Dua hari kemudian.
Vinn duduk menyendiri di balkon lantai dua mansion setelah makan pagi. Diam sejenak, ia ingin mengatur langkah selanjutnya untuk meneliti tentang Pakta Hitam dan juga kematian kedua orang tuanya.Menurut informasi yang pamannya berikan, di hari kecelakaan itu orang tuanya menggunakan supir. Vinn juga mengenal sopir itu, Pak Didi namanya. Pria itu belumlah terlalu tua, sekitar awal empat puluhan."Tapi kenapa harus mengundurkan diri? Apa dia tau sesuatu?" Vinn bertanya meski tidak ada yang menjawab.Daniel muncul tak lama kemudian dengan setelan hitam seperti biasa. Ia mengangguk hormat ketika tiba di depan Vinn."Kau sudah lakukan tugas yang kuberikan?" tanya Vinn."Sudah, Tuan. Pak Didi saat ini berada di Kota B." Pria itu menyebutkan sebuah kota yang berjarak puluhan kilometer dari tempat mereka sekarang."Bagus." Vinn bangkit dari kursi."Apa Tuan akan ke sana sekarang?""TiVinn menikmati makan malamnya tanpa bersuara. Angannya melayang, pada kejadian pagi tadi usai menemukan Pakta Hitam. Lembaran itu kini ada di kamarnya. Tersimpan rapi dalam kotak kecil."Kudengar kau mengunjungi rumah lama." Kakeknya yang sedari tadi diam tiba-tiba mengawali pembicaraan. "Iya.""Apa kau menemukan sesuatu?" Kakek Richard bertanya tanpa melihat ke arahnya. Netra tua itu sedang fokus pada santapan berupa steik salmon. "Aku masuk ke ruang kerja kakek buyut," ungkap Vinn. Ia sedikit ragu untuk mengatakan tentang Pakta Hitam. Mendengar itu, Kakek Richard langsung menatapnya lurus. Pria itu tampak terkejut tapi di saat yang sama tak ingin menunjukkan ekspresi itu. "Untuk apa kau ke sana?" tanyanya dengan nada dibuat setenang mungkin. "Kakek tak suka aku ke sana?" Vinn balik bertanya. Nafsu makannya mendadak hilang. "Vinn, kau bukan anak kecil. Aku tahu kau mencari sesuatu di sana. Pamanmu juga te
Nyonya Amber meminum teh hijaunya dengan tenang di teras belakang mansion milik sang ayah, salah satu spot favoritnya di bangunan besar ini. Sudah lama rasanya sejak ia terakhir datang. Malam ini pun ayahnya alias Tuan Ronald Hazard tidak berada di tempat.Dan sejujurnya ia tak terlalu ambil pusing karena tujuannya datang adalah untuk menemui si calon menantu. Wanita bernama Clara yang kemarin sempat Martin singgung di acara makan malam. Langkah lebih dari satu orang terdengar di lantai marmer. Clara dan Martin mendekati kursi Nyonya Amber untuk memberi salam. Seorang palayan juga mengekor di belakang mereka, membawa nampan berisi tiga potong roll velvet cake. "Ma, ini Clara," ujar Martin. Seakan sudah terlatih, Clara memberikan senyum manis walau netranya masih sedikit sembap. Nyonya Amber memperhatikan wanita cantik itu sambil sesekali mengangguk kecil. Ia tahu selera Martin selalu bagus, tak pernah mengecewakan. Tapi baru sekarang sang putra
Di sudut lain, Vincent juga tengah memperhatikan gerak-gerik wanita bernama Clara. Ia merasa aneh ketika melihat Martin memberikan sepotong strawberry cheesecake pada tunangannya itu. Clara sempat menggeleng. Namun Martin justru memotong cake dan hendak menyuapinya. Ingin hati, Vinn mengambil alih piring kecil itu. Ia sangat ingat, Clara tidak bisa memakan produk strawberry dan turunannya. Jika memaksa, wanita itu akan mengalami shock anafilaksis. Vinn mengawasi sekitar, mencari cara untuk mencegah Clara memakan cake itu tanpa harus menggunakan turun tangan sendiri. Beberapa detik kemudian, ia memanggil salah satu pelayan pria yang bertugas menawarkan minuman pada para tamu. "Aku punya tugas untukmu," ujar Vinn lalu membisikkan sesuatu. "Saya mengerti, Tuan." Si pelayan mengangguk usai menerima belasan lembar uang merah dari Vinn. Tak lama berselang, perhatian Vinn kembali terfokus pada Martin dan Clara. Pelayan pria dengan seragam coklat dan hitam itu mendekat, sesuai dengan per
