Othor belum sempat untuk menghitung Gem, nanti malam saja othor rekap. Selamat membaca semuanya (◠‿・)—☆ Bab Bonus: 1/3 Bab Antrian: 48
Waktu terus bergulir. Fuze melirik jam dengan tidak sabar sebelum mengalihkan tatapan meremehkan pada Sammy Lein. "Sepertinya bocah kesayanganmu tidak punya nyali untuk muncul," ejeknya kasar. "Waktu hampir habis. Kau tahu apa artinya kan?" Wajah Sammy Lein menggelap mendengar ejekan itu. "Ryan adalah Kepala Instruktur Eagle Squad. Dia sedang menjalankan misi penting! Wajar jika ada sedikit keterlambatan." "Hah!" Fuze tertawa mengejek. "Aku benar-benar tidak mengerti kenapa kalian begitu gigih melindungi sampah seperti dia. Misi penting? Dia pasti sedang bersembunyi ketakutan di suatu tempat. Benar-benar memalukan!" Sammy Lein menahan amarah yang bergolak dalam dadanya. Ia melirik Patrick yang masih pucat. "Apa Ryan mengatakan sesuatu saat menyelamatkanmu kemarin?" Patrick menggeleng lemah. "Tuan Ryan tidak mengatakan apa-apa. Tapi... bagaimana dengan Asosiasi Raja Bela Diri?" "Tim intelijen kita melaporkan Asosiasi Raja Bela Diri mendadak ditutup tanpa batas waktu," Sammy Lein m
Sebagai praktisi peringkat 99 dalam ranking grandmaster Nexopolis, Fuze sangat memahami jurang pemisah antara 100 besar dengan praktisi bela diri di bawahnya. Kualifikasi apa yang dimiliki sampah seperti Ryan untuk menantangnya? "Ryan!" raungnya murka. "Karena kau sudah di sini, naiklah ke arena dan terima kematianmu!" Sorakan riuh dari pasukan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural memenuhi arena, mendukung pernyataan angkuh Fuze. Ryan hanya melirik kerumunan itu dengan tatapan acuh. Ia berpaling pada sosok berkacamata di sampingnya. "Ayo, Galahad. Jika ada yang berani melanggar aturan..." sudut bibirnya melengkung dingin, "bunuh saja. Tanpa ampun." "Baik, Master," jawab Galahad hormat. Tak ada yang menyadari bahwa pria misterius itu adalah Beckham–pemimpin Asosiasi Raja Bela Diri yang ditakuti! Ryan melangkah mantap mendekati arena. Tiga meter sebelum mencapai panggung batu, ia mengalirkan energi qi ke kakinya dan melompat dengan gerakan ringan. Fuze mengamati g
Wajah Fuze berlumuran darah, tubuhnya dipenuhi luka. Para wasit dan anggota Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural menatap dengan wajah muram. Ini tak seharusnya terjadi! Rasa sakit yang membakar memicu amarah Fuze. Dengan gerakan putus asa, dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk meninju tangan Ryan, dan akhirnya berhasil membebaskan diri. Tubuhnya yang babak belur merangkak menjauh. Tatapannya dipenuhi kebencian dan amarah saat menatap Ryan. Penghinaan ini tak akan pernah dia lupakan! "Bajingan kecil, kau harus mati!" Raungan murka Fuze mengguncang arena. Aura mengerikan meledak dari tubuhnya, menciptakan pusaran angin yang mengamuk di sekitarnya. Kedua lengannya terentang lebar, seolah berusaha mengendalikan seluruh angin di area itu. Para penonton terkesiap mengenali pose itu. "Itu... bukankah itu Windstorm Slash?" bisik salah satu dari mereka. "Jurus pamungkas Grandmaster Fuze yang dia peroleh dari luar negeri!" "Dia menggunakannya melawan bocah ini?
