Share

Bab 3. Pertemuan

Author: Flam_boyan
last update Last Updated: 2022-06-14 01:30:37

“Mas ... Arini besok jadi pulang kampung, ya?” ucap Arini saat mereka sudah di kamar. 

Setelah pulang bekerja, Arman memang langsung mandi dan makan malam. Kebetulan kali ini dia pulang agak terlambat dari biasanya karena ada meeting dadakan. Tak ada obrolan yang serius antara Arman dan Bu Ida saat di meja makan. Setelahnya, Arman masuk ke kamar dan diikuti oleh Arini. Arman merasa sangat lelah saat itu.

“Sudah bilang sama Ibu, kan, Sayang?” tanya Arman.

“Sudah, Mas! Kata Ibu boleh tapi gak boleh lama-lama,” jawab Arini. Setelah beres, Arini naik ke ranjang dan tidur disebelah suaminya itu. 

Arman memang sosok suami yang lemah lembut dan penyayang menurut Arini. Arini merasa beruntung dipertemukan dengan suaminya itu. Selain itu, Arman juga anak laki-laki yang taat pada ibunya. Arman berharap bisa adil memperlakukan Ibu dan istrinya, sehingga tidak akan ada yang cemburu satu sama lain karena merasa diabaikan. 

“Ya sudah, besok Mas anter ke stasiun, ya, Dek.” Arman memeluk Arini malam itu. Rasanya tak tega membiarkan istrinya pergi sendirian. Tapi apa boleh buat, pekerjaannya di hotel tidak bisa dia tinggalkan begitu saja.

Keesokan harinya, Arini bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah semua pekerjaan rumah dibereskan, Arini bergegas bersiap-siap menuju stasiun. 

"Bu ... Arini berangkat dulu, ya?" pamit Arini pada Ibu Ida. Diciumnya punggung tangan mertuanya itu.

"Hem," jawab Bu Ida singkat. Baru sepersekian detik, buru-buru ditariknya tangan Ibu Ida saat dicium Arini.

"Arman juga pamit, ya, Bu!" Giliran Arman yang menyalami ibunya.

"Iya, Nak. Kamu hati-hati, jangan ngebut jalannya, ya!" pesan Bu Ida pada anak laki-laki satu-satunya itu. Arman mengangguk.

Mereka berdua masuk mobil dan bergegas melajukan mobilnya pelan. Saat pagi, jalanan tidaklah begitu macet. 

"Mas ... Ibu gak suka, ya, sama Arini?" tanya Arini. Arini ingin tahu, apakah suaminya sebenarnya tahu sikap ibunya itu pada Arini.

"Gak suka gimana, Sayang?" jawab Arman masih dengan tetap fokus ke jalanan di depannya.

"Sikap Ibu menunjukkan seperti itu, Mas," ucap Arini pelan. Seketika, Arman menoleh sebentar ke arah istrinya.

"Itu hanya perasaanmu, Sayang. Tenang, ya!" balas Arman. Sebenarnya Arman juga merasakan ada sikap ibunya yang berbeda. Tapi, dia tepis sejauh mungkin. Arman masih berpikiran positif, mungkin memang mood ibunya sedang tidak bagus.

"Semoga, ya, Mas!" kata Arini. Mereka pun kemudian diam. Hingga tak terasa, mereka sudah ada di depan stasiun.

"Mas, Arini berangkat dulu, ya? Mas jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan dan jangan terlalu malam tidurnya," pesan Arini pada suaminya.

"Iya, Sayang. Jangan lupa juga kabari Mas kalau sudah sampai, ya?" Arman dan Arini berpelukan sejenak sebelum mereka berpisah.

Setelah kereta Arini berangkat, Arman langsung berangkat ke kantor. Hari ini ada meeting penting dari beberapa tamu yang rencananya akan mengadakan pesta di hotel tempat Arman bekerja.

