Angel hendak pulang ke rumah. Namun ia urungkan, ingin berjalan-jalan ke taman kota. Rasa bosan dan frustasi membuat pikirannya menjadi tak karuan. Masalah dan misteri di dalam rumah Antoni menjadi dirinya tak fokus. "Lebih baik aku jalan-jalan ke Kota. Melihat keindahan langit," lirihnya dalam taksi. Angel memberitahukan tujuan perjalanan kepada supir taksi."Taman Kota, Pak." "Baik, Non." Suasana kota yang hiruk pikuk, dan asap kendaraan yang keluar dari knalpot kendaraan lain membuat polusi udara semakin parah. Hawa panas sinar matahari seolah-olah membakar kulit. Angel menatap keluar jendela menikmati keindahan kota. Hingga taksi sampai ke tempat tujuan. Angel duduk di bawah pohon sambil memakan es krim yogurt. "Indah sekali pemandangannya." Angel memejamkan mata sejenak. Ia bangkit dari duduknya dan menelusuri taman kota."Itu bukannya adiknya Antoni?" lirihnya pelan. Ia mendekati lelaki yang duduk dan memainkan jarinya di atas kertas. Angel mengintip gambar yang telah dibua
Angel membawa paket itu ke dalam kamar. Membuka paket itu dengan mengunting bungkus plastik tersebut. Plastik hitam kecil dan di dalam bungkus itu sebuah kotak kecil. Senyum terukir di bibirnya. "Bagus, akhirnya aku bisa mengetahui rahasia di balik pintu itu." Benda besi serba guna, dengan alat itu ia bisa membuka apa saja yang ada di rumah ini. Angel memesan khusus hanya untuk darinya. Apa saja bisa didapatkan asal ada uang. Barang-barang yang diinginkan Angel pasti tercapai. Hingga ke ujung dunia para anak buahnya akan mencari. Mereka tak ingin mengecewakan bosnya. Angel bukan penjahat atau mafia. Ia berniat menolong orang yang mengalami masalah. Walaupun, Angel anak angkat ia memiliki warisan yang berlimpah dan sangat fantastic. Angel memikirkan rencana untuk hari ini. "Aldo, aku akan mendekatinya." Semua penghuni rumah ini akan Angel dekati tanpa kecuali. Angel hanya bisa mendekati Mimi. Angel keluar kamar mendengar suara Aldo yang sedang menyanyi di kamar samping kamar
"Bean! Siapa Bean?" Aldo mengingat-ingat nama itu. "Sepertinya pernah dengar, tapi di mana ya." Aldo mengingat-ingat siapa pemilik nama itu. "Oh, Bean? Siapa ya?" Aldo masih berusaha mengingatnya. Otaknya tak sampai ke pemiliknya. "Coba kamu ingat lagi. Mungkin ada saudara, sepupu atau keluarga yang lain yang pernah tinggal di sini. "Angel memelankan suaranya dan berhati-hati dengan ucapannya."Aku tak tahu. Papa dan mama tak memiliki saudara atau keluarga di sini. Mereka tak pernah datang atau saling menanyakan kabar. Entah mengapa aku tak mengerti. Pernah, berjumpa dengan sepupuku di sekolah. Kami satu sekolah, setelah melihatku ia seperti ketakutan. Tak berapa lama lagi, ia pindah ke sekolah.""Mengapa bisa begitu? memangnya apa yang ditakutkan mereka?" "Aku tak tahu. Mungkin papa yang telah membuat ulah." Aldo terkekeh mengingat kejadian sewaktu dulu. Ronald tak pernah memaafkan orang lain yang telah menyenggol
Angel kembali ke ruang kerja, membuka laptop milik papa mertuanya. Mencari CCTV di rumah ini. "Mengapa tak ada? Ke mana ia memantau CCTV tersebut." Rasa penasaran membuat dirinya tak bisa berhenti mencari. Angel keluar mengikuti kabel kecil berwarna hitam hingga sampai keluar, mengikuti kabel kecil berwarna hitam hingga sampai di tembok ruang kerja papa mertua. Bola mata hitam dengan bulu mata lentik mengikuti arah kabel itu.Angel bernapas lega, setidaknya tak ada kamera yang mengawasi gerak geriknya di dalam rumah. Kabel CCTV terputus artinya kamera pengingai itu tidak menyala."Bagus, aku bisa bebas dan leluasan. Tindakanku tak akan mereka ketahui. Aku akan menyusun rencana lebih matang." Angel melangkahkan kaki ke halaman samping rumah. Ia membawa alat serba guna yang kemarin ia terima untuk membuka pintu tersebut. Sebuah besi kecil untuk mencongkel lubang kunci. Senyum menyeringai terpasang di wajahnya. A
