Rita merapikan penampilannya begitu sampai di halaman parkir sekolah Eshan. Sudah banyak orang tua atau wali murid yang menunggu jam pulang sekolah. Rita memeriksa jam pada pergelangan tangannya yang menunjuk pada pukul 12 lebih 55 menit masih ada waktu lima menit sebelum bell berbunyi. Ia segera meraih kartu identitas wali dan keluar dari mobil. Namun baru saja ia hendak menutup pintu di depannya telah berdiri seorang wanita yang lebih tua darinya, wanita biasa yang saat ini sedang menenteng tas berisi pakaian yang telah akan di laundry.Rita tertegun tak menyangka akan berhadapan langsung dengan wanita yang diduga adalah ibu dari Ambro yang kini membalas tatapannya dengan tanpa ekspresi. Rita yang masih merasa terkejut berusaha mengingat-ingat nama wanita ini sesuai dengan informasi dari Yuda.Belum juga Rita membuka suara wanita itu lebih dulu berkata, “Saya tahu siapa Anda. Anda majikannya Pak Yuda kan? Tolong jangan tanya-tanya tentang keluarga kami. Kami tidak ada hubungannya d
"Aku merasa tidak akan mudah sekarang ini untuk mendapatkan anakku," ujar Rita saat ini berada dalam pelukan Arka selepas makan siang."Kita belum bisa memutuskan hal itu Sayang. Masih banyak prosedur harus dijalani.""Kamu mematahkan semangatku?!""Tidak ... bukan begitu, hanya saja jangan terlalu berharap bagaimana jika bukan anak itu. Bisa jadi anakmu ada di panti asuhan dan kita harus memastikan bayi siapa yang dikubur Yesi.""Tapi aku yakin jika dia itu anakku," ujar Rita bersikukuh sampai matanya berkaca-kaca dan memerah, "maka dari itu aku ingin memberikan bantuan supaya Eros bisa melanjutkan kuliah dan nanti bisa bekerja di perusahaan. Boleh kan? Tolong jangan menolak."Rita kini memeluk pinggang Arka erat-erat seolah takut jika kekasihnya itu akan menolak permintaannya. Rencananya bisa berantakan tanpa ada dukungan dari Arka. Nathan Alsaki juga belum memberikan informasi apapun perihal kecelakaan yang menimpanya dulu.Mata Rita membulat begitu teringat dengan berita yang disa
"Biarkan aku yang membuatnya," pinta Rita yang langsung mengambil alih mengaduk cairan teh yang masih mengepul pekat."Awas Bu, masih panas banget."Rita tersenyum simpul. "Tolong ambilkan roti bolu yang sudah dipotong-potong tadi."Eli mengikuti perintah Rita, membuka lemari penyimpanan seraya berkata, "Bu Daya nggak ke sini, Bu?""Rencana sih tadinya mau begitu sama Abang juga tapi rasanya itu nggak mungkin. Ada Ambro, nanti Mama semakin syok.""Bagaimana dengan Ibu?" tanya Eli yang terlihat khawatir dengan keadaannya."Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik saja. Entah mengapa aku sangat bahagia saat ini.""Ya, terlihat sekali jika Ibu bahagia sekali." Eli kemudian mendekati Rita dan menambahkan, "Saya merasa ada yang janggal.""Soal apa?" tanya Rita begitu selesai menaruh piring berisi bolu di atas baki."Kenapa mereka pindah. Coba deh Ibu perhatikan, Bu Entin itu usianya udah nggak muda loh. Seusia saya, sepertinya dengan enam orang anak coba untuk apa repot-repot pindah. Terlihat bu
