Dua orang petugas keamanan langsung bergegas menghampiri Joana dan memegang tubuhnya.
"Lepaskan aku! Aku bilang lepas!" pekiknya sambil berusaha meronta.Namun dia kalah tenaga dengan dua pria itu. Tubuhnya terkunci dan tidak bisa melawan."Ibu sudah membuat kekacauan di tempat ini! Kami akan bawa Ibu ke kantor polisi!" ucap salah satu petugas itu sengaja mengancam Joana.Mata Joana seketika terbelalak, entah kenapa dia sedikit takut mendengar kata polisi sekarang. Mungkin karena suaminya sedang mendekam di sana sekarang."Lepaskan aku! Aku harus bertemu dengan wanita murahan itu! Dia sudah membuat suamiku di penjara! Sekarang dia juga membunuh anakku!" pekiknya sambil tetap meronta berusaha melepaskan diri.Beberapa karyawan yang melintas berbisik satu sama lain, bahkan menganggap kalau Joana sudah kehilangan akal sehatnya. Karena ini bukan pertama kali dia datang dengan membuat kegaduhan di perusahaan.Tentu saja"A-apa kau bilang?!" mulut Joana melongo. Matanya seketika terbelalak lebar mendengar ucapan Daniel yang tidak disangka dan sangat tidak diharapkannya. "Apa kau tuli? Aku tidak perlu mengulang sampai dua kali!" jawab Daniel terlihat acuh dan tidak peduli. Joana sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Dia bahkan berhenti menangis karena shock. 'Yang benar saja?' hatinya tidak terima."A-apa maksudmu, Daniel?! Kau tidak bisa menceraikanku begitu saja!" pekiknya tidak terima. "Keputusanku sudah bulat!" jawabnya cepat dan menatap ke arah lain. Daniel tetap cuek dan tidak merasa bersalah sama sekali. Justru dia sangat senang saat ini. Karena anak mereka, salah satu penghalangnya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Itu semakin memudahkannya dalam menceraikan Joana, karena tidak ada lagi yang bisa dijadikan alasan untuk mereka berdua bersama. 'Setelah bercerai dengannya aku bisa mendekati Clara lagi!'
Adrian pun dengan cepat menjawab sebelum Clara salah paham, "Tidak! Bukan itu maksudku! Aku memang akan secepatnya kembali, tapi aku ingin bicara dulu dengan Papa, supaya kamu tidak usah lagi bekerja. Jadi, Papa bisa mencari penggantimu atau asisten dengan segera. Itu yang akan aku bicarakan nanti," jelasnya rinci. Clara pun manggut-manggut paham. "Oh, begitu? Oke, aku mengerti. Nanti aku akan langsung memberitahu Papa soal ini. Kamu tenang saja!" ucapnya yakin. Adrian pun kembali berpikir sejenak. "Tidak usah, Clara! Biar aku saja yang mengatakan hal ini pada Papa!" ucap Adrian tiba-tiba. "Oh, begitu? Baiklah, terserah kamu saja, Adrian!" jawabnya tersenyum manis. Adrian lega karena Clara begitu penurut dan mengerti kegelisahan hatinya. "Apa kamu keberatan kalau aku memintamu untuk berhenti bekerja?" tanya Adrian memastikan sekali lagi agar tambah yakin. Clara pun tersenyum lebar, "Iya, Adrian. Kalau ka
Mata Ronald sampai melotot tajam karena tidak percaya dengan apa yang baru saja telinganya dengar. Lalu terdengar suara tawa yang menggelegar dari mulut papanya. "Hahaha!!!"Bryan sampai memukul lengan sofa karena berhasil membuat anaknya itu shock. Ronald semakin bingung dengan sikap papanya yang seperti itu.Dia pikir Bryan sekarang malah mendukung pamannya, bukan dia yang notabene adalah anaknya. "Kenapa Papa malah tertawa?!" Reno bertanya dengan raut wajah kesal. Bryan pun menyesap kopinya lalu menjawab dengan kekehan geli. "Papa bukan bermaksud meremehkanmu atau mendukung mereka. Tapi, maksud papa adalah, biarkan Baron merasa senang saat ini. Sementara ini kita biarkan mereka bahagia dengan kemenangan proyek baru itu," ungkapnya dengan senyuman licik, dia seperti tahu apa yang ada di dalam pikiran putranya itu. Ronald pun akhirnya paham apa yang dimaksudkan
