Kondisi Salma kalang kabut. Raut mukanya menegang setelah menerima pesan dari tetangganya.
[Aku lihat suamimu pergi dengan pembantu di rumah ibumu.] Begitu bunyi pesan yang dikirim tetangga sebelah rumah Ibu Ida. Tak lupa pula, sebuah foto dikirimkan pada Salma agar percaya dengan ucapannya.
Tanpa pikir panjang, Salma keluar dari hotel tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu. Menggunakan taksi yang ada di depan hotel, Salma bergegas menuju rumahnya.
Sepanjang perjalanan, Salma berusaha menghubungi Doni. Namun, beberapa kali mencoba, nomor Doni selalu tidak aktif. Tak hilang akal, Salma juga menelepon Tuti. Lagi, nomor Tuti pun sama tidak aktif.
"Apa benar kalian bersama?" kata Salma dalam hati.
Setelah sampai di rumah, Salma langsung masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Tempat pertama yang dia tuju adalah lemari. Saat membukanya, tubuh Salma terkulai lemas karena menda
Ibu Ida pun berjalan ingin menemui menantu barunya itu. Salma dan Bela mengikuti dari belakang."Man! Sarah!" Ibu Ida mengetuk pintu kamar Arman. Di dalam kamar, Sarah terduduk di ranjang seorang diri. Arman yang sedari tadi di kamar mandi tak kunjung keluar."Sarah! Buka pintunya! Ibu mau bicara sebentar," ucap Ibu Ida lagi dengan masih mengetuk pintu kamar Arman.Sarah pun berjalan perlahan dan membuka pintu kamar. Terlihat Ibu Ida, Salma dan Bela di depan pintu."Ada apa, Bu?" tanya Sarah."Arman mana?" Ibu Ida celingukan mencari keberadaan Arman."Dari saat kita sampai di rumah, Mas Arman ada di kamar mandi dan belum keluar sampai sekarang, Bu," jawab Sarah."Lho ... kamu gak coba ketuk pintu kamar mandinya?" Sarah menggeleng. Karena dia pun masih kelelahan, jadi tak sampai berpikiran sampai sana."B
Mereka beramai-ramai membopong tubuh Tuti dan Doni untuk dimasukkan ke dalam pick up. Sampai di UGD, mereka berdua mendapat perawatan dari dokter.Warga yang mengantar menyerahkan sepenuhnya kasus itu pada polisi. Mereka siap memberikan keterangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.Tanpa pendampingan dari siapapun, Tuti dan Doni dirawat. Tuti membutuhkan donor darah beberapa kantung, karena dia kehilangan banyak darah. Luka tusukannya itu mendapat puluhan jahitan.Sedangkan Doni, tulang rusuknya patah akibat tendangan dan juga injakan dari pelaku. Kondisinya tak kalah miris dari Tuti. Wajahnya lebam penuh dengan luka.Pelaku yang tertangkap berusaha melarikan diri saat polisi akan membawanya. Luka di sekujur wajahnya tak dihiraukan lagi. Entah kekuatan dari mana, dia lari sekuat tenaga. Tembakan peringatan dari polisi tak dipedulikan.Dorrr! Satu tembakan tepat mengenai tubuh p
Arini pulang dari rumah Indah dengan perasaan hancur. Di saat dirinya bahagia karena bertemu dengan orang tua kandungnya, Indah harus menerima kenyataan pahit dengan kondisinya. Permintaan Indah selalu terngiang di telinga Arini. "Menikah dengan Dokter Firman? Mana mungkin!" batin Arini.Tak ada niat sedikitpun di hati Arini untuk menjadi orang ketiga di rumah tangga sahabatnya itu. Walaupun, Indah sendiri yang memintanya. Masih ada trauma dengan pernikahan yang di dalamnya ada orang ketiga.Tangannya mengambil ponsel yang berada dalam tasnya. Arini mencari informasi tentang kanker dari internet. Mencoba membantu Indah agar penyakitnya itu bisa sembuh.Senyum terkembang di bibir Arini kala membaca ada kemungkinan kanker yang di derita Indah bisa sembuh. "Bang, kita ke rumah sakit ****, ya!" perintah Arini pada sopirnya. Bertemu dengan Firman dan berbicara empat mata harus dia lakukan."Baik, Mbak!" jawab Joni. Ya, Joni ditugaskan oleh Pak Danu untuk mengawal sekaligus menjadi sopir
