"Liqa, ada yang nyariin tuh," panggil Sari Sambil membuka pintu kamar Liqa."Siapa, Bu?""Katanya namanya Keenan.""Ngapain Mas Keenan kesini?""Ya Ibu nggak tahu. Makanya buruan temui dia."Liqa meletakkan ponselnya dan beranjak dari kasur. Berkaca sebentar, merapikan rambut dan mengkondisikan wajah. Akhirnya ia keluar menemui Keenan. Sari tersenyum melihat kelakuan anak perempuannya itu."Ternyata anakku sudah dewasa dan semakin cantik. Apakah Keenan itu laki-laki yang dekat dengan Liqa ya?" kata Sari dalam hati.Liqa menemui Keenan yang asyik dengan ponselnya di ruang tamu."Halo Mas," sapa Liqa, kemudian duduk berhadapan dengan Keenan. Mereka berdua duduk di lantai beralaskan karpet."Eh, Liqa. Apa kabar?" tanya Keenan sambil meletakkan ponselnya."Alhamdulillah Mas, seperti yang Mas lihat. Sehat wal Afiat.""Apa hari ini nggak kuliah?" "Enggak Mas. Tadi pagi baru pulang dari rumah Kakek. Badan terasa capek semua. Kata Ibu nggak usah kuliah dulu, istirahat. Eh ternyata memang har
"Aku akan memberimu waktu. Tapi aku tetap berharap kamulah pendamping wisuda dan pendamping hidupku nanti." Keenan tersenyum menatap Liqa. Liqa pun tersenyum, tapi dalam hati penuh dengan kekhawatiran. Khawatir jika masa lalu keluarganya akan membuat keluarga Keenan keberatan dan tidak merestui mereka. Tiba-tiba mata Liqa terasa menghangat, ia berusaha menahan air matanya.“Kamu kenapa? Apakah kata-kataku membuatmu sakit hati?” tanya Keenan sambil menatap wajah Liqa. Ada butir air mata yang turun di pipinya.Liqa segera menghapus air mata itu.“Nggak apa-apa, Mas, aku baperan orangnya,” kata Liqa sambil berusaha untuk tertawa kecil. Suara tawa yang dipaksakan, semakin menyayat hati Liqa.“Mas tahu bagaimana keluargaku kan? Aku merasa kalau aku tidak berhak untuk hidup bahagia dan memiliki keluarga Cemara. Aku terlalu pesimis kalau masalah keluarga.” Liqa berkata dengan suara yang bergetar."Jangan khawatir, bagaimanapun keadaan keluargamu, aku tetap ingin bersamamu.”“Aku tidak yakin
“Nomor siapa ya ini?” gumam Liqa. Karena penasaran, ia pun membuka profil orang yang mengiriminya pesan melalui aplikasi WA. Betapa terkejutnya Liqa melihat foto profil itu.“Ngapain sih Om Hendri ini? Sok akrab,” gumam Liqa.Ternyata yang mengirim pesan itu adalah Hendri, suami Farida. Padahal nomor Hendri sudah Liqa blokir, tapi ternyata ia menggunakan nomor lain. Liqa teringat ketika berada di rumah kakeknya. Ia melihat tatapan Hendri pada Sari. Tatapan yang sulit diartikan Liqa, yang jelas ia tidak suka dengan tatapan mata itu.Selama ini Hendri juga tidak bersikap baik pada Liqa, selalu meremehkan Liqa, persis dengan sikap Farida.“Kok sekarang Om Hendri berusaha baik kepadaku ya? Apakah ia mau pinjam uang?” Liqa hanya menebak-nebak perubahan sikap Hendri.Ponsel Liqa berdenting lagi, Liqa membuka ponselnya.[Liqa, kenapa kamu memblokir nomor Om? Apakah Om pernah bersalah padamu? Apakah karena sikap Tante Farida yang pernah menyinggung perasaanmu?]“Pernah? Bukan pernah lagi, tap
