Pagi semuanya. Othor minta maaf, hari ini ternyata othor ada meeting seharian. Jadi perhitungan Gem akan othor lakukan nanti malam. untuk bab hari ini, othor akan lakukan bab terjadwal. Bab 112 - 11.00 WIB Bab 113 - 13.00 WIB Bab 114 - 15.00 WIB Bab 115 - 17.00 WIB Bab 116 - nanti malam othor Rilis manual Selamat membaca dan berakhir pekan (◠‿・)—☆ Bab Bonus: 1/6 Bab Antrian: 30
Di jalan pegunungan yang berkelok, sebuah BMW hitam melaju mulus menuju Villa Quins. Oliver Quins duduk di kursi belakang, tangannya masih gemetar menahan amarah setelah membanting ponselnya. Kata-kata Ryan terus terngiang di telinganya.'Rindy adalah wanitanya? Apa hak pria brengsek itu untuk menyentuhnya?' batinnya murka. Bayangan tunangannya tidur bersama pria lain membuat darahnya mendidih."Brengsek!" Oliver menggeram tertahan. Matanya berkilat berbahaya dalam keremangan mobil. "Rindy, dasar jalang! Beraninya kau melawanku? Bagus! Bagus sekali! Apa kau pikir kau bisa menghindari nasibmu seperti ini? Teruslah bermimpi!"Ia mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih. "Tidak seorang pun dapat melawanku. Sekarang, aku tidak hanya akan membawamu kembali, tetapi aku juga akan mempermalukanmu di depan semua orang di Provinsi Riveria!"Sang lelaki tua yang duduk di sampingnya tampak merasakan gejolak emosi mur
Tak lama kemudian, pintu villa tiba-tiba terbuka, memperlihatkan sosok Ryan yang melangkah tenang. Tatapannya sedingin es saat mendekati salah satu penyerang yang terkapar."Oliver Quins mengirimmu ke sini, kan?"Orang itu menutup mulutnya rapat, menolak bicara. Namun begitu Galahad menginjak jari-jarinya, jeritannya langsung memenuhi udara."Jawab pertanyaan tuanku," ancam Galahad, "atau aku akan membuatmu berharap kematian lebih baik daripada hidup!""B-b-baik!" pria malang itu akhirnya menyerah. "Tuan Muda Quins meminta kami untuk membawa Nona Rindy kembali! Kami hanya mengikuti perintah. Tolong ampuni nyawaku!"Ryan melirik sisa penyerang yang masih bernapas sebelum beralih pada Galahad. "Selain orang ini, bunuh yang lainnya!""Baik, Master!"Mata Ryan berkilat dingin menyaksikan Galahad berjalan santai menuju para penyerang itu. "Tampaknya Keluarga Quins perlu diberi pelajaran," gumamny
"Orang itu memiliki seorang ahli di sisinya," pria malang itu tergagap. "Semua orang terbunuh, tetapi dia memintaku untuk kembali dan menyampaikan pesan kepadamu..."BOOM!Oliver membanting tubuh pria itu ke lantai. "Apa yang dia katakan?"Praktisi itu ragu sejenak sebelum berbisik lemah, "Dia bilang kamu harus menikmati beberapa jam terakhir hidupmu! Sebentar lagi, dia akan datang sendiri untuk mencabut nyawamu!"Tepat setelah menyampaikan pesan itu, sensasi terbakar menyebar dari dalam tubuhnya. Kulit pria itu mengembang bagai balon sebelum akhirnya meledak.BOOM!Ledakan dahsyat memenuhi ruangan, mengubah tubuh sang praktisi menjadi hujan darah. Kekuatan ledakan itu bahkan membuat Oliver Quins terhuyung mundur, darah segar membasahi pakaian mahalnya."RYAN PENDRAGON!" raung Oliver murka sambil menggertakkan gigi. "Hari ini, kamu yang akan mati, akan aku pastikan itu!"Setelah menenangkan d