Entin sudah berada di taman kecil yang sudah mulai sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tempat yang sudah dijanjikan untuk mereka bertemu. Namun sosok yang ditunggu tak kunjung terlihat batang hidungnya. Entin merapatkan cardigan usang berwarna biru tua karena hembusan angin malam yang semakin pekat.Bersandarkan pagar gazebo ia menggerutu, "Di mana Bandot Tua ini kok, sama sekali belum datang?"Entin kemudian mengeluarkan ponsel dan melirik pada layarnya yang tampak bersih dari notifikasi. Pesan pun tak ada, sedangkan daya batrenya tersisa 25%."Telepon lagi deh. Awas saja jika sampai tidak datang!"Belum juga Entin menyapa, dari seberang sana sudah lebih dulu berkata ketus sampai terdengar bantingan suara pintu mobil yang ditutup secara kasar, "Kenapa nggak bisa sabar sih? Sudah kangen sama aku? Kamu tahu kan, aku sudah nggak bisa apa-apa sekarang? Hah!""Ini sudah larut malam aku nggak bisa meninggalkan anak-anak terlalu lama.""Ada Eros bersama dengan mereka. Ja
Sebelum Entin keluar dari mobil, Narto melempar sebuah kantong plastik berwarna hitam ke atas pangkuannya."Jauhi keluarga Rita. Bilang sama anakmu itu!"Raut kekecewaan muncul pada wajah Entin 'anakmu' padahal kalau pun dilakukan tes DNA, darah Narto jelas mengalir pada Eros."Dia juga anakmu," jawab Entin lirih dengan sisa tenaga karena sakitnya tenggorokan bekas cekikan Narto tadi."Kok, aku sekarang jadi nggak yakin dia anakku?"Entin menatap tajam kali ini. "Berhenti menjadi bajingan, Mas! Dia anakmu, mau buktikan?""Nggak perlu. Uangku cukup berharga untuk membuktikan hal sepele seperti itu!" balas Narto tak kalah emosi."Sepele katamu? Jika dia dengar, kamu bisa dibencinya. Dia satu-satunya anak laki-lakimu."Tak disangka reaksi Narto adalah tertawa terbahak-bahak. "Lucu kamu itu. Terlalu tinggi memandang posisimu di sisiku. Kamu pikir cuma kamu yang bisa kasih aku anak. Anakku semuanya laki-laki. Eros adalah yang terakhir sebelum aku tidak bisa apa-apa."Rasa sesak menghimpit
Rita meneguk cairan coklat hangat yang baru selesai dibuatnya. Cuaca hari ini sedang tidak bersahabat, sejak semalam hujan disertai angin kencang turun dengan derasnya. Bahkan tadi pagi Arka melarangnya untuk mengantar anak-anak ke sekolah. Alhasil, Arka yang mengantar keempatnya sekaligus berangkat kerja. Ia pun tidak pergi ke pengadilan dan mengutus Erwin sendirian. Saat ini, ia baru selesai memasak untuk makan siang dan menunggu kabar dari Erwin."Bunda."Rita meletakkan gelasnya dan mengulurkan tangan menyambut Eshan yang baru kembali dari sekolah dan langsung disuruh mandi dan keramas karena terkena air hujan."Ya Sayang? Ada apa, kenapa cemberut gitu?""Aku tidak bergairah."Rita terkekeh geli mendengar jawaban anak itu. Rupanya kosakatanya semakin bertambah. Namun melihat postur tubuhnya yang terlihat lesu kata itu sepertinya tepat hanya saja sepertinya tidak cocok diucapkan anak berumur sembilan tahun itu."Kenapa tidak bergairah?" Rita mengusap bahu Eshan dan memijatnya lembu
"Kamu yakin akan menemuinya?" tanya Arka setelah mereka sarapan bersama."Yakin. Aku harus menghadapinya. Rasanya aku sudah capek sembunyi.""Kamu tidak sembunyi. Kamu perlu waktu untuk sendiri. Lagi pula memang sedari awal perceraian adalah keinginanmu. Apakah kamu berubah pikiran sekarang?" tanya Arka yang kini menampilkan raut kekhawatiran.Rita kemudian meraih tangan pria tampan di depannya. "Tidak Sayang. Aku tetap akan melanjutkan perceraian. Aku hanya ingin berbicara empat mata dengannya. Semoga saja dengan apa yang sudah dia lalui dan bertemu muka denganku. Mas Apri akan berubah pikiran.""Kenapa aku merasa sangsi.""Jangan begitu. Jika kamu tidak menguatkan aku lalu siapa yang bisa?""Aku dengar, Hendro dan kakaknya satunya itu akan mencari tahu siapa Bob dan Ilham.""Maksudnya bagaimana?""Mereka merasa curiga karena mesin pabrik kita pindah. Apalagi pabrik itu yang terbesar yang mereka miliki.""Apakah para karyawan di sana berdemo?""Aku rasa tidak. Kan kita gunakan pabrik
