Terima Kasih Roni, Kak Hendri, Kak Dian17, Kak Usman, Kak Aldi, Kak Yen, Kak Risno, Kak Alberth, Kak Ahmad, Kak Jon, Kak Dewi, Kak Rayhan, Kak Tedi, Kak Fatir, Kak MasHan, Kak Gojek, dan Kak Abdul atas dukungan Gem-nya (. ❛ ᴗ ❛.) Bab Bonus: 2/3 Bab Antrian: 45 Selamat Membaca (◠‿・)—☆
Begitu masuk ke dalam kuburan pedang, tatapan mata Ryan langsung tertuju pada batu nisan ketiga yang masih bergeming. Mungkinkah level kultivasinya belum cukup tinggi untuk membuka segel itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Mengapa para ahli menganggapnya sebagai satu-satunya harapan? Dan rahasia apa yang tersembunyi dalam Kuburan Pedang? Semua terasa begitu misterius, namun Ryan memaksa dirinya untuk tenang. Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi lebih kuat. Dengan tekad membara ia duduk bersila dan mulai berkultivasi. Energi spiritual yang tak terbatas mengalir dari batu giok naga, memenuhi meridian dalam tubuhnya. Cahaya merah berpendar samar saat raungan naga bergema di seluruh Kuburan Pedang. Sementara itu, di sebuah gedung mewah di Kota Riverdale, suara benturan keras memecah keheningan. BRAK! Rendy Zola, pria berwajah persegi yang menduduki peringkat ketujuh dalam ranking grandmaster Nexopolis, baru saja menghantam meja batu di hadapannya
Di Vila Pendragon, Ryan membuka mata tepat pukul tiga sore. Helaan napas panjang meluncur dari bibirnya–upayanya menerobos ke ranah Foundation Establishment tingkat keenam kembali gagal. Namun jika dipikir lagi, ini masuk akal. Ia baru saja menerobos dua level sekaligus. Terobosan baru secepat ini hampir mustahil. Meski begitu, Ryan tetap merasa tak puas. Keinginannya untuk membuka nisan pedang ketiga terlalu kuat untuk diabaikan. Setelah gagal berkultivasi, ia memutuskan mempelajari warisan pengetahuan Chen Feng. Sebagian besar memang masih terkunci karena level kultivasinya belum mencukupi, namun ada satu teknik yang bisa ia pelajari–Telapak Membakar Bumi! Teknik ini konon mampu membunuh seribu orang dalam satu serangan jika dikuasai sepenuhnya. Chen Feng memang bukan kultivator sembarangan. Tanpa ragu, Ryan mulai mengalirkan energi qi sesuai jalur yang dijelaskan dalam ingatannya. Perlahan namun pasti, api kecil mulai menyembur dari telapak tangannya. Sensasi terbakar
"Jangan bersikap kasar pada Tuan Ryan!" wanita itu membentak dengan nada tegas. "Kakak, apa-apaan ini?" Pemuda itu menatap tak percaya. "Kau benar-benar memanggil sampah ini..." PLAK! Tamparan kedua mendarat telak di pipinya, membuat matanya terbelalak tak percaya. Wanita itu berbalik menatap pria tua di belakangnya. "Pak Tua Yong, bawa anak ini ke mobil. Jika dia masih berani bersikap tidak sopan, tampar saja dia!" "Baik, Nona Muda!" Setelah mereka pergi, hanya tersisa wanita itu dan Ryan di ambang pintu. Senyum menawan tersungging di bibirnya saat ia membungkuk sopan. "Tuan Ryan, nama saya Yessy Hunt. Yang tadi itu adik saya, Mino Hunt. Maafkan kelancangan dan sikapnya yang kurang ajar." "Mengerti." Ryan hendak menutup pintu namun Yessy mengulurkan tangannya menghalangi. "Tuan Ryan, mohon dengarkan saya dulu," ujarnya dengan nada memohon. "Saya tahu kemampuan medis Anda sangat luar biasa. Bukan hanya menyelamatkan Franklin Pierce yang sekarat, tapi juga menyembuhkan banyak k
"Ada apa?" tanya Ryan menyadari perubahan ekspresinya. "Bukan apa-apa, hanya telepon iseng," Rindy menggeleng cepat. "Oh ya, aku harus mengambil sesuatu di kamar. Makanan spesial yang kubawa untukmu dari luar negeri. Tunggu di sini ya!" Ryan mengangguk meski merasa ada yang aneh dengan sikap Rindy. Begitu tiba di kamar, Rindy mengunci pintu dan jendela sebelum menjawab panggilan dengan tangan gemetar. "Rindy, aku punya kabar baik untukmu," suara Oliver terdengar angkuh. "Keluarga Quins akan kembali lusa. Kuharap kau menyambut kami dengan baik." Dia terkekeh pelan sebelum menambahkan, "Tentu saja kami tidak sendiri. Guruku juga akan hadir. Keluarga Quins tidak akan sama lagi seperti sebelumnya!" Mata Rindy menyipit saat mendengar ini. Keluarga Quins kembali! Jantung Rindy berdegup kencang. Ia tak menyangka Keluarga Quins akan bergerak secepat ini. Belum lagi kabar mengejutkan yang baru saja didengarnya–mereka telah berhasil memperoleh bantuan ahli dari Gunung Langit Biru.
