Amarah membuncah dalam diri Apriyanto. Berkali-kali ia mengumpat merutuki diri sendiri. Bagaimana ia bisa lupa jika sekarang adalah hari libur. Tentu saja, kantor tempat Rita dahulu bekerja sepi dan tutup. Hanya ada sekuriti perusahaan yang berjaga di depan dan kini mereka berempat menatapnya penasaran."Tolol, bagaimana aku bisa lupa hari?!"Salah satu sekuriti mendekat ke arah pria yang masih setia duduk di atas motor tepat di tengah jalan masuk kantor yang dibatasi dengan rantai besi. Pria itu terlihat berantakan dan kusut, tapi rasanya ia seperti pernah melihatnya, walau tidak ingat pasti bertemu di mana."Ada yang bisa saya bantu Pak?" Semakin dekat jaraknya berdiri dengan orang yang masih duduk di atas motor. Sekuriti itu terhenyak melihat raut wajah pria di depannya yang tidak hanya terlihat kusam dan berantakan tetapi juga pucat.Fokus Apriyanto tidak pada sekuriti di depannya melainkan pada pintu kaca kantor yang tertutup. Pandangannya kosong seperti orang linglung. Emosinya
"Kamu menghilang ke mana saja selama ini?" tegur Hendro.Rita yang duduk berseberangan di dalam ruang perawatan Apriyanto hanya menatap kakak iparnya tersebut tanpa menyahut."Apa karena kamu kembali bersama dengan dia?" tanya Hendro, seraya mengedikkan kepala ke arah pintu yang tertutup rapat. Arka yang ikut bersama dengan Rita menunggu tepat di luar pintu, di koridor tepatnya. Bersama para pembesuk atau penunggu pasien yang tidak bisa masuk semua. Rita merasa bahwa kakak iparnya ini mulai berpikir yang tidak-tidak maka ia membuka mulutnya kali ini. "Tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Semua karena ulah Ibu dan Mas Apri. Mas Hen, pasti sudah tahu bagaimana ceritanya. Jangan mencari kambing hitam."Hendro tersenyum masam. "Pasti ada hubungan dengan dia.""Berhenti keras kepala seperti mereka, Mas! Rita kesini bukan untuk berdebat dengan keluarga kalian. Rita membesuk Mas Apri juga karena sebatas rasa kemanusiaan yang yah, ternyata akhir-akhir ini mulai dilupakan sebagian besar ora
"Rita," racau Apriyanto dengan dahi mengernyit dalam.Hendro yang masih berada di bilik kamar itu berdecak malas menatap ke arah pembaringan dan menggerutu, "Dasar tidak berguna."Hendro bukannya tidak berterima kasih kepada Rita, kalau bukan karena Rita dirinya tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada Apriyanto. Ya, Rita yang mengabarkan kondisi Apriyanto kepadanya walau melalui sekuriti kantor. Namun hal itu juga membuat Hendro jengkel, selama ini ia pikir Rita akan benar-benar setia pada Apriyanto tetapi pada kenyataannya wanita itu dengan tidak tahu malu muncul bersama dengan mantan tunangan untuk menjenguk suaminya. Tentu masih bisa disebut sebagai suami-istri bukan? Mengingat mereka belum resmi bercerai."Kamu nanti akan berterima kasih kepadaku. Kalau bukan karena aku, tidak akan ada satu sen pun kamu mendapatkan warisan," gumam Hendro ke arah tempat tidur.Hendro yang bosan berada di ruang inap Apriyanto meraih remote dan menghidupkan televisi seketika terpampang berita te