Adrian pun melepaskan cekalan tangannya dan membalik tubuh Clara menghadapnya. Clara jadi salah tingkah dengan posisi mereka saat ini, apalagi Adrian membisikkan sesuatu yang malah membuatnya semakin malu dan menundukkan kepala, tidak berani menatap balik Adrian. "Kenapa diam saja?" kali ini Adrian kembali bertanya karena tidak mendapat respon apapun dari istrinya itu. Clara pun tersadar dan mendongakkan kepalanya. "I-iya! Tadi kamu bilang apa, Adrian?" ujarnya tergagap. Adrian pun tersenyum dan memegang pipi sebelah kiri Clara dengan tangan kanannya. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin kamu menemaniku, kita mengobrol di sini. Jadi bisakah nanti saja kamu pergi?" pinta Adrian dengan tatapan memohon. Clara pun ikut tersenyum dan secara reflek memeluk Adrian dengan melingkarkan lengannya di leher suaminya. Netra keduanya kembali bertemu, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka pun saling mend
Clara pun mengangguk dengan menyembunyikan senyuman, malu. Adrian pun menuntun tubuh keduanya menuju peraduan. Mereka seperti punya dua kamar, karena setiap malam tidur di ranjang yang berbeda. Di Rumah kediaman Bryan…Ronald meletakkan ponselnya di atas meja. Dia tersenyum licik dengan tatapan yang misterius. "Menarik sekali! Aku harus segera memberitahu hal ini pada Papa!" gumamnya bersemangat. Setelah menerima telepon dari sepupunya yaitu Clara, Ronald langsung bergegas menuju ruang kerja.Dia yakin papanya pasti ada di sana. Setelah membuka pintu, ternyata benar. Bryan sedang duduk santai sambil menyesap segelas minuman mahal. "Pa! Aku punya kabar bagus!" ucapnya antusias saat sudah duduk di depan papanya. Alis sebelah kanan Bryan terangkat, dia pun melihat Ronald dengan tatapan penuh minat. "Soal apa?" dia bertanya sambil meletakkan gelas itu di atas meja. Ronal
Salah satu teman Cindy pun melirik ke arahnya dan menegurnya. "Ada apa, Cindy? Kenapa kaget begitu?" celetuknya heran. Cindy pun gelagapan harus menjawab apa, sementara dia sendiri bingung kenapa uang yang masuk ke rekeningnya lebih banyak dari yang dibayangkannya. "Eh, anu! Ini aku baru saja mendapat transferan uang dari menantuku!" jawabnya cepat dengan cengiran. Teman-temannya pun mulai berbisik dan cukup terkejut mendengar itu. "Wah! Benarkah? Kamu bilang kalau menantumu itu pengangguran! Uang dari mana dia? Iya kan, Jeng?" ujar temannya yang berlipstik merah tebal menimpali. "Iya, nih! Kamu bohong, ya?!" Suasana pun mendadak riuh karena hal itu. Selama ini Cindy memang tidak pernah mau membahas soal Adrian di depan teman-temannya. Walaupun mereka bertanya, dia akan menjawab asal kalau menantunya hanya kerja serabutan atau karyawan biasa. Cindy juga kadang menolak membicarakan soal Adrian kalau mereka ber