Ryan sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia terdiam sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menjawabnya. "Apakah kamu pernah mendengar tentang peringkat grandmaster Nexopolis?" Ryan balik bertanya. Mata Rindy berbinar mendengar nama itu. "Ya, aku pernah dengar. Konon katanya itu adalah peringkat para praktisi bela diri terkuat di Nexopolis..." Ryan mengangguk. "Jika aku harus menentukan peringkatku, aku seharusnya berada di peringkat ke-99, karena aku telah mengalahkan Fuze." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Namun, aku tidak yakin seberapa tinggi peringkatku dengan kekuatanku yang sebenarnya. Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal ini padaku?" Mendengar jawaban itu, kilatan kekecewaan melintas di mata Rindy. Namun secepat kilat, ia menutupinya dengan senyum cerah. "Aku hanya bertanya dengan santai," Rindy berusaha terdengar ringan. "Seseorang bertanya kepadaku tentang arena seni bela diri tadi, jadi aku sedikit penasaran. Baiklah, aku akan kembali ke Kelua
Saat ini, Sammy Lein merasa sakit kepala hebat mendera. Ia ingin menegur Ryan atas keputusannya yang terlalu gegabah, namun tak berani melakukannya. Hubungan mereka memang cukup dekat, tapi Sammy Lein tahu batas-batas yang tak boleh ia lewati. Jadi, ia hanya bisa mencoba membujuk Ryan dengan cara yang lebih halus. "Tuan Ryan," Sammy Lein berkata dengan nada serius, "ini adalah kesempatan langka yang mungkin tak akan datang dua kali. Jika Anda pergi ke Ibu Kota, orang-orang tertentu tidak akan berani menyentuh Anda untuk sementara waktu." Ia berhenti sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Bahkan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural pun akan berpikir dua kali sebelum bertindak gegabah jika Anda berada di bawah perlindungan orang itu." Namun di luar dugaan, Ryan tetap menggeleng. Wajahnya tenang namun penuh tekad saat menjawab, "Saat ini, aku benar-benar tidak punya waktu. Aku harus tetap berada di Kota Riverpolis untuk sementara waktu. Jika suatu hari nanti
Di dalam mobil, Ryan duduk dengan tenang sementara kendaraan itu melaju mulus membelah jalanan Provinsi Riveria. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Rindy, namun ia berusaha fokus pada situasi saat ini. Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah bangunan mewah namun terkesan misterius. Ryan dibimbing memasuki sebuah ruang rapat khusus yang dilengkapi teknologi canggih. Sebuah layar berbentuk cincin mendominasi ruangan itu. Tujuh atau delapan instrumen khusus beroperasi dan berdengung secara bersamaan, menciptakan atmosfer yang sedikit mencekam. Ryan menyadari kehadiran Sammy Lein di ruangan itu. Pria itu mengangguk sopan padanya sebelum kembali fokus pada layar di hadapan mereka. Tak lama kemudian, layar menyala. Sosok seorang lelaki tua berambut putih muncul, mengenakan jas rapi yang memancarkan aura kewibawaan. Meski terlihat kuat, ada sedikit kelelahan yang terpancar dari matanya yang tajam. Begitu melihat Ryan, mata lelaki tua itu berbinar penuh m
