"Lepaskan, Mas!" teriak Arini. Dan tiba-tiba Doni, kakak iparnya menarik tubuhnya dengan kasar. Dalam keadaan hamil dan tidak siap, Arini jatuh ke dalam pelukan Doni."Sebenarnya aku sudah menginginkanmu sejak lama, Arini!" bisik Doni ke telinga Arini. Arini yang merasa risih, mendorong tubuh kakak iparnya itu.Namun, belum sempat Arini masuk ke dalam kamar, pergelangan tangan Arini kembali dicekal oleh Doni. "Kamu tak bisa menghindariku sekarang, Arini! Tak akan ada yang menolongmu kini. Hanya kita berdua yang berada di rumah ini," kata Doni dengan senyum menyeringai.Arini tak tahu harus berbuat apa. Dirinya tak bisa leluasa bergerak untuk melarikan diri. Mengingat perutnya yang sudah membesar, sehingga Arini kesulitan untuk berlari. Tak mau ambil resiko, akhirnya Arini memilih menurutku dulu apa mau kakak iparnya itu.Karena merasa Arini tak melakukan perlawanan, tangan Doni segera menyentuh wajah Arini dan membelainya dengan lembut. Arini yang sadar Doni tengah terlena, menendang
"Kandungan Ibu Arini ... mohon maaf Pak Arman, janinnya tidak selamat!" ucap Dokter Firman hati-hati.Arman terpaku menatap Dokter Firman. Berharap apa yang dokter itu katakan tidaklah benar."Gak mungkin, Dok!" Arman menyangkal pernyataan Dokter Firman."Karena benturan yang kuat saat terjatuh, sehingga terjadi pendarahan yang hebat, Pak. Jadi, janin yang Ibu Arini kandung tidak selamat," terang Dokter Firman. Tak ada jawaban dari Arman. Dirinya masih memandang Dokter Firman dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan."Satu hal lagi Pak Firman, jika Ibu Arini ingin hamil harus, harus minimal enam bulan setelah pemulihan. Dan resiko keguguran di kehamilan Ibu Arini selanjutnya lebih besar dari kehamilan sebelumnya," kata Dokter Firman lagi.Bak sudah jatuh tertimpa tangga, itulah yang Arman rasakan saat ini. Menurut Dokter Firman, kalau Arini hamil lagi akan rentan keguguran karena kejadian ini.Dengan langkah gontai, Arman keluar dari ruangan Dokter Firman dan berjalan menuju tempat Ar
Hari ini Arman libur kerja. Pekerjaannya yang bukan merupakan pegawai negeri, membuat hari libur Arman tak menentu. Saat Arini meminta izin bekerja padanya, sungguh Arman marah pada Arini. Bagaimana mungkin seorang istri Arman yang merupakan manager hotel ternama bekerja? Terlebih lagi Arini hanya lulusan D3. Arini tetap nekad berangkat untuk mencari pekerjaan. Arman pun yang terlanjur marah, membiarkan istrinya itu. Biasanya kalau libur begini, Arman akan menghabiskan waktu berdua bersama Arini. Tapi, itu dulu! Kecewa karena kehilangan anak masih membekas di hati Arman dan Arman menganggap itu kesalahan Arin "Mas Arman tidak kerja?" kata Tuti yang baru saja pulang dari belanj "Lagi libur, Tut!" balas Arman. Tuti pun tersenyum mendengar jawaban Arma "Ibu dan Bela kemana, Tut?" tanya Arman karena dari tadi pagi tidak melihat ibu dan adiknya it "Tadi pagi mereka bilang mau perawatan ke salon, Mas. Mungkin sudah berangkat. Soalnya ini Tuti habis pulang belanja, jadi gak tahu perginy