"Liqa!" Liqa langsung menoleh karena ia merasa ada seseorang memanggil namanya. Liqa baru selesai kuliah dan ia ingin pulang, ketika seseorang memanggilnya, ternyata Melia. Liqa sangat terkejut melihat Melia berjalan menghampirinya."Eh, Melia! Apa kabar?" tanya Liqa dengan basa-basi."Alhamdulillah, kabar baik. Kamu ada waktu? Aku ingin berbicara padamu." Melia bertanya pada Liqa. Aura wajah Melia sudah berbeda, tidak angkuh seperti dulu."Ayo, mau bicara dimana?" tanya Liqa. Seperti apapun perlakukan Melia, Melia itu adalah saudaranya."Di taman situ saja, kayaknya tempatnya enak."Liqa dan Melia berjalan menuju ke taman yang dimaksud Melia."Beberapa hari aku selalu menunggumu di depan fakultas, berharap bisa bertemu denganmu," kata Melia."Kenapa tidak menelponku?""Aku takut kalau nanti kamu akan mengabaikan telepon dariku.""Oh. Sepertinya sangat penting yang akan kamu bicarakan ya? Sampai-sampai kamu menungguku."Melia terdiam sejenak, kemudian menarik nafas panjang."Selama i
“Liqa!” Langkah Liqa terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Suara yang dulu pernah akrab di telinganya. Liqa menoleh ke arah suara itu, ia terkejut melihat sosok yang berdiri tak jauh darinya.“Naren,” gumam Liqa. Jantungnya berdetak dengan kencang, tidak menyangka jika Naren ada di hadapannya.“Apa kabar, Liqa?” “Alhamdulillah, kabar baik. Kamu sendiri apa kabarnya?” Dengan suara bergetar Liqa menjawab ucapan Naren.“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja. Lama kita tidak bertemu ya? Kamu tampak semakin dewasa dan cantik.”Pujian Naren tak khayal membuat Liqa tersipu malu.“Jangan memujiku seperti itu, nanti membuatku terbang melayang. Kok kamu ada di sini? Bukankah kamu kuliah di Jogja?” tanya Liqa penasaran.“Kebetulan ada keluarga yang sedang hajatan di sini, jadi Mama memintaku untuk datang kesini.”Mendengar Naren mengucapkan kata mama, hati Liqa langsung bergetar. Ia teringat akan pesan mamanya Naren beberapa waktu yang lalu.“Kamu pasti kaget melihatku di
“Naren,” gumam Liqa, ia pun segera mengalihkan pandangan ke tempat lain. Karena yang ia lihat Naren masuk bersama beberapa orang perempuan setengah baya.“Apa? Kamu ngomong apa, Liqa?” tanya Salsa dengan menatap Liqa.“Nggak apa-apa, salah lihat orang.” Liqa menjawab sambil pura-pura memilih pakaian.“Oh.” Salsa melanjutkan lagi kegiatannya.“Aku mau nyoba baju ini.” Salsa menunjukkan sebuah baju dan kemudian berjalan menuju ke kamar pas. Liqa mengikuti langkah kaki Salsa dan berharap tidak bertatap muka dengan rombongan Naren tadi.Sembari menunggu Salsa, Liqa asyik bermain ponsel. Membuka-buka sosial media, melihat-lihat berita terbaru.“Liqa?” Seseorang memanggil Liqa.Liqa mendongakkan kepalanya, ia tampak terkejut melihat Naren sudah ada di depannya.“Naren?”“Kebetulan sekali ya kita bertemu disini. Kamu mau nyari baju juga?” sahut Naren.“Aku nemenin teman. Nggak mungkin aku sanggup beli baju disini.” Liqa tertawa kecil.“Kamu terlalu merendah.” Naren menjawab dengan tersenyum.