Ryan mengangguk, tatapannya sangat serius. "Tidak hanya aku ingin tahu apa yang terjadi di Paviliun Riverside," ujarnya, "tapi aku juga ingin tahu di mana Master Lucas berada!" Niat membunuh yang dingin memenuhi ruangan saat Ryan mengucapkan nama itu. Bahkan melalui video, lelaki tua itu bisa merasakan perubahan atmosfer yang mencekam. Setelah ragu-ragu beberapa detik, lelaki tua itu menghela napas berat. "Bukannya aku tidak ingin memberitahumu," ujarnya, "tapi aku berjanji pada seseorang bahwa aku tidak akan membocorkan apa yang terjadi saat itu." Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Aku sudah berjanji saat itu karena tampaknya ini bukan insiden besar. Namun, aku dapat memberi tahumu bahwa masalah ini melibatkan tiga keluarga seni bela diri." Suara lelaki tua itu bagaikan guntur yang menggelegar, membuat tubuh Ryan diselimuti aura jahat yang mengerikan. Kemarahan bergemuruh dalam dadanya, namun ia berusaha mengendalikannya. Seolah merasakan emosi Ryan yang bergejolak, l
Ibu Yura Dustin yang tadinya tak sadarkan diri perlahan membuka mata. "Ibu! Ibu baik-baik saja?" Yura nyaris menangis bahagia. "Air... aku mau air hangat..." pinta sang ibu lemah. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arah Ryan. Permintaan itu persis seperti yang ia prediksikan! Seorang pramugari bergegas mengambilkan air hangat. Setelah meminumnya perlahan, warna mulai kembali ke wajah ibu Yura. Wanita itu menatap Ryan dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. Namun melihat pemuda itu sedang beristirahat, ia memilih diam. "Berkat pemuda ini aku baik-baik saja," ujarnya lembut pada kerumunan. "Semuanya silakan bubar." Sang dokter masih ingin protes, namun petugas keamanan segera membawanya pergi ke belakang. Keributan mereda, namun tatapan penasaran terus tertuju pada Ryan sepanjang sisa penerbangan. Para penumpang kelas satu yang kebanyakan pebisnis dan tokoh berpengaruh bisa merasakan ada yang istimewa dari pemuda misterius itu. Banyak yang ingin menyerahkan kartu nama,
Pramugari yang dipanggil segera membuat pengumuman mencari dokter di pesawat. Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa kondisi wanita itu. "Apa penyakit ibumu?" "Dokter, ibu saya menderita CORD stadium akhir," Yura menjelaskan panik. "Selama ini bergantung pada obat, tapi sekarang obatnya hilang..." "Apa?!" sang dokter melotot. "Kenapa bepergian dengan penyakit seserius itu? Kau tidak tahu ini butuh pengobatan rutin?" Tanpa buang waktu ia memberi instruksi pada pramugari. "Cepat beritahu kapten untuk mendarat di kota terdekat! Kalau tidak, bahkan dokter ajaib pun tak akan bisa menyelamatkannya!" Tepat saat pramugari hendak berlari ke kokpit, sebuah suara tenang terdengar. "Tidak perlu mendaratkan pesawat. Aku bisa menolongnya." Semua mata tertuju pada Ryan. Yura masih panik–dia tahu betul betapa mengerikannya PPOK stadium akhir. Tanpa obat dan peralatan medis profesional, mustahil mengobatinya! Sang dokter mendengus. "Jangan bercanda! Nyawa sedang dipertaruhkan!"
