Clara membuka netranya dengan berat. Cahaya dari lampu kamar sejenak membuatnya terpejam kembali. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya tapi ia merasa ada yang aneh. Tubuhnya terasa remuk, terutama dari bagian pinggang ke bawah. Semula ia tak mengingat apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Hingga saat ia menoleh ke arah samping, wajahnya langsung berhadapan dengan wajah milik seorang pria.'Martin? Kenapa dia di sini?!' batin Clara. Jantungnya mulai berdegup kencang. Ia hendak bangun. Namun ternyata satu tangan pria itu tengah memeluk perutnya. Tak hanya itu, saat menyingkap selimut Clara baru menyadari jika mereka sama-sama tidak berpakaian. Barulah ingatan Clara tentang peristiwa itu kembali sepenuhnya. Dalam suasana senyap di kamar luas, ia menggigit bibirnya kuat agar air matanya tidak keluar. Perlahan tangannya memindah tangan Martin agar tidak terbangun. Setelah berhasil, ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Hal pertama yang Clara lakukan adalah melihat pantulannya pada cer
Dengan langkah gontai, Vinn menjejaki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Semangatnya yang nyaris penuh kini memudar usai sang kakek mengakhiri percakapan mereka malam itu. Beberapa saat yang lalu, Vinn mengira ia akan menemukan jawaban. Namun nyatanya kakek beserta pamannya justru kembali bermain teka-teki. Kali ini ditambah satu petuah yang sekilas terasa janggal. "Kau dan Martin adalah keluarga. Aku tidak akan melarangmu tetap berinteraksi. Tapi lebih baik kalian tidak perlu membahas tentang masa lalu. Biarkan masa lalu tetap tersimpan. Masalah ini tentang aku dan Ronald."Itu adalah kata-kata Tuan Richard Alfredo sebelum menutup percakapan. Ketika Vinn memandang pamannya untuk menemukan jawaban yang lebih memuaskan, pria itu justru bangkit seraya menelepon seseorang. Vinn sudah hampir sampai di tujuannya, ruang kerja sang kakek. Tapi mendadak, netranya menangkap sebuah foto keluarga yang terpajang dengan bingkai emas. Foto pernikahan kedua orang tuanya. Ibunya yang jel
Dua hari kemudian, semua berjalan secara normal. Vinn datang ke kantor pusat Orion Group seperti biasanya pagi itu. Ia berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai lima. Tempat ruangannya berada. Staff yang berpapasan dengannya menunduk hormat. Hingga Vinn hampir mendekati meja Olivia, wanita berwajah ayu dengan bibir mungil yang tak lain adalah sekretarisnya. "Selamat pagi, Pak," sapa Olivia setelah bangkit dari kursinya. "Pagi. Bawa laporan yang kemarin saya minta dan siapkan berkas untuk meeting pukul sepuluh nanti," ucap Vinn tanpa ekspresi. "Baik. Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda," tambah wanita dengan blouse putih tulang itu. "Siapa?" Vinn sedikit menoleh."Pak Torro. Beliau mengaku sebagai teman dari mendiang Pak Darren.""Teman ayah?" Pertanyaan itu terdengar lirih, seakan Vinn bertanya pada dirinya sendiri. "Sekarang beliau masih menunggu di sofa lobby, Pak. Apa Anda mau menemuinya?"Vinn menimbang sejenak sebelum akhirnya mengangguk singkat. Pri
Pukul sebelas malam, di sebuah club dengan nuansa retro pusat kota. Paman Tino masuk dengan gaya santai dan langsung duduk di kursi depan meja bartender yang kebetulan kosong. Suasana club elite itu tidak terlalu ramai. Paman Tino melihat sekitar lalu menyebutkan minuman yang bisa menaikkan mood-nya malam ini. "Buatkan aku satu tequila," ujarnya pada bartender yang lalu mengangguk dengan raut cenderung acuh. Sekali lagi, Tino mengamati sekitar seakan memastikan jika tidak ada satu orang pun yang mengikuti maupun mengatasinya. Sejenak kemudian, ia mendekatkan posisi. Sebelum membisikkan satu pertanyaan. "Apa dia sudah datang?"Si bartender dengan rambut cepak menatapnya selama dua detik dan balik bertanya. "Anda sudah membuat janji dengannya?""Itu rules untuk orang lain. Kami cukup dekat. Katakan saja jika Tino mencarinya." Pria itu berucap dengan santai. Tangannya memainkan tepian gelas bening berisi minuman dingin buatan si bartender. "Silahkan Tuan tunggu sebentar." Pria muda
