Terima Kasih Kak Jhonny, Kak Alberth, Kak Hari, Kak Adhen, Kak Zaenul, Kak Pengunjung5881, Kak Berliana, dan Kak Roselin atas dukungan Gem-nya (. ❛ ᴗ ❛.) Dengan ini, telah tercapai 10 Gem, yang artinya ada 1 bab bonus dalam antrian (≧▽≦) Akumulasi Gem Bab Bonus: 22-11-2024 (malam): 0 Gem (reset) Bab Bonus Gem Hari ini: 3/4 Bab Bonus Gem Antrian: 40 Masih ada satu bab lagi nih. Di tunggu ya ... Selamat Membaca (◠‿・)—☆
Frederich berpikir sejenak dan berkata, "Tuan Ryan, salah satu leluhur Keluarga Herbald memang pandai besi." "Saya pernah mendengar tentang bahan pembuat pedang yang Anda sebutkan. Namun, itu dianggap sebagai harta Keluarga Herbald. Tidak mungkin itu akan diberikan kepada orang luar." Ryan mengangguk mendengarkan dengan seksama. Di tangannya, Pedang Suci Caliburn yang patah berpendar samar, seolah merespons pembicaraan tentang bahan pembuatnya. "Lagipula," Frederich melanjutkan dengan nada hati-hati, "bahan itu ada di tangan kepala keluarga saat ini. Mengingat sifatnya yang pemarah, mustahil mengambil sesuatu darinya!" Frederich menatap Caliburn dengan sorot mata penuh minat sebelum melanjutkan, "Namun, karena Tuan Ryan sangat membutuhkannya, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelidiki masalah ini. Meski begitu, jika saya gagal, saya harap Tuan Ryan memaklumi." Frederich sungguh tak menyangka Ryan berani mengincar harta pusaka Keluarga Herbald. Bahan untuk menempa Pedan
Usia wanita itu sekitar dua puluh tahun, tinggi semampai dengan pembawaan yang begitu berwibawa. Setiap gerakannya mencerminkan keanggunan yang natural, bukan hasil latihan. "Tuan Ryan," Angelica berbisik pelan, "Anda pasti pernah mendengar tentang tiga wanita tercantik Kota Riverpolis, bukan?" Ryan mengangguk. Rindy memang salah satu dari mereka. Entah siapa yang menciptakan gelar itu, tapi Ryan tak bisa membantah Rindy memang layak menyandangnya. "Selain Nona Rindy yang Anda kenal, ada dua wanita lainnya. Dan yang baru keluar itu adalah salah satunya," Angelica melanjutkan. U"Namanya Juliana Herbald. Dalam silsilah keluarga, saya harus memanggilnya Bibi Juliana. Meski begitu, usianya mungkin hanya terpaut setahun atau dua dari Tuan Ryan." "Juliana Herbald sangat pandai menangani berbagai urusan, baik internal maupun eksternal. Namanya begitu terkenal di kalangan keluarga berpengaruh Kota Riverpolis. Terlebih, posisinya di keluarga utama sangat tinggi." "Oh." Ryan menanggapi da
Mata Ryan menyipit penuh minat. "Kau cukup terus terang. Bagaimana kalau ternyata tidak seperti itu?" "Saat ini sedang ada rapat keluarga, hanya anggota keluarga yang diizinkan masuk. Jadi kedatanganmu ke sana jelas menunjukkan kau butuh bantuan Keluarga Herbald." Juliana menyesap kopinya sebelum melanjutkan, "Aku selalu bersikap lugas dalam segala hal. Katakan saja apa yang kau mau. Jika aku bisa membantu, tentu akan kubantu. Demi Lindsay, aku akan melakukan yang terbaik untukmu." Melihat lawan bicaranya begitu terbuka, Ryan memutuskan tak perlu bertele-tele. "Aku tahu Keluarga Herbald pernah menjadi keluarga penempa pedang. Aku membutuhkan bahan baku untuk pedang milikku." Tak ada keterkejutan di mata Juliana. Ia meletakkan cangkirnya dengan gerakan elegan. "Memang benar keluargaku dulunya pandai besi, bahkan kami telah menempa ribuan pedang. Bahan pedang seperti apa yang kau butuhkan?" Ryan tak menjawab dengan kata-kata. Dalam sekejap, Pedang Suci Caliburn telah muncul di tanga