Pagi itu, suasana Bandara Riveria tampak ramai seperti biasa. Di area keberangkatan domestik, Ryan berdiri dengan santai diapit oleh dua wanita cantik–Adel dan Rindy. "Kau yakin tidak mau kami ikut?" tanya Adel dengan nada khawatir. Tangannya menggenggam lengan Ryan erat, enggan melepaskan. Ryan tersenyum tipis. "Tidak perlu. Selain itu, Galahad dan Lancelot akan menjaga kalian selama aku pergi." Ia melirik kedua pengawalnya yang berdiri tak jauh dari sana. "Lagipula, aku hanya pergi sebentar. Paling lama satu minggu." "Tapi..." Adel masih tampak ragu. "Sudahlah," Rindy menyela sambil tersenyum jahil. "Biarkan saja dia pergi. Toh dia pasti akan kembali–kecuali kalau dia berani selingkuh di Ibu Kota." Ryan tertawa kecil mendengar ancaman terselubung itu. Ia mengacak rambut Rindy dengan gemas. "Mana berani aku selingkuh kalau punya dua wanita secantik kalian?" "Gombal!" Rindy menepis tangan Ryan dengan wajah merona. Pengumuman keberangkatan pesawat RD8978 menggema di terminal,
Ryan menepuk bahu Lancelot dengan gestur menenangkan. "Masalah ini tidak mendesak," ujarnya tenang. "Aku akan berangkat ke Ibu Kota lebih dulu. Kau dan yang lain dari Guild Round Table bisa menyusul nanti. Saat ini, fokusmu haruslah meningkatkan kekuatan." "Baik, Ketua Guild," Lancelot membungkuk hormat. Setelah berpamitan dengan kedua bawahannya, Ryan teringat sesuatu. Eagle Squad pasti memiliki pengaruh di Ibu Kota–akan lebih mudah jika mereka yang mengatur perjalanannya. Baru saja ia hendak menghubungi Sammy Lein, sebuah mobil yang terparkir di luar vila membunyikan klakson. Ryan menggeleng geli sebelum melangkah menuju kendaraan itu. Seperti dugaannya, Sammy Lein dan Patrick telah menunggu di dalam. "Jangan bilang kalian menunggu di sini selama sepuluh hari," godanya sambil masuk ke dalam mobil. "Aku tak akan percaya." Sammy Lein tertawa canggung. "Tuan Ryan mungkin tidak tahu, tapi Eagle Squad telah beberapa kali mencoba menemui Anda. Nona Rindy selalu mengatakan Anda
"Muridku," suaranya bergema dalam kekosongan, "di dunia ini terdapat 3000 Dao Besar dan Dao Kecil yang tak terhitung jumlahnya! Sepanjang hidupku, aku menekuni Dao Pembantaian dan niat pedang." Pedang Suci Caliburn berdengung di tangannya, beresonansi dengan kata-katanya. "Pedang adalah raja dari segala senjata. Baik untuk menyerang maupun bertahan, tak ada yang menandinginya!" "Pedang Pembelah Langit yang akan kuwariskan padamu memiliki tiga jurus. Setiap jurus mengandung hukum Dao Agung yang kusempurnakan. Jika kau memiliki kekuatan yang cukup, teknik ini mampu menghancurkan langit itu sendiri!" "Itulah mengapa ia dinamakan Pedang Pembelah Langit!" Lelaki tua itu mengacungkan Caliburn tinggi-tinggi. Niat pedang yang terpancar darinya begitu pekat hingga membuat udara bergetar. Ryan bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya dengan menatapnya. "Jurus pertama–Naga Membelah Langit!" Pedang di tangannya bergerak bagai kilat, menciptakan bayangan naga raksasa yang me
Sebagai kultivator yang baru mengenal enam ranah–Body Tempering, Qi Gathering, Foundation Establishment, Golden Core, Nascent Soul, dan Heavenly Soul–Ryan paham betul besarnya kesenjangan kekuatan mereka. Setiap ranah terbagi menjadi sembilan tingkat. Dan kini, sebagai kultivator Foundation Establishment, ia harus menghadapi praktisi ranah Nascent Soul! 'Bagaimana mungkin aku bisa menang?' batinnya frustrasi. Seolah membaca pikirannya, lelaki tua itu melepaskan sinar pedang ke arah kepala Ryan. Dalam sekejap ia telah muncul di hadapan pemuda itu. "Kau ingin tahu mengapa aku menggunakan ranah yang jauh lebih tinggi?" suaranya dalam dan berat. "Akan kuberitahu!" "Dao Pembantaian berada di ambang hidup dan mati," lelaki tua itu melanjutkan dengan nada serius. "Dengan teknik ini, kau bahkan bisa membunuh mereka yang jauh lebih kuat darimu!" Dia menghentakkan pedangnya, menciptakan gelombang tekanan yang membuat Ryan terhuyung. "Jika kau mampu bertahan dari seranganku, kelak saat meng
