"Dan Anneke, aku mendapat sesuatu yang mungkin kau suka dan berkaitan dengan Unit 30." Anneke menghela napas ketika mendengar perkataan Tomoaki.
"Ah, baguslah, berikan kepadaku saat kita sampai di kantor nanti," sahut Anneke serius. Gadis itu kemudian meraih permen milik Tomoaki dan mengulumnya. "Nanti jangan lupa beli permen lagi."
"Iya, iya, dasar," gerutu Tomoaki sebal.
-000-
Ketiga gadis itu akhirnya sampai di ujung distrik dua, lebih tepatnya perbatasan antara distrik dua dan distrik tiga. "Ah ... kalau bukan demi penyelidikan tentang Unit 30, aku tidak mau pergi ke distrik merah." gerutu Anneke sembari mengulum sebuah lolipop berwarna merah, sama seperti Tomoaki.
"Aku sih senang-senang saja, toh, menggoda pria itu menyenangkan." Tomoaki menyahut, ia merenggangkan tubuhnya sembari melepas dua kancing teratas dari seragam petugas kebersihan yang dipakainya tadi.
Gadis itu tentunya merasa lelah setelah penyamaran yang dilakukan pemilik mata merah itu, dan perjalanan yang lumayan lama akibat kemacetan yang terjadi.
"Dasar, kakakmu tahu soal ini?" Tomoaki mengangguk santai, lalu berkata kakaknya bahkan tidak terlalu mempedulikan hal itu. Anneke menghela napas mendengar jawaban Tomoaki. Kekasihnya memang berbeda.
"Ya ampun, dasar kau. Ah ya, belikan aku permen di minimarket seberang ya." Beberapa lembar uang meluncur ke tangan Tomoaki, gadis itu tersenyum lebar.
"Kembaliannya untukku, ya?" goda Tomoaki sembari tersenyum.
Anneke menatapnya sebal, kemudian berkata,"kau tahu gajiku dipotong bulan ini, Aki. Jangan macam-macam."
Tomoaki manyun, walau dalam balutan seragam petugas kebersihan, ia tetap pergi ke minimarket yang diminta Anneke untuk membeli banyak lolipop untuk mengisi stok lolipop mereka yang sudah hampir habis.
-000-
"Jadi, apa yang kau dapatkan, Aki?" tanya Anneke, menatap serius gadis yang kini menjalani hubungan dengannya sembari menjilat lolipopnya.
Tomoaki menyerahkan sebuah kartu memori yang dia keluarkan dari lolipop yang selalu dijilat dan dihisapnya setiap saat.
"Cek saja sendiri, kuharap kau menyukainya. Aku ingin bersantai, lelaki sialan tadi sukses membuatku kesal." Tomoaki menyahut santai, sembari menguap kecil.
Gadis itu melenggang menuju sofa besar di ruangan Anneke, kemudian berbaring di sana. Anneke menghela napas, untung saja ia sudah terbiasa dengan perangai Tomoaki yang terkadang bersikap seenaknya saja. Wanita berambut pirang itu memasukkan kartu memori yang diberikan Tomoaki ke card-reader miliknya.
Mata biru yang terlihat elegan itu membaca apa yang tertera di layar komputer super canggihnya. "Distrik 30? Memangnya ada? Kita kan hanya sampai distrik 29?" tanya Anneke dengan nada yang memperlihatkan rasa bingungnya dengan sangat kentara sembari melirik Tomoaki yang sedang berbaring sembari memainkan ponselnya.
"Di peta Avaka juga tak ada, kan?" sahut Tomoaki santai. Anneke mengangguk. "Ya sudah, berarti distrik rahasia."
"Benar, distrik kita hanya sampai 29. Tapi ada, satu pulau, lumayan jauh sih dari Avaka. Tapi ada, satu pulau, lumayan jauh sih dari Avaka. Tapi memangnya mungkin?" tanya Anneke sembari menatap kekasihnya. Yang ditatap hanya menatapnya balik.
Tomoaki menyahut malas sembari menguap lebar, ia ingin cepat tidur nanti malam, "Kau pikir aku tahu? Tentu saja tidak. Lagipula, pulau itu kan tidak layak huni, apalagi untuk sebuah laboratorium. Hanya orang gila yang akan membangun laboratorium disana."
