Janice menggertakkan giginya dengan erat dan berusaha keras untuk menenangkan dirinya."Diedit? Itu yang dibilang Vania sama kamu? Nggak heran kalau kamu ditipu sampai akhirnya nggak punya apa pun. Ternyata, kamu mudah sekali dibohongi!" ejek Janice dengan sinis."Kamu!" Caitlin mendesis marah. "Sepertinya kamu benar-benar butuh diberi pelajaran supaya sadar aku ini nggak main-main. Proyek renovasi keamanan di kawasan ini diurus sama ayahku. Kalau aku bilang, di dunia ini nggak akan ada lagi yang namanya Janice!""Jadi begitu caranya ayahmu menjalankan tugasnya sebagai pejabat? Kelihatannya keluarga kalian nggak sedikit melakukan perbuatan curang di balik layar," balas Janice sambil tertawa dingin.Mendengar ucapannya, wajah Caitlin berubah menjadi penuh kebencian. "Lempar dia lagi!"Janice kembali dijatuhkan ke kolam renang yang kotor, berulang kali, hingga hampir tenggelam. Ketika dia ditarik keluar lagi, napasnya sangat lemah, tetapi tatapannya yang keras kepala tidak berubah sediki
Anak buah Caitlin menyerahkan tas Janice padanya. Janice dengan cepat menyebutkan kata sandi untuk membuka kunci perangkatnya.Caitlin memeriksa setiap file di ponsel dan laptop Janice. Namun, yang dia temukan hanya pekerjaan dan percakapan santai tanpa ada video atau foto yang dicurigai.Dahinya berkerut, masih merasa tidak percaya.Sementara itu, di bawah permukaan, Janice menggunakan pecahan keramik untuk memotong tali yang mengikat dirinya dengan hati-hati. Dia tahu harus terus mengalihkan perhatian Caitlin."Kalau kamu merasa aku masih menyembunyikan sesuatu, kamu bisa minta seseorang yang ahli untuk memeriksa perangkat ini lebih dalam," kata Janice dengan nada tenang, meskipun pikirannya bekerja keras.Caitlin mengangguk setuju dan memerintahkan seseorang untuk melakukan pencarian mendalam. Di layar laptop dan ponsel, bilah kemajuan mulai berjalan.Janice merasa lega sedikit. Dia tahu bahwa mencari data dari semua file desain dan dokumen kuliahnya akan memakan waktu. Itu memberik
Itu dia. Arya!Janice mengenali pria itu dari lambang di jaket kulitnya. Pria itu berhenti sejenak, lalu bertanya dengan suara rendah, "Kamu mengenaliku?"Janice segera mengalihkan pandangannya, menggelengkan kepala dengan cepat sambil berkata dengan suara bergetar, "Aku benar-benar nggak tahu apa-apa. Kenapa Caitlin nggak percaya padaku?"Janice tidak bisa mengakui bahwa dia mengenalinya; mungkin masih ada harapan untuk bertahan hidup. Pria itu tertawa keras dengan nada mengejek. "Kalau begitu, pastikan kamu mencarinya di akhirat nanti."Dia mengayunkan pipa besi ke arah Janice.Janice refleks meringkuk untuk melindungi tubuhnya. Namun, tepat pada saat itu, pria di depannya terhempas ke deretan loker di belakangnya.Deretan loker itu roboh dengan suara keras dan membuka penutup kayu yang menghalangi jendela. Cahaya bulan masuk melalui jendela yang pecah, memperlihatkan sosok yang baru saja menyerang pria itu.Darah segar menetes dari tinjunya, membasahi cincin merah delima di jarinya.