Mata Yesi berkaca-kaca, setelah menutup pagar begitu mobil Rita berlalu. Ya, ia merasa diri seperti wanita tidak tahu diuntung. Sekarang saja ia sudah hidup bagaikan akar benalu. Terlebih ia sudah begitu lama menutup keburukan yang dilakukan keluarga suaminya dan tak sedikitpun berpihak kepada Rita. Ia bagaikan seorang pengecut tidak berani menghadapi Rita yang sehari-hari saja sudah tampak memprihatinkan dibalik penampilannya yang lembut dan cantik. Namun sesama wanita, ia tahu luka menganga yang Rita rasakan.Yesi menghela napas panjang. Ia bersyukur Rita tidak mendesaknya karena panggilan dari Erwin. Yesi masih belum siap mengungkap siapa Bian Surya, kuburan bayi malang itu tentu saja. Yesi sudah berbohong sangat banyak, semua ia lakukan karena dulu pun ia berhutang nyawa kepada mertuanya.Walaupun nyawa mereka yang telah ditolong mertuanya yang merupakan keluarga angkatnya tidak juga bisa diselamatkan. Ayahnya meninggal setelah operasi dan ibunya menyusul begitu me
Arka terdiam di dalam mobil saat sebuah mobil polisi berhenti di belakangnya. Dadanya bergemuruh hebat, ia sungguh yakin tidak ada seorangpun yang menghubungi polisi. Nathan juga tadi sudah tidur di kamar tamu. Sorot senter mengenai kaca mobil hingga membuat matanya silau. Arka berusaha mengangkat kedua tangannya guna menghalau sinar senter tersebut agar bisa melihat siapa orang yang berada di luar sana.Kunci pintu terbuka tiba-tiba secara otomatis bersamaan dengan pintu belakang mobilnya terbuka tiba-tiba dan sosok serba hitam menjerat lehernya dengan kabel ulir.Arka berusaha meronta dan menghalau kabel tersebut, menahan dengan tangannya seraya tangannya yang lain berusaha meraih sosok yang berada di belakang. Saat ia berusaha meloloskan diri, tak berselang lama terdengar suara tembakan dari belakang mobilnya. Orang yang memegang senter menyilaukan itu roboh dan suara langkah tergesa yang sangat dikenalnya mendekat ke arah mobilnya."Lepaskan jerat itu atau a
"Engh … engh … engh …!" Deru napas Ambro menggebu dengan geliat tubuh yang terbatas. Ambro tahu ada suara mendesis hewan melata tak jauh darinya.'Jangan biarkan ularnya dekat-dekat Ambro, Tuhan! Ambro takut digigit!'Kaki dan tangan anak itu dalam keadaan telanjang dan menggigil terikat di sebuah kursi dengan mulut pun juga terikat. Ia tak bisa berteriak karena juga tak tahu di mana kini berada. Hanya terdengar tetes suara air dari keran yang tak tertutup rapat dan suasana di sini senyap, gelap dan sangat dingin, serta badan pun terasa nyeri ditambah lagi ia haus dan lapar.Sejak ia sadarkan diri lima jam yang lalu, dirinya sendirian. Takut pasti, tapi bagaimana lagi. Ia tahu sang ibu dan saudara-saudaranya pasti tak ada di sini.'Tuhan, Ambro takut. Mamak mana, Tuhan? Ambro nggak mau mati. Kasihan Mamak.'Sementara itu di luar bangunan gudang terbengkalai itu. Narto duduk di bawah pohon menatap kosong ke arah langit malam. Ra