Kebetulan Arini datang ke tempat kerjanya. Jadi, Firman tak perlu menemuinya. Ada hal penting yang ingin Firman sampaikan kepada Arini."Ada apa? Kenapa kamu sampai repot-repot datang kemari, Ar?" Firman terlihat basa-basi dengan Arini."Langsung aja ya, Mas. Arini mau tanya, apa Mas Firman tahu, Indah sakit?" tanya Arini. Matanya tak lepas menatap Firman. Terdengar helaan nafas berat, sebelum akhirnya Firman mengangguk."Dan Mas gak melakukan apapun?" Arini menggelengkan kepalanya."Bukan begitu, Ar! Kamu tahu sendiri, kan, Indah seperti apa?" Dari nada bicaranya, Firman terlihat putus asa."Maksud, Mas?" Mata Arini memicing melihat Firman. Mukanya menjadi kusut dengan perkataan Arini."Indah mau kemoterapi asalkan —" Firman tak sanggup melanjutkan perkataannya. Berat rasanya mengatakan permintaan Indah pada Arini. "Apa Mas Firman diminta Indah untuk menikahiku? Iya?!" tebak Arini. Arini paham sekali sifat Indah. Sudah pasti Indah melakukan hal itu."Ka—mu sudah tahu?" tanya Firman
Ketika hendak berbalik, tanpa sengaja Arini melihat seorang wanita yang sangat dia kenal terbaring di ranjang. Posisi ranjang uang dekat dengan pintu, membuat Arini melihatnya dengan sangat jelas. Mata wanita itu terpejam. Matanya membulat dan tubuhnya terasa kaku saat melihat wanita itu. Wanita yang selama ini sangat membencinya dan sering kali menerornya. "Bude Jamilah?!" lirih Arini.Sedikit ragu, Arini melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Masih ada seorang dokter dan dua perawat yang memeriksa Bude Jamilah."Permisi, Dok! Maaf mengganggu! Boleh saya bertanya?" Arini memberanikan diri mendekat. Dokter dan perawat itu langsung menoleh pada Arini."Ya! Ada yang bisa saya bantu?" respon Dokter yang bernama Lukman itu."Kalau boleh tahu, Ibu ini kenapa, Dok?" tanya Arini. Arini melihat wajah dan juga tubuh bagian atas Bude Jamilah seperti terbakar. Wajahnya melepuh sebagian dan tangan serta dadanya juga melepuh."Ada Anda mengenal Ibu ini?" Dokter itu malah bertanya balik pada Arini
Kehadiran Arini di pesta pernikahannya dengan Sarah, membuat Arman semakin sadar akan kesalahannya di masa itu. Pikirannya tak pernah mengerti, bagaimana bisa dia berpaling dari istrinya itu.Arini yang tak pernah banyak menuntut padanya, yang selalu patuh padanya dan selalu membuatnya bahagia. Namun, Arini yang seperti itu sudah tak ada lagi. Kenangan dan bayangan itu, kini hanya tinggal masa lalu.Sempat terjadi insiden kecil di pestanya itu. Namun, hal itu tak mampu mengalihkan pandangan dan pikirannya pada Arini. Sebuah rahasia besar juga terungkap di hari itu. Arini ternyata anak Pak Danu, yang Arman kira papa kandung Sarah.Biarpun Arman belum pernah bertemu, tapi Ibu Wati pernah sekali video call dengan Beliau saat mereka membicarakan tanggal pernikahan. Arman menatap surat yang Arini berikan. Gugatan cerai dari Arini tidaklah main-main. Dua hari setelah acara pernikahan ini, Arman harus menghadiri sidang pertama."Arini, maafkan aku! Maafkan aku!" batin Arman saat melihat tubu
"Man! Buka, Man! Kamu di dalam, kan?" Ibu Ida tetap menggedor-gedor pintu kamar mandi."Sarah, dari tadi Arman begini?" tanya Ibu Ida dengan perasaan khawatir."Sejak kita tiba di rumah, Bu," jawab Sarah enteng."Kenapa kamu gak bilang ke Ibu? Kalau ada apa-apa sama Arman di dalam bagaimana?" bentak Ibu Ida. Sarah menundukkan kepalanya."Bel, cepat cari bantuan ke tetangga buat dobrak pintu ini!" perintah Ibu Ida. Tanpa menjawab, Bela langsung keluar dan mencari bantuan.Tak butuh waktu lama, Bela kembali bersama Pak RT dan juga dua orang warga lainnya. Bela memang langsung ke rumah Pak RT yang kebetulan hanya selisih dua rumah dengan rumahnya."Ada apa, Bu?" tanya Pak RT saat berada di kamar Arman. Terlihat Ibu Ida dan Sarah mondar mandir sambil sesekali memanggil Arman. Sedangkan Salma, dia hanya terpaku dengan tatapan kosong."Tolong dobrak pintu ini, Pak RT! Arman dari tadi ada di dalam tapi tidak mau keluar. Saya sudah coba memanggilnya, tapi tak ada jawaban. Saya takut Arman ken