"Benar juga," sahut Anneke menyetujui logika yang diberikan gadisnya. "Sekarang misi kita bukan mencari dalangnya, tetapi mencari di mana distrik 30 itu berada." Wanita berambut pirang itu kembali mengulum permen di tangannya.
"Mencari dalangnya itu tugas kakakku. Aku tidak terlalu peduli sih." Tomoaki mengerang sembari merenggangkan tubuhnya, ia ingin tidur sebentar di ruangan Anneke. "Omong-omong, kau tidak takut hubungan kita akan terbongkar?"
Anneke tertegun, tak menyangka pasangannya akan bertanya hal demikian. Memang, di Avaka, menjadi bagian kaum LGBT adalah hal ilegal, bahkan bisa sampai dihukum mati. Tetapi ia tak peduli, asal bersama Tomoaki, semuanya akan terasa lebih mudah. "Aku … tidak peduli."
"Mhm … begitu ya?"
-000-
Tomoaki menatap langit malam. Gelas anggur berjenis Bordeaux di tangannya ia gerakkan sesekali.
"Ahh, malam yang tenang." Gadis berambut merah jambu itu menaikkan kaki ke tepian balkon. Menatap langit malam yang sangat tenang. Senyumnya muncul, tatkala ia melihat langit penuh bintang di atas kepalanya.
"Aki, kau sedang apa?" tanya Anneke yang baru saja keluar dari kamar mandi, wanita itu mengusap kepalanya menggunakan handuk, mengeringkan rambut pirang panjangnya. Tomoaki menoleh.
"Bersantai, ikut?" tanya Tomoaki santai, tentunya sembari tersenyum hangat. Anneke berjalan dengan anggun mendekatinya.
"Boleh saja, sayang," jawab Anneke sembari mengecup bibir Tomoaki, kemudian merubahnya menjadi ciuman. Ciuman yang semakin panas itu terjadi di balkon apartemen Anneke di distrik 3.
Mereka berdua seolah tidak mempedulikan apakah ada yang akan melihat mereka atau tidak. Setidaknya, malam ini akan menjadi sangat indah, bahkan bila hubungan mereka diketahui dan keduanya harus menjalani hukuman, kedua wanita itu sudah tak peduli.
"Hei, Anne," panggil Tomoaki setelah ciuman mereka terlepas, ia menatap Anneke lembut. "Mau melanjutkannya?" tanyanya dengan nada seduktif. Anneke mengangguk perlahan.
"Bagus," sahut si gadis berambut merah jambu. Ia membawa Anneke masuk dan langsung mendorong pasangannya ke tempat tidur. "Menggoda sekali kau malam ini, Anne …" Tomoaki langsung menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Anneke, di sana, ia menjilati dan sesekali menggigit leher Anneke hingga tercipta jejak ciuman.
Tangannya pun tak tinggal diam, dengan lembut, tangan Tomoaki yang halus itu bergerak menuju dada Anneke dan meremasnya. "Dasar, tidak pernah berubah, ya?" goda si gadis sembari tersenyum miring.
"Ak- dasar kau …" Anneke tersenyum. "Tentu saja, sampai aku mati pun, takkan ada yang berubah, Tomoaki." Mendengar itu, Tomoaki tersenyum, wanita dengan ras Ero murni itu adalah miliknya, mate-nya, belahan jiwanya.
"Hmn~ begitu …" gumam Tomoaki sembari menatap tubuh telanjang Anneke. Mantel mandi yang dipakai Anneke sudah terlepas sedari tadi, memperlihatkan tubuh mulus tanpa cela sedikit pun. "Anne, kau yakin?" Anneke mengangguk, membuat Tomoaki tersenyum.
Secara perlahan, kepala Tomoaki turun ke dada Anneke, dengan lembut, gadis berambut merah muda itu menjilat dada Anneke, membuat pasangannya mengerang lirih.
"Ah … Aki …" Tangan nakal Tomoaki semakin merajalela. Tangan itu kini bergerak ke organ vital Anneke, dengan lembut menyusup ke dalam celananya, dan menyentuh organ vitalnya.