Di saat kritis itu, aliran udara mendadak berputar kencang hingga membalikkan meja. Angin tajam itu bahkan menggores pipi Juliana. Namun yang lebih mengejutkan, sebuah tangan telah muncul di depan dahinya! Tangan Ryan! Segalanya terjadi begitu cepat hingga pikiran Juliana seolah membeku. TING! Ryan membuka telapak tangannya, memperlihatkan peluru yang kini tergeletak di atas meja terbalik. Juliana akhirnya tersadar dari keterkejutannya. Seseorang benar-benar mencoba membunuhnya! Jika bukan karena Ryan, ia pasti sudah mati! Ryan bahkan mampu menangkap peluru senapan runduk dengan tangan kosong! Bagaimana mungkin? Seorang praktisi bela diri hebat memang bisa menangkap peluru, tapi tak semudah yang Ryan lakukan. Terlebih jarak mereka hanya beberapa meter! Rasa takut merayap di hatinya–bukan karena percobaan pembunuhan itu, tapi karena sosok angkuh dan misterius di hadapannya! Tanpa membuang waktu, Juliana mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Matanya berkila
"Ada apa, Adel Sayang?" Helaan napas lega terdengar dari seberang. "Ryan, kau di mana sekarang? Bisakah datang ke Gedung Trading Tower? Golden Dragon Group menghadapi masalah kecil..." "Rindy tidak bersamamu?" Ryan mengerutkan kening. Dengan kemampuan Rindy, seharusnya ia bisa menangani banyak hal. "Rindy kembali ke kediaman Keluarga Snowfield untuk menyelesaikan beberapa urusan," jawab Adel. "Ponselnya tidak aktif." "CEO Jeremy baru saja berangkat dan masih di pesawat, jadi tidak bisa dihubungi untuk sementara. Sudahlah, jangan banyak tanya. Cepat datang ya? Aku di lantai 15 Gedung Trading Tower." "Baiklah, tunggu aku di sana." Ryan menutup telepon dan meminta Derick mengarahkan mobil ke sana. Ia ingat Adel memang telah menyewa seluruh lantai Gedung Trading Tower beberapa hari lalu sebagai kantor cabang Golden Dragon Group di Kota Riverpolis. Nantinya, mereka akan membangun gedung sendiri di kota ini. Selama masa transisi ini, Adel bertanggung jawab penuh atas operasional
"Bajingan, kau memaksaku menggunakan kekerasan!" geram Zurich Loot murka. "Jalang, jangan sok jual mahal. Kau pikir kau siapa? Ini bukan Kota Golden River!""Tapi aku suka semangatmu. Hari ini, kau akan menjadi salah satu koleksiku!"Zurich melepas jasnya dan mendekati Adel dengan langkah mengancam. Dia melirik ke arah dua pengawalnya. "Kalian keluar dan jaga pintu. Jangan masuk apapun yang kalian dengar. Aku tidak ingin diganggu saat bersenang-senang!""Baik, Tuan Muda!"Kedua pengawal itu saling pandang sebelum melangkah keluar ruangan.Zurich menjilat bibirnya, menatap Adel penuh nafsu. Hasrat primitif mengalir deras di sekujur tubuhnya saat ia bersiap menerkam mangsanya.BOOM!Pintu kantor mendadak terbuka dengan keras!"Brengsek!"Zurich meraung murka. "Bukankah sudah kubilang jangan ganggu aku?!"Namun Zurich langsung terdiam saat menoleh dan mendapati kedua pengawalnya tergelet