Foto-foto dan video yang Sarah ambil barusan, dikirimkan kepada Ibu Ida. Harapannya nanti akan ada keributan yang besar antara Ibu Ida, Arini dan juga Arman. Syukur-syukur Arman mentalak Arini, begitu pikiran Sarah. [Di mana kamu sekarang, Sarah?] pesan dari Ibu Ida. Sarah tersenyum miring membaca pesan itu. [Sarah sedang di kantor *****, masih memantau Arini, Tante] balas Sarah santai. [Ikuti dia terus Sarah! Tante akan buat perhitungan dengan Arini!] nada marah terlihat dari pesan yang Ibu Ida kirim. Sebenarnya Rahman dan Arini tidaklah bersalah. Hanya saja, Sarah mampu memanfaatkan keadaan untuk membuatnya menjadi masalah. Di salon tempat Ibu Ida dan Bela perawatan, Ibu Ida tampak mengepalkan tangannya kuat. "Kali ini tak akan ada yang bisa membelamu Arini!" gumam Ibu Ida. "Akan aku pastikan Arman menceraikanmu!" kali ini Ibu Ida benar-benar marah. Bela yang tak tahu apa-apa hanya diam melihat ibunya yang sedang marah. "Ayo Bela kita pulang!" ajak Ibu Ida. "Tapi Bu, Bela
"Kamu?!" kata wanita yang hendak mewawancarai Arini. "Indah!" lirih Arini. Kedua mata mereka saling tatap. Dua sahabat yang sudah lama tak bertemu. Indah adalah sahabat Arini dari kampung. Arini dan Indah berpisah saat Arini meneruskan pendidikannya di kota dan Indah pindah dari kampungnya. Karena sedang berada situasi yang tak memungkinkan untuk berbicara, mereka berdua menahan diri. Selama sesi wawancara di mulai, Arini terlihat tenang dan juga mampu menjawab pertanyaan dengan baik. "Baik. Terima kasih, Arini. Tunggu kabar dari kami selanjutnya," ucap salah seorang penguji yang ada di dalam. "Baik, terima kasih! Saya mohon undur diri," balas Arini dengan membungkukkan badannya. Sebelum Arini keluar, Indah memanggilnya. "Arini ... bisa minta waktunya sebentar? Jangan pulang dulu," kata Indah pada Arini. Arini menganggukkan kepalanya. Arini teringat pada Rahman yang menunggunya. Sudah lebih dari dua jam Arini berada di dalam gedung. Rasa tak enak seketika menyeruak dalam hatinya
"Sudah tiga tahun aku menikah dengan Mas Firman. Tapi, kami belum diberikan momongan." Mata Indah tampak berkaca-kaca. Arini pun mengusap punggung sahabatnya itu pelan. "Keluarga Mas Firman sebenarnya tidak mempermasalahkannya. Tapi, aku sebagai menantu satu-satunya di rumah itu merasa sedih karena tak kunjung memberikan mereka pewaris," ucap Indah lagi. Indah menghela nafas lagi. "Apalagi suamiku dokter kandungan, tapi aku sendiri belum juga hamil!" lirih Indah sambil menunduk. "Firman? Suami Indah dokter? Jangan-jangan dokter yang menanganiku waktu itu —?" ucap Arini dalam hati. "Semua sudah digariskan oleh Allah, Ndah. Percaya dan yakin kalau Allah tak akan menguji kita di luar batas kemampuan kita," kata Arini mencoba menghibur Indah. Nasehat Arini untuk Indah juga berlaku untuk dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Setelah kehilangan anak, sekarang sikap suaminya Arman juga berubah padanya. Dulu saat Ibu Ida, Salma dan Bela tak menyukainya, Arini tak mempermasalahkan itu. Tapi s
"Arini! Mulai hari ini kamu gak boleh keluar rumah tanpa izinku!" dicekalnya kuat tangan Arini dan Arman menariknya kasar."Lepaskan, Mas! Sakit!" Arini mencoba melepaskan cekalan tangan Arman. Tapi, karena kuatnya tenaga Arman, Arini tak mampu. "Man! Kenapa gak mau ceraikan saja si Arini itu?" teriak Ibu Ida dari depan pintu rumah."Iya, Mas! Buat apa masih menahan istri tukang selingkuh?" ucap Bela ikut mendukung keputusan Ibu Ida. Sarah dan Tuti juga ada di rumah itu. Mereka senang melihat pertengahan antara keluarga ini."Masuk kataku!" bentak Arman. Karena kencangnya tarikan Arman, Arini pun terjerembab ke lantai teras dan dahinya terpentok lantai. Rahman yang melihatnya tak tega. Tapi, untuk membantu Arini, itu sama saja akan membuat masalah lain. Akhirnya Rahman memutuskan untuk pergi dari tempat itu.PLAAAKK! Sebuah tamparan dari Arman melayang di pipi sebelah kiri Arini ketika mereka sudah sampai di dalam rumah. Arini yang tak percaya, memegang pipinya yang memerah itu. Ada
