Kedua alis Adrian menyatu mendengar penuturan Clara.
Dia tidak menyangka kalau kata-kata yang keluar dari mulut istrinya itu sangat membuatnya terkejut."Kenapa kamu bicara seperti itu, Clara?" tanya Adrian heran.Masalahnya mereka baru saja pindah beberapa hari yang lalu ke rumah ini.Tapi istrinya itu sudah minta untuk pulang kembali ke rumah orang tuanya.Tentunya hal itu membuat Adrian sedikit kecewa."Aku merasa bosan, Adrian. Aku jenuh seharian hanya berdiam diri di rumah. Aku ingin melakukan pekerjaan apapun di rumah ini sambil membantu Bi Sari tapi mereka tidak mengizinkan. Aku tidak tahu harus melakukan apa, Adrian!" jelasnya dengan mata berkaca-kaca.Mendengar itu hati Adrian sedikit berdenyut.Dia merasa sangat bersalah pada Clara.Adrian terlalu sibuk memikirkan pekerjaan, sehingga dia lupa kalau istrinya di rumah butuh teman dan sedikit kegiatan untuk mengusir rasa jenuh.Dia tahu Clara bukaSekarang Clara yang bingung mendengar mamanya bicara seperti itu. Bukannya menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka dan bahagia, malah bicara ngawur. "Mama, aku baru saja tiba. Kenapa bilang begitu?" tanya Clara tak kalah herannya. Pak Bagas mengikuti Clara dari belakang sambil membawa dua paper bag. Dia membeli beberapa barang sebagai hadiah untuk orang tuanya. Cindy pun memasang wajah masam.Dia melihat Clara hanya membawa tas kecil miliknya. "Mana kopermu? Mana barang-barangmu yang lain?" ucapnya ketus dengan mata mendelik tajam. Clara pun semakin heran dengan pertanyaan mamanya. "Mama bicara apa sih? Buat apa aku membawa koper, Ma?" tanya Clara dengan mencebikkan bibir kesal. "Kamu diusir Adrian ‘kan? Lihat! Baru juga beberapa hari pergi dari rumah ini, dia sudah berani mengusirmu! Awas saja kalau ketemu nanti! Mama pukul dia!" ujar Cindy geram sambil
Pria itu pun mengepalkan kedua tangannya dengan erat.Lagi-lagi dia yang disalahkan dalam hal ini. "Aku tidak akan menemuinya. Seharusnya kau juga bergerak bukan hanya diam saja! Brengsek!" ujarnya geram. Lalu pria itu mematikan panggilan telepon secara sepihak. ["Cih! Pengecut!" dia menatap layar ponselnya sambil melontarkan cibiran.]Pria yang menerima telepon itu pun kembali menghisap rokok cerutunya yang masih tersisa setengah. Bayangan tiga tahun lalu seketika itu juga memenuhi kepalanya. Kalau saja mereka tidak gagal, mungkin dia sudah menjadi orang nomor satu di kota itu. Menurut pikirannya. Karena itu adalah tujuannya dari awal. Besok paginya…Adrian dan Joseph tiba di kantor lebih cepat dari biasanya. Apalagi Clara pulang nanti sore, jadi dia bisa lebih fokus bekerja. Tiba-tiba terlintas di kepala Adrian sebuah gagasan baru. Dia pun meminta Joseph untuk
Clara menyodorkan itu di depan Adrian dengan semangat.Adrian pun menerima kantong belanjaan itu dan terlihat tidak sabar untuk membukanya. Setelah itu wajah Adrian berbinar dan dia mengeluarkan bungkusan itu dengan cepat karena sudah mencium aroma yang enak. "Wah! Ini cake Red Velvet di toko kue yang biasa aku beli 'kan?" Adrian bertanya dengan wajah yang benar-benar terkejut. "Iya, benar! Biasanya setiap gajian kamu selalu membeli ini dan makan bersama Pak Mario. Tapi, semenjak Mama tidak memberimu uang, aku tahu kamu pasti sangat ingin makan ini lagi! Itu sebabnya aku membelikan ini untukmu! Aku tahu ini kue kesukaanmu," tutur Clara dengan tersenyum malu. Selama ini dia selalu memperhatikan apa saja yang Adrian lakukan saat ada kesempatan. Dia juga melihat setiap kali Adrian membelinya. "Hmm, jadi selama ingin kamu mematai aku ya?" ujar Adrian dengan menaik turunkan alisnya. Clara pun semakin menundukkan wa