*****

Tak butuh waktu untuk Arman sampai di kantor, karena jarak stasiun dan kantor tidaklah terlalu jauh. Sampai hotel, Arman sudah disuguhkan dengan pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran. 

Saat sedang fokus dengan dokumen yang harus disiapkan meeting, gawai Arman tak henti-hentinya berdering. Dilihatnya nama 'Ibu' pada layar ponselnya. Karena takut ada sesuatu yang penting, akhirnya Arman mengangkatnya dan menghentikan aktivitasnya sejenak.

"Assalamualaikum, Bu! Ada hal penting apa, Bu? Arman sedang banyak kerjaan ini," ucap Arman. Tak pernah berani Arman mengucapkan kata-kata dengan intonasi tinggi kepada ibunya.

"W*'alaikumsalam! Man, nanti makan siang temani Ibu dan mbakmu di restoran dekat kantormu, ya? Ada hal penting yang mau Ibu sampaikan," kata Ibu Ida pada anaknya. Arman pun bingung dengan perkataan ibunya.

"Kenapa mesti di restoran, Bu? Di rumah, kan, bisa?" tanya Arman heran. Ya, begitulah yang dipikirkan Arman. Bukankah malah lebih enak kalau bicara di rumah daripada di restoran?

"Nanti kamu juga tahu sendiri, Man. Bisa datang, ya, Man?" kata Ibu Ida.

"Arman gak janji, ya, Bu. Lihat kondisi kerjaan nanti," balas Arman jujur, karena memang sebenarnya pekerjaannya sedang banyak.

"Tolonglah, Man! Sekali ini saja Ibu minta! Gak setiap hari juga, kan, Man?" rayu Ibu Ida agar Arman mau menemuinya. Ibu Ida tak mau rencananya gagal, karena tambang emas sudah di depan mata. Segala cara akan Ibu Ida lakukan.

"Ehm ... lihat nanti, lah, Bu!" jawab Arman. Karena bingung harus menjawab apa.

"Pokoknya Ibu dan mbakmu nanti tunggu kamu! Kalau kamu gak datang, Ibu akan marah!" ancam Ibu Ida pada Arman. Arman mencebikkan mulutnya. Tak suka dengan ancaman ibunya, karena itulah kelemahannya. Akhirnya Arman pun luluh dan mengikuti permintaan Ibu Ida.

"Gimana, Bu? Arman mau, kan?" tanya Salma yang sedari tadi pagi sudah ke rumah Ibunya. Bela sedang kuliah. Tadinya, Ibu Ida ingin mengajak Bela, tapi karena ada ujian, jadilah Salma yang Ibu Ida ajak.

"Ya jelaslah! Ibu gitu lho!" Ibu Ida tertawa terbahak. Salma hanya bisa melongo melihat kelakuan ibunya itu. 

*****

Sebelum makan siang, Ibu Ida dan Salma sudah sampai di restoran. Mereka memakai pakaian termewah yang dimiliki. Tak mau membuat diri mereka malu dihadapan 'calon menantu dan ipar lagi'.

"Wah, Bu ... anak teman Ibu benar-benar keren! Beneran ini punya anak teman Ibu?" tanya Salma terkagum-kagum. Salma sampai tak berkedip melihat restoran mewah dengan ornamen-ornamen cantik di dinding.

"Katanya, sih, begitu. Kalau beneran ini, kita bisa jadi kaya dong, Sal? Ha ... ha ... ha!" spontan Ibu Ida tertawa keras. Namun, Ibu Ida segera sadar dan mengontrol emosinya yang terlalu bahagia.

"Teman Ibu mana?" Salma celingukan mencari orang yang sebenarnya belum pernah ia temui.

"Sebentar Ibu telepon dulu," kata Bu Ida sambil menekan nomor Ibu Wati. Tak butuh waktu lama, setelah ditelepon, Ibu Wati muncul dari arah kasir. Karena dibagian belakang kasir, ada ruangan khusus pemilik restoran.