Sudah kali kedua Rita memeriksa keberadaan Eshan yang terbaring sungguh nyenyak di ranjang yang biasa ditempati oleh Arka. Walaupun awalnya harus memulai perdebatan panjang karena bocah tersebut ingin tidur di depan televisi seperti saat tidur siang. Ia beralasan sudah cukup nyaman dengan alas tidur yang tersedia.Sampai dini hari, Rita terbangun di samping Eshan. Sosok Arka baru juga nampak di rumahnya. Jarum jam sudah mengarah ke angka tiga dini hari. "Maaf Sayang. Setelah Ilham pergi, Ayah mengajakku mengobrol."Raut wajah yang letih dan sayu membuat hati Rita bersimpati. Tentu saja ia bisa memaklumi, bagaimanapun Arka masih memiliki orang tua yang lebih punya hak atas dirinya, terlebih belum ada ikatan pernikahan di antara mereka."Apakah dia mencariku?" tanya Arka setelah menyematkan sebuah kecupan di dahi Rita. Kedua ibu jarinya masih mengusap rahang wanitanya. Rita mengangguk. "Huum, dia sempat menanyakanmu. Aku bilang kamu kerja."Arka tersenyum lembut dengan hati yang mengh
Apriyanto mengamuk dengan melepas infus yang tertancap di lengan kanannya. Dua orang perawat menahan tubuhnya agar tidak bangkit dari ranjang. Terbangun dan menyadari ia berada di rumah sakit, membuat dirinya seketika panik. Hal terakhir yang dirinya ingat adalah mencari Rita. Ia harus mendapatkan sertifikat itu, dan menghentikan upaya sang istri untuk menceraikan dirinya. Apriyanto tidak ingin kehilangan wanitanya, di dunia ini yang bisa menerima apa adanya hanyalah Rita. Sementara yang lain penuh kepalsuan dan memanfaatkan dirinya. Walaupun upaya untuk mendapatkan Rita juga bukan dengan cara yang benar. "Jangan halangi aku. Biarkan aku pergi, kalian akan menyesal menahanku di sini, " geramnya penuh amarah dengan sorot putus asa. Sedetik kemudian tubuhnya kembali lemas dan terbaring. "Aku harus hentikan perceraian ini. Jangan biarkan Rita menceraikan aku Mbak Yesi," racaunya dengan tatapan mengiba ke arah Yesi sebelum hilang kesadaran akibat suntikan penenang dari Dokter. Yesi yan
Tujuan Rita berikutnya setelah persidangan adalah ke makam desa ia ingin mencari makam anaknya, si Jabang Bayi Kliwon.Saat ia melewati rumah mertuanya, ada Yesi berdiri di depan gerbang. Wajah wanita itu tampak sendu. Rita menepikan kendaraan mengingat mertuanya tidak ada di rumah jadi ia tidak perlu bertemu dan berurusan dengan rubah betina tersebut."Ada apa?" tanyanya begitu berdiri tepat di depan Yesi. "Kamu benar. Bayi itu bukan anak Apriyanto.""Kamu sudah punya bukti?" tanya Rita. Rita yang sejujurnya merasa ragu jika anak tersebut adalah buah hati dari suaminya tentu sudah memeriksa. Waktunya tidak pas. Devon yang sudah membantunya untuk mengumpulkan bukti. Yesi mengulurkan sebuah amplop putih. Rita menerimanya dan segera membaca isinya. Ia sudah menduga jika itu adalah hasil tes DNA karena ada tanda rumah sakit di luar amplop. "Ya ampun. Benar-benar tidak tahu diuntung Asmi itu. Teganya dia membodohi semuanya.""Apa yang harus aku katakan kepada Ibu dan Apri?" tanya Yesi d
Rita memakai kacamata hitamnya saat melihat ketiga keponakan Apriyanto sudah berdiri di samping mobil. Ia sengaja memakai kacamata agar ketiga anak itu tidak melihat kemarahan yang ia rasakan dan terpantul pada kedua sorot matanya. Akibat bertemu dengan sekutu ibu mertuanya, Rakmi. Namun ia cukup puas bisa membuat wanita bermulut seperti ular berbisa itu menjadi tak berkutik.Si Kecil, Rio langsung berhambur memeluknya. "Rio kangen Bunda," ujarnya dengan wajah terbenam pada perut Rita.Rita membalas dengan mengusap kepala anak itu pada bagian belakang. "Bunda juga kangen Rio. Rio mau tinggal dengan Bunda?"Anak itu mendongak dengan wajah penuh keceriaan serta harapan. "Sungguh? Kami semua?""Iya," jawab Rita dengan sungguh-sungguh. Kedua anak Yesi yang lain ikut memeluknya dan Evita segera berkata, "Ayo cepat pergi Bunda. Keburu Papa pulang."Mereka segera melerai pelukan dan memasukan semua barang dan pergi dari sana. "Titip rumah ya, Bu," pamit Rita pada sosok Asih balas mengangg