Kedua insan itu sedang fokus pada aktivitas mereka, sehingga tak menyadari kehadiran Arini. Belum sembuh luka tamparan dari Arman, sekarang Arini harus terluka lagi ketika melihat suaminya menc*mbu mesra Tuti pembantunya."Ya Allah ... ujian apa lagi ini?!" teriak Arini dalam hati. Karena, untuk bersuara pun Arini tak mampu.Dengan langkah berat, Arini menghampiri keduanya. Arini tak mau suaminya melakukan perbuatan dosa lebih jauh lagi. Masih jadi tugas Arini sebagai istri Arman untuk mengingatkan suaminya itu. Biarpun dia harus menahan luka, luka yang masih terbuka tapi sengaja disiram garam oleh Arman."Mas!" lirih Arini. Sontak keduanya pun kaget dan segera menghentikan aktivitasnya. Tuti membetulkan kancing bajunya yang dilepas oleh Arman. Sedangkan Arman gelagapan karena ketahuan oleh istrinya."Sudah cukup! Sebelum kalian melakukan yang lebih lagi. Ingat dosa, Mas! Mas Arman masih suamiku," ucap Arini. Tuti membuang muka saat Arini menatapnya. "Tahu apa kamu dengan dosa? Sedan
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi, Arman tak kunjung pulang atau menghubungi Putri. Berkali-kali Putri melihat keluar jendela, berharap kalau suaminya itu pulang.Saat ini Putri sadar, kalau dia sudah terjerat cinta Arman. Disadari atau tidak, Putri memang saat ini tengah merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Khawatir jika Arman kenapa-napa di jalan. "Mas ... kenapa kamu gak memberi kabar lagi, sih? Apa Mas gak tahu kalau Putri khawatir sekali?" gumam Putri yang tengah mondar-mandir di depan pintu utama.Tiba-tiba ... pintu rumah digedor seseorang dengan sangat kencang. Tentu saja itu membuat Putri ketakutan. Putri lari dan bersembunyi di dalam kamar. Gedoran pintu itu masih saja terdengar. Bahkan lebih kencang dari yang sebelumnya."Mas Arman ... Putri takut! Hu ... hu ... hu!" rintih Putri dalam kamar. Dia duduk dan memeluk kakinya di atas kasur."Jangan tinggalin Putri, Mas! Putri takut, Mas!" suara Putri makin parau karena memang benar-benar ketakutan.Saat Put
Semenjak kejadian itu, Arman dan Putri jadi semakin dekat. Mereka pun berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Mungkin dengan berjalannya waktu, cinta akan tumbuh diantara mereka."Mas ... Putri siapkan bekal untuk makan siang, ya," seru Putri yang saat itu tengah memasak. "Ya ..." jawab Arman dengan suara yang sedikit kencang karena dia masih ada di kamar. Rumah kontrakan mereka memang rumah kecil, jadi suara dari dapur pun masih bisa di dengar di kamar. Begitupun sebaliknya.Putri semakin hari semakin nyaman dengan Arman. Begitupun sebaliknya. Walaupun mereka masih tidur sendiri-sendiri, tapi sekarang Putri tak ragu-ragu lagi untuk mengakui Arman sebagai suaminya.Arman sudah berangkat bekerja. Sekarang Putri beristirahat sebentar dan setelahnya mau mencuci baju. Baru saja Putri berbaring, suara ponselnya meraung-raung meminta untuk diangkat."Abah?" lirih Putri. Segera Putri mengangkatnya dan menyapa Haji Topan."Halo! Waalaikumsalam, Bah! Kenapa, Bah?" tanya Putri."Suamim