"Itu tidak mungkin benar, kan..." Zurich bergumam tidak percaya.Dengan tangan gemetar ia mengambil ponsel dari lantai dan menekan tombol jawab. "Ayah..."Suaranya nyaris tak terdengar."Zurich Loot!" suara menggelegar terdengar dari seberang. "Siapa yang kau sakiti?! Keluarga Loot sekarang dipenuhi mayat! Dasar binatang buas! Kau–"Panggilan terputus mendadak.Zurich merasa seolah terjun ke jurang tak berdasar. Sebuah panggilan singkat telah menentukan nasib seluruh keluarganya!Dia bahkan tak berani menatap pemuda di hadapannya. Iblis macam apa orang ini?Dengan panik ia bersujud di hadapan Ryan. "Tuan... saya, saya... saya salah! Tolong lepaskan saya. Saya bersedia..."Satu-satunya yang ia inginkan sekarang adalah tetap hidup! Selama masih bernapas, masih ada harapan!"Kau seharusnya tidak memprovokasku," ujar Ryan dingin. "Dan kau seharusnya tidak mencoba menyentuh paca
Tang San masih dipenuhi amarah. Ia menekan kedua tangannya ke meja konferensi."Aku sangat menyadari hal itu! Tapi jika kalian tak bisa menemukan Hunter, setidaknya cari tahu identitas kekuatan sialan yang menghalangi kita!"Sang tetua hanya bisa terdiam canggung.Tepat saat itu, seorang staf mengetuk pintu aula dengan tergesa."Masuk!" perintah Tang San dengan suara berat.Ia menatap tajam staf yang tampak panik itu. "Ada apa? Kau tidak tahu kami sedang rapat?!"Wajah staf itu memucat. Terakhir kali seseorang melaporkan berita buruk pada Tang San, orang itu berakhir mati. Ia tak ingin mengalami nasib serupa."Presiden Tang, ada seorang gadis di luar yang mengaku tahu identitas orang di foto itu."Mata Tang San menyipit. Ia mencengkeram kerah staf itu penuh semangat. "Benarkah? Cepat bawa dia masuk!""Ba-baik, Tuan!"Tak lama kemudian, seorang wanita muda melangkah masuk. Tang San sed
Yura Dustin dan ibunya, merasakan ada yang tidak beres, bergegas menghampiri pintu. Begitu melihat pemandangan di luar, mata mereka terbelalak kaget. Keduanya berdiri terpaku, seolah berubah menjadi patung.'Apakah pemalsuan Ryan telah ditemukan?' batin Yura Dustin panik. 'Apakah militer seefisien ini?'"Kalian berdua, ini…" Gordon Dustin akhirnya menemukan suaranya kembali, meski terdengar gemetar.Salah satu pemuda melangkah maju, tatapannya tajam saat berkata dengan serius, "Halo, kami di sini untuk menjemput pemimpin kami."Kata-kata itu bagaikan petir di siang bolong bagi keluarga Dustin. Berbagai emosi berkecamuk dalam dada mereka–kaget, bingung, dan sedikit... takut?'Mungkinkah anak itu benar-benar memiliki identitas itu?' pikiran itu terlintas dalam benak mereka bertiga. 'Mustahil!'Memang benar, tanda pengenal mungkin saja palsu. Tapi dua orang berseragam dan kendaraan militer di depan mereka? Itu jelas bukan sesuatu yang mudah dipalsukan.Gordon Dustin, berusaha menguasa
Ryan menatap kartu itu sejenak sebelum mendengus pelan. Tanpa peringatan, ia menampar kartu itu hingga terjatuh ke lantai.Bersamaan dengan itu, Gordon Dustin merasakan gelombang udara tak kasat mata menyapu ke arahnya. Tubuhnya terdorong mundur lima hingga enam langkah tanpa bisa ia kendalikan, nyaris membuatnya jatuh terjengkang."Aku tidak peduli dengan uang sebanyak ini," ujar Ryan dingin. "Aku tidak akan mengganggumu."Dengan itu, Ryan berbalik dan melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya tanpa menoleh lagi."Ayah, kau sudah bertindak terlalu jauh," Yura Dustin berseru marah sebelum bergegas mengejar Ryan.Namun begitu ia membuka pintu, sosok pemuda itu telah lenyap tanpa jejak. Yura Dustin mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tak menemukan tanda-tanda keberadaan Ryan.Nyonya Dustin melirik suaminya dengan tatapan kecewa. Di menghela napas panjang sebelum berkata, "Gordon, kali ini kamu benar-benar buta! Tuan Ryan baru saja datang, jadi aku tidak bisa berkata apa-a