"Bukankah wajar jika petarung tewas dalam duel hidup dan mati di arena?" Ryan bertanya santai, seolah hanya membicarakan cuaca. Para wasit terdiam sejenak sebelum salah satu dari mereka berkata tegas, "Identitasnya istimewa!" "Istimewa?" Ryan tersenyum mengejek. "Itu tidak berarti apa-apa bagiku. Siapapun yang berani menyinggung perasaanku akan berakhir dengan cara yang sama." "Bocah sombong!" amarah para wasit akhirnya meledak. "Hancurkan dia!" Ketiganya melesat maju secara bersamaan, berniat membunuh Ryan di tempat. Namun tepat sebelum serangan mereka mendarat, sebuah sosok muncul menghadang. Aura mengerikan menguar dari tubuhnya, membuat ketiga wasit membeku di tempat. "Berani sekali kalian!" sosok itu mendesis berbahaya. "Siapa yang berani menyentuhnya saat aku ada di sini?" Ketiga juri menatap curiga pada pria yang menghadang mereka. Sosok misterius itu masih mengenakan kacamata hitam dan topi, menciptakan penampilan yang sangat mencurigakan. 'Dia juga seorang praktisi s
Dalam sekejap mata, ketiga wasit melesat maju dengan niat membunuh yang terfokus pada Ryan. Namun bayangan hitam mendadak muncul menghadang–Galahad telah berdiri di depan tuannya. "Minggir!" salah satu wasit meraung murka, melancarkan serangan telapak tangan mematikan. Ryan yang masih bersandar santai di pilar menyipitkan mata. "Galahad," ujarnya dingin, "jangan biarkan satu pun hidup." "Baik, Master!" Para wasit nyaris tertawa mendengar perintah konyol itu. Namun tawa mereka langsung membeku saat Galahad bergerak. 'Gila!' batin mereka panik. 'Kecepatan dan aura ini...' 'Dia... seorang praktisi bela diri papan atas!' Sebelum mereka sempat bereaksi, Galahad telah berada di hadapan mereka. Ketiga wasit refleks melompat mundur, melepaskan jurus pamungkas secara bersamaan. BOOM! BOOM! BOOM! Gelombang kejut beruntun mengguncang arena. Debu dan puing beterbangan ke segala arah. Meski ketiga wasit berada di peringkat 80-90 ranking grandmaster Nexopolis, mereka tak sebanding de
'Mustahil,' Patrick menggeleng. 'Bagaimana mungkin pemimpin Asosiasi Raja Bela Diri mau berlutut pada Ryan?' Sammy Lein tampak lebih serius menanggapi kemungkinan itu. "Setelah ini, kita harus segera menghubungi orang itu," gumamnya cemas. "Saat ini, hanya dia yang bisa melindungi Ryan dari konsekuensi tindakannya." Ryan yang hendak melangkah turun dari arena mendadak menghentikan langkahnya saat seseorang dari kubu Fuze berteriak lantang, "Ryan, kau dalam masalah besar sekarang!" Tatapan dingin Ryan beralih pada sosok itu. "Jika kalian tidak senang," ujarnya tenang namun mengancam, "kalian bisa menyerangku bersama-sama. Kuberikan kalian waktu lima detik." Keheningan total menyelimuti arena. Lima detik berlalu tanpa seorang pun berani melangkah maju. Bagaimana mungkin mereka nekat menyerang setelah menyaksikan pembantaian barusan? Ryan mendengus mengejek sebelum melompat turun dari arena. "Galahad, ayo pergi." ** Di tempat lain, tepatnya di kedalaman Gunung Langit Biru, puluha
Begitu masuk ke dalam kuburan pedang, tatapan mata Ryan langsung tertuju pada batu nisan ketiga yang masih bergeming. Mungkinkah level kultivasinya belum cukup tinggi untuk membuka segel itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Mengapa para ahli menganggapnya sebagai satu-satunya harapan? Dan rahasia apa yang tersembunyi dalam Kuburan Pedang? Semua terasa begitu misterius, namun Ryan memaksa dirinya untuk tenang. Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi lebih kuat. Dengan tekad membara ia duduk bersila dan mulai berkultivasi. Energi spiritual yang tak terbatas mengalir dari batu giok naga, memenuhi meridian dalam tubuhnya. Cahaya merah berpendar samar saat raungan naga bergema di seluruh Kuburan Pedang. Sementara itu, di sebuah gedung mewah di Kota Riverdale, suara benturan keras memecah keheningan. BRAK! Rendy Zola, pria berwajah persegi yang menduduki peringkat ketujuh dalam ranking grandmaster Nexopolis, baru saja menghantam meja batu di hadapannya