"Bahkan di sini pun kau sudah basah? Aku bahkan belum melakukan apapun, Anne," goda Tomoaki sembari lagi-lagi tersenyum tipis. Anneke menatapnya sebal.
"Kau tahu aku lemah denganmu, Aki."
"Ya, ya, baiklah," sahut Tomoaki dengan nada seduktif, sembari memasukkan satu jarinya ke kewanitaan Anneke. "Toh kau kan memang sub-ku." Gadis berambut merah jambu itu kembali menciumi tubuh Anneke, menciptakan banyak sekali jejak ciuman, terkhusus di dada, leher dan bahu. Ya, memang, tempat itu adalah tempat kesukaan Tomoaki untuk meninggalkan jejak.
"Ah … Aki-haa … jangan permainkan aku-hh …" pinta Anneke ketika jari-jari manis Tomoaki menggoda kewanitaannya. "Aku tidak sanggup- ahhh!!" Tiga jari masuk ke kewanitaannya begitu saja, tanpa aba-aba sebelumnya.
"Kau tahu Anne, aku tidak peduli apa yang akan kau katakan, semua yang ingin kudengar adalah desahan." Tomoaki menyahut sembari menatap lurus mata biru Anneke, seolah ia adalah predator dan Anneke adalah korbannya.
Jari-jarinya bergerak sedemikian brutal di bawah sana, menciptakan erangan dan desahan manis yang keluar tanpa bisa ditahan Anneke. "Dan aku suka ini." Tomoaki mengarahkan tangan Anneke ke dadanya, gadis itu tentunya ingin pasangannya juga mempermainkannya selayaknya Tomoaki mempermainkan Anneke.
"Ah- ah-ha." Dengan lembut, tangan Anneke meremas dada Tomoaki yang hanya dilapisi dengan lingerie tipis. "Kau sudah mempersiapkannya, ya, Aki?" tanya Anneke di sela desahannya. Tomoaki hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Anneke.
Kaki Anneke perlahan naik, ujung jempol kakinya menyentuh kewanitaan Tomoaki, kemudian dengan lembut menggesekkannya.
"Aki, ahh … langsung saja ke intinya," pinta Anneke dengan mata sayu yang sangat menggoda.
Tomoaki tersenyum, ia langsung mempercepat gerakan jarinya di kewanitaan Anneke, desahan dan erangan seolah menjadi pengiring kegiatan malam mereka, hingga akhirnya desahan Anneke mengakhiri semua kegiatan malam itu.
"ANGHHH!!!"
-000-
Tomoaki memeluk Anneke dari belakang, ia menatap apa yang sedang ditatap Anneke.
"Kau merindukannya?" tanya Tomoaki lembut. Anneke mengangguk.
"Sudah lama kami tidak bertemu, sejak dia dibawa Eleanor …" Anneke menghela napas. "Padahal aku tidak melakukan apapun, tapi dia percaya begitu saja pada Eleanor. Dasar, adikku yang satu itu. Aku khawatir, tahu, dia bukan orang yang mau makan tepat waktu, tapi aku tahu dia punya maagh, itu lah yang membuatku khawatir." Anneke menghela napas setelah mengeluarkan isi hatinya, ia benar-benar khawatir dengan adik semata wayangnya itu. Satu-satunya keluarga Anneke yang tersisa.
"Aku khwatir dengan Nekh."