Villa Quins kini dipenuhi tamu dari berbagai kalangan. Mereka semua datang untuk menjilat sang lelaki tua dari Gunung Langit Biru. Bisik-bisik memenuhi udara saat mereka mendiskusikan kemungkinan yang akan terjadi."Jika Ryan datang, berapa besar peluangnya untuk menang?""Menurutku Keluarga Quins mungkin tak sebanding dengannya. Namun praktisi dari Gunung Langit Biru pasti mampu mengatasinya.""Memang, aura lelaki tua itu sangat mengerikan. Jauh lebih besar dari yang kurasakan dari Tang San dan Ryan!""Kurasa Ryan tidak akan datang. Mungkin anak itu sudah meninggalkan Provinsi Riveria!"Di salah satu meja, seorang pria setengah baya dan gadis muda duduk mengawasi dengan tenang. Mereka adalah Farid Askari dan Mordred Luxis, yang dalam penyamaran mereka."Ayah, mengapa membawaku ke sini?" bisik Mordred. "Aku masih punya misi hari ini."Farid Askari melirik sang lelaki tua dan Oliver Quins. "Ini priorit
"Tunggu sebentar." Sang lelaki tua melambaikan tangannya, melempar sebutir pil ke telapak tangan Oliver Quins. "Pil ini bisa sedikit meningkatkan kekuatanmu," ujarnya acuh tak acuh. "Aku harap kau tidak mengecewakanku." "Terima kasih, Guru!" Oliver Quins menggenggam pil itu erat sebelum melangkah keluar kerumunan. Suasana tegang menyelimuti villa saat semua tamu menahan napas–pertarungan akan segera dimulai! Ia menatap Rindy dengan tatapan dingin. "Wanita jalang, apakah kau sudah lupa pelajaran yang kuberikan padamu saat itu?" "Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya. Kau wanitaku. Tidak ada yang berhak menyentuhmu kecuali aku. Tidak seorang pun!" "Sekarang aku akan memberimu satu kesempatan terakhir," suaranya dipenuhi ancaman. "Lepaskan tangan pria itu dan menikahlah denganku. Lalu, aku akan menceraikanmu di depan semua orang di Provinsi Riveria! Kalau tidak, orang tuamu akan mati, begitu juga dirimu!" "Jangan berpikir bahwa hanya karena bajingan itu melindungimu, Keluarga Qu
Tatapan Marco Luigi dipenuhi niat membunuh. Dia menggertakkan giginya dan melayangkan pukulan! Kecepatan pukulan Marco Luigi sangat mengejutkan Ryan. Ia langsung menyadari bahwa pria tua di hadapannya itu tidak hanya lebih kuat darinya, tetapi juga lebih kuat dari Galahad! Tinju yang diselimuti energi qi itu bergerak bagai petir menyambar, menciptakan gelombang kejut yang mengguncang udara. 'Brengsek!' Ryan mengumpat dalam hati. Ia benar-benar telah meremehkan lawannya kali ini. Marco Luigi bahkan tak memberi Ryan kesempatan untuk berpikir. Setelah pukulan pertamanya berhasil dihindari Ryan, dia langsung melancarkan serangan lanjutan. Kombinasi pukulan dan tendangan mematikan membuat Ryan terpaksa mundur beberapa langkah. "Apakah hanya ini yang bisa dilakukan oleh orang yang membuat Keluarga Quins gemetar ketakutan?" ejek Marco Luigi sambil terus menyerang. "Sungguh mengecewakan!" "Masih terlalu dini untuk kecewa." Ryan tersenyum tipis meski keringat dingin mulai membasahi
Marco Luigi meraung murka sambil melesat maju. Namun sebelum tinju berutalnya mencapai Ryan, Galahad telah muncul menghadang. Kultivator itu berdiri tegak di depan Ryan, tinjunya yang diselimuti energi qi murni beradu dengan serangan Marco Luigi. BOOM! Benturan dahsyat itu membuat keduanya terpental. Namun Marco Luigi segera menyeimbangkan diri dan melayangkan pukulan kedua ke arah Galahad. "Tak kusangka kau memiliki kultivator di pihakmu," dia mendengus meremehkan. "Tapi sayang sekali, kultivatormu masih jauh lebih lemah dariku!" BOOM! Dua tinju kembali beradu. Marco Luigi hanya mundur selangkah, sementara Galahad terpental lima langkah ke belakang. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya–organ dalamnya telah terluka parah. Meski begitu, Galahad tetap berdiri teguh melindungi Ryan. Ia tahu, jika sesuatu terjadi pada tuannya, nyawanya pasti akan melayang! Marco Luigi menghentikan langkahnya, menatap Galahad dengan sorot mata penuh keheranan. "Kau benar-benar ingin mati?