Seperti biasa, Daniel yang siang itu menyetir di perjalanan menuju kantor. Meski tugasnya rangkap sebagai asisten dan supir, rasanya belum sebanding dengan gaji yang Vinn berikan.Upah setahun dari tuan muda itu telah cukup untuk membeli mobil sport mewah impiannya. Vinn yang terkenal dingin dan tegas, nyatanya adalah bos yang pandai mengapresiasi pekerjanya. "Tuan ingin mampir ke suatu tempat?""Tidak. Langsung ke kantor saja," ujar pria muda dengan suit hitam itu. Hening kembali selama beberapa menit. Tak lama kemudian, Vinn teringat akan kedatangan Paman Tino ke mansion tadi usai makan siang. "Daniel, apa ada yang terjadi dengan proyek Paman Tino di kota M?" tanyanya pada si asisten. "Saya sempat mendengar kabar kurang baik tentang proyek itu. Terdapat trouble hingga menyebabkan belasan pekerja meninggal. Keluarga korban meminta ganti rugi yang tidak sedikit, jika tidak dipenuhi mereka mengancam akan membawa masalah ini ke meja hijau.""Trouble? Seingatku proyek pembangunan itu
Malam belum terlalu larut. Usai menyelesaikan makan malam, Vinn keluar dari mansion. Untunglah Kakek Richard langsung masuk ke ruang baca, jadi Vinn tidak perlu repot mendapat berondong pertanyaan. Daniel sudah siap di samping mobil. Ia membuka pintu untuk Vinn yang kali ini ingin duduk di sampingnya. Tak lama kemudian mobil telah melaju melalui rute yang tidak seperti biasanya. Di belakang mobilnya, juga ada satu mobil lain berisi empat bawahan Daniel. "Ada informasi terbaru tentang Pak Didi?" Vinn bertanya tentang orang yang ingin ia datangi sekarang. "Menurut kabar, dia tinggal sendiri di sebuah flat kecil," jawab Daniel. "Saat masih bekerja untuk ayah, aku yakin dia punya istri dan satu anak. Di mana mereka?""Kami masih mencarinya, Tuan. Dan kondisi Pak Didi tidak dalam keadaan baik." Daniel fokus pada jalanan menuju luar kota. "Apa maksudmu?" "Lebih baik Tuan melihatnya sendiri. Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi dengannya."Satu jam dua puluh menit kemudian, mereka sa
Esoknya, setelah memimpin rapat di kantor, Vinn kembali ke ruangannya. Ia ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan aktifitasnya. Tak lama kemudian, seseorang masuk. Sekretaris membawakan teh panas yang ia pesan beberapa menit lalu. Wanita dengan blouse mocca itu meletakkan teh di atas meja. "Bapak butuh sesuatu yang lain?" tanya wanita bernama Lauren itu. "Segera berikan rekap laporan hasil meeting tadi. Saya tunggu dalam tiga puluh menit," ujar Vinn. "Baik, Pak."Vinn menyesap sedikit tehnya lalu beralih pada ponsel. Benda pipih seharga dua puluh juta rupiah itu bergetar lebih dari sekali. Ada empat pesan masuk dari Daniel. Satu teks dan tiga lainnya berupa foto.[Saya telah memeriksa sketsa-sketsa dari flat Pak Didi. Sketsa itu mirip dengan logo perusahaan pengiriman milik Tuan Ray]Jemari Vinn berpindah pada foto-foto. Jika diperhatikan sketsa itu memang mirip dengan logo. Berbentuk diamond dan pada bagian atasnya terdapat spiral.'Tuan Ray?' Vinn masih ingat betul pria t