"A-apa?!" pekik Cindy kaget dengan suara nyaringnya yang khas. Clara sampai menutup telinganya karena suara mamanya terlalu kencang. "Iya, Ma! Adrian memutuskan untuk pulang hari ini. Semuanya sudah diatur, jadi kami sudah bisa pergi sore ini!" jawab Adrian dengan yakin. Clara pun bangkit berdiri dan mengambil sepatu wedges miliknya dan tas tangan yang ada di meja rias. Cindy yang masih bingung berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia berdiri dari duduknya dan terlihat gelisah. "Ka-kalian harus memberitahu Papa dulu!" ucapnya panik. "Papa sudah menunggu di bawah, Ma!" jawab Adrian enteng. Cindy pun melongo. Dia tidak tahu kalau suaminya sudah pulang. Dia merasa kecolongan. 'Kenapa hanya aku yang terlihat bodoh di rumah ini?!' batinnya kesal. Mereka pun akhirnya turun ke bawah secara bersamaan. Di ruang tamu, Baron dan Jos
Pupil mata Daniel pun membulat sempurna mendengar itu. "Hah? Bukankah masih beberapa bulan lagi, Pa? Itu kan lama, Pa!" Daniel langsung saja melayangkan protes.Mana tahan dia berlama-lama mendekam di penjara yang dingin.Apalagi dia tidak rela kalau menderita sendirian sementara Adrian bahagia bersama Clara. Memikirkan hal itu saja sudah membuatnya muak. ["Hanya itu satu-satunya cara, Daniel! Papa sedang tidak punya uang sekarang! Tabungan papa juga tidak akan cukup! Kamu pikir uang jaminan itu sedikit! Pikir pakai otakmu!" jelas papanya dengan nada tinggi, emosinya mulai naik karena anaknya hanya tahu soal uang tanpa memikirkan dari mana asalnya itu.]Daniel pun terdiam. Dia mau tidak mau harus mengikuti rencana papanya, yang penting bisa bebas dari sini. "Ya sudah kalau begitu, Pa. Daniel ikut saja bagaimana baiknya!" jawabnya dengan pasrah. ["Bagus! Tunggu saja nanti papa akan datang untuk membebaskanmu!" ucapnya
Adrian menatap lekat lembaran foto di tangannya secara bergantian.Sorot matanya yang tajam meneliti setiap detail petunjuk yang ada.Raut wajahnya penuh tanda tanya. “Siapa pria ini, Jo? Lalu apa yang dia lakukan dengan Pamanku?” Joseph pun duduk dan terlihat antusias sekali.“Aku yakin pria ini adalah orang penting sampai mereka harus bertemu di tempat tersembunyi, Tuan!” ungkapnya bersemangat.Kening Adrian berkerut mendengar itu. Masih tetap tidak puas dengan penjelasan Asistennya.“Tapi, kenapa kau memberikan foto ini padaku? Memangnya apa yang menarik dari dia?” ucapnya kesal dan melempar asal ke meja.Dia sudah pusing dengan masalah perusahaan dan sekarang harus mengurusi orang asing pula!“Nah itu dia, Tuan! Apa Tuan tidak penasaran siapa dia sebenarnya? Tapi, tenang saja karena aku sudah mencari tahu siapa pria itu!” ucap Joseph dengan senyuman misterius.Dia pun membuka Tab miliknya dan mendekatkan lay
Pria paruh baya itu memberikan tatapan menusuk.Sementara pemuda lajang di seberang sana tampak duduk dengan gelisah, susah payah menyembunyikan raut wajah kesal karena kembali mendengar kata-kata yang sangat ia benci.‘Huh! Lagi-lagi cuma bisa menyalahkanku!’ hanya berani menggerutu dalam hati.Tangan kanannya mengambil gelas whisky, menghabiskan sisa minuman itu hingga tandas dan meletakkannya kembali ke atas meja kaca.Butuh sesuatu yang menantang untuk berbicara dengan pria itu.“Aku sudah mengatur semuanya, Bos! Dia gadis yang bodoh. Bahkan tidak memberitahuku kalau si cecunguk itu punya rekaman videonya!” jelasnya berkelit.Yup!Sandy dan Bastian bertemu diam-diam hari ini.Tentu untuk membahas situasi yang makin rumit karena rencana pemuda itu yang hanya ampuh di awal dan menguap begitu saja setelah Adrian berhasil memutar balikkan keadaan.Sandy menyenderkan punggungnya ke sofa.Senyuman miring pun terbit di sudut bibirnya, “Hahaha! Kalian berdua itu sama-sama bodoh! Kau itu s