Saat sampai di pos polisi, keduanya masih saja terus adu mulut. Arman yang tak terima istrinya dipukul jelas saja murka."Sudah ... cukup! Kalian berdua kalau masih ribut, kami akan masukkan ke dalam sel!" bentak Pak Yoyok, anggota kepolisian yang kebetulan saat itu menangani mereka.Mendengar bentakan dari Pak Yoyok, Arman dan Sandi mendadak diam. Dalam hati, Arman berulang kali beristigfar untuk mengontrol emosinya. Sedangkan Sandi, memilih memalingkan mukanya ke sisi yang lain."Sekarang jelaskan satu per satu permasalahan kalian," pinta Pak Yoyok dengan nada yang sudah tidak tinggi lagi.Mulailah Arman menjelaskan kronologinya. Sesekali Sandi menimpali Arman. Tapi dengan cepat Pak Yoyok menghentikannya."Sekarang giliran kamu. Coba jelaskan bagaimana awal mulanya?" pinta Pak Yoyok pada Sandi.Sandi menjelaskan dengan menggebu-gebu pokok permasalannya hingga sampai dia menampar Putri di depan suaminya. Pak Yoyok hanya menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan kelakuan S
Haji Topan mendadak harus kembali ke kampung karena ada urusan yang tidak bisa diwakilkan orang lain. Dengan terpaksa, Beliau meninggalkan Putri dan Arman berdua kembali. Tapi kali ini Haji Topan bisa sedikit bernafas lega karena melihat perubahan anak perempuannya."Duduk dulu di sini sebentar!" pinta Arman sambil menepuk kursi yang ada disampingnya. Putri menuruti kata Arman dan segera duduk disampingnya."Kamu gak bosen di rumah terus?" tanya Arman basa-basi. Putri mengernyitkan dahinya ketika mendapat pertanyaan yang tidak biasa dari Arman."Emang kenapa, Mas? Mau ajak Putri jalan-jalan?" jawab Putri polos. "Kamu mau?" respon Arman."Serius? Gak bercanda, kan, Mas?" tanya Putri memastikan.Arman menganggukkan kepalanya dan Putri melompat kegirangan. Sikap Putri membuat Arman tertawa kecil. Tawa bahagia tentunya. Dan ini kali pertama Arman merasakan kebahagiaan setelah sekian lama tak merasakannya."Putri selesaikan kerjaan Putri dulu, ya, Mas." Putri berlalu tanpa melihat jalan h
Seperti yang Putri sampaikan sebelumnya, setelah makan, dirinya mengajak Haji Topan dan Arman untuk berbicara serius. Tapi sebelumnya, Putri menghidangkan teh hangat dan juga camilan untuk menemani mereka mengobrol.Haji Topan dan Arman saling adu pandang. Keduanya seakan bertanya pada satu sama lain maksud Putri mengajak mereka bicara. Bahasa tubuh mereka mengatakan hal itu. Mereka melihat Putri berkali-kali mengatur nafas. Mungkin karena apa yang akan dibicarakannya memang penting. Tak ada yang berani bertanya. Baik Haji Topan dan juga Arman hanya sama-sama menunggu Putri bicara."Bah! Mas!" kata pertama yang Putri ucapkan mampu membuat suasana menjadi bertambah tegang."Ya ..." jawab Arman yang juga mewakili Haji Topan."Putri minta maaf untuk semua kesalahan Putri. Putri sadar kalau Putri sudah kelewatan. Maaf karena belum bisa menjadi anak dan istri yang baik. Putri juga sadar kalau apa yang Putri inginkan itu belum tentu yang terbaik buat Putri."Putri berhenti sejenak untuk me
PLAAAAKK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Sandi. Ya, Putri menampar mulut Sandi yang seperti perempuan itu. Dan Putri pun langsung berbalik arah pergi meninggalkan rumah Sandi.Sandi yang tak menyangka Putri akan berbuat seperti itu, hanya bisa memegangi pipi yang kena tampar Putri. Perih dan panas rasanya. Istri Sandi yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.Tak ada air mata yang mengalir di pipi Putri. Sudah cukup baginya menjadi Putri yang b*doh. Putri pulang dengan perasaan marah."Dari mana, Put?" tanya Haji Topan saat mendapati putrinya baru saja pulang. Sejak tadi Haji Topan mencari keberadaan Putri tapi tidak ketemu. Mau menelepon Arman tapi tak jadi karena takut mengganggu pekerjaan Arman. Jadilah Haji Topan hanya menunggu kepulangan Putri. Karena Beliau yakin kalau Putri tidak akan pergi jauh."Cari udara segar, Bah!" jawab Putri singkat dan berlalu masuk ke kamar.Di dalam kamar, Putri menumpahkan segala apa yang dirasakannya. Karena setelah ini