Clara pun jadi ikut kaget. Dia langsung melihat sekeliling dan ternyata lumayan banyak orang yang berada di dalam restoran itu. "Sstttt!!! Bisakah kamu bicara pelan saja?" pinta Clara dengan wajah khawatir sambil meletakkan telunjuknya di bibir. Dia berharap tidak ada yang mendengar nama perusahaan yang baru saja gadis itu sebutkan. Clara tidak ingin ada gosip miring yang timbul. Gadis itu pun reflek menutup mulutnya, "Ma-maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud untuk bicara lancang seperti itu!" ucapnya sambil menganggukkan kepala cepat. Clara pun mencoba untuk maklum. "Baiklah, tapi kenapa memangnya? Apa kamu tahu dengan perusahaan suami saya?" kali ini Clara yang bertanya karena penasaran. Gadis bernama Intan itu mengangguk lagi. "Tentu saja, Bu. Siapa sih yang tidak tahu tentang perusahaan itu di kota besar ini! Bahkan banyak kabar tentang pemiliknya yang menghil
Adrian pun terkejut mendengar ucapan istrinya itu. Dia pun memegang kedua pundak Clara. "Kenapa Clara? Apa kamu khawatir soal gosip itu?" Adrian bertanya dengan menatapnya intens. Clara pun terdiam lalu mengangguk dengan kepala tertunduk. Dia merasa Adrian pasti kecewa padanya. "Iya, Adrian. Aku belum sanggup untuk menghadapi mereka nantinya. Entahlah, rasanya aku sangat takut!" ungkapnya dengan penuh penyesalan. Adrian mencoba maklum dengan kekhawatiran istrinya itu. Selama ini Clara memang hidup dengan aman dan lancar-lancar saja seperti orang lain pada umumnya. Meskipun papanya seorang pengusaha, tapi keluarga mereka cukup pandai dalam menempatkan diri di setiap situasi. Oleh sebab itu Clara tidak terbiasa dengan hidup seperti ini. Harus siap dikelilingi oleh orang-orang yang penasaran dengan kehidupan pribadi dan apa saja yang terjadi pada mereka. "Tenanglah, Clara. Semua pasti akan baik-baik sa
Seketika itu juga mata Cindy melotot seperti mau keluar. Dia terlihat sangat emosi. "Apa-apaan itu semua? Berani sekali mereka meremehkan keluarga kita, Pa! Lihat kan? Gosip murahan apa yang sudah beredar di sini! Clara anakku pasti lebih cantik dari wanita manapun!" ucapnya dengan napas memburu, tidak terima dengan apa yang didengarnya. Baron juga terkejut, tapi sebagai seorang pengusaha dia tahu hal ini pasti akan terjadi dan berusaha untuk maklum. "Sabar, Ma. Itu sudah resiko Clara karena menikah dengan orang penting dan terkenal di kota ini. Biarkan saja orang lain bicara sesuka hatinya. Yang terpenting kita benar-benar berasal dari keluarga baik-baik!" ujarnya bijak berusaha menenangkan emosi istrinya. Cindy pun mencebikkan bibirnya mendengar itu.Lagi-lagi suaminya itu bersikap positif dan tidak begitu peduli dengan pendapat orang-orang tentang keluarga mereka. "Iya, mama tahu. Tapi mama tidak tahan kalau nanti mendengar semua tamu undangan membicarakan kita, Pa! Mama malu
Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Tante Adrian yang spontanitas menyindir keluarga Baron. Mata Cindy langsung melotot tidak terima sambil mengepalkan kedua tangannya dengan erat di bawah bantal sofa. 'Apa yang barusan dia katakan?!' batinnya terkejut. Dan Clara hanya bisa terdiam. Sementara itu Adrian masih menahan mulutnya untuk bicara. Sandy pun langsung menoleh ke arah istrinya. "Mama!" tegurnya. Dia merasa tidak enak dan melirik sekilas pada Baron. Semua orang menatap Tyas dengan pandangan yang berbeda-beda. "Loh, benar 'kan? Mama tidak salah mengatakan itu. Faktanya memang seperti apa yang terlihat!" jawabnya enteng sambil mengangkat kedua bahunya. Entah kenapa kali ini hati Cindy berdenyut nyeri. Dia baru benar-benar merasakan rasanya dihina dan direndahkan oleh orang lain. Padahal seperti itulah perasaan Adrian selama berada di rumahnya yang setiap hari dia caci maki saat be
Kedua alis Adrian menyatu mendengar itu. 'Apa itu tadi ejekan untukku?' batin Adrian masih mencoba mencerna. Joseph yang berdiri di balik tembok, mengepalkan kedua tangannya dengan erat menahan emosi saat mendengar semua ucapan mereka. Rasanya dia sudah tidak tahan lagi, apalagi saat ini sudah ramai tamu yang hadir dan berlalu lalang di sekitar mereka.Tentu dia tidak ingin ada orang lain yang menguping pembicaraan Adrian dan paman Clara. Itu bisa menimbulkan kesalahpahaman dan pasti akan muncul gosip baru. Joseph tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Lalu tiba-tiba dia mendengar Adrian menjawab ucapan Bryan. "Aku tidak perlu mengatakan apapun pada Paman. Kalian lihat saja sendiri nanti. Sekarang nikmati saja dulu pestanya!" ujarnya dengan tatapan tajam dan penuh penekanan. Mendengar itu Bryan pun semakin kesal pada Adrian. 'Cih! Belagu sekali dia!' hatinya mengumpat. Bryan jadi kesal send
Adrian menatap lekat lembaran foto di tangannya secara bergantian.Sorot matanya yang tajam meneliti setiap detail petunjuk yang ada.Raut wajahnya penuh tanda tanya. “Siapa pria ini, Jo? Lalu apa yang dia lakukan dengan Pamanku?” Joseph pun duduk dan terlihat antusias sekali.“Aku yakin pria ini adalah orang penting sampai mereka harus bertemu di tempat tersembunyi, Tuan!” ungkapnya bersemangat.Kening Adrian berkerut mendengar itu. Masih tetap tidak puas dengan penjelasan Asistennya.“Tapi, kenapa kau memberikan foto ini padaku? Memangnya apa yang menarik dari dia?” ucapnya kesal dan melempar asal ke meja.Dia sudah pusing dengan masalah perusahaan dan sekarang harus mengurusi orang asing pula!“Nah itu dia, Tuan! Apa Tuan tidak penasaran siapa dia sebenarnya? Tapi, tenang saja karena aku sudah mencari tahu siapa pria itu!” ucap Joseph dengan senyuman misterius.Dia pun membuka Tab miliknya dan mendekatkan lay
Pria paruh baya itu memberikan tatapan menusuk.Sementara pemuda lajang di seberang sana tampak duduk dengan gelisah, susah payah menyembunyikan raut wajah kesal karena kembali mendengar kata-kata yang sangat ia benci.‘Huh! Lagi-lagi cuma bisa menyalahkanku!’ hanya berani menggerutu dalam hati.Tangan kanannya mengambil gelas whisky, menghabiskan sisa minuman itu hingga tandas dan meletakkannya kembali ke atas meja kaca.Butuh sesuatu yang menantang untuk berbicara dengan pria itu.“Aku sudah mengatur semuanya, Bos! Dia gadis yang bodoh. Bahkan tidak memberitahuku kalau si cecunguk itu punya rekaman videonya!” jelasnya berkelit.Yup!Sandy dan Bastian bertemu diam-diam hari ini.Tentu untuk membahas situasi yang makin rumit karena rencana pemuda itu yang hanya ampuh di awal dan menguap begitu saja setelah Adrian berhasil memutar balikkan keadaan.Sandy menyenderkan punggungnya ke sofa.Senyuman miring pun terbit di sudut bibirnya, “Hahaha! Kalian berdua itu sama-sama bodoh! Kau itu s