Setengah jam kemudian, sebuah BMW melaju memasuki jalan kecil menuju sebuah kompleks vila. Suasana di sana sangat tenang, pepohonan rindang berjajar di sepanjang jalan memberikan kesan asri dan nyaman. Bangunan-bangunan vila tampak masih baru, dengan desain modern minimalis yang elegan.Mobil berhenti di depan salah satu vila. Ryan turun, matanya menyapu sekeliling mengamati lingkungan barunya. Udara sejuk menyapanya, membuat suasana hatinya sedikit membaik setelah perjalanan panjang yang melelahkan.Pasangan ibu dan anak itu membawa Ryan memasuki vila. Begitu pintu terbuka, mereka disambut pemandangan ruang tamu yang luas dan nyaman. Seorang pria paruh baya tengah duduk di sofa, fokus membaca koran di tangannya.Mendengar suara pintu terbuka, pria itu bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari korannya, "Yura, bagaimana perjalananmu ke Provinsi Riveria? Apakah kamu menikmatinya?"Orang yang berbicara adalah ayah Yura Dustin, Gordon Dustin. Pria itu telah berkecimpung dalam bisnis
Ibu Yura Dustin yang tadinya tak sadarkan diri perlahan membuka mata. "Ibu! Ibu baik-baik saja?" Yura nyaris menangis bahagia. "Air... aku mau air hangat..." pinta sang ibu lemah. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arah Ryan. Permintaan itu persis seperti yang ia prediksikan! Seorang pramugari bergegas mengambilkan air hangat. Setelah meminumnya perlahan, warna mulai kembali ke wajah ibu Yura. Wanita itu menatap Ryan dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. Namun melihat pemuda itu sedang beristirahat, ia memilih diam. "Berkat pemuda ini aku baik-baik saja," ujarnya lembut pada kerumunan. "Semuanya silakan bubar." Sang dokter masih ingin protes, namun petugas keamanan segera membawanya pergi ke belakang. Keributan mereda, namun tatapan penasaran terus tertuju pada Ryan sepanjang sisa penerbangan. Para penumpang kelas satu yang kebanyakan pebisnis dan tokoh berpengaruh bisa merasakan ada yang istimewa dari pemuda misterius itu. Banyak yang ingin menyerahkan kartu nama,
Pramugari yang dipanggil segera membuat pengumuman mencari dokter di pesawat. Tak lama kemudian seorang dokter datang memeriksa kondisi wanita itu. "Apa penyakit ibumu?" "Dokter, ibu saya menderita CORD stadium akhir," Yura menjelaskan panik. "Selama ini bergantung pada obat, tapi sekarang obatnya hilang..." "Apa?!" sang dokter melotot. "Kenapa bepergian dengan penyakit seserius itu? Kau tidak tahu ini butuh pengobatan rutin?" Tanpa buang waktu ia memberi instruksi pada pramugari. "Cepat beritahu kapten untuk mendarat di kota terdekat! Kalau tidak, bahkan dokter ajaib pun tak akan bisa menyelamatkannya!" Tepat saat pramugari hendak berlari ke kokpit, sebuah suara tenang terdengar. "Tidak perlu mendaratkan pesawat. Aku bisa menolongnya." Semua mata tertuju pada Ryan. Yura masih panik–dia tahu betul betapa mengerikannya PPOK stadium akhir. Tanpa obat dan peralatan medis profesional, mustahil mengobatinya! Sang dokter mendengus. "Jangan bercanda! Nyawa sedang dipertaruhkan!"
