“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Leon melihat Natasha sedang melamun.
Wanita itu tersadar dari lamunannya dan menggelengkan kepalanya. “Tidak ada.”
“Kau tidak sedang berbohong padaku bukan, Moy lev?” Leon memicingkan matanya tidak percaya.
“Untuk apa aku berbohong padamu. Katanya kau tidak bisa makan karena tanganmu sakit.”
“Tanganku memang sakit. Aku tidak bisa menggerakkannya. Aahh…” Leon berpura-pura meringis sakit saat menggerakkan tangannya.
“Baiklah. Baiklah. Aku akan menyuapimu.”
Natasha mengambil piring di atas meja dan mulai menyuapi Leon. Pria itu mirip sekali
Ya ampun Leon bucinnya sampai segitunya ya... Gemesin banget sih. Kalau enggak ada Natasha jadi garang. Tapi kalau ada Natasha jadi kucing mengeong-ngeong gemes wkwkwk.....
Setelah selesai mengganti perban di bahu Leon, dokter dan perawat itu bergegas keluar. Mereka begitu gugup terlalu dekat dengan pria paling ditakuti di kota itu. Senyuman lebar Leon mengembang di wajahnya ketika menatap Natasha yang berdiri di sampingnya. “Jadi hadiah apa yang ingin kau berikan padaku, Moy lev?” tanya Leon tak sabar. “Hadiah, ya? Hmm… ini hadiah yang ingin kuberikan.” Natasha menunduk untuk mencium pipi pria itu. Kemudian kedua tangannya terulur mengelus rambut Leon. “Anak pintar.” Leon mendengus tak percaya karena melihat Natasha memperlakukannya seperti anak mereka. “Aku bukan Liev atau Karl, Moy lev. Bagaimana bisa ciuman itu disebut hadiah?” “Tapi kau terlihat sangat manja seperti
“Apa kau sudah melupakanku? Mengapa kau tidak menelponku?” suara Iris yang keras membuat Natasha harus menjauhkan smartphone dari telinganya. Tepat saat Natasha kembali ke rumah Leon, sahabatnya itu menelpon. Setelah iris selesai dengan omelannya, Natasha kembali menempelkan benda pipih itu ke telinganya. “Maafkan aku, Iris. Banyak hal terjadi di sini. Jadi aku lupa untuk menelponmu.” “Apa yang terjadi? Apakah terjadi hal buruk dengan anak-anak?” cemas Iris. “Apa kau hanya peduli pada triplet dibandingkan aku?” “Mau bagaimana lagi. Hanya anak-anak yang masih menghubungiku. Bukankah mereka jauh lebih baik dibandingkan ibu mereka.” Ucap Iris terdengar kesal.
Dengan menggandeng tangan Liev, Natasha berjalan keluar dari pusat alat bantu dengar di Moscow. Langkahnya terhenti kemudian Natasha berlutut sehingga wajahnya sejajar dengan putranya. Terlihat wajah Liev tampak cerah karena bahagia mendapatkan alat bantu dengar yang lebih bagus daripada sebelumnya. “Apa kau bisa mendengarkan Mom, Liev?” tanya Natasha memastikan alat itu bekerja dengan baik. Bocah laki-laki itu menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat. “Aku bisa mendengar suara Mom dengan sangat jelas.” “Mom senang mendengarkannya, Jagoan.” Bibir Natasha melengkung lebar. “Mom, apakah kita bisa mampir ke rumah sakit? Aku ingin berterimakasih pada Dad.” Pinta Liev.
“Kita bertemu lagi, Kak.” Valentine melambaikan tangan dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Tidak hanya Natasha yang terkejut dengan kehadiran Valentine. Triplet pun juga terdiam memandang gadis yang saat ini bergelayut manja di leangan Leon. Berbeda dengan kemarin saat Leon mendorong Valentine agar melepaskan pelukan di lengannya, kali ini Leon hanya diam tidak melakukan apapun. Jadi inikah rasa cemas yang kurasakan sejak tadi? Gumam Natasha dalam hatinya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Natasha melengkah maju dan menyembunyikan anak-anak di belakang tubuhnya. Tak ingin wanita dengan otak tidak waras seperti Valentine melukai malaikat-malaikat kecilnya.
Iris berjalan keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuhnya. Wanita bertubuh indah itu sudah mengenakan baju tidur berwarna pink. Untuk kesekian kalinya dia menguap karena rasa kantuk yang menyerangnya. Namun dia harus memberikan serum untuk menjaga kesehatan kulit wajahnya. Karena itu dia tetap menyeret tubuhnya menuju meja rias. Baru saja wanita itu duduk, sudah terdengar suara ketukan di pintu rumahnya. Dahi Iris berkerut mendengarnya. “Siapa yang bertamu jam sebelas malam begini?” gerutu Iris akhirnya menyeret langkahnya keluar kamar dan berjalan menuju pintu rumahnya. Saat membuka pintu rumah, dia terkejut melihat Natasha berdiri bersama ketiga anaknya. Iris berpikir karena Natasha akan menikah dengan ayah triplet sehingga mereka tidak akan kembali lagi ke
Leon berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Tatapannya yang kosong memandang taman yang ada di depan rumahnya. Dua jam yang lalu Natasha dan anak-anak sudah pergi meninggalkan rumah. Membuat rumah itu menjadi sepi seperti sebelumnya. Kedua tangan Leon yang terkepal erat dimasukkan ke dalam saku celananya. Terdengar suara pintu ruangan terbuka membuat Leon menoleh. Dia bisa melihat kepala pelayan Stalin berjalan masuk mendekati Leon. “Apa kau sudah mempersiapkan kamar untuk Valentine?” tanya Leon saat melihat kepala pelayan itu berhenti tidak jauh darinya. Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan muda. Saat ini Miss Levitan sedang beristirahat. Saya juga sudah menyuruh seorang pelayan untuk melayaninya.”
Pintu belakang rumah dibuka. Terlihat Valentine berjalan keluar menghampiri Leon yang berdiri di halaman belakang rumahnya. Pria itu tidak menyadari kehadiran Valentine karena terlalu serius menembak. Suara keras dari pistol yang melepaskan peluru ke udara sangat memekakkan telinga. Tanpa rasa takut Valentine menghampiri Leon. Wanita itu mengulurkan tangannya menyentuh bahu Leon. Dengan satu tangannya Leon memegang tangan Valentine di bahunya. Satu tangannya lagi mengarahkan pistol ke kepala Valentine. Wanita itu mengangkat kedua tangannya menandakan tak ingin melakukan perlawanan. Seketika wajah cantik Valentine menjadi pucat pasi karena takut. "Kak Leon, ini aku. Apa kau akan menembakku?" tanya Valentine. Tatapan Leon memperlihatkan kebencian. Tapi
Iris mengamati Liev, Evelina dan juga Karl yang terlihat lahap memakan burger mereka. Padahal mereka sudah aktif bermain selama satu jam. Tapi tetap saja tenaga mereka tidak berkurang. Anak-anak itu bahkan masih terlihat bersemangat. “Anak-anak, bisakah kalian memberitahu Bibi apa yang terjadi dengan ayah kalian?” Iris berusaha mengorek informasi mengenai hubungan Natasha dengan Leon dari anak-anak. Dia merasa aneh ada seseorang yang bisa membalaskan dendam dengan cara terkejam seperti itu. “Tidak usah membicarakan Daddy, Bibi.” Ekspresi Evelina berubah kesal. “Memang ada apa, Eve? Bibi hanya ingin tahu permasalahannya. Mungkin saja Bibi bisa menasehati ibu kalian.” Evelina memandang kedua saudaranya. Liev d