Di Vila Pendragon, Ryan membuka mata tepat pukul tiga sore. Helaan napas panjang meluncur dari bibirnya–upayanya menerobos ke ranah Foundation Establishment tingkat keenam kembali gagal. Namun jika dipikir lagi, ini masuk akal. Ia baru saja menerobos dua level sekaligus. Terobosan baru secepat ini hampir mustahil. Meski begitu, Ryan tetap merasa tak puas. Keinginannya untuk membuka nisan pedang ketiga terlalu kuat untuk diabaikan. Setelah gagal berkultivasi, ia memutuskan mempelajari warisan pengetahuan Chen Feng. Sebagian besar memang masih terkunci karena level kultivasinya belum mencukupi, namun ada satu teknik yang bisa ia pelajari–Telapak Membakar Bumi! Teknik ini konon mampu membunuh seribu orang dalam satu serangan jika dikuasai sepenuhnya. Chen Feng memang bukan kultivator sembarangan. Tanpa ragu, Ryan mulai mengalirkan energi qi sesuai jalur yang dijelaskan dalam ingatannya. Perlahan namun pasti, api kecil mulai menyembur dari telapak tangannya. Sensasi terbakar
Ibu Yura Dustin yang tadinya tak sadarkan diri perlahan membuka mata. "Ibu! Ibu baik-baik saja?" Yura nyaris menangis bahagia. "Air... aku mau air hangat..." pinta sang ibu lemah. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arah Ryan. Permintaan itu persis seperti yang ia prediksikan! Seorang pramugari bergegas mengambilkan air hangat. Setelah meminumnya perlahan, warna mulai kembali ke wajah ibu Yura. Wanita itu menatap Ryan dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. Namun melihat pemuda itu sedang beristirahat, ia memilih diam. "Berkat pemuda ini aku baik-baik saja," ujarnya lembut pada kerumunan. "Semuanya silakan bubar." Sang dokter masih ingin protes, namun petugas keamanan segera membawanya pergi ke belakang. Keributan mereda, namun tatapan penasaran terus tertuju pada Ryan sepanjang sisa penerbangan. Para penumpang kelas satu yang kebanyakan pebisnis dan tokoh berpengaruh bisa merasakan ada yang istimewa dari pemuda misterius itu. Banyak yang ingin menyerahkan kartu nama,
Pramugari yang dipanggil segera membuat pengumuman mencari dokter di pesawat. Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa kondisi wanita itu. "Apa penyakit ibumu?" "Dokter, ibu saya menderita CORD stadium akhir," Yura menjelaskan panik. "Selama ini bergantung pada obat, tapi sekarang obatnya hilang..." "Apa?!" sang dokter melotot. "Kenapa bepergian dengan penyakit seserius itu? Kau tidak tahu ini butuh pengobatan rutin?" Tanpa buang waktu ia memberi instruksi pada pramugari. "Cepat beritahu kapten untuk mendarat di kota terdekat! Kalau tidak, bahkan dokter ajaib pun tak akan bisa menyelamatkannya!" Tepat saat pramugari hendak berlari ke kokpit, sebuah suara tenang terdengar. "Tidak perlu mendaratkan pesawat. Aku bisa menolongnya." Semua mata tertuju pada Ryan. Yura masih panik–dia tahu betul betapa mengerikannya PPOK stadium akhir. Tanpa obat dan peralatan medis profesional, mustahil mengobatinya! Sang dokter mendengus. "Jangan bercanda! Nyawa sedang dipertaruhkan!"