"Sigh ..." Nekh menghela napas, ia menatap wajah tegas Eleanor dengan tatapan datar. "Lalu aku harus apa?" tanyanya sebal.Sudut bibir Eleanor perlahan naik beberapa derajat, wanita berkacamata itu menatap anak buahnya tenang. "Aku ingin kau melenyapkannya, direktur utama perusahaan Cosh.Inc, dia sudah tahu terlalu banyak. Pastikan dia bertemu maut."Nekh menelan ludahnya perlahan. Ini akan sulit, ia tahu itu. "Caranya?" tanyanya lagi. Eleanor tertawa, lalu menjawabnya dengan berkata kalau itu bukanlah urusannya."Sialan," bisik Nekh, nyaris tak terdengar oleh Eleanor. "T-tapi aku tidak mungkin membunuh seseorang, kamu tentu tahu apa jabatanku kan?"Eleanor tertawa. "Pikirmu, itu urusanku? Pikirkan caranya sendiri, aku tidak mau tahu, pria itu harus mati di tanganmu, atau nyawamu sebagai gantinya."Nekh kembali mendecih, kalau sudah seperti itu, tentu saja dirinya tak bisa melawan sama sekali. Eleanor itu absolut, dan itu sukses menyusahkan Nekh se
Sudut bibir Eleanor perlahan naik beberapa derajat, wanita berkacamata itu menatap anak buahnya tenang. "Aku ingin kau melenyapkannya, direktur utama perusahaan Cosh.Inc, dia sudah tahu terlalu banyak. Pastikan dia bertemu maut."Nekh menelan ludahnya perlahan. Ini akan sulit, ia tahu itu. Nekh menatap wajahnya, kemudian menanyakan bagaimana caranya. Eleanor tertawa. "Itu ... bukan urusanku, Nekh."'Pahamilah kalau kau bukan apa-apa tanpaku,' lanjut Eleanor dalam hati."Sialan," bisik Nekh, nyaris tak terdengar oleh Eleanor. "T-tapi aku tidak mungkin membunuh seseorang, kamu tentu tahu apa jabatanku kan?"Eleanor tertawa, lagi. "Pikirmu, itu urusanku? Pikirkan caranya sendiri, aku tidak mau tahu, pria itu harus mati di tanganmu, atau nyawamu sebagai gantinya."'Karena aku tidak benar-benar membutuhkanmu, Nekh sayang, kau hanya bonekaku.'-000-Eleanor menatap bosan kepada anak buahnya. "Ada apa?"Sang anak buah memberi hormat s
"Ya, selamat siang, Ishiwa."Nora menghela napas tatkala ia mendengar suara Eleanor. Pria itu menatap dokumen yang sedang ia kerjakan dengan tatapan datar."Maaf, yang mulia, tetapi pasukan yang saat ini bisa bergerak ke sana sedang tidak ada, jadi kami tidak bisa mengantisipasi kekacauan yang ada," kata sang jenderal tanpa menunggu basa-basi dari Eleanor. Nora malas sekali sebenarnya, jika ia harus berurusan dengan Eleanor."Dengar ya, Ishiwa, aku tidak mau tahu! Siapkan pasukan terbaik, aku akan turun ke distrik itu, jangan membantah dan lakukan saja, atau apapun yang kau lindungi, akan aku hancurkan!"Mendengar ancaman Eleanor, Nora kembali menghela napas, pria itu melirik bingkai foto yang terpajang di atas meja kerjanya. Ada foto dirinya bersama gadis lain. Hal ini sukses membuat amarah Nora memuncak.Setelah Eleanor mematikan panggilannya, Nora langsung melempar ponsel milik pria itu ke lantai. "SIALAN!!" bentak Nora dipenuhi dengan amarahnya. "BERAN
Arka menghela napas, ia menatap datar tumpukan dokumen di atas meja kerjanya. Belum apa-apa, pria itu sudah merasa lelah ketika melihatnya."Baru saja aku datang," gerutunya sembari menyeruput sedikit kopi yang dibelinya di perjalanan."Sudah banyak pekerjaan yang menunggu." Pria itu menghela napas, kemudian duduk di kursi kerjanya. Kunci mobilnya ia taruh begitu saja di atas meja, kentara sekali mood-nya tidak berada dalam kondisi yang baik.Arka kemudian memakai kacamatanya, satu dokumen ia raih dan baca sekilas. "Sudah kuduga," gumam pria itu kesal. "Unit 30 lagi, mau sampai kapan sih kasusnya selesai?"Dia kemudian mulai membaca perkembangan kasus yang sedang dikerjakannya, menyadari bahwa tak ada perkembangan yang berarti, Arka nyaris saja melempar dokumen itu ke tempat sampah. Ia kesal, sangat kesal. Entah sudah berapa bulan kasus yang tengah diselidiki pria berambut cokelat itu tak kunjung selesai."Apa-apaan ini? Yang ada hanya pertambahan