Rita melirik pada Yesi yang kini memejamkan mata di jok penumpang. Ia tidak ragu sedikitpun dengan pernyataan wanita itu. Intuisinya sebagai seorang ibu juga sangat yakin jika makam yang tadi mereka singgahi adalah makam Bian. Rita mengulum senyum saat kembali teringat mereka juga mengunjungi makam Angel.Memperkenalkan anak Rita yang lain kepada para keponakannya. Biar saja ikatan antara dirinya dan Apriyanto berakhir tapi ikatan batinnya dengan ketiga malaikat yang seperti halnya dilakukan oleh mama mereka, terlelap di bangku belakang, tetap terjalin selamanya. Rita sesungguhnya masih penasaran dengan nisan yang dikatakan oleh Novi. Siapa yang dikubur di sana jika selama ini memang Yesi yang mengurusi? Apakah anaknya kembar dan mereka dimakamkan secara terpisah atau bagaimana? Pemikiran ini membuat mental Rita lelah luar biasa. Begitu sampai di rumah. Rita membawa keempatnya ke pondok samping. "Kalian akan tinggal di sini. Di rumah utama hanya ada 2 kamar jadi tidak akan cukup. Ke
Arka terdiam di dalam mobil saat sebuah mobil polisi berhenti di belakangnya. Dadanya bergemuruh hebat, ia sungguh yakin tidak ada seorangpun yang menghubungi polisi. Nathan juga tadi sudah tidur di kamar tamu. Sorot senter mengenai kaca mobil hingga membuat matanya silau. Arka berusaha mengangkat kedua tangannya guna menghalau sinar senter tersebut agar bisa melihat siapa orang yang berada di luar sana.Kunci pintu terbuka tiba-tiba secara otomatis bersamaan dengan pintu belakang mobilnya terbuka tiba-tiba dan sosok serba hitam menjerat lehernya dengan kabel ulir.Arka berusaha meronta dan menghalau kabel tersebut, menahan dengan tangannya seraya tangannya yang lain berusaha meraih sosok yang berada di belakang. Saat ia berusaha meloloskan diri, tak berselang lama terdengar suara tembakan dari belakang mobilnya. Orang yang memegang senter menyilaukan itu roboh dan suara langkah tergesa yang sangat dikenalnya mendekat ke arah mobilnya."Lepaskan jerat itu atau a
"Engh … engh … engh …!" Deru napas Ambro menggebu dengan geliat tubuh yang terbatas. Ambro tahu ada suara mendesis hewan melata tak jauh darinya.'Jangan biarkan ularnya dekat-dekat Ambro, Tuhan! Ambro takut digigit!'Kaki dan tangan anak itu dalam keadaan telanjang dan menggigil terikat di sebuah kursi dengan mulut pun juga terikat. Ia tak bisa berteriak karena juga tak tahu di mana kini berada. Hanya terdengar tetes suara air dari keran yang tak tertutup rapat dan suasana di sini senyap, gelap dan sangat dingin, serta badan pun terasa nyeri ditambah lagi ia haus dan lapar.Sejak ia sadarkan diri lima jam yang lalu, dirinya sendirian. Takut pasti, tapi bagaimana lagi. Ia tahu sang ibu dan saudara-saudaranya pasti tak ada di sini.'Tuhan, Ambro takut. Mamak mana, Tuhan? Ambro nggak mau mati. Kasihan Mamak.'Sementara itu di luar bangunan gudang terbengkalai itu. Narto duduk di bawah pohon menatap kosong ke arah langit malam. Ra