Tinggal beberapa hari lagi Keenan akan diwisuda, dan Liqa belum menjawab permintaan Keenan. Liqa bingung, sebenarnya ia ingin datang di acara wisuda itu. Tapi ia takut ibunya tidak akan menyetujuinya.Liqa menjadi gelisah, pikirannya sangat kacau. Ia hanya berbaring di tempat tidur dan memainkan ponselnya. "Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak berani meminta izin pada Ibu," kata Liqa dalam hati.Akhirnya Liqa memberanikan diri untuk berbicara dengan ibunya."Bu, Liqa mau bicara dengan Ibu," kata Liqa ketika melihat ibunya sedang bermain ponsel di depan televisi. Sari segera meletakkan ponselnya."Oh, boleh. Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Sari."Maaf Bu, kalau yang Liqa sampaikan ini tidak berkenan di hati Ibu." Liqa menarik nafas panjang."Tiga hari lagi, Mas Keenan mau wisuda. Dia meminta Liqa untuk menjadi pendampingnya. Kalau Ibu mengizinkan, Liqa akan berangkat. Tapi kalau Ibu tidak mengizinkan, Liqa nggak akan pergi." Liqa bernafas lega karena sudah mengeluarkan isi hatin
Ponsel Liqa berdenting, menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Dengan perlahan ia membuka pesan itu, ternyata bukan dari Keenan. Liqa merasa kecewa, apalagi ketika membaca isi pesan itu.[Liqa, kamu nggak usah ganjen mendekati Naren. Kamu itu tidak pantas bersanding dengan Naren. Orang tua Naren nggak bakal menyetujui hubunganmu dengan Naren. Jangan bikin malu Tante!] Sebuah pesan dari Farida.[Nggak usah ikut campur urusan Liqa, Tante. Liqa nggak peduli apa pendapat Tante!] Setelah mengirim balasan, Liqa pun memblokir nomor Farida. Kemudian ia beralih pada pesan yang ia kirim untuk Keenan tadi. Ternyata centang satu.Liqa meneteskan air mata karena kesal dan sedih. Kesal dengan Farida dan sedih karena tidak ada kabar dari Keenan. Mau bertanya pada Salsa, ia merasa malu. “Kenapa ponsel Mas Keenan tidak aktif? Apakah ia menghindariku? Apa salahku?” Liqa menangis sesenggukan. Ia langsung berpikiran negatif tentang Keenan. “Aku nggak boleh terlalu berharap pada Mas Keenan. Anggap saj
Farida terdiam mendengar kata-kata Liqa, tapi ia masih penasaran dengan keluarga Keenan.Tiba-tiba muncul Keenan, ia mendengar Liqa berkata dengan suara yang agak keras. Ia khawatir jika Liqa sedang marah. Ia pun mendekati Liqa, yang tampak terengah-engah karena berbicara panjang lebar.“Sabar, Sayang,” bisik Keenan. Mata Liqa sudah berkaca-kaca, ia sudah sangat kesal dengan Farida.“Ajak Liqa masuk ke kamar, biar dia tenang,” kata Sari pada Keenan.“Ayo Sayang,” ajak Keenan sambil menggandeng tangan Liqa. Mereka berdua berjalan menuju ke kamar.Sampai di kamar Liqa langsung menangis tersedu-sedu.“Kenapa Tante Farida sangat jahat pada Liqa dan Ibu? Selalu saja menghina dan mengejek kami. Nanti kalau aku buka semua aib suaminya, bisa stroke dia.” Liqa berkata dengan pelan.“Aib suaminya? Om Hendri?”Liqa mengangguk. Dengan perlahan Liqa menceritakan tentang Hendri. Ketika dulu Hendri mendekati Sari. Keenan mendengarkan dengan seksama, walaupun ia sangat terkejut dengan fakta yang ia d
Terdengar suara orang mengucapkan salam, Hendri dan Liqa langsung menoleh ke arah pintu. “Waalaikumsalam,” sahut Liqa, ia tidak terkejut karena ia hafal betul suara itu. Hendri sangat terperanjat melihat siapa yang datang, begitu juga dengan Farhan. Ia tak kalah syoknya melihat Hendri ada disini.“Kok kamu ada disini, memangnya pernah kesini ya, dengan siapa? Farida mana?” Farhan memberondong Hendri dengan beberapa pertanyaan. Farhan baru saja pulang dari menemui Rosita, diantar oleh Aksa.“Aku memang pernah kesini, mengunjungi Liqa. Farida sedang bertemu dengan teman-temannya.” Hendri menjawab pertanyaan Farhan. Ia merasa heran dengan kehadiran Farhan disini, apalagi ini rumahnya Sari. Ia ingin bertanya, tapi takut nanti malah menjadi bumerang bagi dirinya.Farhan merasa kalau ada yang aneh dengan sikap Hendri, ia pun menemani Hendri ngobrol. Kesempatan ini dimanfaatkan Liqa untuk masuk ke dalam.“Kok Hendri kamu tinggal?” tanya Pak Umar.“Ayah sudah pulang, biar ngobrol sama Ayah s