“A-apa? Ti-tidak mungkin!” ucapnya dengan bibir bergetar. “Kalian pasti salah orang!”[“Tidak, Pak. Kami sudah memeriksa di dalam selnya dan memastikan informasi ini dengan dokter terkait,” jelasnya lagi.]Tangan Bryan lemas dan ponselnya pun jatuh ke lantai.Pria di seberang sana masih bicara, tetapi pria paruh baya itu sudah tidak peduli.“Ti-tidak! Putraku tidak mungkin mati! Ronald … tidak mungkin! Tidaakkkkk!!!”Suaranya menggema di ruangan kerjanya.“Tidak mungkin! Hu-hu-huaaaaa!” Tangis pria itu akhirnya pecah.Kedua bahunya berguncang karena terisak pilu.Setelah semua kejadian yang dialaminya, dia selalu berusaha untuk kuat.Namun, sekarang adalah puncaknya.Putra satu-satunya dan kebanggaan baginya sudah pergi untuk selamanya.Dan dalam beberapa jam saja, berita kematian Ronald langsung laris manis mengisi stasiun televisi.Semua orang pun membicarakan berita itu dengan berbag
Sementara itu…Seorang pria paruh baya baru saja ingin merebahkan badan karena lelah seharian bekerja.Namun atensinya teralihkan saat mendengar bunyi ponsel yang ada di samping ranjang.Saat melihat nama yang ada di layar, raut wajahnya langsung berubah menjadi masam.“Halo! Untuk apalagi kau menelponku?” jawabnya ketus.Pria di seberang sana mencoba bersabar walaupun juga sama kesalnya.[“Tidak usah ketus begitu, Baron! Aku hanya ingin minta keringanan hukuman untuk Ronald! Kau bisa kan bicara pada polisi?” ucapnya sedikit memaksa.]Ya, Bryan menghubungi Baron untuk minta potongan masa tahanan putranya dan mereka tidak tahu sama sekali soal kedatangan Adrian dan rencana licik Ronald yang terbongkar.Belum ada yang memberitahu kedua pria ambisius itu.Jadi, apapun akan dia lakukan meskipun mengemis pada Adik satu-satunya.Baron merasa sangat emosi mendengarnya tetapi berusaha tetap tenang demi kesehatannya
Semua orang di ruangan terkejut mendengar ucapannya barusan.Tanpa banyak basa-basi lagi, Adrian melangkah mendekat ke arah pria yang dulu sangat sombong padanya.Orang yang menghancurkan keluarga istrinya, meskipun ada satu pengecualian karena berkat hal itu dia bisa menikah dengan Clara.Dengan cepat kedua tangannya menarik kerah baju berwarna oranye itu.Wajahnya berbalik ke belakang menatap Asistennya, “Berikan pisaunya, Jo!” teriak Adrian murka.Joseph yang tersadar langsung menaikkan celana kainnya di kaki kiri dan terlihat di balik kaos kaki itu sebuah benda tajam terbungkus dengan kulit khusus berwarna coklat.Dia pun mengambil bilah pisau lipat itu dan tanpa ragu memberikan pada Adrian.“Ini, Tuan!” ucapnya pelan.Adrian langsung mengambilnya dengan cepat dan kasar tanpa peduli kalau tangannya akan terluka.Dia langsung mengarahkan ke leher Ronald.Melihat itu salah satu petugas melarang Adrian untuk melakukan niatnya.“Jangan lakukan apapun, Pak Adrian! Ini kantor polisi dan
“Apa?!” teriaknya dengan raut wajah terkejut.Dia sampai bangkit berdiri dari kursi.Helaan napas panjang langsung keluar dari mulutnya.'Ini tidak mungkin!’ hatinya menolak percaya.Tentu saja!Bagaimana caranya dia membayar orang?Karena Joseph yakin kalau saat itu Ronald sedang berada di dalam penjara.“Kenapa pria itu masih bisa … ah, sudahlah. Cepat berikan semuanya pada kantor polisi atas nama Tuan Adrian. Aku akan menyusul ke sana!” putusnya cepat.[“Baik, Bos!”]Napas Joseph memburu lalu secepat kilat melangkah masuk ke dalam ruangan Tuannya.“Tuan, a-aku ada kabar buruk!” ucapnya sedikit ragu.Adrian memijat keningnya yang pusing karena dari pagi moodnya sudah jelek, ditambah informasi yang diterima dari Asistennya itu semua adalah masalah.“Ada apalagi, Jo?” jawabnya dengan ketus.Adrian terlihat malas meladeni Asistennya itu.Joseph pun duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Adrian.“Orangku bilang, kalau pria yang menabrak Tuan kemarin dibayar oleh Ronald. Dia pelaku