Pengintaian di beberapa titik dan rumah yang sering disinggahi oleh Narto masih tidak membuahkan hasil. Pria itu seperti tertelan bumi bersama dengan Ambro si bocah kecil."Bagaimana apa terlihat pergerakan di dalam rumah?" tanya Michael Alsaki pada anak buahnya."Tidak ada, Ndan. Sudah pasti anak itu dibawa pergi.""Geledah rumahnya.""Siap, laksanakan."🌺Arka duduk termenung di teras belakang rumah Daya. Malam semakin menua, seharian ini ia hanya di rumah menemani kekasih hati yang terguncang hebat. Selain Ambro yang belum diketahui keberadaannya, Arka juga harus menahan diri untuk mencari Narto yang sampai detik ini belum menghubungi entah apa maunya, sementara Entin dan anak-anaknya sekarang berkumpul di sini. Biarkanlah polisi yang bekerja walau hatinya tak tenang.Ingin ikut membantu pun, hati tak tega meninggalkan Rita dan Eshan yang sangat terpukul. Putranya tampak sangat kehilangan sang sahabat. Eshan mengurung diri di kama
"Kamu tidak mengerti, tidak akan pernah bisa mengerti karena apa? Karena otakmu yang kecil itu hanya berisi tentang bule bangsat itu. Bisa-bisanya kamu masih memikirkan dia setelah jadi istriku. Kamu pikir aku nggak tahu, jika kamu sering menyebut namanya selama kita menyatu?! Hah!Jawab aku Rakmi! Kamu pikir aku nggak tahu kamu nggak pernah setia! Buktikan kalau aku salah. Aku yang sudah terzolimi di sini maka dari itu aku harus memiliki semuanya, aku sudah bekerja sangat keras untuk memajukan perkebunan ini. Dia hanya pemilik tanah. Kamu dengar itu Rakmi, laki-laki pujaanmu itu hanya pemilik tanah, aku akan hancurkan dia bahkan Daya dan anak keturunannya tidak akan mendapatkan apapun," tukas Yusuf Suhardiman."Mas, jangan begitu. Kasian dia, Mas.""Halah … sok aja kamu hanya mencoba menarik simpatinya saja. Dia tidak akan pernah berpaling kepadamu. Kalau bukan aku yang menikahi kamu, nggak ada orang yang mau sama kamu. Das
Satu hari sebelumnya"Aku mau kamu membawa pergi jauh Ambro. Jangan sampai Rita menemukan anak itu. Kalau perlu kamu matikan saja dia."Percakapan Rakmi yang membelakangi Apriyanto membuat pria itu yang awalnya melamun tentang penyesalan kedatangan Rita dan bagaimana akhir dari wanita yang dicintai malah berseteru dengan sang ibunda sadar dari lamunannya."Iya habisi saja dia. Seharusnya kamu sudah lakukan itu sejak dulu. Aku tidak mau punya cucu penerus dari rahim Rita.""Ibu apa maksudnya itu?" tanya Apriyanto yang kini duduk di bangku, "apa aku masih punya anak? Bukankah anakku sudah mati?""Iya anakmu sudah mati," jawab Rakmi tenang seraya menyimpan kembali ponselnya."Ibu bohong! Aku tahu anakku masih hidup. Maka dari itu aku akan membuat perjanjian dengan Rita.""Kamu sudah gila!" bentak Rakmi dengan mata melotot ke arah Apriyanto."Ibu yang gila," balas Apriyanto dengan gerakan."Lancang kamu Apri