Beberapa hari setelah dirawat, Putri sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter Radit. Dokter Radit berpesan agar keluarga selalu mendukung dan memperhatikan Putri. Itu akan berguna untuk ketenangan jiwa Putri."Bah, kalau Abah mau pulang gak apa-apa, Bah. Inshaa Allah Arman akan jaga Putri," kata Arman. Dia tahu kalau Haji Topan juga banyak urusan di kampung."Kamu tidak senang Abah di sini, Man?" terka Haji Topan."Bukan begitu, Bah! Arman justru senang kalau Abah mau tetap di sini. Tapi, urusan Abah di sana bagaimana?" jawab Arman jujur."Abah sudah titip sama Mas dan Mbakmu di sana. Abah senang Mas dan Mbakmu sekarang bersatu dan hidup bahagia lagi, Man. Ibumu juga sekarang jauh lebih dari sebelumnya," jelas Haji Topan seraya menerawang jauh ke depan."Alhamdulillah, ya, Bah! Tapi kebahagiaan kami belum lengkap karena Bela masih belum seperti dulu. Bah!" Arman berkata sambil menunduk. Dia menyembunyikan air mata yang memberontak mau keluar."Percayalah, Man, Bela akan bisa seperti dul
Sesampainya di rumah sakit, Haji Topan wajahnya terlihat tegang. Beliau mondar-mandir di depan pintu ruang perawatan Putri. Arman sedikit mempecepat langkahnya kala melihat mertuanya seperti itu."Ada apa, Bah?" tanya Arman. Haji Topan seketika menoleh ke sumber suara. Terlihat Beliau menitikkan air mata."Putri, Man! Putri!" seru Haji Topan."Putri kenapa, Bah?" Arman juga terlihat panik saat Haji Topan menyebut nama Putri."Putri mencoba menyakiti dirinya lagi, Man! Abah bingung, Man! Kita harus bagaimana?" Tangan Haji Topan mencengkram kuat lengan menantunya itu."Astagfirullah! Tenang, Bah! Kita gak boleh panik juga. Nanti urusan Putri biar Arman yang tangani. Abah tenang dulu, ya! Nanti Abah sakit," sahut Arman.Tak lama kemudian, Dokter Radit keluar dari ruangan itu. Beliau sedikit menghela nafas berat sebelum akhirnya berkata,"Putri sudah saya suntik dengan obat penenang. Saat ini hanya dukungan keluarga yang bisa membuat Putri menjadi lebih baik. Karena itu, saya sangat berha
Dokter berkata kalau Putri kehilangan banyak darah akibat percobaan bunuh diri yang Putri lakukan. Beruntung nyawa Putri masih bisa diselamatkan. Haji Topan yang mendengarnya langsung jatuh lemas. Bahkan Beliau harus dipapah Arman untuk duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya menunggu tadi."Bah ... Abah di sini dulu, ya ... Arman belikan air mineral dulu." Arman berlalu meninggalkan Haji Topan seorang diri untuk membeli air mineral dan beberapa makanan.Tak lama, Arman kembali lagi dan memberikan air mineral pada mertuanya. Saat itu, Dokter yang menangani Putri baru saja keluar."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Haji Topan bangkit dan langsung menghampiri dokter itu."Alhamdulillah, kita tinggal menunggu pasien siuman saja, Pak!" ucap Dokter Radit. "Lalu, lukanya bagaimana, Dok?" tanya Arman yang masih khawatir."Sudah kita tangani, Pak. Sekarang tinggal masa pemulihan pasien saja. Saran saya, kalau pasien sadar. jangan dulu diberikan pertanyaan yang aneh-aneh. Saya