Suster juga segera memberi suntikan dan memasang infus lagi pada Janice. Setelah selesai, Jason menatap Arya. "Kamu keluar dulu."Arya memegang perutnya, lalu mengelus lengan yang ditarik oleh Jason tadi. "Hitung saja sebagai cedera saat kerja!"Pintu bangsal perlahan ditutup, hanya tersisa Janice dan Jason di dalam. Janice sadar dan mencoba melepaskan diri dari pelukan pria itu.Namun, dia terkunci erat dari belakang. Dada hangat itu memeluknya dengan kuat. Suara Jason terdengar dalam dan dingin. "Kamu tahu dia akan mencarimu?""Nggak tahu, bukannya kamu bilang aku kurang pintar? Gimana aku bisa menebak pikiran orang lain?" sahut Janice dengan lirih."Kok masih ngotot?" Jason duduk di belakang Janice sehingga ekspresinya tidak terlihat. Selain itu, nada bicaranya juga datar tanpa emosi. Jason meraih selimut dan menutupi tubuh mereka berdua.Tubuh Jason sangat hangat, membuat selimut yang dingin langsung terasa nyaman. Janice merasa sedikit canggung, tetapi tidak bisa bergerak.Ruangan
Namun, sekarang Janice punya hal yang lebih penting untuk dilakukan. Jika benar-benar ingin melapor ke polisi, dia harus memeriksa cederanya dulu, memastikan laporan medisnya sudah lengkap.Begitu turun dari ranjang, Janice hendak berdiri. Kakinya langsung terasa lemas seperti berjalan di atas kapas. Dia menggertakkan giginya dan perlahan-lahan menuju ruang dokter.Ketika Janice masih setengah jalan, pintu kantor tiba-tiba dibuka dengan kasar. Arya keluar dengan tergesa-gesa sambil menerima telepon. "Kamu gila ya? Kamu sudah bosan hidup?"Karena terburu-buru, Arya melewati Janice tanpa menyadari kehadirannya. Janice memandang punggungnya, teringat pada orang yang kabur dari ruang ganti tadi. Rasanya mirip, tetapi juga tidak.Tadi masker Arya dihancurkan oleh Jason. Arya juga menabrak banyak lemari, kenapa sekarang dia tampak baik-baik saja? Selain itu, kenapa Jason yang tahu hubungan gelap Arya dengan Vania, tetap begitu memercayai Arya?Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Janice
Tangan pria itu putih dan ramping, meluncur perlahan di sepanjang pergelangan tangan Janice dan meremas jari-jarinya. Dengan sedikit kekuatan, dia menarik Janice ke pelukannya.Janice pun tertegun dan perlahan-lahan menatap ke atas. Wajah pria itu begitu dekat dengannya, bahkan menunduk dan menatapnya lekat-lekat. Siapa lagi kalau bukan Jason?Mata Jason gelap seperti langit malam, menakutkan tetapi menarik. Di bawah tatapannya, jantung Janice berdetak kencang. Di samping telinganya, terdengar suara lembut putrinya."Mama, kenapa aku dipanggil Vega?""Karena matamu indah seperti bintang di langit malam."Seperti ayahmu. Dalam keheningan yang panjang, pandangan Janice mulai kabur. Dia tidak ingin orang lain melihat kelemahannya sehingga buru-buru mengalihkan pandangan dari Jason dan menunduk.Seketika, sebuah jaket pria diletakkan di kepala Janice dan menutupi sebagian besar wajahnya. Aura Jason yang tenang menyelimuti dirinya, membuatnya merasa hangat.Sementara itu, mata Janice dipenu
"Halo, Bu Janice. Aku dari kepolisian. Kami sudah di bangsalmu. Kamu di mana?" Suara di ujung telepon terdengar rendah dan tidak sabar.Janice tahu sekarang sudah larut malam. Pasti polisi merasa kesal karena tidak bisa menemukan dirinya."Maaf, aku akan balik sekarang.""Cepat sedikit."Setelah mengakhiri panggilan, Janice mengambil kesempatan untuk mendorong Jason sekaligus mengembalikan jaketnya."Paman, aku pergi dulu." Janice tidak berani menatapnya, langsung berbalik dan berlari.Jason memandangnya pergi begitu saja. Ponselnya di saku bergetar. Dia melirik pesan itu dan matanya sedikit menggelap. Kemudian, dia juga meninggalkan tangga itu.....Janice membuka pintu, mengira akan melihat polisi yang menunggunya. Namun, selain polisi, dia melihat juga melihat Caitlin yang duduk di kursi roda dengan tangan dan kaki dibalut perban.Caitlin tampak terluka parah, tetapi wajahnya merah merona dan matanya tidak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Sebaliknya, dia terlihat puas.Janice ter