"Wah ... sudah datang rupanya, Jenk!" sapa Bu Wati dengan cipika cipiki.

"Ini anakmu juga? Cantik! Anak nomor berapa?" tanya Bu Wati saat melihat Salma disamping Bu Ida.

"Ini Salma, anakku yang nomor satu. Dia sudah menikah tapi belum punya anak," jelas Bu Ida.

"Tante! Saya Salma!" ucap Salma, dia tersenyum manis di depan Bu Wati. Bu Wati pun tersenyum dan memeluk anak perempuan temannya itu.

"Yuk duduk di sana!" tunjuk Bu Wati ke meja yang sudah disiapkan khusus untuk pertemuan kali ini.

Mereka bertiga terlibat obrolan yang menarik. Hingga saat Arman tiba, mereka bertiga pun terdiam.

"Arman! Akhirnya kamu datang juga. Sini, Nak! Kenalkan ini teman Ibu, Bu Wati namanya," ucap Ibu Ida saat Arman sudah berdiri di samping meja mereka. 

Arman pun tak punya kecurigaan apapun pada ibu dan kakaknya yang tiba-tiba mengajak bertemu di restoran dan sekarang ada teman ibunya juga. Arman pun mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Bu Wati.

"Ganteng!" celetuk Bu Wati spontan.

"Terima kasih atas pujiannya, Bu," balas Arman tersenyum.

"Duduk sini, Man!" pinta Bu Ida sambil menepuk kursi yang ada di sampingnya. Arman pun menuruti ibunya itu.

"Oh, ya, Jenk ... tunggu sebentar, ya?" kata Bu Wati.

"Iya, Jenk." Bu Ida yang tahu maksud Bu Wati, hanya menjawab singkat.

Sepeninggalnya Bu Wati, Arman bertanya pada ibu dan kakaknya alasan kenapa ada orang lain yang bersama mereka.

"Bu ... kenapa teman Ibu ada di sini juga? Sebenarnya ini ada apa, sih?" tanya Arman penasaran. Bu Ida dan Salma hanya terkekeh dan tak ada niat untuk menjawab pertanyaan Arman itu.

"Ada apa, sih, kalian? Kalau gak penting Arman balik ke hotel saja!" sungut Arman yang merasa kesal karena pertanyaannya tak dijawab.

"Sabar, Man! Nanti kamu juga akan tahu," jawab Salma.

Beberapa menit kemudian, Bu Wati kembali bersama seorang wanita muda yang berjalan disampingnya, yang tak lain adalah anaknya Sarah. Dari kejauhan, Sarah berjalan anggun dan tampak mempesona. Semua yang melihatnya seperti tak mampu untuk berpaling walau hanya sejenak.

Semakin dekat Bu Wati dan Sarah berjalan, Arman merasa tidak asing dengan wajah dari wanita itu. Dan dugaannya semakin kuat saat Sarah sudah sangat dekat dengan mejanya.

Deg!

"Sarah!" gumam Arman pelan. Untungnya tak ada yang mendengar perkataan Arman itu.

Sarah pun sama kagetnya dengan Arman. Tak menyangka, kalau anak teman yang ibunya ceritakan itu adalah Arman.

bersambung ....