Pagi itu, suasana Bandara Riveria tampak ramai seperti biasa. Di area keberangkatan domestik, Ryan berdiri dengan santai diapit oleh dua wanita cantik–Adel dan Rindy. "Kau yakin tidak mau kami ikut?" tanya Adel dengan nada khawatir. Tangannya menggenggam lengan Ryan erat, enggan melepaskan. Ryan tersenyum tipis. "Tidak perlu. Selain itu, Galahad dan Lancelot akan menjaga kalian selama aku pergi." Ia melirik kedua pengawalnya yang berdiri tak jauh dari sana. "Lagipula, aku hanya pergi sebentar. Paling lama satu minggu." "Tapi..." Adel masih tampak ragu. "Sudahlah," Rindy menyela sambil tersenyum jahil. "Biarkan saja dia pergi. Toh dia pasti akan kembali–kecuali kalau dia berani selingkuh di Ibu Kota." Ryan tertawa kecil mendengar ancaman terselubung itu. Ia mengacak rambut Rindy dengan gemas. "Mana berani aku selingkuh kalau punya dua wanita secantik kalian?" "Gombal!" Rindy menepis tangan Ryan dengan wajah merona. Pengumuman keberangkatan pesawat RD8978 menggema di terminal,
Ryan menepuk bahu Lancelot dengan gestur menenangkan. "Masalah ini tidak mendesak," ujarnya tenang. "Aku akan berangkat ke Ibu Kota lebih dulu. Kau dan yang lain dari Guild Round Table bisa menyusul nanti. Saat ini, fokusmu haruslah meningkatkan kekuatan." "Baik, Ketua Guild," Lancelot membungkuk hormat. Setelah berpamitan dengan kedua bawahannya, Ryan teringat sesuatu. Eagle Squad pasti memiliki pengaruh di Ibu Kota–akan lebih mudah jika mereka yang mengatur perjalanannya. Baru saja ia hendak menghubungi Sammy Lein, sebuah mobil yang terparkir di luar vila membunyikan klakson. Ryan menggeleng geli sebelum melangkah menuju kendaraan itu. Seperti dugaannya, Sammy Lein dan Patrick telah menunggu di dalam. "Jangan bilang kalian menunggu di sini selama sepuluh hari," godanya sambil masuk ke dalam mobil. "Aku tak akan percaya." Sammy Lein tertawa canggung. "Tuan Ryan mungkin tidak tahu, tapi Eagle Squad telah beberapa kali mencoba menemui Anda. Nona Rindy selalu mengatakan Anda
"Muridku," suaranya bergema dalam kekosongan, "di dunia ini terdapat 3000 Dao Besar dan Dao Kecil yang tak terhitung jumlahnya! Sepanjang hidupku, aku menekuni Dao Pembantaian dan niat pedang." Pedang Suci Caliburn berdengung di tangannya, beresonansi dengan kata-katanya. "Pedang adalah raja dari segala senjata. Baik untuk menyerang maupun bertahan, tak ada yang menandinginya!" "Pedang Pembelah Langit yang akan kuwariskan padamu memiliki tiga jurus. Setiap jurus mengandung hukum Dao Agung yang kusempurnakan. Jika kau memiliki kekuatan yang cukup, teknik ini mampu menghancurkan langit itu sendiri!" "Itulah mengapa ia dinamakan Pedang Pembelah Langit!" Lelaki tua itu mengacungkan Caliburn tinggi-tinggi. Niat pedang yang terpancar darinya begitu pekat hingga membuat udara bergetar. Ryan bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya dengan menatapnya. "Jurus pertama–Naga Membelah Langit!" Pedang di tangannya bergerak bagai kilat, menciptakan bayangan naga raksasa yang me
Sebagai kultivator yang baru mengenal enam ranah–Body Tempering, Qi Gathering, Foundation Establishment, Golden Core, Nascent Soul, dan Heavenly Soul–Ryan paham betul besarnya kesenjangan kekuatan mereka. Setiap ranah terbagi menjadi sembilan tingkat. Dan kini, sebagai kultivator Foundation Establishment, ia harus menghadapi praktisi ranah Nascent Soul! 'Bagaimana mungkin aku bisa menang?' batinnya frustrasi. Seolah membaca pikirannya, lelaki tua itu melepaskan sinar pedang ke arah kepala Ryan. Dalam sekejap ia telah muncul di hadapan pemuda itu. "Kau ingin tahu mengapa aku menggunakan ranah yang jauh lebih tinggi?" suaranya dalam dan berat. "Akan kuberitahu!" "Dao Pembantaian berada di ambang hidup dan mati," lelaki tua itu melanjutkan dengan nada serius. "Dengan teknik ini, kau bahkan bisa membunuh mereka yang jauh lebih kuat darimu!" Dia menghentakkan pedangnya, menciptakan gelombang tekanan yang membuat Ryan terhuyung. "Jika kau mampu bertahan dari seranganku, kelak saat meng