Janice melirik orang-orang di depannya dengan dingin. Pada akhirnya, matanya tertuju pada seorang polisi paruh baya di depannya. "Kamu pasti paman Caitlin, 'kan?""Aku sedang menjalankan tugas dengan adil dan benar. Kuharap kamu bisa mengerti." Polisi itu tidak langsung menjawab pertanyaan Janice. Dia berdiri tegak, seolah-olah menunjukkan sikap yang sangat tegas. Namun, tatapannya yang secara tidak sengaja melirik Caitlin telah membocorkan niatnya.Janice tertawa ringan. "Maaf, tapi aku nggak setuju dengan cara penegakan hukummu. Aku baru saja melaporkan kejadian ini, tapi Caitlin sudah mendapat seluruh laporan cedera, sementara laporanku masih ada dua yang belum keluar.""Caitlin sepertinya bisa meramal ya. Selain itu, polisi nggak pernah memintaku untuk memberi keterangan. Sejak kapan pelapor yang melapor malah menjadi dasar keterangan dari korban?""Mengenai laporan mental, aku selalu mengikuti pengobatan yang disarankan. Menurut kondisi medis dalam sistem kesehatan saat ini, aku s
Janice menatap punggung Jason yang menjauh. Tatapannya tiba-tiba menjadi dingin, meskipun ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.Dia memandang langit yang kelabu, senyuman pahitnya terasa begitu hampa. Akhirnya, semua berjalan seperti yang dia duga.Di kehidupan sebelumnya, kecelakaan Ivy dan Zachary pasti berkaitan dengan kerja sama ini. Jason telah membohonginya.Dia bilang kecelakaan itu terjadi karena Ivy dan Zachary membantunya mencari bukti kejahatan Vania. Padahal, itu hanya cara untuk mengalihkan perhatiannya.Dengan demikian, dia tidak menyadari bahwa suami misterius yang dinikahi Elaine adalah Zachary, juga tidak memperhatikan bahwa Jason langsung menjalin kerja sama besar dengan Elaine setelah kecelakaan itu.Sebenarnya, semua tanda sudah ada sejak awal. Vania sama sekali tidak pernah menyebut soal kecelakaan itu di hadapannya.Dengan kepribadian Vania yang bermuka dua, jika dia tahu sesuatu sebesar ini, dia pasti akan menggunakan kesempatan itu untuk menyak
Selesai makan, Janice berdiri dan bersiap pergi. Namun, Rachel tiba-tiba menggamit lengannya dengan akrab. "Janice, kenapa tiba-tiba mau menikah dengan Thiago? Aku kira kamu dan kakakku ....""Nggak, kamu sudah salah paham." Janice langsung memotong perkataannya, tidak ingin Rachel mengaitkan masalah ini dengan Landon.Rachel melirik ke sekeliling, lalu menarik Janice ke sudut ruangan. "Janice, meskipun Thiago bukan pria yang buruk, menurutku ibunya kurang baik. Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi pria itu, tapi juga keluarganya.""Pikirkan baik-baik. Setidaknya cari seseorang seperti kakakku atau Jason. Kamu juga nggak kalah dari mereka kok."Mendengar itu, hati Janice terasa semakin getir. Kadang, dia berharap Rachel bisa menyombongkan diri dengan bangga, sehingga Janice bisa menemukan alasan untuk menjauh darinya atau bahkan membencinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Seorang anak yang tumbuh dalam kasih sayang, meskipun tidak sempurna, tetap akan ada orang yang memujiny