Matanya menelusuri lemari besi dengan asap mengumpal. Angel menoleh ke belakang, merasakan bayangan seseoang melintas begitu saja. Bayangan lain melintas begitu cepat di depannya ketika Angel menatap ke belakang. Angel membuang semua pikiran negatif agar semua teka teki ini cepat selesai. "Tiara, keluarga suamimu penuh misteri apa mereka yang telah membunuhmu." Monolog Angel. 'Semua ini adalah mayit. Mereka adalah pembunuh berdarah dingin." Angel takut melihat pemandangan di dalam lemari pendingin. Ia keluar dengan tubuh bergetar. Menutup kembali pintu besi tersebut. "Astaga, mereka semua piskopat. Kejam dan Sadis." Jantungnya berdegup kencang, tak menyangka akan melihat pemandangan yang sangat menakutkan. Angel memilih keluar tak melanjutkan pencarian berikutnya. Tak lupa menyusun rencana setelah mengetahui hal ini.Tangan lentik Angel mengunci kembali pintu itu dengan tangan bergemetar. Gadis itu b
"Tidak apa. Aku hanya lupa saja." Angel tersenyum tipis. Setelah selesai mengorek informasi dari adiknya Antoni. Angel kembali ke kamar. "Aku tak akan membiarkan papa melakukan itu. Mengapa papa jahat sekali. Jangan-jangan papa yang menyiksa Tiara. Aku tidak bisa begini terus." Angel harus menyusun rencana selanjutnya. Ia tak akan memberi ampun kepada papa mertua. "Apa mereka tahu bisnis papa?" Angel berpikir keras. "Tidak mungkin mereka tak tahu. Uang papa mereka juga yang merasakannya." Angel bermain dengan pikirannya. Semua ucapan Will terngiang di kepala. Tatapan Angel menerawang jauh. Mengingat keadaan Tiara yang amat menyakitkan. Hatinya teriris sembilu. "Tiara, semoga engkau tenang di sana. Aku janji akan mencari pembunuhnya." Aroma tubuh Angel berubah, keringat membasahi tubuh rampingnya. Menatap jam tangan sudah sore. "Aku mandi saja biar terasa segar dan bugar." Angel melangkahkan kaki ke ruang
"Tidak aku tak mau. Kamu istri Antoni. Aku tak mau berurusan dengannya." Will tak peduli dengan keinginan kakak iparnya. "Aku istri Antoni artinya kamu adikku dan aku kakakmu. Kita bisa membaca buku bersama atau mengoleksi perangko dan mata uang negara lain." Angel mengetahui info dari anak buahnya. Tentang mereka, pekerjaan, pendidikan, tanggal kelahiran, sifat hingga hobi mereka yang aneh dan nyata. "Kamu suka mengoleksi perangko dan mata uang." Tatapan Will berbinar indah. Belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki hobi sama. Angel menganggukkan kepala cepat. "Aku memiliki perangko dan mata uang yang sulit dicari malah hampir punah. Aku mendapatkan mata uang dari berbagai negara." Jelas Angel agar Will tertarik. Will terlihat dingin, tapi pemuda itu polos. Ia tak mau bersentuhan dengan wanita. Entah mengapa Will takut kepada perempuan. Berbeda dengan Antoni yang suka mengkoleksi istri. Pemuda itu jarang berbicara de
Angel menuruni anak tangga dengan santai dan tenang. Membusungkan dada dan mengangkat dagunya. Papa dan Rosa sudah duduk di kursi meja makan. Mereka terlihat biasa saja tak ada keakraban yang mereka tunjukkan. Tak ada perbincangan antara mereka. Sibuk dengan gawai masing-masing."Selamat pagi, Tiara," sapa Ros ramah. Ia tersenyum manis dan menarik kursi di sampingnya. Angel menatap kursi itu, ia enggan duduk bersebelahan dengan Ros. 'Baik sih, tapi,' ucapnya dalam hati. Seseorang yang terlihat baik belum tentu di belakang.Angel melangkahkan ke dapur tak memedulikan Ros. Ia menghela napas, perbuatan mereka membuat Angel jijik dan geram. Ia meminta pelayan untuk mengeluarkan pesanannya."Mana pesananku?" tanya Angel pada salah satu pelayan di dapur."Sebentar, Non." Pelayan berseragam hitam menuju lemari bufet. Mengambil piring pesanan Angel. "Ini, Non." "Terima kasih banyak."