Beberapa saat sebelumnya.Salah seorang pelayan membuka pintu kamar Clara. Kebetulan sore itu si penghuni kamar baru selesai mengganti pakaian usai berendam di bath up mewah yang bisa diisi dua orang sekaligus. "Nona, ini jus pome dan pastry cake. Makan malam akan saya antar dua jam dari sekarang," ujar pelayan muda yang tak pernah Clara lihat sebelumnya."Iya, letakkan saja di meja. Kau pelayan baru?" tanya Clara sambil menepuk-nepuk pipinya usai menuangkan toner pada telapak tangan. Meski statusnya sebagai tawanan, Martin menyediakan semua perawatan yang ia butuhkan. "Benar, Nona." Si pelayan tersenyum ramah dan ceria. "Siapa namamu?" Clara mendekat. "Rianna April. Nona bisa memanggil saya Anna.""Nama yang bagus," puji Clara. Setelah lebih dari sebulan tinggal di bangunan besar ini, ia baru menemui pelayan berwajah ramah. "Terima kasih, itu adalah pemberian dari nenek. Apa Nona ingin saya bantu merapikan rambut?" tawar Anna yang kala itu menggunakan apron hitam. "Memangnya
Vinn turun dari mobil dan mengedarkan pandangan pada sekitar. Angin malam berhembus, menerpa kulitnya yang putih pucat. Beberapa saat yang lalu ia dan Daniel memasuki area gudang MXC Express. Dari tempatnya berdiri, hanya terlihat pepohonan rimbun. Menurut Vinn, Tuan Ray memilih lokasi yang cukup aneh untuk sebuah gudang. Atap gudang tampak menyembul di antara pucuk-pucuk pohon.Dari satu arah, Daniel muncul dengan jaket dan topi biru, persis dengan yang Vinn pakai. Dua pria itu sedang memakai seragam pekerja di gudang milik Tuan Ray. "Karyawan yang menjaga saat malam ternyata cukup banyak. Di luar gudang saya melihat ada lebih dari sepuluh orang dan sebagian dari mereka membawa senjata," ujar Daniel memberi informasi. "Apa masih jauh?" Vinn bertanya usai menyimpan pistol pada bagian dalam jaket. Senjata itu sengaja dibawa untuk perlindungan diri. "Tujuh ratus meter dari sini, Tuan.""Baiklah, kita jalan kaki saja melewati pepohonan."Mobil hitam itu mereka tinggakan di tepi jalan
Vinn melangkah ringan menuruni tangga. Perbincangan dengan Kakek Richard tak terasa telah menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Sedikit banyak kakeknya memberi petuah akan apa yang harus ia lakukan sesaat lagi. Terkait perusahaan maupun tampuk kekuasaan klub Black Circle yang sementara kosong.Mood pria muda itu sedang sangat baik. Senyumnya tak jarang muncul ketika berpapasan dengan pelayan atau kerabat di koridor."Apa kalian melihat Nona Clara?" tanyanya pada dua pelayan yang bertugas mematikan penerangan di lantai dua."Beberapa saat lalu nona memasuki kamar, Tuan," jawab pelayan dengan rambut digelung.Vinn mengangguk, memberi isyarat jika mereka sudah boleh pergi. Tanpa berpikiran buruk sedikitpun ia melanjutkan langkah menuju kamarnya yang kini telah menjadi kamar pengantin. Ia bahkan sempat menyentuh hiasan pada pintu sebelum mengetuk.Tok. Tok. Tok."Princess?"Hening. Vinn menurunkan kenop pintu, mengira sang istri tengah berada di kamar mandi atau mungkin telah terle
Vinn membuka matanya, mengerjap dalam kebingungan saat mengedarkan pandangan pada sekitar. Ruangan serba putih, aroma steril dan juga suara dengungan statis nan rendah dari alat-alat medis yang terpasang pada tubuhnya. Jantungnya berpacu tapi ia kesulitan untuk menggerakkan tubuh. Terasa sangat lemah.Sesaat setelah pandangannya lebih jelas, ia melihat dua wajah yang tidak asing. Netra mereka menunjukkan ekspresi kelegaan yang tak terkira. Senyum lelah Vinn segera terbentuk."Paman Bara ... A-ayah?" Vinn bersuara dengan serak."Vinn, kau sadar! Syukurlah, kau kembali pada kami." Darren Alfredo mendekati ranjang, sudut matanya sedikit basah."Kami sangat mengkhawatirkanmu, Vinn. Kau telah mengalami koma selama empat bulan." Tuan Bara menepuk bahu Vinn dengan lembut."Koma? Jadi aku belum mati? Lalu ayah?" Vinn masih memandangi pria paruh baya yang sangat mirip dengannya itu."Ceritanya cukup panjang. Tapi kini tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Semua telah selesai." Darren tersenyu