Sementara itu, Salma dan Bela ada di rumah. Mereka berdua terdiam cukup lama. Hingga ada suara ketukan yang membuat lamunan mereka terpecah.Tok! Tok! Tok!Salma dan Bela beradu pandang. Kedua mencoba menerka siapa yang datang ke rumahnya. Belum juga terjawab, suara gedoran pintu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, membuat Salma dan Bela ketakutan."Mbak, kamu saja yang lihat!" kata Bela."Mbak takut, Bel. Kamu saja, ya?" jawab Salma."Bela juga takut, Mbak! Mana kita sekarang cuma berdua, kan?!" tutur Bela."Ya sudah kalau begitu, kita diam saja. Nanti orangnya kalau sudah capek pasti akan pergi sendiri," usul Salma. Bela pun mengangguk. Benar saja, tak lama setelah itu, suara gedoran pintu sudah tak terdengar lagi.Ibu Ida dan Sarah terlihat tidak tenang. Wajahnya tegang dan juga hatinya was-was. Tak lama, Dokter yang memeriksa Arman keluar dan menghampiri mereka."Dengan keluarga Pak Arman!" kata Dokter yang bernama Rehan."Ya, Dok! Saya ibunya dan ini istrinya,"
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put
Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim
Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S
Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h
Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me
PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini
Beberapa hari setelah dirawat, Putri sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Radit. Dokter Radit berpesan agar keluarga selalu mendukung dan memperhatikan Putri. Itu akan berguna untuk ketenangan jiwa Putri."Bah, kalau Abah mau pulang gak apa-apa, Bah. Inshaa Allah Arman akan jaga Putri," kata Arman. Dia tahu kalau Haji Topan juga banyak urusan di kampung."Kamu tidak senang Abah di sini, Man?" terka Haji Topan."Bukan begitu, Bah! Arman justru senang kalau Abah mau tetap di sini. Tapi, urusan Abah di sana bagaimana?" jawab Arman jujur."Abah sudah titip sama Mas dan Mbakmu di sana. Abah senang Mas dan Mbakmu sekarang bersatu dan hidup bahagia lagi, Man. Ibumu juga sekarang jauh lebih dari sebelumnya," jelas Haji Topan seraya menerawang jauh ke depan."Alhamdulillah, ya, Bah! Tapi kebahagiaan kami belum lengkap karena Bela masih belum seperti dulu. Bah!" Arman berkata sambil menunduk. Dia menyembunyikan air mata yang memberontak mau keluar."Percayalah, Man, Bela akan bisa seperti dul
Sesampainya di rumah sakit, Haji Topan wajahnya terlihat tegang. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang perawatan Putri. Arman sedikit mempecepat langkahnya kala melihat mertuanya seperti itu."Ada apa, Bah?" tanya Arman. Haji Topan seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Beliau menitikkan air mata."Putri, Man! Putri!" seru Haji Topan."Putri kenapa, Bah?" Arman juga terlihat panik saat Haji Topan menyebut nama Putri."Putri mencoba menyakiti dirinya lagi, Man! Abah bingung, Man! Kita harus bagaimana?" Tangan Haji Topan mencengkram kuat lengan menantunya itu."Astagfirullah! Tenang, Bah! Kita gak boleh panik juga. Nanti urusan Putri biar Arman yang tangani. Abah tenang dulu, ya! Nanti Abah sakit," sahut Arman.Tak lama kemudian, Dokter Radit keluar dari ruangan itu. Beliau sedikit menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata,"Putri sudah saya suntik dengan obat penenang. Saat ini hanya dukungan keluarga yang bisa membuat Putri menjadi lebih baik. Karena itu, saya sangat berha
Dokter berkata kalau Putri kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri yang Putri lakukan. Beruntung nyawa Putri masih bisa diselamatkan. Haji Topan yang mendengarnya langsung jatuh lemas. Bahkan Beliau harus dipapah Arman untuk duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya menunggu tadi."Bah ... Abah di sini dulu, ya ... Arman belikan air mineral dulu." Arman berlalu meninggalkan Haji Topan seorang diri untuk membeli air mineral dan beberapa makanan.Tak lama, Arman kembali lagi dan memberikan air mineral pada mertuanya. Saat itu, Dokter yang menangani Putri baru saja keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Haji Topan bangkit dan langsung menghampiri dokter itu."Alhamdulillah, kita tinggal menunggu pasien siuman saja, Pak!" ucap Dokter Radit. "Lalu, lukanya bagaimana, Dok?" tanya Arman yang masih khawatir."Sudah kita tangani, Pak. Sekarang tinggal masa pemulihan pasien saja. Saran saya, kalau pasien sadar. jangan dulu diberikan pertanyaan yang aneh-aneh. Saya