Sore hari di suatu bistro kawasan perkantoran.Daniel menatap datar pada pria sebaya di depannya yang terus berbicara dengan wajah bersemangat. Ia tak mempunyai keinginan untuk menjawab ataupun menanggapi. Netranya justru menelusuri jalanan yang bisa dilihat melalui dinding kaca tebal. "Ini tawaran yang bagus, bukan? Bos kami bahkan bisa menggajimu lebih dari Tuan Alfredo," tambah pria berkacamata itu. Tampaknya ia bisa sabar menghadapi Daniel yang sedari tadi hanya diam. "Aku tidak tertarik," jawab Daniel akhirnya. "Kau yakin?" Daniel memandang pria itu lagi. Mereka baru pertama kali bertemu dan ia langsung mendapat tawaran dengan gaji yang fantastis. Namun tidak ada sedikit pun keinginannya untuk berpaling dari pekerjaannya saat ini. Bukan cuma karena Keluarga Alfredo selalu memperlakukannya dengan baik. Tapi karena dalam hati ia telah bersumpah untuk melindungi Vincent. Daniel merasa telah berhutang nyawa pada tuan mudanya tersebut. Berawal dari kejadian tiga tahun lalu, di pe
Kakek Richard mengeratkan pegangannya pada tongkat di tangan. Pria dengan tubuh ringkih itu duduk dengan tidak tenang sudah lebih dari satu jam. Di depannya, berjarak sekitar tiga meter terdapat lima pria paruh baya yang merupakan Lima Tetua generasi kedua."Cucu Anda sepertinya cukup sibuk hari ini, Tuan," ucap salah satu Tetua yang bernama Malldise. Pria dengan gurat wajah serius itu mendongak usai membaca lembar pengalihan Alfredo Group yang membutuhkan tanda tangan Vinn. "Kita tunggu hingga tiga puluh menit," balas Kakek Richard dengan suara seraknya. Pria itu menatap Tuan Bara yang berdiri di dekat pintu sambil menempelkan ponsel pada telinga. Sejenak kemudian ia menoleh, mencari keberadaan Aiden yang tampak berbicara dengan seseorang melalui airpods. Setelahnya, ia mendekati Kakek Richard guna menyampaikan informasi yang telah didapat. "Tuan, Tuan Vincent tidak ada di kantor. Daniel juga tidak bersamanya karena dinonaktifkan hingga esok hari," ucapnya setengah berbisik. Kake
Hening mendadak tercipta usai Paman Tino mengeluarkan kalimat tuduhan untuk Jeremy. Tuan Bara dan Kakek Richard saling pandang. Sementara Lima Tetua tampak saling berbisik, bertanya satu sama lain. "Itu benar, Bara. Paman, Jeremy bukan sekedar cucu dari Jaksa yang Paman kenal. Dia adalah pembunuh. Pembunuh bayaran! Aku punya buktinya." Paman Tino maju dengan tergesa-gesa menuju tempat Kakek Richard berada. Jeremy sudah ingin membuka mulut tapi lagi-lagi Paman Tino lebih cepat. Pria paruh baya berwatak licik itu terus mengemukakan apa yang menurutnya fakta. "Kalian ingat bagaimana Rosemary Blue meninggal secara misterius tiga tahun lalu? Aku mendapat informasi jika di seorang petugas hotel melihat pria dengan tatto 'No Life' pada tangan di kamar wanita itu."Tuan Bara memicingkan mata, menatap Jeremy yang tampak gelisah. Dengan cepat ia memberi kode pada dua penjaga yang selalu siap di di sekitar ruangan itu. Dua pria yang mendapat kode mengangguk singkat. "Tidak, jangan dengarkan
Vinn memijit keningnya. Kepalanya berdenyut sejak beberapa menit lalu seusai pertemuan. Kini ia duduk menyendiri di balkon lantai tiga. Menikmati angin malam yang perlahan menusuk kulit pucatnya. "Vin," panggil suara Tuan Bara seraya mendekat. Sejak tadi pria itu memperhatikan sang keponakan yang menjadi lebih pendiam. "Kukira Paman sedang menemani kakek," respon Vinn. Ia tersenyum dan bersikap biasa, berharap pamannya tidak menyadari ia sedang kesakitan. "Kenapa kau menolak menandatangani surat itu?" "Bukan menolak, Paman. Aku akan menandatanganinya nanti. Menurutku tidak perlu buru-buru juga. Bukankah aku belum berhak?" Vinn melempar pandangan pada pendar cahaya di kejauhan. Letak pusat kota yang berjarak belasan kilometer dari mansion. "Semua keputusan ada di tangan kakekmu. Aku juga tidak tahu apa alasannya. Mungkin dia sudah lelah memintamu menikah." Tuan Bara menahan tawa disusul Vinn yang melakukan hal yang sama. "Kakekku terlalu murah hati," komentar Vinn. "Sejak dulu m
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S