Bab 88"Angel," sapa Tiara dengan suara tegas. Angelica menatap manik kembarannya. Ia bangkit dari duduk yang disediakan oleh petugas polisi untuk para pengunjung. Bagaimana bisa Tiara mengenalnya. "Angel? Aku Angelica." Wanita berparas manis tersenyum tipis. Bibirnya bergetar. Tak mungkin Tiara mengenalinya. Wajahnya saja tak seperti dulu lagi. "Kamu Tara, saudara kembarku. Aku yakin kamu Tara." "Siapa Tara. Siapa Angel?" Angelica berusaha untuk tenang. Ia tak boleh gegabah hingga Tiara curiga mimik wajahnya pasrah. "Tara kembaranku." "Loh, bukankah ia sudah kamu bunuh?" Tiara terdiam, ia ingat kejadian itu tapi penjelasan dari polisi membuat dirinya yakin kalau Angelica adalah Tara. "Ia tidak mati. Saudaraku masih hidup. Aku yakin itu kamu. Kamu adalah Tara." Suara Tiara meninggi, ia mengungkapkan apa yang dilihat dengan matanya sendiri. Walau wajahnya berbeda, ciri-ciri Angelica sama dengan Angel atau Tara. Ketika mereka berada di laut, Tiara merasa tak asing dan dekat d
Bab 87Luka Tiara sudah tak terlalu parah. Ia dapat berjalan seperti biasa. Para petugas berjaga di pintu masuk ruang inap Tiara. Mereka tetap mengawasi wanita itu. "Hai, bagaimana keadaanmu?" tanya Angelica menyapa Tiara. Ia membawa boneka beruang berwarna coklat. Tiara dan Lola mendapatkan izin khusus untuk keluar masuk ruangan Tiara. "Baik. Lebih baik." Tiara menyungingkan senyum. Ia menatap boneka di tangan wanita yang mengenakan dress coklat di atas lutut. Rambut panjangnya digerai indah hingga wajahnya semakin memesona. "Boneka ini?" tanya Tiara mengingat momen semasa kecil. Ia suka dengan boneka beruang. Entah ke mana boneka itu. Boneka pemberian almarhum ibunya. "Untukmu. Hanya ada warna ini tak ada yang lain." Tiara mencium aroma boneka berbau rosberry. Aroma yang ia sukai. "Dari mana kamu tahu aku menyukai boneka beruang dengan aroma rosberry?" "Hanya menebak saja. Tipe wanita sepertimu pasti suka boneka." Tiara hanya tersenyum simpul. Ia merasa ada teman dalam deka
Bab 86"Angelica!" panggil Lola melambaikan tangan. Gadis itu senang ketika teman barunya selamat. Angelica meletakkan tangan kanannya di bahu Tiara. Langkah Tiara terseok-seok. "Tolong bantu dia!" ujar Angelica kepada Lola."Ayo Non Tiara kita ke sana!" Tiara memilih diam, ia mengikuti langkah Lola ke sebuah tempat lebih aman. Lola melihat luka bakar Tiara. Ia segera berlari ke mobil dan mengambil kotak P3K. Lola menyobek celana panjang orange Tiara agar bisa melihat luka lebih jelas. "Astaga, lukanya terlihat parah. Kejam sekali pria itu." Tangan Lola mengunting celana panjang Tiara hingga ke paha. Tiara meringis ketika Lola menyentuh luka bakarnya. "Rumah sakit jauh, kita harus mengobatinya lebih dulu." Angelica berdiri dekat Lola, memperhatikan luka Tiara. Ia meringis melihat kulit Tiara melepuh seperti balon. "Aku kasih salep saja. Ini ada salepnya." Tiara tak berkata sepatah katapun. Ia hanya menatap kedua perempuan yang ada dihadapannya. "Ayo Nona kita ke mobil." L