Related chapters

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 4. Arman dan Sarah

    "Ini dia anakku, Jenk! Sarah!" ucap Bu Wati saat mereka sudah duduk kembali."Cantik dan modis sekali penampilannya, berkelas!" puji Bu Ida pada Sarah. Yang dipuji hanya tersenyum."Arman! Kenalkan ini anak teman Ibu, Sarah namanya." Bu Ida memperkenalkan Sarah pada Arman.Tanpa mereka tahu, kalau Arman dan Sarah sebenarnya sudah saling kenal dan bahkan sangat kenal. Dua tahun lalu, saat Arman melamar Sarah untuk dijadikan istri, Sarah menolaknya. Alasan Sarah saat itu masih ingin mengejar karirnya dan ingin mewujudkan impiannya mempunyai restoran mewah. Padahal umur Arman dan Sarah bisa dibilang cukup untuk menikah, yaitu dua puluh sembilan tahun.Ya ... Arman dan Sarah pernah menjalin hubungan kurang lebih lima tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat untuk menjalin hubungan. Dan saat hubungan itu ingin diteruskan ke jenjang yang lebih serius, ternyata ada salah satu pihak yang belum siap.Sakit hati! Itulah yang Arman rasakan saat itu. Waktu itu Arman sudah bekerja di hotel tapi pos

    Last Updated : 2022-06-14
  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 5. Kampung Arini

    Belum juga sehari ditinggal Arini pergi, Arman sudah mengirim pesan rindu pada Arini. Ini membuat Arini semakin cinta pada suaminya itu. Tak terasa sudah delapan jam Arini berada di kereta, sebentar lagi sudah sampai di Kabupaten dimana dia dibesarkan.Saat Arini keluar stasiun, banyak sekali abang-abang ojek pengkolan yang menghampirinya. Buat apa lagi kalau bukan untuk menawarkan jasa mereka. Hingga akhirnya, Arini memutuskan menggunakan salah satu dari Abang ojek itu.Perjalanan dari stasiun ke kampungnya bisa dibilang cukup jauh, yaitu sekitar satu jam lebih. Biarpun jam menunjukkan pukul dua siang, suasana pedesaan yang masih asri membuat perjalanan mereka tidaklah tersengat matahari."Bang, mampir ke pemakaman umum di sebelah sana, ya?" kata Arini pada Abang ojek. Abang ojek itu pun melihat ke arah yang Arini tunjuk."Oh ... iya, Mbak. Siap!" balas Abang ojek. Motor yang Arini tumpangi pun berbelok ke arah pemakaman."Tunggu sebentar, ya, Bang! Nanti uangnya saya lebihin," ucap

    Last Updated : 2022-06-14
  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 6. Surat Emak dan Bapak

    Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya. Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya."Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya."Wa'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman."Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu."Ya

    Last Updated : 2022-06-14
  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 7. Hasutan Ibu

    Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah."Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin."Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman."Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat."Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat."Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida. "Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini b

    Last Updated : 2022-06-14
  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 8. Kejutan

    Saat Bu Ida ikut masuk ke dalam kamar Bela, mereka merencanakan sesuatu agar Arman mau menuruti apa kata ibunya."Ibu mau pura-pura bunuh diri, nanti kamu teriak yang kenceng, ya, Bel? Biar Masmu itu dengar, oke?" ucap Ibu Ida pada Bela yang masih cemberut karena dibentak Arman."Iya, Bu!" dengan setengah menahan kesal."Satu ... dua ..." Ibu Ida mulai menghitung."Tiga! Cepat, Bel!" kata Ibu Ida lagi."Mas Arman! Ibu, Mas! Cepat ke sini!" teriak Bela kencang."Mas ... Mas Arman!" teriak Bela lebih kencang lagi. Arman lagi dengan tergopoh-gopoh menuju kamar Bela. Saat Sampai di kamar Bela, dirinya berteriak."Ibu!" teriak Arman. Arman melihat ibunya memegang pisau yang diletakkan di pergelangan tangan."Ibu jangan berpikiran nekat!" teriak Arman lagi. Ibunya menangis sesenggukan."Buat apa Ibu hidup, kalau anak Ibu laki-laki satu-satunya tak mau menuruti apa kata Ibu! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida saat itu. "Tapi, Bu ... Arman sudah punya Arini," suara Arman melemah, dia b

    Last Updated : 2022-06-14
  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 9. Permintaan Maaf