Pupil mata Ryan mengecil saat teringat ramalan sang guru tentang malapetaka yang akan menimpa Rindy. Mungkinkah inilah takdir yang dimaksud? Dan semua ini karena dirinya? 'Tidak!' Ryan meraung dalam hati. 'Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi! TIDAK AKAN!' Amarah dan keputusasaan meledak dalam dadanya. Di dalam Kuburan Pedang, nisan pedang ketiga mulai berpendar keemasan, seolah beresonansi dengan emosi Ryan yang bergejolak. Darah merah mengalir di permukaannya, membuatnya tampak bagai baru muncul dari kedalaman neraka. Mata Ryan memerah saat ia bersiap mengaktifkan batu nisan ketiga. Namun tepat sebelum ia sempat melakukannya... "Hei, mengapa kamu tidak mengajakku bertarung!" Mata Ryan membelalak mendengar suara familiar itu. Ia menoleh cepat dan melihat seorang gadis kecil berlari mendekat dengan langkah ringan. Dalam hitungan detik, sosok mungil itu telah muncul di depan Ryan dan Rindy. Namun alih-alih menaruh perhatian pada mereka, matanya justru tertuju pa
Ibu Yura Dustin yang tadinya tak sadarkan diri perlahan membuka mata. "Ibu! Ibu baik-baik saja?" Yura nyaris menangis bahagia. "Air... aku mau air hangat..." pinta sang ibu lemah. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arah Ryan. Permintaan itu persis seperti yang ia prediksikan! Seorang pramugari bergegas mengambilkan air hangat. Setelah meminumnya perlahan, warna mulai kembali ke wajah ibu Yura. Wanita itu menatap Ryan dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. Namun melihat pemuda itu sedang beristirahat, ia memilih diam. "Berkat pemuda ini aku baik-baik saja," ujarnya lembut pada kerumunan. "Semuanya silakan bubar." Sang dokter masih ingin protes, namun petugas keamanan segera membawanya pergi ke belakang. Keributan mereda, namun tatapan penasaran terus tertuju pada Ryan sepanjang sisa penerbangan. Para penumpang kelas satu yang kebanyakan pebisnis dan tokoh berpengaruh bisa merasakan ada yang istimewa dari pemuda misterius itu. Banyak yang ingin menyerahkan kartu nama,
Pramugari yang dipanggil segera membuat pengumuman mencari dokter di pesawat. Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa kondisi wanita itu. "Apa penyakit ibumu?" "Dokter, ibu saya menderita CORD stadium akhir," Yura menjelaskan panik. "Selama ini bergantung pada obat, tapi sekarang obatnya hilang..." "Apa?!" sang dokter melotot. "Kenapa bepergian dengan penyakit seserius itu? Kau tidak tahu ini butuh pengobatan rutin?" Tanpa buang waktu ia memberi instruksi pada pramugari. "Cepat beritahu kapten untuk mendarat di kota terdekat! Kalau tidak, bahkan dokter ajaib pun tak akan bisa menyelamatkannya!" Tepat saat pramugari hendak berlari ke kokpit, sebuah suara tenang terdengar. "Tidak perlu mendaratkan pesawat. Aku bisa menolongnya." Semua mata tertuju pada Ryan. Yura masih panik–dia tahu betul betapa mengerikannya PPOK stadium akhir. Tanpa obat dan peralatan medis profesional, mustahil mengobatinya! Sang dokter mendengus. "Jangan bercanda! Nyawa sedang dipertaruhkan!"