Pengintaian di beberapa titik dan rumah yang sering disinggahi oleh Narto masih tidak membuahkan hasil. Pria itu seperti tertelan bumi bersama dengan Ambro si bocah kecil."Bagaimana apa terlihat pergerakan di dalam rumah?" tanya Michael Alsaki pada anak buahnya."Tidak ada, Ndan. Sudah pasti anak itu dibawa pergi.""Geledah rumahnya.""Siap, laksanakan."🌺Arka duduk termenung di teras belakang rumah Daya. Malam semakin menua, seharian ini ia hanya di rumah menemani kekasih hati yang terguncang hebat. Selain Ambro yang belum diketahui keberadaannya, Arka juga harus menahan diri untuk mencari Narto yang sampai detik ini belum menghubungi entah apa maunya, sementara Entin dan anak-anaknya sekarang berkumpul di sini. Biarkanlah polisi yang bekerja walau hatinya tak tenang.Ingin ikut membantu pun, hati tak tega meninggalkan Rita dan Eshan yang sangat terpukul. Putranya tampak sangat kehilangan sang sahabat. Eshan mengurung diri di kama
"Kamu tidak mengerti, tidak akan pernah bisa mengerti karena apa? Karena otakmu yang kecil itu hanya berisi tentang bule bangsat itu. Bisa-bisanya kamu masih memikirkan dia setelah jadi istriku. Kamu pikir aku nggak tahu, jika kamu sering menyebut namanya selama kita menyatu?! Hah!Jawab aku Rakmi! Kamu pikir aku nggak tahu kamu nggak pernah setia! Buktikan kalau aku salah. Aku yang sudah terzolimi di sini maka dari itu aku harus memiliki semuanya, aku sudah bekerja sangat keras untuk memajukan perkebunan ini. Dia hanya pemilik tanah. Kamu dengar itu Rakmi, laki-laki pujaanmu itu hanya pemilik tanah, aku akan hancurkan dia bahkan Daya dan anak keturunannya tidak akan mendapatkan apapun," tukas Yusuf Suhardiman."Mas, jangan begitu. Kasian dia, Mas.""Halah … sok aja kamu hanya mencoba menarik simpatinya saja. Dia tidak akan pernah berpaling kepadamu. Kalau bukan aku yang menikahi kamu, nggak ada orang yang mau sama kamu. Das
Satu hari sebelumnya"Aku mau kamu membawa pergi jauh Ambro. Jangan sampai Rita menemukan anak itu. Kalau perlu kamu matikan saja dia."Percakapan Rakmi yang membelakangi Apriyanto membuat pria itu yang awalnya melamun tentang penyesalan kedatangan Rita dan bagaimana akhir dari wanita yang dicintai malah berseteru dengan sang ibunda sadar dari lamunannya."Iya habisi saja dia. Seharusnya kamu sudah lakukan itu sejak dulu. Aku tidak mau punya cucu penerus dari rahim Rita.""Ibu apa maksudnya itu?" tanya Apriyanto yang kini duduk di bangku, "apa aku masih punya anak? Bukankah anakku sudah mati?""Iya anakmu sudah mati," jawab Rakmi tenang seraya menyimpan kembali ponselnya."Ibu bohong! Aku tahu anakku masih hidup. Maka dari itu aku akan membuat perjanjian dengan Rita.""Kamu sudah gila!" bentak Rakmi dengan mata melotot ke arah Apriyanto."Ibu yang gila," balas Apriyanto dengan gerakan."Lancang kamu Apri