    Arman memilih menunggu Arini di depan pintu kamar. Rasanya enggak untuk bergabung kembali bersama ibunya. Ada rasa kecewa yang besar terhadap sikap ibunya kali ini. Ingat sekali memberontak, tapi, yang Arman dapatkan hanyalah ancaman dari sang ibu."Ya Allah! Jauhkan keluarga hamba dari perpecahan!" ucap Arman lirih. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Sementara, di dalam kamar ada Arini yang masih sesenggukan. "Mas, Arini punya kejutan untukmu. Tapi ... ternyata Arini yang terkejut," lirih Arini. Ditatapnya benda pipih yang menunjukkan dua garis itu. Sejatinya, benda itu akan diserahkan pada Arman saat dirinya sudah sampai di rumah.Karena lelah menangis, Arini sampai terlelap di tepi ranjang dengan posisi terduduk. Arman yang sudah tak mendengar isakan dari Arini, memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Sarah langsung pulang, saat Arman menyusul istrinya ke kamar. Perlahan Arman membuka pintu kamar. Arman mendekat di tempat istrinya tidur. Ingin sekali mengangkat dan membarin

    Last Updated : 2022-06-14
  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 10. Fitnahan

    Arman yang sedang dikejar deadline, saat Ibu Ida meneleponnya. KESAL? Tentu saja! Itu yang Arman rasakan saat ini."Kenapa, sih, Ibu ini? Arman lagi dikejar deadline, Bu!" sungut Arman kesal."Pokoknya Ibu gak mau tahu. Kamu harus pulang tepat waktu, Man! Ibu tunggu di rumah!" kata Ibu Ida saat menelepon Arman. Tanpa menunggu jawaban dari Arman, Ibu Ida menutup teleponnya.Kalau Ibu Ida sudah memerintah, maka mau tak mau harus dilaksanakan. Arman mengacak rambutnya kasar karena kelakuan ibunya itu."Arrghh!" teriak Arman. Terpaksa hari ini dia bawa pulang lagi pekerjaan yang belum dia selesaikan.Sedangkan di rumah, saat Arini masih berbaring di tempat tidur, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kencang.BRAAKKK!Suara pintu yang cukup keras membuat Arini terkejut dan langsung berubah posisi dari tiduran ke berdiri."Ibu ..." lirih Arini. Tatapan mata Ibu Ida penuh dengan amarah dan kebencian. Dibelakang Ibu Ida, ada Salma, Bela dan juga Sarah yang tak mau ketinggalan adegan heboh.

    Last Updated : 2022-06-14
  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 11. Permintaan Arini

    Dokter masuk lagi ke ruangan Arini. Saat ini Arini dalam kondisi sadar dan sudah stabil. Biarpun mengalami pendarahan, tapi janin yang ada di dalam perut Arini masih bisa bertahan."Bagaimana kondisinya sekarang, Bu Arini? Sudah lebih baik?" tanya Dokter Enny dengan senyum ramah."Alhamdulillah, Dok. Terima kasih, Dok, sudah menyelamatkan janin saya," ucap Arini. Arini tak henti-hentinya menangis kala tahu kalau dirinya pendarahan."Bukan saya, Bu. Tapi Allah yang sudah membuat janin Ibu kuat. Pesan saya, Ibu jangan kerja yang berat-berat dan jangan terlalu banyak pikiran, ya, Bu!" nasehat Dokter hanya Arini tanggapi dengan anggukan.Bagaimana mungkin dirinya bisa berisitirahat kalau di rumah mertuanya saja selalu ada saja yang harus dia kerjakan. Bukan Arini ingin dimanja, tapi keadaannya yg sedang hamil memang tak seperti sebelum hamil.Pernah Ibu Ida berkata, kalau dulu saat hamil anak-anaknya, Beliau masih bisa melakukan semua pekerjaan rumah. "Tapi, Bu ... tidak semua wanita bis

    Last Updated : 2022-06-14

Latest chapter

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 150. Akhir yang Bahagia

    Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 149. Terketuk Hatinya

    Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 148. Berselisih

    Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 147. Mungkinkah Tumbuh Cinta?

    Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 146. Mencoba Menerima Takdir

    Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 145. Jadi Pendiam

    PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 144. Mencari Kebenaran

    Beberapa hari setelah dirawat, Putri sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Radit. Dokter Radit berpesan agar keluarga selalu mendukung dan memperhatikan Putri. Itu akan berguna untuk ketenangan jiwa Putri."Bah, kalau Abah mau pulang gak apa-apa, Bah. Inshaa Allah Arman akan jaga Putri," kata Arman. Dia tahu kalau Haji Topan juga banyak urusan di kampung."Kamu tidak senang Abah di sini, Man?" terka Haji Topan."Bukan begitu, Bah! Arman justru senang kalau Abah mau tetap di sini. Tapi, urusan Abah di sana bagaimana?" jawab Arman jujur."Abah sudah titip sama Mas dan Mbakmu di sana. Abah senang Mas dan Mbakmu sekarang bersatu dan hidup bahagia lagi, Man. Ibumu juga sekarang jauh lebih dari sebelumnya," jelas Haji Topan seraya menerawang jauh ke depan."Alhamdulillah, ya, Bah! Tapi kebahagiaan kami belum lengkap karena Bela masih belum seperti dulu. Bah!" Arman berkata sambil menunduk. Dia menyembunyikan air mata yang memberontak mau keluar."Percayalah, Man, Bela akan bisa seperti dul

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 143. Keadaan Putri

    Sesampainya di rumah sakit, Haji Topan wajahnya terlihat tegang. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang perawatan Putri. Arman sedikit mempecepat langkahnya kala melihat mertuanya seperti itu."Ada apa, Bah?" tanya Arman. Haji Topan seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Beliau menitikkan air mata."Putri, Man! Putri!" seru Haji Topan."Putri kenapa, Bah?" Arman juga terlihat panik saat Haji Topan menyebut nama Putri."Putri mencoba menyakiti dirinya lagi, Man! Abah bingung, Man! Kita harus bagaimana?" Tangan Haji Topan mencengkram kuat lengan menantunya itu."Astagfirullah! Tenang, Bah! Kita gak boleh panik juga. Nanti urusan Putri biar Arman yang tangani. Abah tenang dulu, ya! Nanti Abah sakit," sahut Arman.Tak lama kemudian, Dokter Radit keluar dari ruangan itu. Beliau sedikit menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata,"Putri sudah saya suntik dengan obat penenang. Saat ini hanya dukungan keluarga yang bisa membuat Putri menjadi lebih baik. Karena itu, saya sangat berha

  • Pembalasan dari Istri yang Tersakiti   Bab 142. Mencari Sandi

    Dokter berkata kalau Putri kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri yang Putri lakukan. Beruntung nyawa Putri masih bisa diselamatkan. Haji Topan yang mendengarnya langsung jatuh lemas. Bahkan Beliau harus dipapah Arman untuk duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya menunggu tadi."Bah ... Abah di sini dulu, ya ... Arman belikan air mineral dulu." Arman berlalu meninggalkan Haji Topan seorang diri untuk membeli air mineral dan beberapa makanan.Tak lama, Arman kembali lagi dan memberikan air mineral pada mertuanya. Saat itu, Dokter yang menangani Putri baru saja keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Haji Topan bangkit dan langsung menghampiri dokter itu."Alhamdulillah, kita tinggal menunggu pasien siuman saja, Pak!" ucap Dokter Radit. "Lalu, lukanya bagaimana, Dok?" tanya Arman yang masih khawatir."Sudah kita tangani, Pak. Sekarang tinggal masa pemulihan pasien saja. Saran saya, kalau pasien sadar. jangan dulu diberikan pertanyaan yang aneh-aneh. Saya

DMCA.com Protection Status