Rita bersedekap duduk di kursi anyaman rotan yang berada di dalam kamar Arka. Pikirannya mengembara pada kejadian seharian kemarin yang sangat menguras fisik dan mentalnya sekaligus mengguncang batinnya dengan segala peristiwa yang terjadi. Perseteruan dengan Rakmi sampai pada pengakuan Yesi yang sudah ia perkirakan dan tetap membuat dirinya sangat kecewa serta berita baik yang membuktikan bahwa Ambro adalah buah hatinya dengan Apriyanto.Lalu kembalinya Arka dengan raut wajah letih walau terbalut dengan senyum tetapi hal itu tidak bisa menutupi kepekaan Rita, ia sudah berjanji untuk memberikan perhatian untuk pria tercintanya. Rita tak bisa tidur nyenyak, bahkan semalam ia hanya bisa memejamkan mata selama 3 jam setelah kembalinya Arka pada pukul 1 dini hari karena itulah pada jam 4 pagi ini ia duduk menyendiri di kamar Arka."Apa yang kamu lakukan di sini, Sayang? Kamu nggak tidur?" Suara serak Arka, ciri khas bangun tidurnya memenuhi malam yang hening.Rita y
"Jika kamu memang masih ingin membantu Yesi dan anak-anaknya, tolong jauhkan mereka dari cucuku. Mama nggak mau sampai Eshan terpengaruh omongan yang tidak-tidak. Bagaimanapun ada gen Rakmi di tubuh mereka," tegur Daya begitu Rita selesai menemani Eshan tidur siang.“Cucuku masih sangat polos untuk direcoki urusan orang dewasa. Sebaiknya kamu pindahkan mereka atau Mama yang mencarikan tempat tinggal lainnya,” tambah Daya.Rita melirik ke arah dapur tempat Yesi berada sedang bercengkrama dengan Eli dan pengurus rumah tangga sebelum meraih tangan Daya dan mengajaknya masuk ke kamar mamanya.“Ma, sebelum Rita menjawab hal itu sebetulnya ada apa? Kenapa Mama meminta kami ke sini?”“Janu yang menyuruh.”“Abang Janu? Kenapa?”“Kamu tahu tidak di mana Arka?”“Sedang meninjau gudang yang terbakar bersama Abang Kenzo.”“Itulah sebabnya, Janu meminta kalian ke
"Brengsek! Bisa-bisanya Apri menuduhku sengaja kecelakaan. Otaknya memang sudah tidak beres," sungut Rita dalam perjalanan pulang dengan Erwin.Erwin tak mengucapkan sepatah katapun melihat sendiri kondisi Apriyanto memang bisa dikatakan demikian. Bisa jadi pria itu memang sudah mengalami depresi mendalam. Apalagi ada ibunya tadi datang, Apri sempat mematung tidak percaya jika sang ibu akan kembali berhadapan dengan Rita dan juga Rita yang ia ketahui selama ini sebagai wanita pengalah bisa begitu berani membalas Rakmi.“Apa yang akan kamu lakukan pada mertuamu itu?”“Kami masih mengumpulkan bukti dan sepertinya nanti Mama dan Abang yang akan turun tangan langsung.”Erwin mengangguk. “Ya, sebaiknya kamu berkonsentrasi dulu untuk masalah perceraian dan anak. Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan si Arka?”Rita mendesah dan menunjukkan raut wajah bersalah. “Jujur aku sampai lupa waktu membangun kemesraan denganny
Deru napas semakin memburu, kedua tangan mengepal erat di samping tubuh."Siapa kaki tanganmu?" tanya Rita, dingin sedikit bergetar karena emosi yang semakin membumbung tinggi, sementara batinnya tidak karuan."Kaki tanganku? Yang menyingkirkan anakmu atau calon suamimu dulu?" balas Apriyanto tak kalah datar dan dingin.'Anak?!'Punggung Rita sudah lembab bukan gerah tetapi karena keringat dingin yang mengalir. Matanya melotot tajam terlihat jelas kecewa, sakit hati dan amarah hingga titik peluh menghiasi wajahnya."Jadi kamu tahu siapa yang menabrakku sampai anakku mati, hah?!"Gelegar tawa membahana dari kamar khusus di mana Apriyanto ditempatkan. Apriyanto yang awalnya memunggungi Rita segera berbalik tapi tidak beranjak dari tempatnya duduk bersila di atas ranjang.Seraya menunjuk ke arah Rita, ia berkata, "Kamu yang ceroboh sampai bisa tertabrak! Kamu yang sok mandiri supaya mendapatkan perhatian lebih dari ibuku, sengaja melakuk