu bertanya, "Ibu, aku boleh nanya sesuatu?"Ivy mengangguk lemah, "Tanya saja.""Kalau Vania nggak mengalami insiden itu dan terus menargetkanku, apa yang akan Ibu lakukan?"Mendengar pertanyaan Janice, mata Ivy langsung memerah dan bahkan hampir saja menjatuhkan sendok yang dipegangnya."Janice, apa kamu juga menganggap Ibu nggak berguna? Sebenarnya, waktu melihat kamu mengalami begitu banyak masalah, aku sudah nekat mau nyari Vania untuk buat perhitungan. Waktu itu, pamanmulah yang menghentikanku.""Pama
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b