Klik!Panggilan telepon itu dimatikan sepihak oleh Bastian.“Ha-halo! Hei, aku belum selesai bicara!” teriaknya kencang.Nayla menatap layar ponselnya dengan nanar. Tanpa basa-basi lagi dia pun langsung membantingnya ke lantai.“Aarrgghhhh!!! Aku benci kalian semua! Dasar brengsek!”Tubuh gadis itu merosot ke lantai.Kedua bahunya berguncang karena menangis dengan histeris.Tidak ada lagi yang bisa membuatnya merasa aman di sini.Dengan cepat dia menghapus air matanya dan segera bangkit menuju kamarnya.Nayla akan melakukan rencana yang terakhir supaya bisa hidup dengan tenang.Di Apartemen Joseph…Baru saja pria itu ingin merebahkan badan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan.Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan keningnya pun berkerut saat melihat nomor asing di layar.Meskipun ragu, ia akhirnya mengangkatnya juga.“Halo? Siapa ini?” ucapnya langsung.[“Halo, Bos. Maaf mengganggu malam-malam. Tapi, aku sudah mendapatkan lokasi gadis itu!” ungkap pria di seberang s
Pria itu menarik sudut bibirnya dan tetap santai saja. Setelah seharian sengaja mengabaikan semua pesan dan telepon yang masuk, sekarang barulah ia tertarik meladeni gadis itu.[“Aku tentu saja sedang di kantor. Ada apa?” pria itu bertanya dengan nada malas.]Nayla semakin geram mendengar Bastian yang bersikap cuek padanya. Bahkan dia yakin kalau pria itu pasti sudah menonton berita yang mengguncang dirinya.Meskipun memakai inisial tapi semua karyawan perusahaan Adrian bisa menebak siapa orang yang dimaksudkan. Dan bukannya mendukung, malah mereka semua pasti akan menyalahkan dirinya.Kedua kaki Nayla menghentak ke lantai, “Kenapa kau membuat berita gosip tanpa persetujuan dariku? Kenapa membawa namaku, hah? Aku tidak terima!” teriaknya dengan kencang.Bastian sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya.Tetapi, bukannya merasa bersalah malah menampilkan senyuman licik di sudut bibirnya.[“Memangnya aku harus minta pendapatmu kalau ingin melakukan sesuatu? Tidak ‘kan? Kau ti
"Baik, Tuan!" jawab Joseph patuh. Adrian membuka jasnya dengan cepat dan memberi perintah lagi, “Hapus berita murahan itu sekarang!”Pria itu pun mengangguk dan segera ke luar dari sana sebelum Tuannya semakin murka. Adrian pun mendudukkan tubuhnya di kursi dengan kasar. Dia pun memegang kepalanya yang berdenyut pusing dengan kedua tangannya. "Apalagi sekarang?!" teriaknya frustasi. Tentu saja karyawan di perusahaan ini tahu siapa yang dipecat secara tidak hormat olehnya. Sebagian orang pasti ada yang percaya dengan berita itu dan Adrian tidak ingin hal itu memperngaruhi kinerja mereka. Juga dengan inisial nama yang sudah jelas merujuk pada Nayla. Adrian tidak menyangka kalau gadis itu masih berani bermain api dengannya setelah apa yang terjadi. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjauh dan tidak pernah memberikan celah pada wanita manapun untuk mendekatinya. Sedetik kemudian ia teringat kalau ponselnya masih dalam mode silent. Dengan terburu-buru Adrian merogoh saku jasnya.