Di sebuah bangunan megah nan misterius di Ibu Kota, Lucas Ravenclaw duduk dengan tenang sembari menyeka pedangnya yang berwarna merah darah. Pedang itu berpendar dengan energi qi yang tak kalah kuat dari Pedang Suci Caliburn. Meski tak melepaskan aura apapun, kehadirannya saja sudah menciptakan tekanan berat yang membuat orang biasa kesulitan bernapas. Di hadapannya, seorang lelaki tua berambut putih berlutut dengan tubuh gemetar. "Tuan Lucas, saya telah menyelidiki orang-orang yang mengikuti Anda hari ini. Mereka berasal dari Provinsi Riveria, namun asal-usul sebenarnya masih belum jelas." "Heh," Lucas Ravenclaw mendengus dingin. "Sudah bertahun-tahun berlalu, belum ada yang berani berbuat kurang ajar seperti ini. Apakah mereka ingin mati?" "Terus selidiki. Begitu tahu siapa yang mengirim mereka, bunuh semuanya. Jangan sisakan satu pun." Lelaki tua itu mengangguk patuh sebelum teringat sesuatu. "Tuan Lucas, mengapa Anda tiba-tiba kembali ke Ibu Kota kali ini?" Lucas Ravenclaw
Ryan melepaskan pelukannya dari Rindy dan duduk di sofa. Ia tak ingin membuat kedua gadis itu khawatir dengan menceritakan pertarungannya melawan Sergei Anri dan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural. "Hanya urusan bisnis biasa," jawabnya santai. "Beberapa masalah kecil yang harus diselesaikan." Meski ekspresi kedua gadis itu menunjukkan ketidakpercayaan, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh. Jika Ryan memilih menyembunyikan sesuatu, pasti ada alasannya. Ryan bangkit untuk mengambil segelas air. Saat meneguknya, ia teringat sesuatu yang penting. "Ada yang harus kuberitahu pada kalian," ujarnya serius. "Aku perlu berlatih dalam isolasi selama sepuluh hari ke depan untuk sebuah terobosan penting dalam kultivasiku." Ia meletakkan gelasnya sebelum melanjutkan, "Selama sepuluh hari ini, aku akan mengurung diri di kamar lantai tiga. Galahad dan beberapa praktisi dari Guild Round Table akan berjaga di luar. Jika kalian perlu keluar, mereka harus menemani kalian." "Penga
"Tuan Ryan, kumohon lepaskan ayahku!" jeritnya serak. Jika sang ayah tewas, Keluarga Anri akan kehilangan pilar pendukungnya! Meski merasa kasihan pada temannya, Juliana tetap berkata tegas, "Tuan Ryan, Anda tidak perlu mempertimbangkan perasaan saya. Dia pantas mati." Jika Sergei Anri dibiarkan hidup, dia pasti akan mencari kesempatan membalas dendam. Dan saat itu terjadi, keluarga Herbald pasti akan terseret. Melihat Juliana tak berniat campur tangan, Riselotte semakin putus asa. "Tuan Ryan, aku bersedia melakukan apapun! Kumohon lepaskan ayahku!" "Membiarkannya pergi?" tanya Ryan tenang. Mendengar nada lunak itu, harapan membuncah dalam dada Riselotte dan Sergei Anri. "Ya, ya!" Riselotte mengangguk penuh semangat. Namun detik berikutnya, kilatan dingin melesat–kepala Sergei Anri terpisah dari tubuhnya. "Mengapa aku harus mendengarkanmu?" suara Ryan bergema dingin memenuhi ruangan. "Jika kulepaskan dia hari ini, siapa yang akan melepaskanku di masa depan?" "Tidak membunuhmu