Saat Janice kembali ke meja makan, matanya merah dan bengkak. Siapa pun yang melihatnya pasti tahu bahwa dia baru saja menangis.Rachel segera meletakkan sendoknya dan menyerahkan selembar tisu. "Janice, ada apa?"Janice menggenggam tisu itu, lalu berkata dengan menahan diri, "Nggak apa-apa, sabun cuci tangan terciprat ke mataku tadi."Mendengar itu, Elaine melirik mata Janice yang memerah dan bengkak, lalu tersenyum sinis. Sambil menyeruput supnya, dia melirik Penny dengan penuh arti.Penny meletakkan sendoknya, lalu merapikan mantel bulu di bahunya. Dia menatap Janice dengan ekspresi penuh belas kasih. "Janice, kami sudah berdiskusi dengan Jason dan yang lainnya. Minggu depan kalian akan menikah. Nggak perlu acara yang terlalu mewah."Janice mengangkat matanya perlahan, lalu menatap Jason dengan dingin. "Nggak perlu kasih tahu aku.""Bagus kalau kamu mengerti. Seorang wanita harus mengikuti dan mematuhi suaminya. Wanita zaman sekarang terlalu dimanjakan, seharusnya diajari untuk patu
Rupanya begitu. Bulu mata tebalnya menutupi kilatan di matanya, lalu dia menyahut dengan suara dingin, "Aku nggak suka."Akhirnya, Rachel memesan ronde. Thiago sudah tiga kali mendesak, barulah pelayan mengutamakan untuk mengantarkan pesanan mereka.Rachel membagikan ronde itu kepada semua orang, kecuali Janice. Setelah mencicipi sesendok, dia mendekat ke Jason dan berkata, "Nggak seenak yang kamu beli.""Hm." Jason hanya menanggapi dengan datar.Janice tetap terlihat tenang, tetapi Penny yang duduk di seberang tampak kurang puas. "Janice, kamu harus makan lebih banyak daging. Kalau nggak, gimana bisa melahirkan nanti? Nih, ini potongan yang berlemak. Aku ambilkan untukmu. Jangan bilang keluarga kami nggak memperlakukanmu dengan baik."Janice mengernyit. "Nggak perlu."Namun, Penny sama sekali tidak mendengarkannya. Dia langsung mengambil sepotong besar daging berlemak dan berminyak, lalu menaruhnya ke piring Janice.Thiago meliriknya dari samping. "Dengar kata ibuku."Janice menggigit
Mendengar suara itu, Thiago segera melepaskan tangan Janice, lalu merapikan jasnya sebelum bangkit dengan senyuman ramah. "Bu Rachel, sudah lama nggak bertemu.""Thiago?" Rachel terlihat agak terkejut.Kemudian, dia sedikit memiringkan tubuhnya untuk memperkenalkan kepada orang di belakangnya, "Saat aku menjalani perawatan di luar negeri, Thiago juga dirawat di rumah sakit karena cedera. Kami menjadi teman. Tak disangka, kami bertemu lagi."Saat itulah, Janice baru menyadari bahwa Rachel tidak datang sendirian. Jason dan Elaine juga ada di sana.Dia perlahan mengangkat pandangannya, tepat bertemu dengan tatapan Jason, seperti menatap ke dalam jurang yang dalam dan tak berujung.Wajah Jason tetap tanpa ekspresi, tetapi aura dinginnya membuat orang merasa seolah-olah jatuh ke dalam gua es.Thiago dan Penny juga melihat Jason. Mereka buru-buru mengangguk memberi salam. "Pak Jason.""Hm." Jason hanya merespons dengan suara dingin, tanpa menunjukkan emosi.Janice mengangguk ringan sebagai b
Meskipun tidak sebanding dengan Keluarga Karim, Keluarga Tandiono cukup terkenal di bidang pelayaran. Hanya saja, Keluarga Tandiono telah lama menetap di luar negeri dan tidak memiliki hubungan bisnis dengan Elaine.Jika Elaine begitu meremehkannya, lalu kenapa dia memperkenalkan keluarga seperti ini padanya?Penny mendongak saat mendengar suara Janice, menatapnya dari atas hingga bawah dengan teliti. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah-olah sedang menilai barang dagangan.Beberapa saat kemudian, dia berdecak pelan. "Wajahnya lumayan, tapi terlalu kurus. Thiago adalah satu-satunya penerus keluarga kami di generasi keempat. Kamu bisa melahirkan anak laki-laki nggak?"Mendengar itu, Janice melirik Thiago. Tatapan pria itu tetap aneh. Bukan seperti pria yang sedang menilai wanita, tetapi jelas dia sedang mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki. Ada perasaan tidak nyaman yang mendalam, membuatnya sulit ditebak.Jika Penny tidak menyukainya, Janice punya alasan untuk Ela