Pagi itu, suasana Bandara Riveria tampak ramai seperti biasa. Di area keberangkatan domestik, Ryan berdiri dengan santai diapit oleh dua wanita cantik–Adel dan Rindy. "Kau yakin tidak mau kami ikut?" tanya Adel dengan nada khawatir. Tangannya menggenggam lengan Ryan erat, enggan melepaskan. Ryan tersenyum tipis. "Tidak perlu. Selain itu, Galahad dan Lancelot akan menjaga kalian selama aku pergi." Ia melirik kedua pengawalnya yang berdiri tak jauh dari sana. "Lagipula, aku hanya pergi sebentar. Paling lama satu minggu." "Tapi..." Adel masih tampak ragu. "Sudahlah," Rindy menyela sambil tersenyum jahil. "Biarkan saja dia pergi. Toh dia pasti akan kembali–kecuali kalau dia berani selingkuh di Ibu Kota." Ryan tertawa kecil mendengar ancaman terselubung itu. Ia mengacak rambut Rindy dengan gemas. "Mana berani aku selingkuh kalau punya dua wanita secantik kalian?" "Gombal!" Rindy menepis tangan Ryan dengan wajah merona. Pengumuman keberangkatan pesawat RD8978 menggema di terminal,
Ryan menepuk bahu Lancelot dengan gestur menenangkan. "Masalah ini tidak mendesak," ujarnya tenang. "Aku akan berangkat ke Ibu Kota lebih dulu. Kau dan yang lain dari Guild Round Table bisa menyusul nanti. Saat ini, fokusmu haruslah meningkatkan kekuatan." "Baik, Ketua Guild," Lancelot membungkuk hormat. Setelah berpamitan dengan kedua bawahannya, Ryan teringat sesuatu. Eagle Squad pasti memiliki pengaruh di Ibu Kota–akan lebih mudah jika mereka yang mengatur perjalanannya. Baru saja ia hendak menghubungi Sammy Lein, sebuah mobil yang terparkir di luar vila membunyikan klakson. Ryan menggeleng geli sebelum melangkah menuju kendaraan itu. Seperti dugaannya, Sammy Lein dan Patrick telah menunggu di dalam. "Jangan bilang kalian menunggu di sini selama sepuluh hari," godanya sambil masuk ke dalam mobil. "Aku tak akan percaya." Sammy Lein tertawa canggung. "Tuan Ryan mungkin tidak tahu, tapi Eagle Squad telah beberapa kali mencoba menemui Anda. Nona Rindy selalu mengatakan Anda
"Muridku," suaranya bergema dalam kekosongan, "di dunia ini terdapat 3000 Dao Besar dan Dao Kecil yang tak terhitung jumlahnya! Sepanjang hidupku, aku menekuni Dao Pembantaian dan niat pedang." Pedang Suci Caliburn berdengung di tangannya, beresonansi dengan kata-katanya. "Pedang adalah raja dari segala senjata. Baik untuk menyerang maupun bertahan, tak ada yang menandinginya!" "Pedang Pembelah Langit yang akan kuwariskan padamu memiliki tiga jurus. Setiap jurus mengandung hukum Dao Agung yang kusempurnakan. Jika kau memiliki kekuatan yang cukup, teknik ini mampu menghancurkan langit itu sendiri!" "Itulah mengapa ia dinamakan Pedang Pembelah Langit!" Lelaki tua itu mengacungkan Caliburn tinggi-tinggi. Niat pedang yang terpancar darinya begitu pekat hingga membuat udara bergetar. Ryan bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang hanya dengan menatapnya. "Jurus pertama–Naga Membelah Langit!" Pedang di tangannya bergerak bagai kilat, menciptakan bayangan naga raksasa yang me
Sebagai kultivator yang baru mengenal enam ranah–Body Tempering, Qi Gathering, Foundation Establishment, Golden Core, Nascent Soul, dan Heavenly Soul–Ryan paham betul besarnya kesenjangan kekuatan mereka. Setiap ranah terbagi menjadi sembilan tingkat. Dan kini, sebagai kultivator Foundation Establishment, ia harus menghadapi praktisi ranah Nascent Soul! 'Bagaimana mungkin aku bisa menang?' batinnya frustrasi. Seolah membaca pikirannya, lelaki tua itu melepaskan sinar pedang ke arah kepala Ryan. Dalam sekejap ia telah muncul di hadapan pemuda itu. "Kau ingin tahu mengapa aku menggunakan ranah yang jauh lebih tinggi?" suaranya dalam dan berat. "Akan kuberitahu!" "Dao Pembantaian berada di ambang hidup dan mati," lelaki tua itu melanjutkan dengan nada serius. "Dengan teknik ini, kau bahkan bisa membunuh mereka yang jauh lebih kuat darimu!" Dia menghentakkan pedangnya, menciptakan gelombang tekanan yang membuat Ryan terhuyung. "Jika kau mampu bertahan dari seranganku, kelak saat meng