Sore hari di suatu bistro kawasan perkantoran.Daniel menatap datar pada pria sebaya di depannya yang terus berbicara dengan wajah bersemangat. Ia tak mempunyai keinginan untuk menjawab ataupun menanggapi. Netranya justru menelusuri jalanan yang bisa dilihat melalui dinding kaca tebal. "Ini tawaran yang bagus, bukan? Bos kami bahkan bisa menggajimu lebih dari Tuan Alfredo," tambah pria berkacamata itu. Tampaknya ia bisa sabar menghadapi Daniel yang sedari tadi hanya diam. "Aku tidak tertarik," jawab Daniel akhirnya. "Kau yakin?" Daniel memandang pria itu lagi. Mereka baru pertama kali bertemu dan ia langsung mendapat tawaran dengan gaji yang fantastis. Namun tidak ada sedikit pun keinginannya untuk berpaling dari pekerjaannya saat ini. Bukan cuma karena Keluarga Alfredo selalu memperlakukannya dengan baik. Tapi karena dalam hati ia telah bersumpah untuk melindungi Vincent. Daniel merasa telah berhutang nyawa pada tuan mudanya tersebut. Berawal dari kejadian tiga tahun lalu, di pe
Kakek Richard mengeratkan pegangannya pada tongkat di tangan. Pria dengan tubuh ringkih itu duduk dengan tidak tenang sudah lebih dari satu jam. Di depannya, berjarak sekitar tiga meter terdapat lima pria paruh baya yang merupakan Lima Tetua generasi kedua."Cucu Anda sepertinya cukup sibuk hari ini, Tuan," ucap salah satu Tetua yang bernama Malldise. Pria dengan gurat wajah serius itu mendongak usai membaca lembar pengalihan Alfredo Group yang membutuhkan tanda tangan Vinn. "Kita tunggu hingga tiga puluh menit," balas Kakek Richard dengan suara seraknya. Pria itu menatap Tuan Bara yang berdiri di dekat pintu sambil menempelkan ponsel pada telinga. Sejenak kemudian ia menoleh, mencari keberadaan Aiden yang tampak berbicara dengan seseorang melalui airpods. Setelahnya, ia mendekati Kakek Richard guna menyampaikan informasi yang telah didapat. "Tuan, Tuan Vincent tidak ada di kantor. Daniel juga tidak bersamanya karena dinonaktifkan hingga esok hari," ucapnya setengah berbisik. Kake
Hening mendadak tercipta usai Paman Tino mengeluarkan kalimat tuduhan untuk Jeremy. Tuan Bara dan Kakek Richard saling pandang. Sementara Lima Tetua tampak saling berbisik, bertanya satu sama lain. "Itu benar, Bara. Paman, Jeremy bukan sekedar cucu dari Jaksa yang Paman kenal. Dia adalah pembunuh. Pembunuh bayaran! Aku punya buktinya." Paman Tino maju dengan tergesa-gesa menuju tempat Kakek Richard berada. Jeremy sudah ingin membuka mulut tapi lagi-lagi Paman Tino lebih cepat. Pria paruh baya berwatak licik itu terus mengemukakan apa yang menurutnya fakta. "Kalian ingat bagaimana Rosemary Blue meninggal secara misterius tiga tahun lalu? Aku mendapat informasi jika di seorang petugas hotel melihat pria dengan tatto 'No Life' pada tangan di kamar wanita itu."Tuan Bara memicingkan mata, menatap Jeremy yang tampak gelisah. Dengan cepat ia memberi kode pada dua penjaga yang selalu siap di di sekitar ruangan itu. Dua pria yang mendapat kode mengangguk singkat. "Tidak, jangan dengarkan
Vinn memijit keningnya. Kepalanya berdenyut sejak beberapa menit lalu seusai pertemuan. Kini ia duduk menyendiri di balkon lantai tiga. Menikmati angin malam yang perlahan menusuk kulit pucatnya. "Vin," panggil suara Tuan Bara seraya mendekat. Sejak tadi pria itu memperhatikan sang keponakan yang menjadi lebih pendiam. "Kukira Paman sedang menemani kakek," respon Vinn. Ia tersenyum dan bersikap biasa, berharap pamannya tidak menyadari ia sedang kesakitan. "Kenapa kau menolak menandatangani surat itu?" "Bukan menolak, Paman. Aku akan menandatanganinya nanti. Menurutku tidak perlu buru-buru juga. Bukankah aku belum berhak?" Vinn melempar pandangan pada pendar cahaya di kejauhan. Letak pusat kota yang berjarak belasan kilometer dari mansion. "Semua keputusan ada di tangan kakekmu. Aku juga tidak tahu apa alasannya. Mungkin dia sudah lelah memintamu menikah." Tuan Bara menahan tawa disusul Vinn yang melakukan hal yang sama. "Kakekku terlalu murah hati," komentar Vinn. "Sejak dulu m