Begitu Norman selesai bicara, Jason membuka pintu dan keluar.Ketiga orang itu berpandangan.Arya merasa lucu. "Kamu diusir?"Jason mengernyit. "Dia mau tidur."Arya menahan tawa. Siapa yang akan percaya alasan buruk seperti itu?Jason meliriknya. "Awasi dia, jangan biarkan dia berbuat macam-macam."Mendengar itu, Arya langsung paham bahwa Jason sudah mengetahui sebagian besar situasinya. Namun, soal Ivy, dia pasti belum tahu.Arya ragu sejenak sebelum bertanya, "Gimana kalau orang lain yang macam-macam?"Tatapan Jason sontak menjadi dingin. "Grup Karim dan Grup Hartono akan segera bekerja sama. Nggak boleh terjadi kesalahan."Arya terdiam, hanya mengangguk tanpa berkata lagi. Kadang, dia mengagumi ketenangan Jason. Kadang, dia juga merasa prihatin dengan sikap dinginnya.Mungkin Janice benar. Jason memang ditakdirkan menjadi raja yang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah hiasan yang tidak penting.Pada saat itu, Arya merasa bersyukur karena Janice bisa melepaskan diri lebih cepat. Jadi,
Janice mencium aroma manis itu. Tiba-tiba, tatapannya menjadi serius dan perasaan yang sulit diungkapkan muncul di hatinya.Di depan, pria dingin dan angkuh itu berdiri di bawah cahaya lampu dengan tatapan membara yang tertuju padanya.Janice mengalihkan pandangannya, ekspresinya tetap sedingin tadi. "Aku nggak suka. Kalian bawa pulang saja."Norman melirik Jason dengan ragu. Jason maju, mengambil termos makanan dari tangan Norman, lalu duduk di tepi tempat tidur.Dengan jari yang panjang, dia mengaduk isi termos dengan sendok kecil, lalu menyodorkannya ke mulut Janice."Makan.""Nggak mau.""Aku bisa menyuapimu, tapi tanpa sendok." Jason mengucapkan kalimat tak tahu malu itu dengan wajah datar."Kamu ....""Aku nggak tahu malu," sela Jason.Janice menggertakkan giginya, merebut sendok itu, dan menunduk untuk makan. Meskipun tidak ingin mengakuinya, koki Keluarga Karim memang setara dengan koki bintang lima. Ronde ini sederhana, tapi sangat autentik.Manisnya pas di lidahnya, dengan ar
Punggung tangan Janice tersentuh sesuatu yang panas. Dia refleks menariknya, tetapi genggaman pria itu justru semakin erat. Cengkeramannya seolah-olah ingin menghancurkannya.Janice mengernyit, berusaha melepaskan diri. Ketika dia ingin bicara, matanya tertuju pada perban di tangan Jason.Dia tertegun sejenak, lalu mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan tatapan hitam pekat pria itu. Cahaya lampu yang hangat jatuh di sudut mata Jason, tetapi tak sedikit pun melembutkan ekspresinya.Janice menatapnya lekat-lekat, "Jason, ada urusan lain? Kalau Keluarga Karim merasa aku harus menerima sisa sembilan cambukan itu, aku bisa kembali sekarang, asalkan aku bisa terlepas dari keluarga ini.""Kamu harus bicara seperti itu padaku?" Jason menatapnya, suara dinginnya mengandung emosi yang sulit ditebak.Janice tertawa sinis. "Memangnya kita sedekat itu?" Dia menghindari tatapan Jason dengan dingin, ingin menjauh darinya.Melihat Janice yang begitu dingin dan menghindarinya, emosi Jason yan