Pagi itu, suasana Bandara Riveria tampak ramai seperti biasa. Di area keberangkatan domestik, Ryan berdiri dengan santai diapit oleh dua wanita cantik–Adel dan Rindy. "Kau yakin tidak mau kami ikut?" tanya Adel dengan nada khawatir. Tangannya menggenggam lengan Ryan erat, enggan melepaskan. Ryan tersenyum tipis. "Tidak perlu. Selain itu, Galahad dan Lancelot akan menjaga kalian selama aku pergi." Ia melirik kedua pengawalnya yang berdiri tak jauh dari sana. "Lagipula, aku hanya pergi sebentar. Paling lama satu minggu." "Tapi..." Adel masih tampak ragu. "Sudahlah," Rindy menyela sambil tersenyum jahil. "Biarkan saja dia pergi. Toh dia pasti akan kembali–kecuali kalau dia berani selingkuh di Ibu Kota." Ryan tertawa kecil mendengar ancaman terselubung itu. Ia mengacak rambut Rindy dengan gemas. "Mana berani aku selingkuh kalau punya dua wanita secantik kalian?" "Gombal!" Rindy menepis tangan Ryan dengan wajah merona. Pengumuman keberangkatan pesawat RD8978 menggema di terminal,
Ryan menepuk bahu Lancelot dengan gestur menenangkan. "Masalah ini tidak mendesak," ujarnya tenang. "Aku akan berangkat ke Ibu Kota lebih dulu. Kau dan yang lain dari Guild Round Table bisa menyusul nanti. Saat ini, fokusmu haruslah meningkatkan kekuatan." "Baik, Ketua Guild," Lancelot membungkuk hormat. Setelah berpamitan dengan kedua bawahannya, Ryan teringat sesuatu. Eagle Squad pasti memiliki pengaruh di Ibu Kota–akan lebih mudah jika mereka yang mengatur perjalanannya. Baru saja ia hendak menghubungi Sammy Lein, sebuah mobil yang terparkir di luar vila membunyikan klakson. Ryan menggeleng geli sebelum melangkah menuju kendaraan itu. Seperti dugaannya, Sammy Lein dan Patrick telah menunggu di dalam. "Jangan bilang kalian menunggu di sini selama sepuluh hari," godanya sambil masuk ke dalam mobil. "Aku tak akan percaya." Sammy Lein tertawa canggung. "Tuan Ryan mungkin tidak tahu, tapi Eagle Squad telah beberapa kali mencoba menemui Anda. Nona Rindy selalu mengatakan Anda
"Muridku," suaranya bergema dalam kekosongan, "di dunia ini terdapat 3000 Dao Besar dan Dao Kecil yang tak terhitung jumlahnya! Sepanjang hidupku, aku menekuni Dao Pembantaian dan niat pedang." Pedang Suci Caliburn berdengung di tangannya, beresonansi dengan kata-katanya. "Pedang adalah raja dari segala senjata. Baik untuk menyerang maupun bertahan, tak ada yang menandinginya!" "Pedang Pembelah Langit yang akan kuwariskan padamu memiliki tiga jurus. Setiap jurus mengandung hukum Dao Agung yang kusempurnakan. Jika kau memiliki kekuatan yang cukup, teknik ini mampu menghancurkan langit itu sendiri!" "Itulah mengapa ia dinamakan Pedang Pembelah Langit!" Lelaki tua itu mengacungkan Caliburn tinggi-tinggi. Niat pedang yang terpancar darinya begitu pekat hingga membuat udara bergetar. Ryan bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya dengan menatapnya. "Jurus pertama–Naga Membelah Langit!" Pedang di tangannya bergerak bagai kilat, menciptakan bayangan naga raksasa yang me
Sebagai kultivator yang baru mengenal enam ranah–Body Tempering, Qi Gathering, Foundation Establishment, Golden Core, Nascent Soul, dan Heavenly Soul–Ryan paham betul besarnya kesenjangan kekuatan mereka. Setiap ranah terbagi menjadi sembilan tingkat. Dan kini, sebagai kultivator Foundation Establishment, ia harus menghadapi praktisi ranah Nascent Soul! 'Bagaimana mungkin aku bisa menang?' batinnya frustrasi. Seolah membaca pikirannya, lelaki tua itu melepaskan sinar pedang ke arah kepala Ryan. Dalam sekejap ia telah muncul di hadapan pemuda itu. "Kau ingin tahu mengapa aku menggunakan ranah yang jauh lebih tinggi?" suaranya dalam dan berat. "Akan kuberitahu!" "Dao Pembantaian berada di ambang hidup dan mati," lelaki tua itu melanjutkan dengan nada serius. "Dengan teknik ini, kau bahkan bisa membunuh mereka yang jauh lebih kuat darimu!" Dia menghentakkan pedangnya, menciptakan gelombang tekanan yang membuat Ryan terhuyung. "Jika kau mampu bertahan dari seranganku, kelak saat meng