"Kerja," jawab Tomoaki sembari mengerling. Melihat itu, Arka hanya mengangguk, pria itu tentunya mengerti apa maksud Tomoaki.Gadis itu dengan riang melangkah keluar dari ruangan Arka. Rambutnya yang dikuncir dua seolah bergerak mengikuti gerakannya yang lincah. Tomoaki hanya sesekali menyapa anak buah sang kakak yang berlalu-lalang di hadapan sang gadis.Permen yang ia kulum juga memang bukan permen biasa. Itu adalah sebuah perangkat untuk merekam video dan suara, yang dibuat khusus untuknya sebagai hadiah ulangtahun dari kakaknya, Arka. Setelah ia modifikasi sedikit, perangkat itu menjadi perangkat yang tahan air dengan kamera super jernih."Ah~ tidak manis, aku akan beli permen baru nanti." Tomoaki turun ke lantai dasar kantor kakaknya, kemudian keluar dan langsung menaiki taxi yang sudah ia pesan sebelumnya.-000-Gadis itu akhirnya sampai ke sebuah hotel mewah yang berada di distrik 4, distrik yang terkenal akan kemewahannya, dan tentunya daer
"Ya, selamat siang, Ishiwa."Nora menghela napas tatkala ia mendengar suara Eleanor. Pria itu menatap dokumen yang sedang ia kerjakan dengan tatapan datar."Maaf, yang mulia, tetapi pasukan yang saat ini bisa bergerak ke sana sedang tidak ada, jadi kami tidak bisa mengantisipasi kekacauan yang ada," kata sang jenderal tanpa menunggu basa-basi dari Eleanor. Nora malas sekali sebenarnya, jika ia harus berurusan dengan Eleanor."Dengar ya, Ishiwa, aku tidak mau tahu! Siapkan pasukan terbaik, aku akan turun ke distrik itu, jangan membantah dan lakukan saja, atau apapun yang kau lindungi, akan aku hancurkan!"Mendengar ancaman Eleanor, Nora kembali menghela napas, pria itu melirik bingkai foto yang terpajang di atas meja kerjanya. Ada foto dirinya bersama gadis lain. Hal ini sukses membuat amarah Nora memuncak.Setelah Eleanor mematikan panggilannya, Nora langsung melempar ponsel milik pria itu ke lantai. "SIALAN!!" bentak Nora dipenuhi dengan amarahnya. "BERAN
Sudut bibir Eleanor perlahan naik beberapa derajat, wanita berkacamata itu menatap anak buahnya tenang. "Aku ingin kau melenyapkannya, direktur utama perusahaan Cosh.Inc, dia sudah tahu terlalu banyak. Pastikan dia bertemu maut."Nekh menelan ludahnya perlahan. Ini akan sulit, ia tahu itu. Nekh menatap wajahnya, kemudian menanyakan bagaimana caranya. Eleanor tertawa. "Itu ... bukan urusanku, Nekh."'Pahamilah kalau kau bukan apa-apa tanpaku,' lanjut Eleanor dalam hati."Sialan," bisik Nekh, nyaris tak terdengar oleh Eleanor. "T-tapi aku tidak mungkin membunuh seseorang, kamu tentu tahu apa jabatanku kan?"Eleanor tertawa, lagi. "Pikirmu, itu urusanku? Pikirkan caranya sendiri, aku tidak mau tahu, pria itu harus mati di tanganmu, atau nyawamu sebagai gantinya."'Karena aku tidak benar-benar membutuhkanmu, Nekh sayang, kau hanya bonekaku.'-000-Eleanor menatap bosan kepada anak buahnya. "Ada apa?"Sang anak buah memberi hormat s