“A-apa? Ti-tidak mungkin!” ucapnya dengan bibir bergetar. “Kalian pasti salah orang!”[“Tidak, Pak. Kami sudah memeriksa di dalam selnya dan memastikan informasi ini dengan dokter terkait,” jelasnya lagi.]Tangan Bryan lemas dan ponselnya pun jatuh ke lantai.Pria di seberang sana masih bicara, tetapi pria paruh baya itu sudah tidak peduli.“Ti-tidak! Putraku tidak mungkin mati! Ronald … tidak mungkin! Tidaakkkkk!!!”Suaranya menggema di ruangan kerjanya.“Tidak mungkin! Hu-hu-huaaaaa!” Tangis pria itu akhirnya pecah.Kedua bahunya berguncang karena terisak pilu.Setelah semua kejadian yang dialaminya, dia selalu berusaha untuk kuat.Namun, sekarang adalah puncaknya.Putra satu-satunya dan kebanggaan baginya sudah pergi untuk selamanya.Dan dalam beberapa jam saja, berita kematian Ronald langsung laris manis mengisi stasiun televisi.Semua orang pun membicarakan berita itu dengan berbag
Sementara itu…Seorang pria paruh baya baru saja ingin merebahkan badan karena lelah seharian bekerja.Namun atensinya teralihkan saat mendengar bunyi ponsel yang ada di samping ranjang.Saat melihat nama yang ada di layar, raut wajahnya langsung berubah menjadi masam.“Halo! Untuk apalagi kau menelponku?” jawabnya ketus.Pria di seberang sana mencoba bersabar walaupun juga sama kesalnya.[“Tidak usah ketus begitu, Baron! Aku hanya ingin minta keringanan hukuman untuk Ronald! Kau bisa kan bicara pada polisi?” ucapnya sedikit memaksa.]Ya, Bryan menghubungi Baron untuk minta potongan masa tahanan putranya dan mereka tidak tahu sama sekali soal kedatangan Adrian dan rencana licik Ronald yang terbongkar.Belum ada yang memberitahu kedua pria ambisius itu.Jadi, apapun akan dia lakukan meskipun mengemis pada Adik satu-satunya.Baron merasa sangat emosi mendengarnya tetapi berusaha tetap tenang demi kesehatannya
Semua orang di ruangan terkejut mendengar ucapannya barusan.Tanpa banyak basa-basi lagi, Adrian melangkah mendekat ke arah pria yang dulu sangat sombong padanya.Orang yang menghancurkan keluarga istrinya, meskipun ada satu pengecualian karena berkat hal itu dia bisa menikah dengan Clara.Dengan cepat kedua tangannya menarik kerah baju berwarna oranye itu.Wajahnya berbalik ke belakang menatap Asistennya, “Berikan pisaunya, Jo!” teriak Adrian murka.Joseph yang tersadar langsung menaikkan celana kainnya di kaki kiri dan terlihat di balik kaos kaki itu sebuah benda tajam terbungkus dengan kulit khusus berwarna coklat.Dia pun mengambil bilah pisau lipat itu dan tanpa ragu memberikan pada Adrian.“Ini, Tuan!” ucapnya pelan.Adrian langsung mengambilnya dengan cepat dan kasar tanpa peduli kalau tangannya akan terluka.Dia langsung mengarahkan ke leher Ronald.Melihat itu salah satu petugas melarang Adrian untuk melakukan niatnya.“Jangan lakukan apapun, Pak Adrian! Ini kantor polisi dan
“Apa?!” teriaknya dengan raut wajah terkejut.Dia sampai bangkit berdiri dari kursi.Helaan napas panjang langsung keluar dari mulutnya.'Ini tidak mungkin!’ hatinya menolak percaya.Tentu saja!Bagaimana caranya dia membayar orang?Karena Joseph yakin kalau saat itu Ronald sedang berada di dalam penjara.“Kenapa pria itu masih bisa … ah, sudahlah. Cepat berikan semuanya pada kantor polisi atas nama Tuan Adrian. Aku akan menyusul ke sana!” putusnya cepat.[“Baik, Bos!”]Napas Joseph memburu lalu secepat kilat melangkah masuk ke dalam ruangan Tuannya.“Tuan, a-aku ada kabar buruk!” ucapnya sedikit ragu.Adrian memijat keningnya yang pusing karena dari pagi moodnya sudah jelek, ditambah informasi yang diterima dari Asistennya itu semua adalah masalah.“Ada apalagi, Jo?” jawabnya dengan ketus.Adrian terlihat malas meladeni Asistennya itu.Joseph pun duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Adrian.“Orangku bilang, kalau pria yang menabrak Tuan kemarin dibayar oleh Ronald. Dia pelaku