Bab 85 Tubuh Angelica terjun ke dalam laut. Tangan dan kaki bergerak cepat mencari keberadaan sebuah mobil yang mulai tenggelam.Angelica menoleh ke sekitar, melihat bayangan hitam di kedalaman laut. Ia terus berenang menuju ke arah benda yang biasa di gunakan untuk menuju ke tempat lain dalam waktu singkat. "Tiara, bertahanlah!" ucapnya dalam hati. Tangan dan kaki berusaha mengapai mobil itu. Hingga ia berhasil mendekatinya. Angelica melihat isi mobil tak ada Tiara di dalamnya hanya ada bangku kosong tak berpenghuni.Ia melihat ke arah bagasi. Bisa jadi Tiara berada di dalamnya. Tangannya menyentuh pintu yang terbuka sedikit dan masuk ke dalam . Jari menyentuh tombol pembuka bagasi hingga seseorang keluar dari tempat itu. Tiara berusaha untuk berenang ke atas permukaan ketika mendapat cela. Angelica mengikuti tubuh adiknya hingga mereka berhasil muncul ke permukaan. Uhuk! Uhuk! Tiara menatap wanita yang berada dekat dengannya. Ia terkejut Angelica berusaha menolong. Padahal,
Bab 84 Angelica masih berusaha mencari keberadaan adiknya. Ia harus menemukan wanita itu sebelum Seno membunuh. "Ke mana lagi kita Nona?" tanya supir yang mengemudi di depan mereka. Sejak tadi hanya berkeliling saja tanpa tujuan jelas. "Jalan saja terus. Ikuti jalan ini hingga ke atas." Hanya ada satu jalan saja. "Baik, Nona." Pohon-pohon menjulang tinggi, jalan becek akibat hujan semalam. Tak ada rumah yang tinggal di daerah itu. Angelica dan Lola masih menatap jalan sekitar. Di kejauhan, Lola melihat sebuah mobil di antara pepohonan. Walau tak jelas benda itu berjalan menuju arah atas. "Lihat itu!" Tunjuk jari Lola. "Pak, kejar dia!" Jalan tanah dan bebatuan membuat kendaraan sulit untuk melaju. Kecepatan tak bisa ditambah lagi. Situasi dan keadaan tak mendukung. "Apa tak bisa cepat?" omel Angelica tak sabaran karena mobil Seno sudah tak terlihat. "Tidak bisa Nona. Jalannya hancur." Angelica hanya pasrah. Ia berpikir ke mana Seno membawa adiknya itu. "Seno pasti membawan
Bab 83 Setelah Angelica bekerja sama dengan polisi mencari mobil milik Seno. Mereka semua mencari keberadaan mobil itu dengan bantuan para polisi daerah lain terutama polisi lalu lintas. Angelica dan Lola mengikuti para polisi di belakangnya. "Kayaknya kita lewat jalan biasa saja jangan jalan tol. Aku yakin Seno tak lewat situ." "Tapi, para petugas bilang Seno menuju ujung kota." Lola menimpali ucapan Angelica. "Gak semua CCTV terpasang di jalan. Kita jalan lewat biasa saja, Pak," ucap Angelica kepada supir. "Kenapa kamu gak bawa anak buah?" "Gak mungkin aku bawa mereka sedangkan aku masih tahap penyamaran. Mereka gak akan kenal wajahku." "Itulah manusia kalau terfokus dengan dendam," sindir Lola. "Memangnya kamu tak dendam dengan adikku?" "Aku biasa saja. Karena aku tahu dendam itu akan membuat petaka." Angelica merasa tersindir. Sejak pertama penyamaran hingga sekarang hatinya penuh dengan dendam. "Bagaimana kamu bisa memaafkan mereka?""Biarkan saja karma yang akan memb