"Satu, dua, tiga! Jangan sampai tertangkap!" seru Jade saat akhirnya pertahanan mereka luruh dan para penjaga berhasil merangsek masuk.Edward mencebik ringan lalu tertawa menghadapi candaan Jade di tengah situasi kritis. Sedang Daniel, pria itu juga ikut mengeluarkan pistol meski awalnya kebingungan.Ketiganya saling melindungi dan menembak sambil berusaha meninggalkan ruang penyimpanan. Suara tembakan nampaknya mengundang penjaga lebih banyak untuk datang."Tugas kita hanya mengambil benda itu, bukan menembak para penjaga!" desis Daniel yang punggungnya saling menempel dengan Edward."Protes saja padanya," balas Edward sembari menunjuk Jade dengan gerakan kepala.Jade menikmati kegiatannya menumbangkan para penjaga satu persatu. Gerakan tubuhnya pun luwes saat menghindari peluru. Entah karena ia menganggap serius taruhan atau pekerjaan ini terasa menyenangkan baginya.Akan tetapi, senyum Jade menghilang saat satu tembakan lolos dan mengenai bahu kanannya. Wanita itu meringis merasak
"Singkirkan dia dari hadapanku!" perintah Tuan Ronald usai meminta dua penjaga masuk ke ruangannya.Mereka saling pandang sekilas sebelum mengangkat tubuh Redo yang sepertinya tinggal jasad. Tuan mereka memang tidak bisa ditebak. Siapa yang mengira jika Redo yang selama ini selalu mendampingi pria tua itu ke mana pun akhirnya berakhir tragis di tangan sang majikan.Genangan darah segar masih tercetak pada karpet hijau tua. Tuan Ronald telah kembali ke kursinya, berkutat santai mengelap pisau yang sempat menancap pada dada Redo."Ke mana kami harus membuangnya, Tuan?" tanya salah satu penjaga."Ke mana saja. Ini bukan pertama kali, jangan bertingkah seperti anak baru," ucap Tuan Ronald tanpa menoleh sama sekali.Tidak ada pertanyaan lagi. Berikutnya dua orang itu telah berkendara. Malam semakin larut dan mobil mereka gunakan sudah hampir sampai di sekitaran bekas taman wisata yang telah lama ditinggalkan."Kau yakin di sini aman?" Bruno, salah satu dari mereka bertanya dengan was-was.
Esoknya, pukul sepuluh pagi.Jade telah sampai di tempat yang disepakati bersama seseorang beberapa menit lalu. Semalam ia tidak mendapat informasi memuaskan dari Jason. Pemuda itu cenderung diam seolah memikirkan sesuatu, tatapannya juga tidak fokus. Beruntung salah seorang temannya ternyata mengenal klub yang sedang ia amati.Baru saja Jade duduk, seorang pria seusianya berbicara dengan nada serius nan rendah."Kuperingatkan sebaiknya kau berhenti mencari tahu tentang Klub Black Circle.""Kenapa memangnya?" tanya Jade dengan gaya casual. "Mereka bukan klub biasa, percaya padaku. Tak hanya mafia, klub itu juga dihuni pembunuh bayaran dan juga kolektor benda dari black market," terang pria dengan cardigan biru tua. "Aku sudah mendengar tentang itu. Tak bisakah kau memberiku informasi yang lain. Tentang mendaftar atau keluar? Oh, apa mereka merekrut anggota baru akhir-akhir ini?" Jade mengambil pemantik guna menyalakan rokok. "Kau ingin masuk ke sana? Sudah gila? Kudengar mereka tid