Rita bersedekap duduk di kursi anyaman rotan yang berada di dalam kamar Arka. Pikirannya mengembara pada kejadian seharian kemarin yang sangat menguras fisik dan mentalnya sekaligus mengguncang batinnya dengan segala peristiwa yang terjadi. Perseteruan dengan Rakmi sampai pada pengakuan Yesi yang sudah ia perkirakan dan tetap membuat dirinya sangat kecewa serta berita baik yang membuktikan bahwa Ambro adalah buah hatinya dengan Apriyanto.Lalu kembalinya Arka dengan raut wajah letih walau terbalut dengan senyum tetapi hal itu tidak bisa menutupi kepekaan Rita, ia sudah berjanji untuk memberikan perhatian untuk pria tercintanya. Rita tak bisa tidur nyenyak, bahkan semalam ia hanya bisa memejamkan mata selama 3 jam setelah kembalinya Arka pada pukul 1 dini hari karena itulah pada jam 4 pagi ini ia duduk menyendiri di kamar Arka."Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang? Kamu nggak tidur?" Suara serak Arka, ciri khas bangun tidurnya memenuhi malam yang hening.Rita y
"Jika kamu memang masih ingin membantu Yesi dan anak-anaknya, tolong jauhkan mereka dari cucuku. Mama nggak mau sampai Eshan terpengaruh omongan yang tidak-tidak. Bagaimanapun ada gen Rakmi di tubuh mereka," tegur Daya begitu Rita selesai menemani Eshan tidur siang.“Cucuku masih sangat polos untuk direcoki urusan orang dewasa. Sebaiknya kamu pindahkan mereka atau Mama yang mencarikan tempat tinggal lainnya,” tambah Daya.Rita melirik ke arah dapur tempat Yesi berada sedang bercengkrama dengan Eli dan pengurus rumah tangga sebelum meraih tangan Daya dan mengajaknya masuk ke kamar mamanya.“Ma, sebelum Rita menjawab hal itu sebetulnya ada apa? Kenapa Mama meminta kami ke sini?”“Janu yang menyuruh.”“Abang Janu? Kenapa?”“Kamu tahu tidak di mana Arka?”“Sedang meninjau gudang yang terbakar bersama Abang Kenzo.”“Itulah sebabnya, Janu meminta kalian ke
"Brengsek! Bisa-bisanya Apri menuduhku sengaja kecelakaan. Otaknya memang sudah tidak beres," sungut Rita dalam perjalanan pulang dengan Erwin.Erwin tak mengucapkan sepatah katapun melihat sendiri kondisi Apriyanto memang bisa dikatakan demikian. Bisa jadi pria itu memang sudah mengalami depresi mendalam. Apalagi ada ibunya tadi datang, Apri sempat mematung tidak percaya jika sang ibu akan kembali berhadapan dengan Rita dan juga Rita yang ia ketahui selama ini sebagai wanita pengalah bisa begitu berani membalas Rakmi.“Apa yang akan kamu lakukan pada mertuamu itu?”“Kami masih mengumpulkan bukti dan sepertinya nanti Mama dan Abang yang akan turun tangan langsung.”Erwin mengangguk. “Ya, sebaiknya kamu berkonsentrasi dulu untuk masalah perceraian dan anak. Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan si Arka?”Rita mendesah dan menunjukkan raut wajah bersalah. “Jujur aku sampai lupa waktu membangun kemesraan denganny
Deru napas semakin memburu, kedua tangan mengepal erat di samping tubuh."Siapa kaki tanganmu?" tanya Rita, dingin sedikit bergetar karena emosi yang semakin membumbung tinggi, sementara batinnya tidak karuan."Kaki tanganku? Yang menyingkirkan anakmu atau calon suamimu dulu?" balas Apriyanto tak kalah datar dan dingin.'Anak?!'Punggung Rita sudah lembab bukan gerah tetapi karena keringat dingin yang mengalir. Matanya melotot tajam terlihat jelas kecewa, sakit hati dan amarah hingga titik peluh menghiasi wajahnya."Jadi kamu tahu siapa yang menabrakku sampai anakku mati, hah?!"Gelegar tawa membahana dari kamar khusus di mana Apriyanto ditempatkan. Apriyanto yang awalnya memunggungi Rita segera berbalik tapi tidak beranjak dari tempatnya duduk bersila di atas ranjang.Seraya menunjuk ke arah Rita, ia berkata, "Kamu yang ceroboh sampai bisa tertabrak! Kamu yang sok mandiri supaya mendapatkan perhatian lebih dari ibuku, sengaja melakuk