Di sebuah bangunan megah nan misterius di Ibu Kota, Lucas Ravenclaw duduk dengan tenang sembari menyeka pedangnya yang berwarna merah darah. Pedang itu berpendar dengan energi qi yang tak kalah kuat dari Pedang Suci Caliburn. Meski tak melepaskan aura apapun, kehadirannya saja sudah menciptakan tekanan berat yang membuat orang biasa kesulitan bernapas. Di hadapannya, seorang lelaki tua berambut putih berlutut dengan tubuh gemetar. "Tuan Lucas, saya telah menyelidiki orang-orang yang mengikuti Anda hari ini. Mereka berasal dari Provinsi Riveria, namun asal-usul sebenarnya masih belum jelas." "Heh," Lucas Ravenclaw mendengus dingin. "Sudah bertahun-tahun berlalu, belum ada yang berani berbuat kurang ajar seperti ini. Apakah mereka ingin mati?" "Terus selidiki. Begitu tahu siapa yang mengirim mereka, bunuh semuanya. Jangan sisakan satu pun." Lelaki tua itu mengangguk patuh sebelum teringat sesuatu. "Tuan Lucas, mengapa Anda tiba-tiba kembali ke Ibu Kota kali ini?" Lucas Ravenclaw
Ryan melepaskan pelukannya dari Rindy dan duduk di sofa. Ia tak ingin membuat kedua gadis itu khawatir dengan menceritakan pertarungannya melawan Sergei Anri dan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural. "Hanya urusan bisnis biasa," jawabnya santai. "Beberapa masalah kecil yang harus diselesaikan." Meski ekspresi kedua gadis itu menunjukkan ketidakpercayaan, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh. Jika Ryan memilih menyembunyikan sesuatu, pasti ada alasannya. Ryan bangkit untuk mengambil segelas air. Saat meneguknya, ia teringat sesuatu yang penting. "Ada yang harus kuberitahu pada kalian," ujarnya serius. "Aku perlu berlatih dalam isolasi selama sepuluh hari ke depan untuk sebuah terobosan penting dalam kultivasiku." Ia meletakkan gelasnya sebelum melanjutkan, "Selama sepuluh hari ini, aku akan mengurung diri di kamar lantai tiga. Galahad dan beberapa praktisi dari Guild Round Table akan berjaga di luar. Jika kalian perlu keluar, mereka harus menemani kalian." "Penga
"Tuan Ryan, kumohon lepaskan ayahku!" jeritnya serak. Jika sang ayah tewas, Keluarga Anri akan kehilangan pilar pendukungnya! Meski merasa kasihan pada temannya, Juliana tetap berkata tegas, "Tuan Ryan, Anda tidak perlu mempertimbangkan perasaan saya. Dia pantas mati." Jika Sergei Anri dibiarkan hidup, dia pasti akan mencari kesempatan membalas dendam. Dan saat itu terjadi, keluarga Herbald pasti akan terseret. Melihat Juliana tak berniat campur tangan, Riselotte semakin putus asa. "Tuan Ryan, aku bersedia melakukan apapun! Kumohon lepaskan ayahku!" "Membiarkannya pergi?" tanya Ryan tenang. Mendengar nada lunak itu, harapan membuncah dalam dada Riselotte dan Sergei Anri. "Ya, ya!" Riselotte mengangguk penuh semangat. Namun detik berikutnya, kilatan dingin melesat–kepala Sergei Anri terpisah dari tubuhnya. "Mengapa aku harus mendengarkanmu?" suara Ryan bergema dingin memenuhi ruangan. "Jika kulepaskan dia hari ini, siapa yang akan melepaskanku di masa depan?" "Tidak membunuhmu