Klik!Panggilan telepon itu dimatikan sepihak oleh Bastian.“Ha-halo! Hei, aku belum selesai bicara!” teriaknya kencang.Nayla menatap layar ponselnya dengan nanar. Tanpa basa-basi lagi dia pun langsung membantingnya ke lantai.“Aarrgghhhh!!! Aku benci kalian semua! Dasar brengsek!”Tubuh gadis itu merosot ke lantai.Kedua bahunya berguncang karena menangis dengan histeris.Tidak ada lagi yang bisa membuatnya merasa aman di sini.Dengan cepat dia menghapus air matanya dan segera bangkit menuju kamarnya.Nayla akan melakukan rencana yang terakhir supaya bisa hidup dengan tenang.Di Apartemen Joseph…Baru saja pria itu ingin merebahkan badan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan.Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan keningnya pun berkerut saat melihat nomor asing di layar.Meskipun ragu, ia akhirnya mengangkatnya juga.“Halo? Siapa ini?” ucapnya langsung.[“Halo, Bos. Maaf mengganggu malam-malam. Tapi, aku sudah mendapatkan lokasi gadis itu!” ungkap pria di seberang s
Pria itu menarik sudut bibirnya dan tetap santai saja. Setelah seharian sengaja mengabaikan semua pesan dan telepon yang masuk, sekarang barulah ia tertarik meladeni gadis itu.[“Aku tentu saja sedang di kantor. Ada apa?” pria itu bertanya dengan nada malas.]Nayla semakin geram mendengar Bastian yang bersikap cuek padanya. Bahkan dia yakin kalau pria itu pasti sudah menonton berita yang mengguncang dirinya.Meskipun memakai inisial tapi semua karyawan perusahaan Adrian bisa menebak siapa orang yang dimaksudkan. Dan bukannya mendukung, malah mereka semua pasti akan menyalahkan dirinya.Kedua kaki Nayla menghentak ke lantai, “Kenapa kau membuat berita gosip tanpa persetujuan dariku? Kenapa membawa namaku, hah? Aku tidak terima!” teriaknya dengan kencang.Bastian sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya.Tetapi, bukannya merasa bersalah malah menampilkan senyuman licik di sudut bibirnya.[“Memangnya aku harus minta pendapatmu kalau ingin melakukan sesuatu? Tidak ‘kan? Kau ti
"Baik, Tuan!" jawab Joseph patuh. Adrian membuka jasnya dengan cepat dan memberi perintah lagi, “Hapus berita murahan itu sekarang!”Pria itu pun mengangguk dan segera ke luar dari sana sebelum Tuannya semakin murka. Adrian pun mendudukkan tubuhnya di kursi dengan kasar. Dia pun memegang kepalanya yang berdenyut pusing dengan kedua tangannya. "Apalagi sekarang?!" teriaknya frustasi. Tentu saja karyawan di perusahaan ini tahu siapa yang dipecat secara tidak hormat olehnya. Sebagian orang pasti ada yang percaya dengan berita itu dan Adrian tidak ingin hal itu memperngaruhi kinerja mereka. Juga dengan inisial nama yang sudah jelas merujuk pada Nayla. Adrian tidak menyangka kalau gadis itu masih berani bermain api dengannya setelah apa yang terjadi. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjauh dan tidak pernah memberikan celah pada wanita manapun untuk mendekatinya. Sedetik kemudian ia teringat kalau ponselnya masih dalam mode silent. Dengan terburu-buru Adrian merogoh saku jasnya.