“Apa kabar Rosita,” sapa Farhan ketika mengunjungi Rosita di rumah Citra, sehari setelah Liqa menikah. Rosita dan Yana yang sedang duduk tampak kaget dengan kedatangan Farhan. Farhan datang kesini diantar oleh Aksa.“Mas Farhan.” Dengan terbata-bata Rosita memanggil nama Farhan. Farhan tampak tersenyum, walaupun dalam hatinya ia sangat terkejut melihat kondisi Rosita dan Yana. Farhan duduk di kursi yang ada di kamar itu.“Aku kesini karena Melia bercerita padaku kemarin. O ya, kemarin Liqa sudah menikah. Alhamdulillah, anak yang dulu selalu kamu anggap musuh ternyata malah bisa membanggakan orang tuanya. Aku juga bangga dengan Melia, sejak ia putus komunikasi denganmu, jalan hidupnya menjadi terarah. Lihatlah Melia sekarang, ia menjadi anak yang berbakti dan penurut. Ia menuruti semua kata-kataku, akhirnya ia bisa selesai kuliah dan bekerja.” Farhan berkata dengan bangga.Rosita hanya terdiam.“Liqa menikah? Kapan pestanya? Kenapa Sari tidak mengundangku?” Yana yang mengomentari ucapa
"Kenapa sekarang? Bukankah rencananya hari Minggu?" protes Liqa. Ia tetap berusaha tersenyum, karena semua mata tertuju padanya."Lebih cepat lebih baik, Mbak," celetuk Aksa."Pantas saja, semua kok hadir disini," gumam Liqa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Kaget, shock, terharu atau bahagia, semua menjadi satu. Akhirnya sampai juga di meja yang sudah disediakan. Sudah ada Keenan yang tampak gagah mengenakan jas berwarna gelap. Juga penghulu dan dua orang saksi. Irwan sebagai saksi dari Liqa dan papanya Salsa sebagai saksi dari pihak Keenan.Liqa pun duduk disamping Keenan. Keenan tampak tersenyum bahagia melihat Liqa yang sangat cantik hari ini. Acara pun dimulai, Farhan sempat meneteskan air mata sebelum menikahkan Liqa. Ia sangat terharu melihat Liqa yang sebentar lagi akan istri orang. Anak yang pernah ia abaikan ternyata bisa menjadi seperti sekarang ini.Dengan lancar, Keenan mengucapkan ijab kabul. Setelah saksi berkata sah, semua yang hadir tampak lega. Dilanjutk
“Seperti dulu yang pernah ia lakukan pada Ibu. Dia mencoba untuk merayu Ibu dengan iming-iming materi. Itulah sebabnya kenapa kita dulu beberapa kali pindah kontrakan, karena untuk menghindari Om Hendri.” Sari berkata dengan pelan.Liqa merasa syok mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ibunya. Walaupun ia sudah mengira kalau Hendri akan melakukan itu.“Apakah dulu Tante Farida tahu?” “Enggak. Makanya sebelum ia tahu, Ibu berusaha untuk pindah. Sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk menjadi TKW. Selain karena Ibu butuh biaya untuk kehidupan kita, alasan lainnya juga untuk menghindari gangguan Om Hendri.”“Kenapa jadi janda selalu dipandang sebelah mata ya?” lanjut Sari dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sangat sedih, karena sepanjang hidupnya sering dipenuhi dengan air mata. Liqa memeluk erat ibunya.“Biarlah orang memandang Ibu dengan sebelah mata. Yang penting kita baik di mata Allah. Jangan pedulikan penilaian orang lain. Liqa pernah mengalaminya, Bu. Penghinaan dan ejekan dari