Drap. Drap.Sembari menuruni tangga, Jason memijat tengkuk yang terasa pegal. Tubuhnya tampak sehat tapi beban berat seolah memenuhi rongga kepalanya seusai pembicaraan dengan Harris beberapa saat lalu.Tidak sampai satu purnama, ia akan dilantik menjadi ketua klub. Tapi yang berbahagia justru anggota yang lain. Sedangkan Jason merasa hal sebaliknya. Selain kosong, ia ingin berlari menjauh. Tuan Ronald dan Black Circle ternyata bukanlah rumah baginya. Senyum dan kepedulian mereka bermotif mengerikan."Kau harus ingat, Jason. Pada saatnya nanti, Tuan Ronald akan meminta bukti kesetiaanmu.""Bukankah kehadiranku seperti sekarang sudah bentuk kesetiaan?""Tidak, anak muda. Tidak sesederhana itu. Aku tidak sedang membicarakan waktu, tapi nyawamu."Itulah sepenggal percakapannya dengan Harris sebelum ia undur diri belasan menit lalu.Langkah Jason semakin cepat begitu melewati karpet merah di tengah lorong dengan penerangan redup. Sesuai perintah Tuan Ronald, ia harus datang ke galeri seni
Zac menghembuskan asap cigaretenya pagi itu. Bertempat di kantor konsultan pribadinya, pria itu duduk dengan wajah bosan. Satu jam lalu putra kedua dari Richard Alfredo telah mengabarkan akan datang dalam beberapa menit.Namun ini sudah lebih dari waktu kesepakatan. Ia telah menunda pertemuan dengan klien yang hendak memakai jasanya. Lagipula tak seperti biasanya seorang Bara akan datang terlambat. Baru saja Zac akan bangkit dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Tuan Bara masuk dengan wajah serius. Zac akan bertanya dengan kesal jika saja sosok kedua tidak muncul."Maaf, kami terlambat. Kau tahu jalanan pagi selalu padat dan menyebalkan," ucap Tuan Bara yang langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan.Bagaikan tak mendengar, Zac justru terbengong. Tatapannya lurus pada Darren yang kini mendekat."Kenapa wajahmu seperti baru melihat hantu? Apa kabarmu?" Darren menawarkan jabat tangan ketika jarak mereka cukup dekat."Kau ... Bara, kau bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" Zac b
Malam itu juga Tuan Bara mendatangi rumah lama milik mendiang kakeknya ditemani Daniel dan Edward. Semula ia merasa ajudan-ajudannya berbicara omong kosong atau mungkin sekedar berhalusinasi. Namun melihat kesungguhan di wajah keduanya, membuat Tuan Bara ingin membuktikan sendiri."Di mana kalian bertemu dengannya?" tanya Tuan Bara sesaat setelah memasuki rumah dua lantai itu."Di depan pintu hijau tempat kotak berada, Tuan," jawab Daniel.Mereka menyusuri ruang rahasia dengan pencahayaan senter. Sebagian lampu telah mati, tersisa penerangan lorong di jarak belasan meter ke depan. Tuan Bara memasuki ruang perpustakaan dengan menuruni tangga melingkar, diikuti dua yang lain.Benar kata Edward sebelumnya jika ruangan lebar ini terlalu bersih untuk ukuran rumah yang telah lama ditinggalkan. Tak hanya itu, semua perabot dan buku-buku tertata rapi."Ruang perpustakaan ini cukup luas. Periksa sekitar dan hati-hati," titah Tuan Bara. Tanpa diberitahu ia yakin dua ajudannya telah mendengar ji
Langit gelap penuh bintang melingkupi pusat kota. Seperti malam-malam sebelumnya, kota metropolitan itu tidak akan tidur. Masih ada banyak orang-orang yang justru memulai aktifitasnya meski jam hampir menunjukkan tengah malam.Jeremy duduk di dalam mobil yang terparkir di depan pub. Ia telah berdiam di tempat itu selama kurang lebih lima belas menit. Menanti munculnya seseorang yang nyatanya tidak terlihat batang hidungnya.Pria itu putuskan turun dan masuk ke dalam pub. Tidak banyak pengunjung di dalamnya. Terdapat dua orang yang minum di meja bartender. Dan satu orang lagi sedang tertidur dengan posisi kepala di atas meja, di sudut lain ruangan.Satu-satunya orang yang Jeremy cari adalah Paul. Seniornya di kepolisian itu disinyalir melakukan beberapa pelanggaran seperti korupsi dan bekerja sama dengan organisasi terlarang. Itulah informasi yang Jeremy dapat. Sedangkan kini Paul menghilang. Seorang informan memberitahunya jika Paul suka datang ke pub ini pada malam-malam tertentu."S