Di sebuah bangunan megah nan misterius di Ibu Kota, Lucas Ravenclaw duduk dengan tenang sembari menyeka pedangnya yang berwarna merah darah. Pedang itu berpendar dengan energi qi yang tak kalah kuat dari Pedang Suci Caliburn. Meski tak melepaskan aura apapun, kehadirannya saja sudah menciptakan tekanan berat yang membuat orang biasa kesulitan bernapas. Di hadapannya, seorang lelaki tua berambut putih berlutut dengan tubuh gemetar. "Tuan Lucas, saya telah menyelidiki orang-orang yang mengikuti Anda hari ini. Mereka berasal dari Provinsi Riveria, namun asal-usul sebenarnya masih belum jelas." "Heh," Lucas Ravenclaw mendengus dingin. "Sudah bertahun-tahun berlalu, belum ada yang berani berbuat kurang ajar seperti ini. Apakah mereka ingin mati?" "Terus selidiki. Begitu tahu siapa yang mengirim mereka, bunuh semuanya. Jangan sisakan satu pun." Lelaki tua itu mengangguk patuh sebelum teringat sesuatu. "Tuan Lucas, mengapa Anda tiba-tiba kembali ke Ibu Kota kali ini?" Lucas Ravenclaw
Ryan melepaskan pelukannya dari Rindy dan duduk di sofa. Ia tak ingin membuat kedua gadis itu khawatir dengan menceritakan pertarungannya melawan Sergei Anri dan Departemen Penanggulangan Bencana Supranatural. "Hanya urusan bisnis biasa," jawabnya santai. "Beberapa masalah kecil yang harus diselesaikan." Meski ekspresi kedua gadis itu menunjukkan ketidakpercayaan, mereka memilih tidak mendesak lebih jauh. Jika Ryan memilih menyembunyikan sesuatu, pasti ada alasannya. Ryan bangkit untuk mengambil segelas air. Saat meneguknya, ia teringat sesuatu yang penting. "Ada yang harus kuberitahu pada kalian," ujarnya serius. "Aku perlu berlatih dalam isolasi selama sepuluh hari ke depan untuk sebuah terobosan penting dalam kultivasiku." Ia meletakkan gelasnya sebelum melanjutkan, "Selama sepuluh hari ini, aku akan mengurung diri di kamar lantai tiga. Galahad dan beberapa praktisi dari Guild Round Table akan berjaga di luar. Jika kalian perlu keluar, mereka harus menemani kalian." "Penga
"Tuan Ryan, kumohon lepaskan ayahku!" jeritnya serak. Jika sang ayah tewas, Keluarga Anri akan kehilangan pilar pendukungnya! Meski merasa kasihan pada temannya, Juliana tetap berkata tegas, "Tuan Ryan, Anda tidak perlu mempertimbangkan perasaan saya. Dia pantas mati." Jika Sergei Anri dibiarkan hidup, dia pasti akan mencari kesempatan membalas dendam. Dan saat itu terjadi, keluarga Herbald pasti akan terseret. Melihat Juliana tak berniat campur tangan, Riselotte semakin putus asa. "Tuan Ryan, aku bersedia melakukan apapun! Kumohon lepaskan ayahku!" "Membiarkannya pergi?" tanya Ryan tenang. Mendengar nada lunak itu, harapan membuncah dalam dada Riselotte dan Sergei Anri. "Ya, ya!" Riselotte mengangguk penuh semangat. Namun detik berikutnya, kilatan dingin melesat–kepala Sergei Anri terpisah dari tubuhnya. "Mengapa aku harus mendengarkanmu?" suara Ryan bergema dingin memenuhi ruangan. "Jika kulepaskan dia hari ini, siapa yang akan melepaskanku di masa depan?" "Tidak membunuhmu