“Maaf, sebenarnya apa maumu?” tanya Sari, ia memberanikan diri untuk menatap Hendri. Hendri sangat senang melihat Sari menatap dirinya, ia pun tersenyum menggoda, membuat Sari merasa jijik dengan Hendri.Sari merasa heran, kenapa Hendri selalu tahu dimana Sari berada? Bukankah jarak kota tempat Hendri tinggal sangat jauh dengan kota dimana Sari berada? Apakah Farida tidak merasa curiga ketika suaminya sering pergi ke kota? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dipikiran Sari.“Seperti yang aku bilang tadi, aku hanya ingin membantu meringankan bebanmu.” “Aku tidak merasa terbebani dengan jualanku ini. Tidak perlu mengasihaniku.”“Jangan angkuh seperti itu. Bagaimanapun juga seorang perempuan itu akan butuh laki-laki sebagai pelindung. Aku siap untuk melindungi mu.”Sari sudah dapat menebak apa yang ada di pikiran Hendri.“Hendri, kamu itu sudah memiliki istri. Lindungilah keluargamu sendiri. Untuk saat ini aku bisa melindungi diriku sendiri.”Hendri tersenyum.“Nggak usah malu-malu, Sari
"Lihatlah Liqa, banyak orang yang menyayangimu dan mendukungmu. Hapuskan rasa benci dan dendam di dalam hatimu. Kalau kamu biarkan dendam itu, lama kelamaan akan menggerogoti mentalmu. Yang rugi kamu sendiri. Masa depanmu masih panjang, banyak impian yang ingin kamu raih. Bukankah kamu mau punya usaha dan menikah muda?" Sari menggenggam tangan Liqa. "Tarik nafas panjang, masukkan sugesti positif di pikiranmu. Ibu tahu kalau kamu mampu melakukan semua ini."Liqa menuruti semua kata-kata ibunya. Perlahan ia mulai bisa tenang."Ayo, kita kesana, biarkan Bu Rosita istirahat dan memikirkan semua yang telah ia lakukan." Citra mengajak Liqa keluar dari kamar Rosita. Liqa dan Sari berjalan melewati Yana yang duduk di kursi roda. Ada Clara yang mendorong kursi roda Yana. Sari pun berhenti sejenak menghampiri Yana."Apa kabar, Wak Yana?" sapa Sari sambil memegang tangan Yana."Ba-baik," sahut Yana dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia tadi juga mendengar kemarahan Liqa. "Alhamdulillah, semo
Hari ini Sari mengajak Liqa untuk mengunjungi Yana dan Rosita. Sari berusaha untuk tidak membenci mereka, tapi untuk memaafkan perbuatan mereka, masih butuh waktu.Rosita sudah mulai bisa duduk, kata Sita tadi. Ia sudah mulai bisa berbicara walaupun masih terbatas. "Halo Rosita, apa kabar?" sapa Sari yang masuk ke kamar Rosita bersama dengan Liqa. Tampak Melia duduk di pinggir tempat tidur ibunya sedangkan Rosita duduk bersandar. Melia kaget melihat Sari dan Liqa datang mengunjungi ibunya."Ba-baik," sahut Rosita dengan suara yang terbata-bata. Wajah Rosita lebih cerah dari waktu Sari menjenguknya.Liqa tampak terkejut melihat Rosita, ia memang baru pertama ini menjenguk Rosita. Liqa seakan tak percaya, dari tadi matanya menatap Rosita tanpa berkedip. Tadi ibunya bilang hanya menjenguk Yana, jadi Liqa benar-benar tidak tahu kondisi Rosita.Rosita tampak tertunduk, menghindari tatapan mata Liqa."Ini Bu Rosita ya, Bu. Kok lain sekali? Yang Liqa tahu Bu Rosita itu penampilannya glamor
Hari ini pertama kali warung Sari buka, butuh waktu dua Minggu untuk mempersiapkan semuanya. Sari dan Liqa tinggal di rumah sebelah warung, setelah sedikit direnovasi. Rumah dengan tiga kamar itu dicat ulang, begitu juga dengan warung makan. Dengan sentuhan Keenan, warung berubah menjadi lebih kekinian. Sebelum subuh tadi, Sari sudah menyiapkan berbagai bumbu masakan. Liqa ikut membantu karena hari ini ia tidak ke kampus. Kemarin Sari dan Dewi, karyawan Sari, belanja ke pasar untuk membeli sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan di warung. Warung mulai sibuk, beberapa pelanggan mulai berdatangan. Mereka adalah pelanggan lama, tapi mereka tahu kalau terjadi pergantian pemilik. Liqa menunggu di meja kasir, sesekali ia membantu membuatkan minuman yang dipesan. Liqa mulai memikirkan untuk menambah minuman yang kekinian.Liqa sangat bahagia melihat ibunya tampak bersemangat menjemput rezeki. Memang ibunya hobi memasak, jadi wajar saja kalau bisnis yang dirintisnya ini berhubungan dengan