"Sigh ..." Nekh menghela napas, ia menatap wajah tegas Eleanor dengan tatapan datar. "Lalu aku harus apa?" tanyanya sebal.Sudut bibir Eleanor perlahan naik beberapa derajat, wanita berkacamata itu menatap anak buahnya tenang. "Aku ingin kau melenyapkannya, direktur utama perusahaan Cosh.Inc, dia sudah tahu terlalu banyak. Pastikan dia bertemu maut."Nekh menelan ludahnya perlahan. Ini akan sulit, ia tahu itu. "Caranya?" tanyanya lagi. Eleanor tertawa, lalu menjawabnya dengan berkata kalau itu bukanlah urusannya."Sialan," bisik Nekh, nyaris tak terdengar oleh Eleanor. "T-tapi aku tidak mungkin membunuh seseorang, kamu tentu tahu apa jabatanku kan?"Eleanor tertawa. "Pikirmu, itu urusanku? Pikirkan caranya sendiri, aku tidak mau tahu, pria itu harus mati di tanganmu, atau nyawamu sebagai gantinya."Nekh kembali mendecih, kalau sudah seperti itu, tentu saja dirinya tak bisa melawan sama sekali. Eleanor itu absolut, dan itu sukses menyusahkan Nekh se
"Dan Anneke, aku mendapat sesuatu yang mungkin kau suka dan berkaitan dengan Unit 30." Anneke menghela napas ketika mendengar perkataan Tomoaki."Ah, baguslah, berikan kepadaku saat kita sampai di kantor nanti," sahut Anneke serius. Gadis itu kemudian meraih permen milik Tomoaki dan mengulumnya. "Nanti jangan lupa beli permen lagi.""Iya, iya, dasar," gerutu Tomoaki sebal.-000-Ketiga gadis itu akhirnya sampai di ujung distrik dua, lebih tepatnya perbatasan antara distrik dua dan distrik tiga. "Ah ... kalau bukan demi penyelidikan tentang Unit 30, aku tidak mau pergi ke distrik merah." gerutu Anneke sembari mengulum sebuah lolipop berwarna merah, sama seperti Tomoaki."Aku sih senang-senang saja, toh, menggoda pria itu menyenangkan." Tomoaki menyahut, ia merenggangkan tubuhnya sembari melepas dua kancing teratas dari seragam petugas kebersihan yang dipakainya tadi.Gadis itu tentunya merasa lelah setelah penyamaran yang dilakukan pemilik ma
"Kerja," jawab Tomoaki sembari mengerling. Melihat itu, Arka hanya mengangguk, pria itu tentunya mengerti apa maksud Tomoaki.Gadis itu dengan riang melangkah keluar dari ruangan Arka. Rambutnya yang dikuncir dua seolah bergerak mengikuti gerakannya yang lincah. Tomoaki hanya sesekali menyapa anak buah sang kakak yang berlalu-lalang di hadapan sang gadis.Permen yang ia kulum juga memang bukan permen biasa. Itu adalah sebuah perangkat untuk merekam video dan suara, yang dibuat khusus untuknya sebagai hadiah ulangtahun dari kakaknya, Arka. Setelah ia modifikasi sedikit, perangkat itu menjadi perangkat yang tahan air dengan kamera super jernih."Ah~ tidak manis, aku akan beli permen baru nanti." Tomoaki turun ke lantai dasar kantor kakaknya, kemudian keluar dan langsung menaiki taxi yang sudah ia pesan sebelumnya.-000-Gadis itu akhirnya sampai ke sebuah hotel mewah yang berada di distrik 4, distrik yang terkenal akan kemewahannya, dan tentunya daer
Arka menghela napas, ia menatap datar tumpukan dokumen di atas meja kerjanya. Belum apa-apa, pria itu sudah merasa lelah ketika melihatnya."Baru saja aku datang," gerutunya sembari menyeruput sedikit kopi yang dibelinya di perjalanan."Sudah banyak pekerjaan yang menunggu." Pria itu menghela napas, kemudian duduk di kursi kerjanya. Kunci mobilnya ia taruh begitu saja di atas meja, kentara sekali mood-nya tidak berada dalam kondisi yang baik.Arka kemudian memakai kacamatanya, satu dokumen ia raih dan baca sekilas. "Sudah kuduga," gumam pria itu kesal. "Unit 30 lagi, mau sampai kapan sih kasusnya selesai?"Dia kemudian mulai membaca perkembangan kasus yang sedang dikerjakannya, menyadari bahwa tak ada perkembangan yang berarti, Arka nyaris saja melempar dokumen itu ke tempat sampah. Ia kesal, sangat kesal. Entah sudah berapa bulan kasus yang tengah diselidiki pria berambut cokelat itu tak kunjung selesai."Apa-apaan ini? Yang ada hanya pertambahan