Bab 82 "Api! Panas!" Seno melihat Tiara tak merasa iba. Baginya kesakitan Tiara adalah kebahagiaan yang hakiki, harus ia resapi hingga masuk ke dalam hati. Suara penuh penderitaan terasa indah di telinga Seno. Pria itu tertawa terbahak-bahak menatap kesakitan Tiara. Tubuh Tiara merasakan panas di sekitarnya. Tiara bagai kambing yang siap di bakar. Asap tebal mulai memenuhi rumah tua itu. Tak ada yang tahu apa yang terjadi. Mereka hanya tahu ada seseorang yang membakar di sekitar rumah tua itu. Seno merekam Tiara yang kepanasan akibat ulahnya. Ia terkekeh berkali-kali. Adegan demi adegan ia rekam hingga wajah kesakitan Tiara terekam sempurna. Hingga Seno tak menyadari pakaian Tiara dibagian kaki mulai terkena api. "Api!" Tiara menatap api menyentuh celananya. Kulitnya terasa melepuh. Pria itu mengambil air untuk memadamkan api tersebut. Belum waktunya Tiara mati. Wanita itu harus mendapat siksaan secara perlahan. Uhuk! uhuk! Tiara terbatuk-batuk menghisap banyak asap. Kedua m
Bab 81 Seno mengikat tubuh Tiara di kursi kayu. Ia menatap wajah cantik mantan istrinya. "Cantik doang tapi hatinya busuk," maki Seno dengan tatapan benci. Seno tak pernah menyangka kalau dirinya akan seperti ini hanya karena cinta. Tangan kekar Seno melayang di udara dan berakhir di wajah Tiara. Wanita itu terbangun, merasakan perih di pipi kanan. Rintihan kecil terdengar di bibir Tiara."Bangun Tiara!" Wanita yang terikat di kursi kayu dengan pakaian serba orange membuka mata perlahan. Ia tahu hidupnya akan berakhir di tangan sang mantan. "Seno." "Selamat datang putri tidur. Sudah waktunya kamu bangun." "Aku di mana?" "Di istana yang akan menjadi tempat paling indah untukmu." Seno menyeringai menatap mangsa yang tak akan bisa pergi lagi dari hidupnya. Sudah waktunya untuk mengakhiri semuanya. "Seno aku ...." "Sst! Diam Sayang. Jangan berbicara. Sudah waktunya kamu menikmati indahnya dunia ini. Tanpa ada rasa sakit sedikitpun." Tiara menatap wajah Seno, pria yang dulu san
Bab 80 Angelica menetap beberapa barang yang diperlihatkan oleh Seno. Wanita itu tahu benda apa itu. Angelica harus menghentikan kegilaan Seno yang semakin merajalela. Ia takut Tiara akan mengalami hal yang lebih parah. Rasa benci Seno akan adiknya begitu besar. Hingga pria itu nekad melakukan hal gila. Angelica tak ingin Seno terjebak lebih dalam. Ia ingin Tiara mendapatkan hukum setimpal atas perbuatannya. "Ya Tuhan, semoga saja tak terlambat." Angelica menatap ponsel berharap ia bisa mencegah kejadian itu. Seno berdiri di tempat yang tepat. Ia menunggu sesuatu terjadi di kantor polisi itu. Tubuhnya terbalut jaket hitam. Seno memandang tempat Tiara berada, wanita yang telah membuat hatinya terluka. Menatap jam tangan yang melingkar di lengan. "Satu, dua, tiga, duar!" Seno tersenyum licik ketika dua mobil polisi meledak hingga terbakar. Semua petugas keluar dari dalam kantor. Mereka mencoba memadamkan api dalam mobil. "Cepat singkirkan kendaraan lain!" teriak salah satu petuga