Wanita dengan tampilan stylish mendekati Martin dan Clara setelah panggilannya tidak mendapat respon. Dua orang itu terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun. "Martin!" panggilnya sekali lagi ketika jaraknya sudah lebih dekat.Benar perkiraannya, Martin yang mendengar seketika menoleh. Disusul wanita cantik yang berada di samping. Kening Martin mengerut saat mereka bertemu pandang. "Stella?" sebut Martin pelan. Pria itu merangkul bahu Clara seakan menunjukkan jika ia tidak datang sendiri. "Ehm, bisa kita bicara?" Stella berbicara dengan ragu. Ia tidak melihat Clara sama sekali. Sedangkan Clara, tidak peduli. "Kita sudah selesai, Stella." Martin memperjelas status hubungan mereka yang telah usai sejak dua bulan lalu. Tapi itu tidak menyurutkan keinginan Stella untuk menyampaikan sesuatu. "Tapi kita perlu bicara. Ini penting, Martin. Kalau kamu menolak, aku akan menemui kakek atau Tante Amber," ancamnya.Perkataan Stella membuat Martin mencebik kesal. Ia tak suka diancam. Apalagi jik
Martin bangkit dengan dada bergemuruh. Kejadian ini sungguh tak terduga. Wanita bernama Stella terlihat sudah siap menembak dengan air mata berlinang. Tangannya gemetar. "Kenapa, Martin? Kenapa kamu diam? Aku lebih baik mati daripada menanggung malu!" Bulir bening menetes dari netra wanita dengan rambut bawah bahu itu. "Letakkan pistol itu, Stella. Semua masalah pasti punya solusi. Termasuk masalah kita," tutur Martin. Perlahan tapi pasti, ia mendekat. "Berhenti atau aku akan menembak!" teriak Stella mengancam. Bukannya menuruti, Martin justru memasang mode tak mendengar dan terus maju. Saat jarak mereka tinggal tiga langkah, pria itu bergerak cepat. Merebut pistol dan merengkuh Stella agar tidak bisa bergerak. "Lepaskan, Martin! Lebih baik aku mati! Ini yang kamu inginkan, bukan? Lepaskan aku!" Stella terus meracau. "Ssstt. Kita akan menemukan solusi. Jangan seperti ini," bisik Martin tepat di telinga Stella. Stella masih menangis tapi pergerakannya sudah banyak berkurang. Pik
Sore itu Clara duduk termangu di teras samping mansion, ditemani segelas tinggi jus pome yang berwarna semerah darah. Tangannya terus mengaduk jus, dengan tatapan kosong pada kolam ikan di taman yang ditata rapi. Tiga hari sudah sejak ia terakhir bertemu Martin. Pria itu menghilang bak ditelan bumi. Bahkan saat ia mengitari area mansion, Clara tetap tak menemukannya. Bosan hanya duduk selama setengah jam, Clara berpindah. Berjalan menuju pohon rindang yang pada salah satu cabangnya dipasang rumah burung. Namun langkahnya melambat saat mendengar percakapan dua pelayan di balik pohon. Clara tak suka menguping tetapi suara dua wanita yang tengah membersihkan rumput liar itu cukup bisa didengar dengan jelas. "Benar? Siapa yang mengatakan padamu? Ini bisa jadi bahan gosip saat berkumpul dengan yang lain nanti." Sebuah suara melengking berbicara. "Pelankan suaramu. Jika Tuan besar tahu, bisa habis kita. Aku ingin dipecat dalam waktu dekat," balas wanita satu lagi. "Tenang saja. Di tama
Martin sedang menikmati whiskey gelas ke lima saat teman-temannya mengajak bermain Truth or Dare. Pria itu hanya mengangguk tanpa mengira jika permainan itu menjadi di luar kendali beberapa saat lagi. Botol kosong bekas minuman beralkohol diputar di atas meja dan ketika berhenti menuju ke arah Archie, pria tambun yang sedari tadi asyik pada ponsel pintarnya. "Big Bro, giliranmu. Truth or Dare?" tanya Monty memberi pilihan. "Aku sedang sibuk, yang lain saja," kilah Archie tanpa mengalihkan pandangan pada ponsel. "Cih, kau sebenarnya datang untuk berkumpul bersama kami atau untuk berkencan dengan ponselmu?" gerutu Monty. "Putar lagi," komentar Martin yang kemudian disetujui oleh yang lain. Tangan pria itu membelai paha salah seorang wanita dengan dress bodicon ketat berwarna hitam. "Yoo, Martin! Truth or Dare? Sekali ini lebih baik kau pilih 'Truth'. Aku penasaran dengan berapa banyak wanita yang kau tiduri," ujar pria bernama Bastian yang disambut gelak tawa teman-teman lainnya.
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S